Kusempatkan diri untuk pulang, sebelum melanjutkan acara untuk nanti malam. Kurebahkan tubuhku di ranjang yang tidak begitu empuk dan bagus itu. Perasaan kesal kembali muncul saat melihat gawai yang terlihat sangat sepi. Hanya ada notifikasi pesan group WA.Sejak tadi pagi, Abi juga tidak menghubungiku sama sekali. Jangankan mengatakan cinta, sekedar menanyakan kabar saja tidak. Apa benar dia berselingkuh? Atau memang sangat sibuk?Sepertinya waktu satu Minggu akan terasa bagai setahun jika aku menunggu dengan rasa penasaran yang luar biasa ini. Kalung berlian? Cincin saja kekecilan kalau untukku, wanita mana yang tidak kesal mendengarnya."Apa aku harus menghubunginya terlebih dahulu? Murahan sekali?" gerutuku. Pesan masuk dari Abi mengejutkanku yang tengah asik menerka dan memikirkan Abi. Dengan sigap kubuka lalu kubaca. "Ah, Bella. Biasa aja, dong!" kataku pada diri sendiri yang tanpa sadar terlihat sangat antusias membaca nama Abimana di layar.[Tidak usah datang ke acara nanti
POV BELLASetelah kulakukan penolakan itu. Aku pun bergegas meninggalkan tempat acar. Tak peduli Pak Christian menahan atau Mbak Mei memanggil. Menjaga kewarasanku jauh lebih penting, daripada harus tetap tinggal dan ikut g*la seperti Adip.Taksi yang aku pesan pun sudah sampai dan menunggu di depan gerbang utama, aku bergegas masuk dan pulang. "Sesuai aplikasi, Mbak?" tanya Pak Sopir tentang tujuanku begitu aku masuk."Ya."Drrrttt ... Drrrttt ....Di dalam mobil menuju kontrakan, ponselku bergetar. Kulihat nama Abi tertera di sana. Kuambil napas lalu kubuang perlahan untuk menetralkan suasana. Pastilah dia akan menanyakan perihal kedatanganku atau marah karena tidak mendengarkannya.Kugeser tombol hijau setelah kusiapkan jawaban apa yang akan aku berikan. "Assalamualaikum, Bi, sibuk sekali, sampai jam segini baru menghubungi istrimu?" Siasat pertama yang biasa wanita lakukan adalah lebih baik marah dahulu dari pada dimarahi."Waalaikumsalam. Maaf istriku, aku hanya ada sedikit masa
"Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya, apabila Pak Abimana marah atas tindakan saya. Tapi saya rasa Pak Abimana bukan orang yang suka mencampur adukkan masalah pribadi dengan masalah pekerjaan," sanggahku."Apa kamu siap dipecat? Kalau Pak Abimana ternyata marah padamu?"Degh ... meski aku tahu itu tidak mungkin, tetap saja jantungku berdebar saat aku mendengar kata pemecatan."InsyaAllah, siap!" jawabku mantap setelah aku pikir masak-masak. Mana mungkin itu terjadi, bahkan yang akan marah besar adalah Abi, karena mereka sudah mencampur adukkan masalah pribadi di sini."Ya sudah, kamu boleh keluar. Rapat diundur nanti setelah makan siang. Karena saya masih harus bertemu dengan Pak Adip, untuk meminta maaf," katanya yang seolah menyindirku."Kenapa Bapak harus minta maaf?""Kamu pikir bermasalah dengan mereka tidak akan menjadi Masalah untuk saya?" ucapnya marah."Maaf, Pak, kalau begitu saya permisi." Percuma memberi pengertian pada Pak Christian yang terlihat begitu tunduk dan patu
Kami menuju ruang rapat, tentunya secara terpisah. Aku masuk terlebih dahulu. Terlihat beberapa orang sudah menunggu di sana. Pak Christian, Kepala Divisi, dan tak ketinggalan Mbak Mei juga yang akan menemaniku. "Maaf telat," ucapku menundukkan wajah pada Pak Christian dan yang lain.Setelahnya, aku segera mengambil tempat duduk di sebelah Mbak Mei. "Lama sekali, Bell?" bisik Mbak Mei begitu aku duduk."Maaf." Pintu pun dibuka, semua dengan sigap berdiri saat Abi terlihat memasuki ruangan. "Berlebihan sekali mereka? Biasa saja, bahkan yang kalian hormati itu tunduk dan patuh pada Salsa Bella yang kalian pandang sebelah mata ini kalau di rumah," gumamku. "Eh, Bell, buruan berdiri!" perintah Mbak Mei saat melihat aku masih duduk manis ketika Abi datang. Aku pun mengikuti berdiri dengan membungkukkan sedikit badanku memberi hormat seperti yang lain."Silahkan, duduk," seru Abi pada kami begitu dia duduk di kursi utama. Kami pun duduk mengikuti perintahnya."Langsung saja, bisa kita
POV ABIAku segera keluar dan pergi ke ruanganku setalah menenangkan Bella. Ya, aku tahu aku sudah keterlaluan terhadapnya. Namun, itu satu-satunya cara agar edisi Maret bisa sukses dan Bella berhasil membuat orang yang selama ini merendahkannya menjadi diam. Edisi Maret harus sempurna tanpa cacat, itu yang menjadi tujuan utamaku. Setelahnya, aku akan membawa Bella pulang ke Jakarta tanpa meninggalkan kesan yang mengganggu pikiran Bella. Bella harus berhasil. Aku tahu istriku itu melankolis. Dia bisa saja berkata baik-baik saja meski hatinya menangis. Itulah sebabnya, aku menuntut hal yang lebih agar Bella tidak lagi dipandang rendah. Jika sampai Bella gagal, aku yakin akan berpengaruh untuk hidup Bella kedepannya nanti.Kubuka pintu, terlihat Pak Christian sudah menunggu di sofa. Ia berdiri setelah melihatku. "Duduk, Pak!" perintahku, kami pun duduk bersama, tepatnya berhadapan."Bapak tau? Kenapa saya panggil?" tanyaku tanpa basa-basi setelah menyandarkan punggungku di bahu sof
POV BellaHotel and resto adalah alamat yang telah Abi kirimkan beberapa jam yang lalu. Aku pun segera bersiap dan meluncur ke alamat tersebut usai sholat mahgrib aku lakukan. Aku tidak tahu kemana Abi pergi, aku tak mau terlalu ikut campur, cukup berprasangka baik insyaAllah hasilnya juga baik.Kuputuskan untuk menunggu Abi di depan kedai ice cream yang berada di depan Hotel. Sambil menyelam minum air, aku pun memesan ice cream yang sudah lama aku tidak menikmatinya. Ice cream coklat lengkap dengan taburan almond sebagai toppingnya adalah favoritku.Kunikmati seraya memikirkan foto dan design apa yang akan aku berikan pada Abi besok. Kuambil gawai dan ku ambil asal gambar yang ada di sekelilingku. Kedai ice cream adalah salah satu tempat yang banyak dikunjungi oleh keluarga kecil untuk sekedar menghabiskan waktu dengan putra-putri mereka. "Aku rasa cocok," lirihku setelah kulihat hasil jepretanku. Namun, tak begitu jelas dan bagus karena kualitas ponselku kurang tinggi."Sayang seka
Deg ... deg ... deg! Jantungku berpacu saat aku mendengar kata Batam dari mulut Tari. Langkah kami pun terhenti, sama seperti jantungku yang tiba-tiba terasa berhenti berdetak saat genggaman tangan Abi terasa semakin erat. Seolah mengatakan bahwa apa yang Tari ucapkan adalah benar."Abi ... kamu dan Tari ...?" lirihku. Rasanya bibir ini Kelu, tak bisa lagi mengeluarkan suara dan melanjutkan kalimatku."Aku akan menjelaskan semuanya nanti, tapi tidak di sini," kata Abi membawaku pergi, kulihat Tari mengulas sebuah senyum. Senyum yang tak bisa aku artikan. Apakah dia akan mengambil Abi dariku lagi? Aku hanya bisa mengikuti langkah panjang Abi yang semakin dipercepat tanpa suara ataupun penolakan. Aku sudah lelah dengan semuanya.Sesampainya di hotel seberang kedai ice cream yang sudah Abi kirim alamatnya tersebut, Abi segera membawaku ke kamar nomor 101. Tampaknya Abi sudah memesan kamar sebelumnya."Kalian ketemuan di Batam? Tanpa sepengetahuanku?!" Kuhempaskan tangan Abi dariku set
Aku masih terjaga saat kulihat jam dinding yang terpajang di dinding kamar hotel sudah menunjukkan pukul 12 malam. Berbeda dengan lelakiku yang sudah tertidur pulas usai melampiaskan hasratnya padaku. Ya, saat ini kami sedang berada di hotel, kami menginap di sini malam ini. Anggap saja kami sedang berbulan madu.Meski aku rasa malam ini kurang tepat karena bukan akhir pekan yang mengharuskan aku tetap bekerja besok. Namun, aku tetap menikmati. Sadar bahwa perkejaan sudah menunggu, aku pun segera mengambil benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas. "Jangan pergi, Bell ...," gerutu Abi yang sempat membuatku menoleh. Namun, saat aku menoleh, Abi terlihat mengubah posisinya.Aku pun tersenyum lalu mendekatinya. Rupanya dia hanya mengigau. "Kenapa kamu begitu menggemaskan saat tidur? Tapi sangat menyebalkan saat bangun?" lirihku memandang dan mendekati wajah Abi yang semakin dipandang semakin membuatku ketagihan. Pantas saja para wanita menginginkannya dan parahnya, a
POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be
POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan
POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a
"Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket
"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta