Akhirnya negosiasiku membuahkan hasil sesuai harapan. Bella bersedia mempublikasikan hubungan ini tanpa menungggu hasil dari edisi Maret. Namun, keadaan kaki yang belum bisa digunakan untuk berjalan membuatnya tidak bisa datang ke kantor dalam beberapa hari kedepan. Nggak lucu juga pengumuman dengan kaki pincang atau memakai kursi roda. Kurang romantis rasanya. Setidaknya bisa berjalan sendiri saat itu tiba. Tapi aku yakin itu tidak akan lama. Selama Bella pemulihan aku menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk memasarkan Edisi Maret. Meski dia mengatakan apapun hasilnya akan menerima, tapi tetap saja aku tidak mau mengecewakan. Berbagai upaya aku lakukan untuk membuat edisi ini laris manis. Bahkan, kalau bisa sebelum bulan maret kenaikan sudah harus signifikan. "Abi ... aku mau minum," kata Bella. Selama cidera kaki, kami selalu menghabiskan waktu di kamar ini, aku tidak mengijinkannya untuk keluar apa lagi naik turun tangga, lagi pula siapa yang akan membantunya jika aku tidak ada
POV Bella. Aku memutuskan untuk menuruti permintaan Abi, bagaimanapun juga aku sudah berjanji, aku pun akan menepatinya. Namun, kondisiku yang belum bisa masuk ke kantor karena dokter Riswan mengatakan untuk istirahat beberapa hari maka kami belum bisa mengumumkan sekarang. Tak mungkin juga datang ke sana kalau kaki saja belum bisa digerakkan dan bagaimana pula bekerja dengan tangan di gendongan seperti ini. Abi juga melarang memaksakan diri untuk datang. Satu minggu sudah aku tinggal di rumah untuk proses penyembuhan, rasanya begitu jenuh dan membosankan. Terlebih, selama itu Abi juga selalu pulang malam bahkan di rumah pun masih setia di depan laptop, tak mau melihatku sama sekali. Persis yang aku lihat saat ini, dia duduk di sofa nan jauh di sana."Hei, kamu, tak bisa kah memandangku sekali saja? Apa kamu sudah benar-benar kelainan? Atau kamu sudah nggak normal? Sehingga tidak ada keinginan?" tanyaku di atas ranjang dengan lingerie merah yang tak mampu menggoyahkan hasrat suam
Tak ada yang bisa aku katakan lagi saat Abi meraih tanganku lalu mulai membungkuk untuk memeriksa kakiku. "Nggak papa, aku nggak papa." Dia tampak menghela napas sembari melirik tajam padaku lantas kemudian kembali berdiri. "Masuk!" perintahnya tak sedikitpun ia melepaskan tangannya dariku, sudah seperti tawanan saja dia memperlakukan aku. "Aku bisa di sini sebentar? Aku bisa ke ruanganku sendiri," pintaku, kurasa aku harus menjelaskan dulu pada Mbak Mei yang terlihat begitu shock. Bahkan, suaranya tidak bisa keluar meski bibirnya bergerak-gerak dengan mata membulat sempurna."Nggak, kamu ke ruanganku, Bell. Mei, kamu Mei, kan? Katakan ke bagian informasi kalau acara jam 10 akan dimulai. Saya mau semua berkumpul di tempat yang sudah disediakan," ucap Abi padaku dan beralih pada Mbak Mei yang masih mematung."Mei!" sentak Abi yang melihat Mbak Mei tak merespon panggilan atau perintahnya."Nggak usah kasar lah, Bi," kataku mengingatkan. Di tengah puluhan pasang mata yang menatap kami.
Dia menoleh cepat ke arahku. "Ya, nggak lah, Sayang." "Kalau aku tidak percaya?" "Ya jangan gitu lah, aku tidak mencintainya!" ucapnya, kali ini suaranya berubah tegas."Aku juga seperti itu, Bi. Aku tidak mencintai Raka. Mengertilah, selama ini aku juga belum menjalin hubungan apapun dengannya, sedangkan kamu? Kamu bahkan sudah tidur dengan ...." Abi menghentikan perkataanku dengan jari telunjuk yang di letakkan di bibirku dengan cepat kemudian memelukku."Aku mohon jangan mengungkitnya, Bell, maafkan aku. Maaf ...," lirih Abi dalam pelukan yang aku balas. Sesungguhnya aku tidak ingin mengungkitnya, aku hanya ingin Abi bisa sama sepertiku, yang bisa melupakan hubungannya dengan Tari dan percaya bahwa Abi hanya mencintaiku. Hanya itu tujuanku."Aku hanya melakukannya satu kali saja, Bell. Aku sungguh tidak mampu kalau kamu terus mengungkitnya," jelas Abi."O ya? Bukankah di Surabaya ....""Bella, kau meneriakiku waktu itu, woy pelan-pelan ini bukan hotel. Seketika wajahmu berkeliara
Kuhembuskan napas panjang ditengah suasana yang memanas, akhirnya saat ini datang juga. Namun, yang lebih menarik perhatian adalah nama Atmajaya yang biasa Abi selipkan di belakang namaku sekarang berubah menjadi Abimana, jadi Abi benar-benar menanggalkan nama Atmajaya? "Bell, ayo naik!" kata Abi yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku tanpa aku sadari membuatku menepis segala pikiran tentang nama belakang Abi.Tanpa menunggu jawaban, Abi meraih tanganku dan membantuku naik. "Abi, aku gugup, apa yang harus aku lakukan di sana?" tanyaku."Gugup? Aku tidak akan membiarkanmu sendiri, Bell, pegang tanganku terus, ya. Biar nggak gugup," ucapnya memberi arahan. Tangan hangat yang menggenggam tanganku membuat tanganku yang terasa dingin sedikit menghangat.Sesampainya aku di panggung, suara-suara bak lebah yang mendengung saling bersahutan pun kembali terjadi, mereka pun sesekali melirik ke arahku. Membuatku kembali tegang. "Abi, mereka ....""Duduklah, kakimu akan sakit," kata Abi memberi
Dengan berat hati aku terima microfon dari Abi. "Nggak perlu berdiri, duduk aja," kata Abi saat melihatku hendak berdiri. Aku pun kembali duduk. Entah apa yang terjadi padaku saat ini. Bahkan, dengan Abi pun aku tidak bisa menjawab atau memberontak sekarang. Tampaknya aku sedang dikuasai oleh rasa gugup.Aku duduk dan Abi mundur beberapa langkah menuju arah belakangku. Namun, tak sedikitpun ia meninggalkan atau melepaskan aku, kedua tangganya kini terus memegang pundakku menguatkan. "Katakan semua yang ingin kamu katakan, Bell, semua, agar hatimu lega, aku di sini," bisik Abi di telingaku dengan mengusap lembut kedua lenganku. Aku hanya bisa mengangguk patah-patah. Yang menjadi pusat perhatianku saat ini hanyalah Mbak Mei dan Mbak Selly. Mereka berdiri tepat di hadapanku, menatapku dengan air muka kecewa, sebuah kemarahan terlihat jelas di mata mereka.Kuambil napas lalu kubuang perlahan untuk menghilangkan rasa gugup, lantas kemudian perlahan aku mengangkat microfon pemberian Abi. "
"Jangan memanggilku seperti itu, aku tidak nyaman," tolakku, tampak Mbak Mei dan Mbak Selly dengan muka masam tak memandangku sama sekali."Bi, bisa meninggalkan aku dulu?""Kamu yakin?" Aku pun mengangguk pelan, akan tidak nyaman jika Abi terus mengekori. Pembicaraan kami juga tidak akan natural jika ada Abi. Pembicaraan hanya akan terjadi selayaknya karyawan dan atasan, memaafkan atau tidak, hanya akan menjadi formalitas jika Abi terus di dekatku."Ya sudah, aku ke sana. Jangan lama-lam, Sayang. Kita harus pulang. Eh, kamu Mei! Jangan kasar-kasar sama istri saya, ya! Awas!" ancam Abi pada Mbak Mei yang justru akan akan memperkeruh suasana. Bukan Abimana jika tidak menimbulkan masalah untukku. Aku mendesah kesal."Sudah lah, Bi. Pergilah dulu," pintaku lembut."Ya, aku pergi. Aku ada di ruangan, tampaknya Raka sudah menungguku." Lagi-lagi Abi memperkeruh suasana dengan mengecup singkat kepalaku sebelum pergi. Membuatku begitu malu. Terlihat beberapa rekanku tersenyum, sedangkan Mb
POV AbiMendengar pernyataan cinta dari Bella membuat hatiku berdebar tak percaya. Mungkin jika tidak sedang di atas panggung, aku sudah melompat kegirangan, dan menghambur ke pelukannya. Bella, bagiku adalah segalanya, sosoknya yang mampu membuat Abimana lupa segalanya. Tak pernah aku merasakan perasaan seperti pada Bella sebelumnya. Padahal dulu aku tak pernah menyadari adanya cinta, diantara kami hanya ada rasa tanggung jawab menjalani amanah dari Pak Wira.Penuturan Bella yang dilontarkan begitu mantap membuat hatiku pun mantap memutuskan suatu hal yang mungkin di luar dugaanku sebelumnya. Aku pun bergegas ke ruangan yang sudah dipastikan bahwa Raka menungguku di sana. Sebab, aku tidak melihat batang hidungnya lagi di tempat acara.Kubuka pintu dan benar dugaanku, Raka sudah menunggu di ruangan tertunduk lesu. Dengan sigap dia berdiri membungkukkan badannya setelah menyadari kedatanganku. Apa dia sudah sadar sekarang? Sehingga dia terlihat menghormati pimpinannya kembali."Duduk!"
POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be
POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan
POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a
"Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket
"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta