POV BellaMalam memalukan akibat lingerie akhirnya berakhir indah. Tanpa lingerie pun semua berjalan lancar, cinta tak memerlukan sebuah penunjang, karena cinta akan saling mengagumi dan saling melengkapi. Lingerie hanya penunjang sedangkan hati adalah yang utama.Saat ini netraku tak bisa beralih dari laki-laki dengan wajah awet muda yang sedang tertidur pulas di sebelahku setelah peristiwa semalam, merajut mimpi bersama, dengan doa yang senantiasa tertuang sebagai harapan agar secepatnya mendapatkan momongan. Tak terasa kedua sudut bibirku pun tertarik sempurna. Melihat wajah polos menggemaskan yang semakin hari semakin terlihat muda meski begitu usianya semakin bertambah. Namun, senyumku memudar kala teringat pertanyaan Abi yang terakhir mengenai kebimbangan hatinya. Ya, aku tahu saat ini dia sedang mengalami kegalauan serius, hanya saja kali ini ia tak menampakkannya padaku karena masalah yang ia hadapi adalah masalah perusahaan yang aku tidak begitu paham dan bisa banyak memba
POV AbiFlashback OnKata-kata Bella membuatku berpikir keras. Dia benar juga, aku seharusnya menemaninya, kan? Katanya cinta? "Ah, gimana, sih, Abi!" Aku pun melepas seat belt dan berniat mengikuti Bella. Namun, tanganku terhenti saat k lihat keramaian, dan teriakan. Rupanya seorang sedang berlari ke arahku dan dikejar beberapa orang dengan teriakan copet. Dengan cepat aku membuka pintu kala copet itu sampai di hadapanku. Mengakibatkan ia terjatuh ditanah. "Aduh," teriaknya kesakitan.Aku pun turun. " Sini, dompetnya!" pintaku baik-baik. "Ha ha ha, enak aja, tangkap, Bro!" ia pun berdiri lalu melempar dompet tersebut pada temannya yang lain. "Nantang!" Emosiku terusik. Brugh! Kujegal kaki saat ia hendak berlari untuk pergi yang mengakibatkan ia terjatuh lagi. Setelahnya, kuambil balok dan kulempar pada temannya yang berhasil membawa dompet itu lari."Mau jadi preman?" Kupukul mereka dengan balok kayu. Aku tak mau beradu kekuatan, mukaku yang masih terasa ngilu akibat ulah Raka,
POV AbiSetelah aku tutup panggilan dari kantor, dengan cepat aku memasukkan potong demi potong roti lalu menutupnya dengan segelas susu hangat. Kemudian aku beranjak dari tempat duduk."Tunggu, aku belum selesai, buru-buru sekali!" kata Bella yang belum menghabiskan sarapannya pun terlihat kesal."Kamu berangkat sama, Mang Usman hari ini." "Mang Usman, Mang!" teriakku memanggil dengan tidak sabar."Uhuk uhuk! Kamu mau ke mana? Aku bisa pesan taksi," kata Bella memegang lenganku menghentikan aku memanggil Mang Usman."Ada hal penting, Bell. Nggak bisa, setelah kejadian di pasar tadi kamu harus bersama keluarga kalau keluar!" putusku, aku tak mau Adip melihat Bella. Jika kami berangkat bersama waktu sungguh masih sangat pagi sehingga, tidak akan menutup kemungkinan mereka akan bertemu dan menimbulkan keributan lagi. "Iya, Mas." Mang Usman berlari menuju meja makan."Mang, nanti antar istri saya ke kantor." "O, siap, Mas. Tapi cuma ada mobil bak, Mas. Gimana?" tanya Mang Usman menggar
"Ha ha ha, kesambet setan mana, Dip? Kamu pikir aku percaya?" Sejak aku mengalami depresi dan pihak pemegang saham tidak menerimaku di sana. Sejak itu aku sudah tak ada keinginan atau niat untuk bergabung dengan Hayuda kembali."Ayo lah, Bi. Kamu satu-satunya harapan kami. Mereka pun menginginkan kamu kembali," kata Adip dengan wajah penuh harap. Mereka sudah menyampaikan keinginan untuk aku kembali ke sana sejak melihat Bimantara yang semakin berkembang setelah aku mengalami depresi melalui Papa. Namun, aku tetap pada pendirian untuk tidak bergabung. Untuk apa harus menjadi orang yang dicari saat hanya dibutuhkan dan dibuang saat sudah tidak dibutuhkan, sedekah tenaga lebih terhormat dari pada harus seperti itu. Mendapat gaji namun tidak dihargai."Aku tidak berminat." "Kamu membiarkan Hayuda hancur hanya karena keegoisanku, Bi?" sentak Adip penuh amarah. Beranjak dari sofa memunggungiku."Apa yang akan kamu lakukan kalau Hayuda jatuh ke tanganku, Dip?" Aku ingin tahu jawaban apa yan
POV ABIBegitu kagetnya aku saat aku dan Adip masih berdiskusi panas, justru Bella masuk padahal mobil sudah aku sembunyikan di halaman belakang majalah agar Bella tidak melihatnya saat tiba di kantor. Lagi-lagi aku merasa kecolongan."Sayang? Kamu ngapain ke sini?" tanyaku mendekati. "Ini, ngapain juga bawa-bawa kopi, OB pada ke mana emangnya?" sambungku melihat nampan berisi dia cangkir kopi di tangan Bella."Aku kira Mama yang datang dan akan membuatmu menangis lagi, kenapa tidak mengatakannya padaku?" tanyanya penuh perhatian. "Manisnya," kataku membingkai wajah manis itu dengan kedua tanganku, gemas sekali aku mendengar perhatiannya. Sengaja juga aku memperlihatkan kemesraan agar Adip tau diri dan tidak lagi mengharapkan Bella."Jangan bermesraan di hadapanku. Kalian membuat dadaku sesak seolah mau mati." Adip berkata dengan nada kesal."Mati, mati aja. Nggak berguna juga!" "Lagi-lagi durhaka lu, Bi. Ha ha ha, istri dijadikan OB," celetuk Adip mengejekku. Kuambil nampan dari ta
[Baik, Pak.] Dengan cepat Meta membalas.Pilihan memang sulit, namun harus tetap dijalani. Mana mungkin aku mau menyerahkan proyek pada Hayuda seperti keinginan Adip yang artinya akan bergabung dengan mereka lagi, Adip harus kerja keras sendiri jika ingin kembali berjaya. Aku tak mau lagi memberinya keenakan tanpa kerja keras. Enak di dia terus, kapan sadar dan insyaf jika terus saja bersenang-senang tanpa mengalami sengsara. Aku tidak b*doh dan tidak mau percaya begitu saja padanya.[Pergi ke Hayuda. Bantu Pradipta mengurus proyek yang belum rampung sebaik mungkin. Agar Hayuda mendapat promosi lagi. Jangan lembek. Bimbing dengan tegas dan cara militer. Jangan memberinya celah untuk ongkang-ongkang kaki dan bermalas-malasan. Jangan takut padanya, Adip ada di bawah pengawasan dan kendali saya sepenuhnya!]Send. POV BellaParfum mahal yang kuambil dari laci Abi nampaknya sangat berguna. Wangi semerbaknya sampai memenuhi ruangan divisi baru ini."Mohon bimbingan untuk saya, Salsa Bella
Kulempar senyum pada suamiku yang sudah seperti singa itu lalu dengan cepat aku membalikkan badan. "Mbak, kaki saya kram. Tolong antar ke meja, ya!" pintaku pada pelayan kantin. Di kantin ini memang tidak menyediakan jasa atau pelayan untuk mengantar pesanan sehingga kami harus menunggu hingga pesanan datang duku baru duduk."Iya, Mbak.""Eh, Bell," panggil Yusak, aku tak menghiraukan dan terus berlalu menuju meja Mbak Mei."Masyaallah, Bell, ngos-ngosan kayak di kejar hantu aja," kata Mbak Mei begitu aku duduk di sebelahnya."Singa, lebih berbahaya dari hantu!" jawabku seraya mengatur napas agar lebih relax."Singa, singa. Sopan lah sedikit, ada bos di sana, jaga image," sambung Mbak Selly dengan ekor mata yang diarahkan pada Abi."Bos udah laku juga, ngapain jaga image!" ceplosku tanpa sadar."Masih calon, ibarat pepatah, sebelum janur kuning melengkung. Abimana milik umum.""Milik umum apa? Apa maksudnya?" tanya Abi di belakang kami, ya ini suara Abi. Kami pun menoleh dan berdiri s
"Kalian silahkan makan duluan," ucap Abi pada kami. Aku pun segera menikmati makan siang sebelum Yusak datang dan membuatku sulit untuk menelan makan siangku jika Abi dan Yusak berada dalam satu meja."Pelan, Sayang, masih banyak waktu dan kejutan untukmu!" bisik Abi mengancamku. Sepertinya makan siang ini akan terasa lebih alot karena tertekan."Diamlah, Bi. Jangan macam-macam," jawabku.Kuhentikan suapan terakhir saat aku merasa ada yang memegang tangan yang kuletakkan di pangkuan. Abi yang menyandarkan bahunya santai di bahu kursi, dengan santai pula memainkan tangannya di bawah sana, menggenggam dan mengusap tanganku tanpa beban. Terlihat wajah menjengkelkan dengan senyum miring menghiasi ujung bibirnya yang masih membiru itu. Bak pemain yang sudah lihai memainkan peran.Kucoba menarik tanganku darinya, namun ia justru menggenggam semakin kuat. "Lepas, Bi!" lirihku."Apa, Bell?" tanya Mbak Selly. Aku pun menghentikan pemberontakanku."Nggak kok, Mbak. Ini makanku sudah habis. Kala
POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be
POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan
POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a
"Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket
"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta