POV AbiWanita oh wanita, jika ada pepatah yang mengatakan bahwa wanita tidak pernah salah maka itulah yang aku alami saat ini. Bella bersi keras akan menginap di rumah sakit malam ini. Selain itu, aku pun merasa saat ini Bella sudah membalikkan keadaan. Jika dulu dia begitu menolak saat aku mencampuri urusan pekerjaannya, berbeda dengan sekarang. Dia justru memintaku melakukan apa saja agar bisa libur. Semua daya dan upaya sudah aku lakukan untuk membujuk dan menolak itu. Namun, bukan Bella namanya jika tidak bisa membuatku menuruti semua maunya. Bella adalah prioritasku dan itu mutlak, tidak bisa diganggu gugat. Aku pun harus mencari alasan untuk beberapa hari ke depan. Bukan mengalah atau kalah, tapi aku sedang menjaga kewarasan wanitaku. Apa yang dilakukan Bella tadi pagi, yang nekat menabrakkan dirinya pada kendaraan yang melaju, membuatku tidak bisa menolak permintaannya kali ini. Keinginannya merawat Papa sangat besar. Aku tak mau Bella berbuat lebih nekat lagi kalau aku sampa
POV BellaSenang rasanya saat Abi menuruti keinginanku. Ya, walau hanya diberi waktu 3 hari aku tak mengapa. Aku bisa menyuruh Asri setelah ini, tapi semoga saja dalam waktu 3 hari, Papa sudah diperbolehkan untuk pulang.Tak hanya menuruti, ia pun bersedia untuk ikut tidur di rumah sakit malam ini. Meski aku tidak memaksa, namun ia tetap bersi keras menemani.Dari raut wajah dan perilakunya sudah jelas ia belum bisa memaafkan Papa. Ia masih begitu kaku. Bahkan, menatap Papa pun ia masih enggan. Namun, tidak menjadi masalah bagiku. Aku yakin, dengan terus bersama, sedikit demi sedikit hubungan mereka bisa kembali seperti dulu.Namun, yang membuatku khawatir adalah sudah hampir 2 jam Abi pergi untuk mencari kopi dan sampai belum juga ia kembali. Bahkan, pesanku yang aku kirim tidak dibalas olehnya. "Pa, boleh Bella menyusul Abi? Sudah 2 jam dia belum kembali. Bella khawatir," pamitku pada Papa sedikit tak enak, namun apa boleh buat. Abi juga penting bagiku."Kamu sudah tidak sabar rup
POV BellaKeadaan Papa semakin membaik dari hari ke hari. Hingga tiga hari aku di sini, keadaanya sudah stabil, dari kadar gula hingga tekanan darah. Aku pun bisa membawanya ke villa tepat saat waktu 3 hari untukku habis dan aku harus kembali ke majalah besok pagi. Dengan adanya Asri di sini memang sangat membantuku, dengan begini aku bisa meninggalkan Papa tanpa rasa khawatir saat aku harus bekerja. Sedangkan Abi? Dia masih setia dengan egonya yang tidak mau memaafkan Papa. Sepertinya aku harus lebih berusaha untuk meluluhkan Abi. Masalah tas juga dibuat panjang lebar, hingga detik ini pun dia masih saja mencari barang-barangku yang berhubungan dengan Kak Raka. Aneh, tapi itu lah Abi. Nyatanya sifat dingin yang ia miliki itu beda tipis dengan tidak tahu malu."Masuk, Pa!" seruku membawa Papa turun dari taksi sore ini."Bella, apa Abi tidak akan marah?" tanya Papa menahan langkah kami. Meski berkali-kali beliau bertanya dan jawabannya tetap sama, namun Papa terus saja bertanya dna
"Taukah kamu, Abi? Betapa besar kasih sayang Papa kamu terhadapmu? Besar ... sangat besar! Dan tau kah kamu bahwa kematian itu tidak bisa kita minta atau kita tolak? Belajar apa kamu di pesantren? Kalau masalah seperti ini saja kamu tidak paham? Apa gunanya? Kamu memang suamiku, tapi ingat! Darah orang yang kamu anggap hina dan rendah itu mengalir di tubuhmu? Jika kamu bisa sekejam ini terhadapnya hanya karena kesalahan yang aku yakin, jauh di dalam hati kamu pun kamu tahu bahwa itu tidak benar, lantas akan seperti apa perlakuanmu padaku yang sejatinya bukan siapa-siapa kamu ini jika aku bersalah sedikit saja nanti?!" Hening."Pikirkan baik-baik perkataanku, sebelum kamu menyesal." Kutinggalkan Abi dan keluar membawa serta koper yang tadinya aku hanya ingin menggunakannya untuk menggertak namun nyatanya semua menjadi kenyataan."Bell, kenapa kamu jadi membawa-bawa hubungan kita? Dan kamu mau ke mana?" Abi mengikutiku ke luar kamar, merampas koper yang aku bawa."Kita hanya akan ke
Senyumku memudar, kala kulihat Abi berdiri di depan pintu saat aku dan Kak Raka masih berdebat panjang. Tidak seperti biasanya yang begitu melihatku dengan Kak Raka langsung tersulut emosi. Untuk kali ini dia hanya diam dan melenggang pergi. Melihatnya seperti itu aku pun merasa kecewa. "Jangan mencampuri urusanku, Kak. Lebih baik urus urusan Kakak sendiri. Dan tolong, jangan membocorkan hal ini pada yang lain. Karena aku tidak akan memaafkan Kakak kalau sampai hal itu terjadi." Kutinggalkan ruangan yang membuatku semakin panas ini dengan peringatan keras. Sebab, mengumumkan hubungan kami adalah hak kami, bukan Kak Raka."Bell, apa itu artinya kamu tidak diakui? Hanya dijadikan simpanan?" ucapnya mencekal tanganku.Plak!Dalam dua hari aku harus menampar kedua laki-laki terdekatku. Semalam Abi dan sekarang Kak Raka. "Jaga bicara Kakak. Itu tidak benar dan berapa kali aku bilang? Jangan coba memegang tangan ini. Jika ada yang memiliki tangan ini seperti yang pernah aku katakan, dia
Aku berbalik meninggalkan ruangan yang tadinya begitu ingin aku datangi. Namun, sekarang sebaliknya, sudah tak tahan aku berada di sana dan ingin segera meninggalkannya."Abimana! Awas kamu, Bi. Beraninya membawa dendam di kantor? Akan aku tunjukkan kemampuanku!" gumamku, tangan ini mengepal sampai kuku ini memutih, berjalan dengan langkah cepat menuju ruanganku.Kuhempaskan tubuh di kursi, kuambil squishy yang kusimpan di dalam laci kemudian aku meremas dan membayangkan itu adalah Abimana"Jahat kamu, Abimana ... keterlaluan!" gumamku seraya meremas squishy sekuat mungkin. Aku rasa itu akan membantu menumpahkan emosiku."Woy, main apa tuh? Udah sebesar ini masih main squishy." Mbak Mei datang menepuk pundakku. Aku tak menoleh dan tetap meremasnya."Ini orang yang aku remas, bejek-bejek ni kalau perlu." jawabku melempar squishy bentuk cup cake itu ke meja setelah berhasil merobeknya."Penyok, dong? Ha ha ha," canda Mbak Mei."Pecel lele!" imbuhku."Besok aku pindah divisi, pemasaran.
POV AbimanaPagi ini, saat aku terbangun dan ke luar dari kamar. Kulihat makanan sudah tertata di meja makan dengan rapi. Berbagai macam menu tersedia di sana, dari roti baka, sandwich, hingga bubur ayam kegemaranku. Kulihat kamar Bella masih tertutup. Aku pun memutuskan untuk menunggu di meja makan. Aku terlambat bangun setelah semalaman merenung. Tamparan dari Bella membuatku terus berpikir. Ragaku ingin memaafkan, tapi hatiku masih enggan. Apa egoku terlalu tinggi? Sampai aku harus bertengkar dengan istriku yang hanya tidak mau kalau suaminya sampai berdosa? Pukul 3 dini hari aku pun mengetuk kamar Bella, namun tidak ada jawaban atau tanda-tanda Bella akan membuka pintu. Mungkin dia sudah tidur. Berbeda denganku, aku bahkan tidak bisa tidur dengan nyenyak tanpa Bella ada di sisiku. Niatku untuk berbicara dari hati ke hati pun kandas saat kamar Bella dalam keadaan terkunci rapat dan aku tidak bisa masuk ke dalam. Kunci serep yang aku cari pun tak kunjung aku temukan. Aku tak tahu
Kubuka pintu, aku terkejut saat berbalik dan semua kepala divisi sudah menunggu duduk di sofa. Masalah membuatku lupa bahwa aku sendiri yang mengadakan rapat tertutup hari ini. "Astaga," lirihku, mengatur napas agar emosi tidak lagi terlihat di wajahku. Mereka pun berdiri sebagai tanda hormat padaku. "Pagi," sapaku tersenyum ramah, kulupakan sejenak masalah rumah tangga dan beralih pada pekerjaan."Silahkan duduk!" seruku. Berasama-sama kami pun membahas masalah pemasaran untuk bulan maret. Membahas bulan maret ingatanku pun kembali pada Bella, rasa marah bercampur kecewa membawaku pada keputusan melimpahkan seluruhnya pada Bella. Terlebih saat aku melihat wajah Bella yang terlihat masuk ke ruanganku. Kemarahanku yang aku tahan dalam dada ini pun semakin meradang.Adu argumen pun kembali terjadi. Karena buka Bella namanya jika tidak bisa beralasan untuk membela diri. Meski akhirnya menerima, namun Bella tampak marah dengan keputusan yang aku ambil kali ini.Setelahnya, aku pun berus
POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be
POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan
POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a
"Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket
"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta