Aku pun masuk, tak lupa kututup pintu, karena pembicaraan kami akan sangat serius, dan tidak boleh ada yang mendengar. Kudekati dan kututup koper tersebut sebelum semua barang berpindah ke sana. "Hentikan! Duduklah, aku ingin bicara pada istriku," ucapku lembut."Kau bahkan sudah tidak menganggapku istri dengan mengatakan urusanmu bukan urusanku," ucapnya sesenggukan sambil sesekali membersihkan air mata, menyingkirkan tanganku dari atas koper lalu membukanya kembali. Memasukkan kembali barang yang masih tersisa, bahkan aku melihat barangku ada di sana. Kemarahannya itu selalu membuatku justru ingin tertawa."Kamu marah, tapi kenapa parfum mahal hadiah dari luar negeri itu kamu bawa juga?!" candaku mencairkan suasana. "Hah? Mana? Ini? Nih, ambil nggak sengaja kebawa! Jangan berpikir aku mau mencuri dan menjualnya!" celetuk Bella memberikan parfum milikku di dada dengan kasar diikuti wajah cemberut, membuatku semakin tak sabar ingin menghujaninya dengan c*uman dan pelukan.Kuraih tan
POV BellaKemarahan pada sikap Abi yang menghabiskan kesabaran membuatku mengambil keputusan yang sangat aku sesali, yaitu pergi dari sini. Dengan menahan sesak aku mengemasi seluruh barang-barang yang aku anggap perlu untuk di bawa. Jujur, dalam hati aku berharap Abi berubah pikiran dan datang menemuiku. Namun, sudah hampir satu jam dia belum juga terlihat datang. Air mata yang sudah berdesakan pun akhirnya tak bisa kutahan lagi. Akankah semua harus berakhir seperti ini?Hatiku menghangat saat kudengar suara pintu di buka dan Abi datang dengan penampilan yang sudah rapi. Rupanya dia masih mandi tadi.Selanjutnya, Abi mengajakku untuk bicara lebih dalam. Hingga akhirnya kami menemukan titik temu. Namun, ketenanganku kembali terusik saat aku bertanya perihal memar dan luka di wajahnya, karena dia mengatakan bahwa itu adalah ulah Kaka Raka."Kamu ngapain emangnya?" tanyaku penasaran."Menidurimu," ceplos Abi tanpa berpikir. "Apa sih, Bi?!" Kukeluarkan P3K yang kebetulan menjadi salah s
"Nggak, Bell. Aku tidak akan memecat Raka selama dia tidak lagi berusaha untuk mendekatimu. Dari sikapnya, dia terlihat begitu melindungimu. Bagaimana mungkin aku memecat orang yang begitu baik pada istriku dan berniat melindungi istriku sendiri? Kecuali kalau kamu ...." Kuletakkan jari telunjuk di bibirnya. Aku tau dia akan mengatakan kalau aku akan menanggapi perasaannya."Nggak, Bi, bukankah sudah kubilang kalau Salsa Bella hanya milik Abimana, dan sebaliknya?""Tapi, Bell, yang membuatku tidak suka adalah kata-katanya yang mengatakan bahwa aku hanya menjadikan kamu simpanan. Ini gara-gara kamu yang ngotot menyelesaikan edisi maret.""Sudah ... jangan dipikirkan, aku sudah menamparnya karena kata-katanya itu!""O, ya?" "Hem, sama seperti aku menamparmu semalam."Ia tersenyum sangat manis, menurunkan tanganku lalu mengecupnya singkat. "Terimakasih sudah mau menjadi istri Abimana."Abimana adalah pria pilihan Papa. Semoga hatinya seluas samudera yang senantiasa memaafkan, semoga
"Apa maksudmu, Bell? Siapa?" tanya Abi tak sabar."Itu, Ema, anak dari divisi pemasaran. Dan kamu malah menugaskan aku di sana?" keluhku kecewa."Apa? Ema? Ema yang mana?" "Yang suka merendahkan aku itu, Bi. Yang bilang kemampuanku itu dibawah, dia taruhan dengan temannya untuk edisi maret. Merasa terancam dan nggak mau kehilangan uang, dia pun melakukan itu agar aku kapok terus keluar dari sana," jelasku persis apa yang aku sudah dengar tanpa menambah atau menguranginya."Barani-beraninya bermain kotor di tempatku?" kata Abi dengan rahang mengeras. "Kamu mau Papa ajarin pemasaran?" tanya Papa tiba-tiba."Beneran, Pa?" tanyaku tak percaya. Papa mengangguk."Nggak, nggak usah! Nggak perlu!" sela Abi."Loh, kenapa?" protesku."Karena aku sendiri yang akan mengambil alih tugas kamu secara diam-diam. Kamu cukup bergabung dengan mereka dan mencari bukti, kita beri pelajaran orang-orang yang tidak bertanggung jawab." Dahiku mengerut saat mendengar perkataan Abi, mengambil alih tugas. Apa
POV AbimanaPenting bagiku mengetahui perihal Hayuda Company untuk mengambil langkah selanjutnya, terlebih setelah Meta mengatakan, bahwa Papa mundur dari sana. Kuputuskan untuk mengetahuinya malam ini juga karena pihak Batam sudah mendesak kami. Ya, seperti yang diketahui. Bahwa yang bertandatangan di sana adalah Papa, aku, dan pihak Tari. Sedangkan aku memutuskan mundur karena masalah dengan Papa dan Mama kemarin. Untuk pihak Tari, Batam memutuskan kontrak dengan mereka secara sepihak karena kasus Tari. Jika Papa juga memutusakan untuk mundur, jelas pihak Hayuda akan menanggung penalti yang cukup besar seperti apa yang sudah tertera dalam perjanjian kontrak yang sudah kami sepakati. Jika sampai itu terjadi lalu apa yang akan terjadi pada Hayuda, haruskah aku mengambil alih proyek sebagai mana apa yang dikatakan oleh Meta?Setelah Bella pergi, meja makan ini pun hanya meninggalkan aku dan Papa yang duduk berseberangan. Ada rasa tak biasa dan canggung menyelimuti kami. Aku Berdehem
"Sini, Mas. Duduk!" kata Bella menepuk sisi sebelahnya. Dahiku semakin mengerut kala mendengar Bella benar-benar memanggilku dengan sebutan, Mas. Ada rasa panas yang menjalar di sekujur tubuhku kala melihat tubuh Bella untuk kali pertama mengenakan pakaian seperti itu. Tubuh indah, itu terlihat begitu mulus, s*ksi, dan menggoda. Membuat darah lelakiku berdesir hebat. "Asatag!" Segera kuhapus segala pikiran nakal yang berkeliaran di kepalaku lalu mendekatinya saat kulirik korden yang naik turun karena terpaan angin. Yang menjadi pertanyaanku adalah dari mana Bella mendapat pakaian seperti itu. Aku bahkan tidak pernah tahu."Apaan ini, Bell? Kita beli pakaian muslim kan, kemarin? Kenapa ada baju jahanam kayak gini?" tanyaku mendekati sambil menahan gejolak dalam dada. Terakhir kali kami keluar untuk belanja adalah saat membeli pakaian muslim yang pernah aku janjikan sewaktu di Jakarta dulu dan sekarang Bella pun sudah mulai mengenakannya. Karena aku sendiri yang mengantar dan yaki
POV BellaMalam memalukan akibat lingerie akhirnya berakhir indah. Tanpa lingerie pun semua berjalan lancar, cinta tak memerlukan sebuah penunjang, karena cinta akan saling mengagumi dan saling melengkapi. Lingerie hanya penunjang sedangkan hati adalah yang utama.Saat ini netraku tak bisa beralih dari laki-laki dengan wajah awet muda yang sedang tertidur pulas di sebelahku setelah peristiwa semalam, merajut mimpi bersama, dengan doa yang senantiasa tertuang sebagai harapan agar secepatnya mendapatkan momongan. Tak terasa kedua sudut bibirku pun tertarik sempurna. Melihat wajah polos menggemaskan yang semakin hari semakin terlihat muda meski begitu usianya semakin bertambah. Namun, senyumku memudar kala teringat pertanyaan Abi yang terakhir mengenai kebimbangan hatinya. Ya, aku tahu saat ini dia sedang mengalami kegalauan serius, hanya saja kali ini ia tak menampakkannya padaku karena masalah yang ia hadapi adalah masalah perusahaan yang aku tidak begitu paham dan bisa banyak memba
POV AbiFlashback OnKata-kata Bella membuatku berpikir keras. Dia benar juga, aku seharusnya menemaninya, kan? Katanya cinta? "Ah, gimana, sih, Abi!" Aku pun melepas seat belt dan berniat mengikuti Bella. Namun, tanganku terhenti saat k lihat keramaian, dan teriakan. Rupanya seorang sedang berlari ke arahku dan dikejar beberapa orang dengan teriakan copet. Dengan cepat aku membuka pintu kala copet itu sampai di hadapanku. Mengakibatkan ia terjatuh ditanah. "Aduh," teriaknya kesakitan.Aku pun turun. " Sini, dompetnya!" pintaku baik-baik. "Ha ha ha, enak aja, tangkap, Bro!" ia pun berdiri lalu melempar dompet tersebut pada temannya yang lain. "Nantang!" Emosiku terusik. Brugh! Kujegal kaki saat ia hendak berlari untuk pergi yang mengakibatkan ia terjatuh lagi. Setelahnya, kuambil balok dan kulempar pada temannya yang berhasil membawa dompet itu lari."Mau jadi preman?" Kupukul mereka dengan balok kayu. Aku tak mau beradu kekuatan, mukaku yang masih terasa ngilu akibat ulah Raka,
POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be
POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan
POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a
"Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket
"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta