"Aku mohon Wisnu tolong biarkan aku bertemu dengan anak-anakku."
“Maaf bu, Fando hilang,” ucap Mila takut sekaligus cemas. Matanya awas mengamati area sekitar, seraya bicara dengan Sari melalui sambungan telepon, siapa tahu ia melihat Fando. Mila si art tergugu menangis terisak-isak pilu. Ia sangat khawatir dengan keadaan Fando, makanya dia terus menangis. Apa lagi sekarang, Fando itu sangat dekat dengan dirinya, bahkan saking dekatnya, tidurpun sekarang harus ia temani. Ia pun sama, terlanjur sayang sama Fando. Gemas dan lucu. Mila merasa bersalah pada majikannya yang begitu baik padanya. Ia ingat bagaimana dulu bu Sari itu mau membantunya saat ia tengah terpuruk dan butuh bantuan. Dengan mudah tanpa curiga, Bu Sari memberinya pekerjaan, akhirnya ia bertahan sampai 3 tahun lebih. Apa ini balasan yang harus ia berikan pada orang yang telah berjasa padanya. Dengan kelalaiannya, menyebabkan Fa
Wisnu kembali menatap wajah dokter Anggita yang belum juga siuman. Hampir 4 jam ia menunggu. ‘Semoga tidak terjadi sesuatu yang parah pada dokter Anggita’ gumam Wisnu dalam hati. Ia sangat menyesal, telah membuat dokter Anggita celaka.Sesekali Wisnu melirik jam di pergelangan tangan, jam menunjukkan pukul 06.00 Sore. Seharusnya jam segini, Wisnu berada di rumah berkumpul dengan keluarganya. Tapi apa daya, kecelakaan kecil karena ulahnya terpaksa dia masih berada di rumah sakit.Untung istrinya mengerti situasi dan keadaannya. Tidak marah dan kesal, karena perhatiannya lebih tertuju pada dokter Anggita, dibanding mencari Fando anaknya yang hilang tak tau rimbanya.Wisnu menarik napas perlahan-lahan dan menyugar rambutnya kasar. Sesekali ia melirik ke wajah dokter Anggita yang terbalut perban.Kala Wisnu menatap wajah dokter Anggita, teringat olehnya
Sari dan Wisnu baru saja selesai sholat subuh berjamaah. Keduanya tengah berdoa, meminta ampunan dan keberkahan dalam membina mahligai rumah tangga. Besar harapan mereka supaya menjadi keluarga sakinah mawaddah warohmah.“Aamiin,” bisik Sari sendu dengan linangan air mata. Kala ingat bagaimana dulu mantan suami menuduhnya selingkuh, bagaimana mertua dan adik ipar memperlakukannya. Meskipun sekarang mereka telah berubah menjadi baik. Tetap saja kenangan itu akan membekas selama hidupnya.Semoga pernikahannya yang sekarang membawa kebahagiaan untuk keluarga kecilnya. Inilah harapan terbesar dalam hidupnya, mengarungi riak gelombang yang penuh dengan ujian dan cobaan.Selesai berdoa, Wisnu menoleh ke belakang. Tampak olehnya mata Sari berkaca-kaca.“Dek, kok matanya berlinang, habis nangis.” Tanya Wisnu ser
Sari mulai menaburkan bawang merah dan bawang putih ke wajan dan mulai mengaduknya. Keringat dingin mulai bercucuran, rasa mual kembali menyerang, tapi lebih kuat dari tadi. Hoek... Hoek.. Tiba-tiba Sari berasa hendak muntah. Langsung saja Sari berlari ke kamar mandi, dan tak lama kemudian, ia memuntahkan cairan bening. Bau gosong mulai tercium oleh Wisnu, segera saja Wisnu menyusul Sari ke dapur. Tak lupa mengendong Fando di sebelah tangan kiri. Sesampainya di dapur, Wisnu tidak melihat keberadaan Sari. Ia segera mematikan kompor dan menyusul Sari yang tak berhenti muntah di kamar mandi. “Ma, kamu kenapa? Kok muntah-muntah. Mukamu pucat sekali.” Ucap Wisnu cemas. Tangan kanannya mengusap-ngusap punggung Sari dengan lembut. Hoek... Hoek... “Kayaknya masuk angin Pa, aneh sekali, tidak biasanya mama muntah karena mencium aroma bawang putih, apa lagi yang sedang di goreng.” Keluhnya lesu dengan sisa kepenatan mengeluarkan cairan b
Bismillahirrahmanirrahim.Satu jam kemudian, terdengar sirene mobil ambulance memasuki halaman rumah keluarga Bang Heru. Sepertinya jenazah pria korban kebakaran itu sudah sampai.Kami segera menyusul keluar. Tampak beberapa pria berpakaian putih membuka pintu mobil ambulance, lalu mengeluarkan peti jenazah. Mayat Bang Heru sudah tidak bisa dikenali lagi. Tubuhnya hangus terbakar, kata salah seorang yang mewakili pihak rumah sakit dan juga pihak kepolisian.Tidak ada yang bisa menduga, kecelakaan tragis itu menelan korban yang tidak sedikit. Termasuk Bang Heru. Semua korban hangus terbakar.Peti jenazah telah diletakkan di tengah rumah. Mama dan Dela tampak histeris dan terpukul menerima kenyataan itu. Kehilangan salah satu anggota keluarga, tentu saja membuat mereka berduka. Apa lagi Bang Heru sebagai tulang
“Sekarang Fania pasti sudah besar ya Pa. Kapan ya kita bisa bertemu dengannya. Mama merindukan dia Pa."Papa mengerti, jangan putus berdoa, keajaiban itu pasti ada. Semoga suatu hari nanti kita menemukan Fania.”“Aamiin.”“Oh Mama dan Papa ada di kamar, dicariin dari tadi.” Tiba-tiba Fando muncul dengan tas masih berada di punggungnya.“Kamu baru pulang Nak, kok sore sekali. Ini udah menjelang magrib lho.” Tanya sang Mama khawatir.“Maaf Ma, Pa, tadi ada latihan, besokkan mau tanding sama sekolah lain. Jadi harus persiapkan dengan serius.”“Besok mau tanding? Terus sekarang latihan tanpa istirahat juga tidak bisa dibenarkan Fan, kalian bisa kecape’an. Latihan harus dilakukan jauh-jauh hari.”
Jam istirahat baru saja berdentang. Siswa siswi SMA Harapan Bangsa berhamburan keluar kelas. Tak terkecuali Fando. “Yuk Aksan, Fando, kita ke kantin.” Ajak Kamil antusias seraya mengelus pelan perutnya. “Kalian duluan aja, nanti aku nyusul.” Sahut Fando tetap diam bergeming dibangkunya. “Ok, tak tunggu di sana, tempat biasa.” Sahut Aksan dan Kamil berbarengan seraya meninggalkan kelas dengan riang dan gembira. Fando pun menyusul tak lama kemudian. Sebelum keluar kelas, Fando masih sempat melirik bangku Shanum. Shanum tengah mengeluarkan bekal dari tasnya. Cewek itu asyik sendiri, tidak perduli dengan orang di sekit
Fando tidak akan bertingkah seperti cewek yang keganjenan padaumumnya, karena ia tahu bagaimana rasanya ditolak.Baginya memperhatikan Shanum diam-diam, adalah cara terbaik yang ia punya. Bak sebuah magnet, ia akan buat Shanum meliriknya. Tidak akan sulit baginya, menarik perhatian Shanum. Bukan dengan cara seperti gaya cewek menarik perhatiannya pada umumnya. Justru dengan sikap dingin Shanum itu membuatnya terpacu untuk menaklukkan hati gadis berwajah datar itu.Tak lama kemudian Fando sampai di kelasnya. Setelah meletakkan tas, Fando mendekati Kamil dan Aksan sahabat karibnya di bangku belakang. Sementara ia sendiri lebih seneng duduk dibarisan depan. Tidak ada yang menghalangi pandangan, alasan yang selalu ia berikan jika kedua temannya meminta penjelasan, kenapa ia tidak mau duduk di belakang.“Heh Fan, tumben kamu datang pagi, aneh tidak biasanya.” Tanya Kamil mulai mencium gelagat yang tidak baik.Bukan tidak ada alasan Fando data