Mataku mengerjap, aku terbangun di atas sofa yang ada di laboratorium kecil. Pemandangan pertama yang aku lihat adalah profesor Javier yang sedang sibuk melakukan pekerjaannya. Kepalaku nyeri bukan main, aku tidak mampu mengingat apa yang terjadi denganku.
Aku memperhatikan tempat itu lampunya sedikit redup. Lantainya pun kotor seperti tempat yang jarang sekali dipakai. Atap-atap mulai berlubang di sana-sini dan juga rapuh.
“Tempat apa ini prof?” gumam aku pelan.
aku beranjak berdiri dengan langkah gemetar. Di ambang pintu, Mario menoleh ke arahku. Dengan cepat ia beranjak mendekat ke arahku."Kau sudah sadar Akira!?" kata profesor.
"Biar aku bantu,” tawar Mario.
Aku mengulurkan tangan karena tubuhku sedikit sulit digerakan.Mario memapahku ke meja makan kemudian duduk berhadapan. Hidangan di atas meja mengeluarkan aroma yang membuat aku lapar. Aku menelan ludah sendiri, memegangi perutku yang bergemuruh. Memang sudah be
Malam yang kutunggu telah tiba. Aku berdiri tegap layaknya seseorang yang sedang menyiapkan dirinya untuk masuk ke dalam ruang kesunyian.Pukul 21.00. Waktu dimana hampir separuh manusia mulai tertidur. Termasuk aku. Tapi, aku mempunyai sebuah alasan tersendiri kenapa aku begitu gugup untuk tidur.Ketika angin berhembus kencang, aku melihat pohon-pohon yang bergoyang di hadapanku. Pasti akan terasa melelahkan bagi dedaunan yang melekat pada cabang pohon rapuh.Seperti cabang yang berusaha menggenggam daun dengan erat. Semuanya sia-sia kala angin hadir dan membawanya pergi tanpa arah.Tiba-tiba saja terdengar suara bisikan, aku mendengarnya beberapa kali, dari dalam hutan. Entah apa itu? tapi tanpa sadar aku melangkahkan kaki ke dalam sana. Aku mencari sumber suara tersebut.Ada sebuah sinar di ujung sebelah barat, menyita perhatianku. Sinar putih yang semula kecil, lalu bermetamorfosis menjadi besar lalu membesar hingga mega giga besar.Sementara
Hari ini sudah datang, hari yang menentukan segalanya.Sesuatu akan berakhir hari ini, entah itu aku, kami, atau pun mereka.Ini adalah saat-saat terakhir untuk kita semua, kematian adalah takdir yang terpampang jelas di hadapan kami.Profesor Javier sudah menyatukan kristal dengan Arloji milikku dan Mario. Tapi kami belum tahu kekuatan apa yang akan dihasilkan oleh benda yang kami pakai sekarang ini.Kami berdua berdiri di bawah gempuran para musuh, robot yang kami lawan. Di sebuah kota yang tadinya terlihat damai kini menjadi ladang pembantaian. Saat ini, tengah terjadi sebuah perang penentuan. Pasukan musuh yang terkenal akan kebarbaran dan kekejaman mereka yang tak kenal ampun, berusaha menghancurkan yang ada di tempat itu, dimana aku berusaha sekuat tenaga untuk mengalahkan mereka satu persatu.Sedari tadi aku tidak melihat profesor Azura yang sangat ingin kubunuh jika bertemu, bahkan aku belum tahu keberadaan kekasihku Belinda ada dimana?
Aku mengenali sosok yang baru saja datang dihadapan kami saat ini, dia adalah wanita pemanah yang pernah aku temui. Melihatnya aku langsung bersiaga, karena aku tahu dia dari pihak musuh. Mungkin saja dia akan melakukan serangan secara tiba-tiba.Wanita itu mendengus ketika melihat reaksi sigapku, "Tenang agen Akira, kau tidak perlu khawatir dengan kedatanganku." ujar wanita itu."Siapa dia Akira!?" tanya Mario."Dia musuh yang pernah aku hadapi, berhati-hatilah kalian!" perintah aku."Aku datang untuk menikmati pertempuran ini, tapi tidak untuk melawan kalian." ujarnya."Apa maksudmu!?" tanyaku."Namaku Lyara, sekarang aku akan membantu kalian." berseru dia membuat aku tersentak dengan ucapannya itu, sekarang dia malah berpihak kepada kami. "Aku akan urus sisanya, aku harap kau bisa mengalahkan naga itu Akira!" lanjutnya sambil berbalik badan lalu menyerang para robot dan monster yang masih tersisa.Sementara itu sang naga semakin me
Detik demi detik terus berlalu. Mengiringi tiap desah napas yang kuhirup dan kuhembuskan.Waktu terus merangkak. Tanpa terasa bilangan hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Dan di setiap bulan yang tergenapi dan terganti. Sudah 2 tahun sepeninggalan sahabatku Mario yang telah pergi menyusul orang-orang yang kusayangi pergi ke surga, sekarang aku hidup berbahagia bersama Belinda. Aku pun menikahinya dan memiliki satu orang anak laki-laki yang begitu lucu, namanya Aero.Dan juga berkat perperangan itu aku bisa menyelamatkan ibuku, senang rasanya bisa berkumpul lagi. Sayangnya keluarga kami tidak utuh. Aku sangat berterimakasih sekali dengan sahabatku dan profesor Javier, sekarang hidupku menjadi membaik. Walaupun terkadang batin ini selalu merasa ada yang kurang.Hidup memberi banyak pengalaman..Pengalaman yang paling tidak bisa dilupakan bahkan diterima sekalipun adalah pengalaman ketika harus menerima kenyataan yang sebenarnya dan melewati itu dengan
“Kau berubah banyak sejak Aero lahir. Lebih sabar. Lebih tenang. Terkadang, aku berpikir, kau jauh lebih siap menerima kepergian Mario dibandingkan aku,” aku berkata terus terang. Memikirkan, bagaimana perasaan terempas, kesedihan, dan tak berdaya, datang tak terelakkan dalam hari-hariku.“Benarkah?” istriku tersenyum. “Terkadang isi hatiku pun berontak. Namun, aku ingat suatu hari saat aku merasa begitu sedih melihat wajahnya. Ia menghapus air mataku, lalu berkata ia mencintaiku dan bahagia menjadi istriku. Sejak itu, aku bertekad tidak akan lagi muram dan berpikir negatif akan hidup ini.”“Mario adalah anugerah. Ia guru kehidupan kita,” aku bergumam.Mata istriku bercahaya. “Beberapa tahun yang penuh cinta. Ia hadir menguatkan kita. Aku harap, ia melihat kita makan malam berdua di sini.”Aku termenung menatap piring kosong di hadapanku, lalu beralih pada wajah istriku. “Cekungan itu belum ada
"Sebenarnya apa yang kau lakukan di tempat ini Lyara!?" tanyaku. Lyara bergidik, tidak mungkin rasanya bila dia datang untuk menemuiku tanpa sebab. "Jika kau ingin tahu, ikutlah denganku sebentar!" ajak Lyara. "Kemana!? apakah aku bisa mempercayaimu." tanyaku. "Kau khawatir denganku, hal ini akan membuatmu tertarik." ucap Lyara. "Baiklah kalau begitu, tapi jika kau macam-macam aku akan membunuhmu!" geretak aku. Lyara hanya mengangguk, lalu ia berjalan. Aku pun melanjutkan perjalananku. Hanya saja kini aku telah ditemani oleh seorang wanita petarung berzirah yang masih belum aku ketahui, ia akan membawaku kemana. Kami terus berjalan menyusuri lembah terjal dipenuhi bebatuan yang kapan saja dapat runtuh menimpah atau menyeret kami ke dasar jurang yang hampir tak dapat terlihat di mana ujungnya itu. Aku berjalan di belakang sambil terus memperhatikan sekeliling. “Sebenarnya berada di tempat macam apa aku ini?” Tiba-tiba sebuah seruan membuyarkan
Langkahku ringan, nyaris melayang di atas tanah. Bohlam di sisi jalan berkedip seolah menyapa saat kulewati. Hari ini semakin sepi dan dingin, tampak dari butir salju yang makin menggunung menutupi jalanan. Aku tidak bisa mengabaikannya ketika Lyara menceritakan semua kejadian yang terjadi pada tempat tinggalnya, pikiran ini tidak bisa diajak kompromi untuk berhenti berpikir sebentar saja. Setelah beberapa saat aku sampai dirumah, ternyata disana sudah ada profesor Javier yang datang untuk berkunjung. "Aku pulang!!" berseru aku. "Akira... sudah lama aku menunggumu." ucap profesor. "Prof, ada apa kau sampai datang kesini!?" tanyaku. "Hanya untuk makan malam bersama keluarga lamaku.." kata profesor, aku pun duduk di dekatnya. "Profesor ingin melihat anak kita.." ucap istriku memotong pembicaraan. "Benarkah!?" "Ya sekalian, lagi pula aku sedang merasa bosan belakangan hari ini, tidak banyak yang kukerjakan." kata profesor.
Air yang sangat jernih. Banyak bebatuan yang menambah keindahan sungai itu. Bahkan dengan ikan-ikan kecil sekali pun. Setelah kami menghindari bola api yang menyerangku tadi, kami melanjutkan perjalanan dengan mengikuti aliran air menuju ke hulu, "Kenapa kau ingin menolongku sekarang!?" tanya Lyara. Aku mengernyitkan dahi ketika Lyara tiba-tiba bertanya seperti itu, "Apa kau sudah tidak butuh bantuanku sekarang? sebelumnya kau memaksaku untuk pergi mengikutimu, bukan?" ujar aku. "Bukan seperti itu, aku hanya ingin mengetahui alasanmu saja!?" lirih Lyara. "Tentu saja karena aku peduli dengan orang-orang di tempat tinggalmu. Sudalah jangan berpikir aneh-aneh, apa tujuan kita masih jauh!?" kataku dengan tegas. "Tidak sebentar lagi!" jawab Lyara. Sementara itu, gemuruh suara air terjun di hadapan kami terdengar merdu. Tapi saat itu tidak ada jalan lagi yang kulihat, seolah kami sudah menemui jalan buntu. "Mau kemana kita sekarang, disini sudah tid
Di depan kami samar-samar sudah terlihat gerbang barat sebuah desa, sesampainya di gerbang kami sangat terkejut, beberapa bagian benteng sudah rusak dan ada banyak bekas pertempuran. Terlihat penjaga gerbang berlari ke dalam desa, sepertinya akan memberitahu warga yang lain kalau kami akan datang. Kami segera berjalan menuju ke tengah desa. Alvar menuju ke papan pengumuman di dekat pohon beringin besar di tengah desa. Kami berjalan dengan ekspresi muka penuh tanda tanya. Sebenarnya apa yang terjadi?"Wahai saudara-saudaraku, apa yang terjadi di desa kalian ini?” tanya Alvar keras kepada para warga yang menyambut kedatangankami."Desa ini telah diserang banyak kawanan hewan buas. Kami sudah berusaha semampu kami untuk melawan dan mempertahankan desa ini, namum mereka sepertinya sudah sulit untuk bisa di kendalikan.” jawab seorang penjaga gerbang mewakili warga."Hewan-hewan itu bermata merah, mereka seperti diperintah oleh suatu kekuatan.”
Malam sedang membawaku berjalan di atas roda mimpi yang berputar kala tidur lelapku. Ya, berjalan, bukan berlari. Karena aku ingin menikmati setiap alunan khayalan yang melintas di depanku. Sekelilingku putih, sangat putih tak berujung. Aku terus berjalan dan berjalan hingga putih di sekitarku semakin lama semakin redup ditelan kegelapan. Kemudian aku mendengar bunyi “Tik..tok..tik..tok..” Seperti suara mesin jam yang sedang mengayun jarum detiknya.Aku juga melihat seperti ada sinar dari luar yang menembus ke dalam duniaku. Bola mataku bergerak ke kiri dan ke kanan. Tempat ini sepertinya tidak asing. Aku teliti lagi dan mencoba mengingat tempat ini. Lalu aku merasakan getaran pada pergelangan tanganku seiring dengan suara yang juga tidak asing."Akira! Kau dimana!?" ternyata itu suara profesor Javier, "Prof.." sebelum aku menjawab pertanyaannya tiba-tiba saja suara itu lenyap seketika.Jalanan sangat sepi, bulan masih tersenyum cerah. Lampu jalan masi
Tanganku meraba-raba sekitar. Basah. Perlahan, aku menyadari aroma yang menguar dari tempatku berada. Daun. Kelopak mataku terbuka. Pupil mataku mulai menyesuaikan diri dengan cahaya sang surya yang hampir kembali keperaduannya. Setelah terbuka sepenuhnya, aku terduduk dan menatap sekitar. Padang rumput. Aku bangkit berdiri dan mulai berjalan mengikuti ke mana pun kakiku melangkah. Sebulir peluh menetes melewati rahangku. Jantungku berpacu cepat, berlomba-lomba dengan adrenalin yang mengalir deras melalui pembuluh darahku. Tak sedetik pun aku memelankan langkah, berzig-zag di antara pepohonan, melompati akar-akar yang menyembul dari dalam tanah. Menjemput maut yang siap menyambut kematianku. Tubuhku telah bermandi keringat. Kali ini aku semakin merajalela. Menanggalkan alas kakiku, berlari dan terus berlari, tanpa mempedulikan cabang dan ranting pohon yang mengoyak pakaianku, menggores kulitku, dan meninggalkan rasa perih yang menusuk. Aku bisa saja berhenti. M
Aku percaya tiap kehidupan -baik yang dulu, sekarang, maupun di masa depan kelak- memiliki tujuannya masing-masing. Aku memalingkan wajahku ke arah seorang pemuda yang tegap berdiri di tengah-tengah cekungan bekas dari pertarungan.Berkali-kali aku menarik napas dengan cepat hingga menimbulkan suara dengusan yang bisa terdengar oleh orang yang ada di sekitarku.Angin sore menerpa permukaan kulit memberikan perasaan kering yang tak biasa. Perasaan kosong itu begitu menggangguku, "Akira jangan kau pikirkan apa yang di ucapkannya, dia hanya ingin membuatmu lupa akan dirimu sendiri.. Dia berusaha menyinggung tentang masa lalumu itu." ucap Alvar."Apa kau tidak percaya Akira!? raja kegelapan bisa menghidupkan orang yang telah mati untuk dijadikan pengikutnya. Dengan kata lain temanmu itu sudah di jadikan boneka oleh raja kegelapan untuk menjalani ke inginannya." ujar Cahir."Sudah cukup Cahir, kau terlalu banyak berbual. Apa tujuanmu datang kesini hanya untuk
Sementara itu saat ini suasana semakin mencekam, aku bisa melihat aura kemarahan antara Alvar dan Jugo. Mereka sudah siap menyerang dengan senjatanya masing-masing. "Sebaiknya kita selesaikan saja masalah ini, dari pada kau terus menghalangi perjalanan kami saat ini." tantang Alvar."Kalau itu maumu, aku akan menerimanya. Tapi hari ini aku hanya ingin bertarung dengan Akira, menurutku kau sangat mudah untuk di kalahkan. Sekarang aku ingin menjajal kekuatan dari seorang yang sudah lama di ramalkan untuk menyelamatkan negeri ini." ucap Jugo seakan merendahkan Alvar saat itu.Alvar pun tidak terima karena Jugo sudah meremehkannya saat itu, "Kau jangan banyak bicara Jugo. Kekuatanmu tak sebanding dengan Akira, bahkan kupastikan untuk mengalahkanku pun kau tidak akan sanggup sekarang!" geram Alvar."Aku tidak sepertimu Alvar, kekuatanku sudah terlatih selama ini. Negeri ini bahkan bergantung pada diriku!" ucap Jugo yang semakin congkak."Kalau begitu kau akan
Tetesan air langit kini tiada lagi berhamburan ke bumi. Sang raja cahaya kini mulai menampakkan dirinya yang tersipu malu, terhalang oleh mega. Di balik celah-celah batuan terjal kaki gunung melesat kilatan-kilatan cahaya teduh dan cerah. Menghapus warna hitam di langit saat ini. Pagi telah menyambutku.Suara napasku yang beradu cepat bersama langkah kakiku yang sedang berlari. Ku lewati pohon-pohon besar di depanku. Aku sudah tak peduli bagaimana penampilanku sekarang, yang aku pikirkan adalah bagaimana aku bisa sampai di tujuanku dengan cepat dan selamat."Sebuah danau!" ujar Alvar.Aku dan Alvar menghentikan langkah sementara ketika kami sampai di sebuah sungai di hadapan kami sekarang, kami yang kehausan karena sepanjang hari sudah berlari dan bertarung dengan beberapa musuh di perjalanan pun meminum air dari sungai tersebut, dan menyimpannya sedikit untuk bekal melanjutkan perjalanan."Kita akan beristirahat sebentar disini Alvar!" ujar aku.
Kami mencoba mengobati kekhawatiran dengan menggumamkan beberapa bait lagu tentang musim panen sambil berjalan diantara pohon-pohon ek yang besar dan berlumut. Matahari sudah terbenam sekitar satu jam yang lalu, kegelapan total mulai turun dan bulan muda belum terbit. Kami melihat sekeliling, memasang telinga untuk gerakan atau suara apapun yang tampak berbahaya.Kami tak mendengar apapun selain suara burung hantu dan jangkrik, kami juga tak melihat apapun selain deretan pepohonan dan semak belukar di sekitar tempat itu. kami kembali menggumamkan lagu sampai telinga ini mendengar suara kemeresak tepat di belakang.Secepat kilat kami berbalik, mencabut busur dan sedetik kemudian sebuah anak panah sudah terpasang. Mata kami mengarah tajam kearah belukar dibelakang, darah ini mengalir lebih cepat dalam nadinya, suara degup jantung terdengar bertalu-talu ditelinga sendiri.Perlahan kami mendekati sumber suara dan tiba-tiba belukar itu bergoyang. Kami terlonjak, mena
"Jarak antara tempat ini ke Haven sekitar dua bulan perjalanan jika ditempuh dengan berjalan kaki,” kata Alvar, “Kau tak akan sampai ke Haven tepat waktu tanpa kuda.”Temannya itu tertawa pahit sambil membalik kelinci panggang yang dijerangnya di atas api.“Beruntungnya aku karena kuda yang kubawa dari Yelow Gate terluka parah dan akhirnya mati ketika aku diserang segerombolan Dargo di dekat Creek Hollow,” Bale menggeram dan meludahkan kata Dargo seperti kutukan, “Aku sangat beruntung berhasil membantai sebagian besar dari mereka tanpa terluka. Kuku-kuku mereka seperti dilumuri racun.”Wajah Alvar menjadi semakin suram setelah mendengar cerita rekannya itu. Dargo memang suka membuat onar dan menyerang para pelancong yang melintas di dekat sarang mereka. Namun seingat Alvar jalan besar di Creek Hollow berjarak puluhan league dari Pegunungan Berbatu, dimana gua-gua Dargo berada."Bawalah kepingan uang ini bersamamu, mun
Ketika sudah semakin larut malam, kami memutuskan untuk berhenti dan beristirahat. Karena keadaan di sekitar tempat kami berpijak sekarang tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan dikarenakan kabut asap yang semakin tebal, padangan kami benar-benar di butakan karena hal itu. Kami tidak tahu kondisi yang kami lewati di depan bagaimana, tapi melihat kejadian yang terjadi pada Alvar tadi, kemungkinan masih banyak jalan yang berbahaya untuk kami lewati.Aku terperanjat bangun dari tidur setelah mendengar suara lolongan serigala di kejauhan, begitu juga Alvar karena terkejut yang mendengar aku bangun secara tiba-tiba. Kami segera bangkit duduk dari alas tidur dan melingkarkan jari-jari ini di gagang pedang yang tak pernah jauh dari tubuh kami untuk berjaga-jaga. "Ada apa Akira!?" tanya Alvar."Tidak apa, perasaanku tidak enak. Aku kira ada yang memperhatikan kita sekarang." jawab aku.Aku tak pernah menyukai serigala. Terlalu banyak pengalaman buruk tentang me