Langkahku ringan, nyaris melayang di atas tanah. Bohlam di sisi jalan berkedip seolah menyapa saat kulewati. Hari ini semakin sepi dan dingin, tampak dari butir salju yang makin menggunung menutupi jalanan.
Aku tidak bisa mengabaikannya ketika Lyara menceritakan semua kejadian yang terjadi pada tempat tinggalnya, pikiran ini tidak bisa diajak kompromi untuk berhenti berpikir sebentar saja. Setelah beberapa saat aku sampai dirumah, ternyata disana sudah ada profesor Javier yang datang untuk berkunjung. "Aku pulang!!" berseru aku.
"Akira... sudah lama aku menunggumu." ucap profesor.
"Prof, ada apa kau sampai datang kesini!?" tanyaku.
"Hanya untuk makan malam bersama keluarga lamaku.." kata profesor, aku pun duduk di dekatnya.
"Profesor ingin melihat anak kita.." ucap istriku memotong pembicaraan.
"Benarkah!?"
"Ya sekalian, lagi pula aku sedang merasa bosan belakangan hari ini, tidak banyak yang kukerjakan." kata profesor.
Air yang sangat jernih. Banyak bebatuan yang menambah keindahan sungai itu. Bahkan dengan ikan-ikan kecil sekali pun. Setelah kami menghindari bola api yang menyerangku tadi, kami melanjutkan perjalanan dengan mengikuti aliran air menuju ke hulu, "Kenapa kau ingin menolongku sekarang!?" tanya Lyara. Aku mengernyitkan dahi ketika Lyara tiba-tiba bertanya seperti itu, "Apa kau sudah tidak butuh bantuanku sekarang? sebelumnya kau memaksaku untuk pergi mengikutimu, bukan?" ujar aku. "Bukan seperti itu, aku hanya ingin mengetahui alasanmu saja!?" lirih Lyara. "Tentu saja karena aku peduli dengan orang-orang di tempat tinggalmu. Sudalah jangan berpikir aneh-aneh, apa tujuan kita masih jauh!?" kataku dengan tegas. "Tidak sebentar lagi!" jawab Lyara. Sementara itu, gemuruh suara air terjun di hadapan kami terdengar merdu. Tapi saat itu tidak ada jalan lagi yang kulihat, seolah kami sudah menemui jalan buntu. "Mau kemana kita sekarang, disini sudah tid
Lyara masih disana. Duduk di sebuah tempat sambil memeluk lututnya, air matanya masih setia membasahi wajah cantiknya itu, meski berkali-kali diseka dengan kasar, cairan bening itu tetap tak jera mengalir dari sudut matanya. Dia mendesah pelan, sepertinya ia sedang menyesali karena tidak bisa banyak membantu sebab rekan-rekannya yang telah terbunuh. Dia tengah berada di sebuah tempat, dengan rumput yang menghampar bak permadani hijau di setiap jengkal matanya memandang, di beberapa sisi terdapat sekumpulan bunga mawar putih yang sangat indah, dia tersenyum kecil. Kemudian dia mendongak sedikit keatas, melihat langit yang mulai berwarna kemerahan. Tiba-tiba saja Lyara menghentikan langkahnya, ia merasakan nyeri menerjang sekujur tubuhnya. Dia berjongkok sambil berteriak kesakitan, tubuhnya seperti dihujani ribuan panah berapi, begitu panas dan perih. Aku yang tak sengaja melihatnya, langsung menghampirinya ketika itu. "Ada apa! kau kenapa Lyara!?" tanyak
Aku dan Alvar mencari sumber suara yang sepertinya berasal dari tempat penyimpanan Agate. Dan malam ini juga, aku harus segera pergi ke sana untuk menghentikan semua ini sebelum terlambat. Aku tahu aku tak punya cukup waktu lagi untuk berlari. Bahkan kudengar suara derap langkah kaki tak kurang dari 3 anak tangga yang berarti mereka lebih dekat dan mungkin saja bisa melihat wajahku. “Tangkap dia! Tembak di kakinya! Buat dia lumpuh!” aku mendengar suara-suara perintah yang entah datang dari mana asalnya. Aku tak bisa melihat sekeliling. Gelap. Penuh debu —sepertinya. Mataku tak biasa dengan keadaan gelap seperti ini. Meskipun aku pernah tinggal di gua yang gelap tapi itu masih tak seberapa dibanding saat ini. Aku tak tahu di mana aku sekarang. Aku juga tak bisa melihat siapapun sampai kudengar derap langkah orang dan sebuah percakapan yang membuatku geram. “Dia ada di sini.” Suara lelaki. Tapi aku tak tahu dengan siapa atau untuk siapa dia berb
Saat sosok itu semakin mendekat, ia merubah bentuknya menjadi seorang wanita cantik. Wanita itu amat aku kenali, kawan lama yang telah membantuku selama ini. "Allura!!" ucap aku yang tak menyangka kalau sekarang dia ada di hadapanku. "Apa kabar Akira, sudah lama kita tidak bertemu.." kata Allura. "Mengapa kau ada disini, bukankah kau seharusnya berada di hutan Epping!?" tanyaku. "Itu tidak penting, sebaiknya kita selamatkan temanmu terlebih dahulu.." dengan sihirnya Allura berusaha untuk menyembuhkan luka Alvar, lama-kelamaan terlihat Alvar menjadi pulih kembali setelah pengobatan yang di lakukan oleh Allura. Alvar membuka matanya dan semakin kian sadar, "Terimakasih sudah membantuku.. bukankah kau seorang peri!?" ucap Alvar yang sudah terlihat baik-baik saja. "Ya, kau benar. Aku datang kesini karena Akira sedang membutuhkan bantuan." jawab Allura. "Benarkah, kenapa kau bisa tau kalau aku ada disini!?" tanyaku. "Aku bisa merasa
Pukulan itu terayun. ”Blughh!!” Tepat di ulu hatiku… Cairan kental muntah dari mulutku.Belum lagi aku luruh. Sebuah tendangan melontarkanku keatas disusul tonjokan yang membanting tubuhku ke samping. "Bruggg!!” giliran Alvar yang terkena pukulan makhluk itu. Kami sama-sama tumbang karena sekelebat bayangan yang kuat itu. Aku berdebam keras, mulutku menghantam lantai, asin terasa di bibirku yang rengkah. Aku tak bisa menghindari pertarungan ini, karma yang harus ku genapi, takdir yang harus ku hadapi. Segera kubersiap.Yang harus kulakukan adalah merangkak bangun lalu kembali pasang kuda-kuda.Tetapi aku kalah cepat.Diinjaknya punggungku sambil mengayunkan pukulan bertubi ke belakang kepalaku. Kali ini aku tak diam, liat kucoba melempar tubuh kesamping. Pukulan berhasil kuhindari. "Apa yang kau lakukan Akira, cepat lawan aku jangan terus menghindar.." ucap Dracula. "Kau tahu
Kami tiba di sebuah rumah besar. Lalu kami segera masuk ke dalam rumah. Di bawanya kami berada di ruangan besar dengan meja dan bangku panjang yang berjajar di sisi kanan dan kirinya. Namun sebuah meja lebih besar berada di ujung aula. “Mendekatlah,” perintah sang penyihir. Kali ini rasa curiga kami berangsur hilang. Kami mendengar suara yang berbeda dari sang penyihir. Kami pun langsung duduk di hadapan penyihir itu. “Jangan takut kepadaku, aku bukan penyihir yang banyak diceritakan orang-orang. Aku tidak membunuh manusia. Aku sendiri juga manusia seperti mereka,” katanya lembut. Aneh sekali tiba-tiba terasa suasana berbeda di dalam rumah ini. Tidak tampak mencekam seperti baru saja tiba di depan pintu. Seorang wanita lainnya berjalan mendekati sang penyihir. “Pelayan, siapkan makanan, juga kamar terbaik untuk tamu kita,” seru sang penyihir kepada wanita itu yang ternyata adalah pelayan rumahnya. Tanpa berbicara, ia menganggukkan kepala dan segera pergi. Tenang saja
Kepala suku mengajak kami untuk singgah di kediamannya. Dari luar memang tempatnya hanya seperti gubuk tua biasa, tapi ketika aku masuk ternyata keadaan di dalamnya cukup besar. Seluruh ruangan nampak terang dengan cahaya yang di buat sendiri oleh suku Polska. Walaupun tempat itu sangat tersembunyi, tapi sepertinya mereka tidak kekurangan apa pun. Masyarakat hidup sejahtera di desa ini.Kami di jamu dengan baik saat itu, meja dan kursi tersusun rapi. Diatasnya sudah terhidang jamuan makan yang lezat, lengkap dengan lauk dan buah-buahan yang di ambil dari hasil pertanian dan perternakan yang di kelola oleh mereka sendiri. Ada juga anggur, kopi bahkan susu yang sudah diseduh di termos kaca sebagai minumannya. "Sebenarnyaapa yang kita lakukan sekarang, menunda-nunda perjalanan seperti ini?”ucap aku berbisik pelan. “Tenang, Akira. Kita tak boleh gegabah. Siapa tahu kita mendapat bantuan dari kepala desa ini.”ucap Alvar. “Iya, tapi jik
Dalam keremangan sunyi, redup dan sedikit berkabut. Wajah mereka terlihat samar. Bayang tubuh bergantian sisi mengikuti ayunan lampu di atasnya. Kupandangi satu-satu mendekat. Semua segala yang ada disini aku mengenalinya.. Tempat ini. Bukankah ini rumahku? Apa yang aku lakukan di sini? Lantas, siapa mereka? Mungkinkah mereka keluargaku? Tunggu, sepertinya ada yang aku kenal dan aku pikir tak mungkin itu dia. Satu di antara mereka, tak asing di mataku. Wajahnya bersinar, cukup jelas terlihat di antara yang lainnya. Di antara Belinda, Aero, profesor Javier, ibu.. Tapi, Siapa Dia? Kucoba menatap mereka lebih dekat lagi. Menerawang memori para wajah keluargaku satu demi satu. Beberapa saat, akhirnya kudapati satu wajah yang begitu dekat denganku di masa lalu. Ya, sekarang aku benar-benar ingat. Dia… Dia Mario teman kecilku. Sedang apa dia disini? Sejenak aku terdiam. Bukankah dia sudah meninggal, kenapa tiba-tiba saja ia muncul di depanku. Di tempat ini. Apa
Di depan kami samar-samar sudah terlihat gerbang barat sebuah desa, sesampainya di gerbang kami sangat terkejut, beberapa bagian benteng sudah rusak dan ada banyak bekas pertempuran. Terlihat penjaga gerbang berlari ke dalam desa, sepertinya akan memberitahu warga yang lain kalau kami akan datang. Kami segera berjalan menuju ke tengah desa. Alvar menuju ke papan pengumuman di dekat pohon beringin besar di tengah desa. Kami berjalan dengan ekspresi muka penuh tanda tanya. Sebenarnya apa yang terjadi?"Wahai saudara-saudaraku, apa yang terjadi di desa kalian ini?” tanya Alvar keras kepada para warga yang menyambut kedatangankami."Desa ini telah diserang banyak kawanan hewan buas. Kami sudah berusaha semampu kami untuk melawan dan mempertahankan desa ini, namum mereka sepertinya sudah sulit untuk bisa di kendalikan.” jawab seorang penjaga gerbang mewakili warga."Hewan-hewan itu bermata merah, mereka seperti diperintah oleh suatu kekuatan.”
Malam sedang membawaku berjalan di atas roda mimpi yang berputar kala tidur lelapku. Ya, berjalan, bukan berlari. Karena aku ingin menikmati setiap alunan khayalan yang melintas di depanku. Sekelilingku putih, sangat putih tak berujung. Aku terus berjalan dan berjalan hingga putih di sekitarku semakin lama semakin redup ditelan kegelapan. Kemudian aku mendengar bunyi “Tik..tok..tik..tok..” Seperti suara mesin jam yang sedang mengayun jarum detiknya.Aku juga melihat seperti ada sinar dari luar yang menembus ke dalam duniaku. Bola mataku bergerak ke kiri dan ke kanan. Tempat ini sepertinya tidak asing. Aku teliti lagi dan mencoba mengingat tempat ini. Lalu aku merasakan getaran pada pergelangan tanganku seiring dengan suara yang juga tidak asing."Akira! Kau dimana!?" ternyata itu suara profesor Javier, "Prof.." sebelum aku menjawab pertanyaannya tiba-tiba saja suara itu lenyap seketika.Jalanan sangat sepi, bulan masih tersenyum cerah. Lampu jalan masi
Tanganku meraba-raba sekitar. Basah. Perlahan, aku menyadari aroma yang menguar dari tempatku berada. Daun. Kelopak mataku terbuka. Pupil mataku mulai menyesuaikan diri dengan cahaya sang surya yang hampir kembali keperaduannya. Setelah terbuka sepenuhnya, aku terduduk dan menatap sekitar. Padang rumput. Aku bangkit berdiri dan mulai berjalan mengikuti ke mana pun kakiku melangkah. Sebulir peluh menetes melewati rahangku. Jantungku berpacu cepat, berlomba-lomba dengan adrenalin yang mengalir deras melalui pembuluh darahku. Tak sedetik pun aku memelankan langkah, berzig-zag di antara pepohonan, melompati akar-akar yang menyembul dari dalam tanah. Menjemput maut yang siap menyambut kematianku. Tubuhku telah bermandi keringat. Kali ini aku semakin merajalela. Menanggalkan alas kakiku, berlari dan terus berlari, tanpa mempedulikan cabang dan ranting pohon yang mengoyak pakaianku, menggores kulitku, dan meninggalkan rasa perih yang menusuk. Aku bisa saja berhenti. M
Aku percaya tiap kehidupan -baik yang dulu, sekarang, maupun di masa depan kelak- memiliki tujuannya masing-masing. Aku memalingkan wajahku ke arah seorang pemuda yang tegap berdiri di tengah-tengah cekungan bekas dari pertarungan.Berkali-kali aku menarik napas dengan cepat hingga menimbulkan suara dengusan yang bisa terdengar oleh orang yang ada di sekitarku.Angin sore menerpa permukaan kulit memberikan perasaan kering yang tak biasa. Perasaan kosong itu begitu menggangguku, "Akira jangan kau pikirkan apa yang di ucapkannya, dia hanya ingin membuatmu lupa akan dirimu sendiri.. Dia berusaha menyinggung tentang masa lalumu itu." ucap Alvar."Apa kau tidak percaya Akira!? raja kegelapan bisa menghidupkan orang yang telah mati untuk dijadikan pengikutnya. Dengan kata lain temanmu itu sudah di jadikan boneka oleh raja kegelapan untuk menjalani ke inginannya." ujar Cahir."Sudah cukup Cahir, kau terlalu banyak berbual. Apa tujuanmu datang kesini hanya untuk
Sementara itu saat ini suasana semakin mencekam, aku bisa melihat aura kemarahan antara Alvar dan Jugo. Mereka sudah siap menyerang dengan senjatanya masing-masing. "Sebaiknya kita selesaikan saja masalah ini, dari pada kau terus menghalangi perjalanan kami saat ini." tantang Alvar."Kalau itu maumu, aku akan menerimanya. Tapi hari ini aku hanya ingin bertarung dengan Akira, menurutku kau sangat mudah untuk di kalahkan. Sekarang aku ingin menjajal kekuatan dari seorang yang sudah lama di ramalkan untuk menyelamatkan negeri ini." ucap Jugo seakan merendahkan Alvar saat itu.Alvar pun tidak terima karena Jugo sudah meremehkannya saat itu, "Kau jangan banyak bicara Jugo. Kekuatanmu tak sebanding dengan Akira, bahkan kupastikan untuk mengalahkanku pun kau tidak akan sanggup sekarang!" geram Alvar."Aku tidak sepertimu Alvar, kekuatanku sudah terlatih selama ini. Negeri ini bahkan bergantung pada diriku!" ucap Jugo yang semakin congkak."Kalau begitu kau akan
Tetesan air langit kini tiada lagi berhamburan ke bumi. Sang raja cahaya kini mulai menampakkan dirinya yang tersipu malu, terhalang oleh mega. Di balik celah-celah batuan terjal kaki gunung melesat kilatan-kilatan cahaya teduh dan cerah. Menghapus warna hitam di langit saat ini. Pagi telah menyambutku.Suara napasku yang beradu cepat bersama langkah kakiku yang sedang berlari. Ku lewati pohon-pohon besar di depanku. Aku sudah tak peduli bagaimana penampilanku sekarang, yang aku pikirkan adalah bagaimana aku bisa sampai di tujuanku dengan cepat dan selamat."Sebuah danau!" ujar Alvar.Aku dan Alvar menghentikan langkah sementara ketika kami sampai di sebuah sungai di hadapan kami sekarang, kami yang kehausan karena sepanjang hari sudah berlari dan bertarung dengan beberapa musuh di perjalanan pun meminum air dari sungai tersebut, dan menyimpannya sedikit untuk bekal melanjutkan perjalanan."Kita akan beristirahat sebentar disini Alvar!" ujar aku.
Kami mencoba mengobati kekhawatiran dengan menggumamkan beberapa bait lagu tentang musim panen sambil berjalan diantara pohon-pohon ek yang besar dan berlumut. Matahari sudah terbenam sekitar satu jam yang lalu, kegelapan total mulai turun dan bulan muda belum terbit. Kami melihat sekeliling, memasang telinga untuk gerakan atau suara apapun yang tampak berbahaya.Kami tak mendengar apapun selain suara burung hantu dan jangkrik, kami juga tak melihat apapun selain deretan pepohonan dan semak belukar di sekitar tempat itu. kami kembali menggumamkan lagu sampai telinga ini mendengar suara kemeresak tepat di belakang.Secepat kilat kami berbalik, mencabut busur dan sedetik kemudian sebuah anak panah sudah terpasang. Mata kami mengarah tajam kearah belukar dibelakang, darah ini mengalir lebih cepat dalam nadinya, suara degup jantung terdengar bertalu-talu ditelinga sendiri.Perlahan kami mendekati sumber suara dan tiba-tiba belukar itu bergoyang. Kami terlonjak, mena
"Jarak antara tempat ini ke Haven sekitar dua bulan perjalanan jika ditempuh dengan berjalan kaki,” kata Alvar, “Kau tak akan sampai ke Haven tepat waktu tanpa kuda.”Temannya itu tertawa pahit sambil membalik kelinci panggang yang dijerangnya di atas api.“Beruntungnya aku karena kuda yang kubawa dari Yelow Gate terluka parah dan akhirnya mati ketika aku diserang segerombolan Dargo di dekat Creek Hollow,” Bale menggeram dan meludahkan kata Dargo seperti kutukan, “Aku sangat beruntung berhasil membantai sebagian besar dari mereka tanpa terluka. Kuku-kuku mereka seperti dilumuri racun.”Wajah Alvar menjadi semakin suram setelah mendengar cerita rekannya itu. Dargo memang suka membuat onar dan menyerang para pelancong yang melintas di dekat sarang mereka. Namun seingat Alvar jalan besar di Creek Hollow berjarak puluhan league dari Pegunungan Berbatu, dimana gua-gua Dargo berada."Bawalah kepingan uang ini bersamamu, mun
Ketika sudah semakin larut malam, kami memutuskan untuk berhenti dan beristirahat. Karena keadaan di sekitar tempat kami berpijak sekarang tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan dikarenakan kabut asap yang semakin tebal, padangan kami benar-benar di butakan karena hal itu. Kami tidak tahu kondisi yang kami lewati di depan bagaimana, tapi melihat kejadian yang terjadi pada Alvar tadi, kemungkinan masih banyak jalan yang berbahaya untuk kami lewati.Aku terperanjat bangun dari tidur setelah mendengar suara lolongan serigala di kejauhan, begitu juga Alvar karena terkejut yang mendengar aku bangun secara tiba-tiba. Kami segera bangkit duduk dari alas tidur dan melingkarkan jari-jari ini di gagang pedang yang tak pernah jauh dari tubuh kami untuk berjaga-jaga. "Ada apa Akira!?" tanya Alvar."Tidak apa, perasaanku tidak enak. Aku kira ada yang memperhatikan kita sekarang." jawab aku.Aku tak pernah menyukai serigala. Terlalu banyak pengalaman buruk tentang me