Dari baju kaus tipis yang Joshi kenakan, terlihat dada pria itu naik-turun. Lantas, dia berbalik menghadap pada daun pintu. Linggis yang dia bawa tadi, langsung digunakannya untuk mencongkel engsel pintu tersebut.
Melihat hal itu, Tania hanya membeliakan matanya dengan kesal. Namun, tidak ada yang mampu dia lontarkan sebagai bentuk protes atas pelepasan daun pintu itu pada kamarnya."Maaf, saya hanya tidak mau mengambil resiko. Jangan sampai kamu kenapa-napa di dalam ruangan yang pintunya terkunci."Usai mengatakan itu, Joshi langsung pergi meninggalkan kamar Tania sambil membawa daun pintu yang telah berhasil ia copot. Meninggalkan Tania di dalam kamar dengan perasaan kesal, sebab kamarnya sekarang tanpa pintu. Sekarang, bagaimana caranya dia bersembunyi dari pria yang berstatus sebagai polisi sekaligus suaminya itu.Joshi sendiri setelah melepaskan daun pintu tadi, langsung keluar rumah. Menuju ke tempat kerja. Sebenarnya dia mengambil cuti uSetelah memastikan ibunya baik-baik saja, Tania memutuskan untuk pulang ke rumah. Awalnya dia hendak menginap di rumah sakit, karena malas harus serumah dengan Joshi, tetapi dia bingung harus tidur di mana. Sekarang, dia bukan hanya melindungi hidupnya saja, melainkan hidup calon bayinya juga. Di ruang inap ibunya hanya ada satu ranjang dan dua sofa kecil. Tidak mungkin Tania untuk tidur di ranjang ibunya yang sempit atau di sofa kecil itu. Tubuhnya pasti akan terpengaruh dan hal tersebut akan berimbas pada bayinya. Apalagi jika Tania mencoba tidur di lantai. Itu bukanlah ide yang baik. "Selama Mbak Tania nggak ada di sini, pria tadi yang selalu datang menjenguk ibunya, Mbak. Dia setiap hari kemari, membersihkan badan ibunya Mbak, sesekali juga dia mengajak ngobrol si pasien. Bahkan, pernah hari itu saya memergoki dia sedang menangis di samping ranjang ibunya Mbak. Entah apa penyebabnya."Perkataan perawat yang biasanya memantau keadaan ibunya Tania tern
Di luar dugaan Tania, wajah garang Joshi seketika lenyap saat melihat dirinya hendak muntah lagi. Joshi segera bangkit dengan berjinjit, menghampiri Tania. "Kamu kenapa? Apanya yang sakit?" Joshi seketika panik. Namun, Tania malah menepis tangan Joshi yang hendak menyentuhnya. Sambil membekap mulut sendiri menahan mual, Tania berlari ke kamar mandi. Kembali dia memuntahkan isi perutnya. Joshi segera mengikuti langkah Tania sambil berjinjit, tidak ingin mengotori lantai di sepanjang langkahnya dengan muntahan itu. "Tania kamu kenapa?" Joshi hendak memijit punggung Tania. "Menjauh dariku!" Lagi-lagi Tania menepis kasar tangan Joshi yang hendak membantunya. "Ok, ok, saya menjauh." Joshi tetap panik, sebab Tania masih terus muntah-muntah. "Ini pasti gara-gara kamu yang terlambat makan. Sudah pernah saya bilang, kalau marah sama saya, lampiaskan saja padaku, jangan melampiaskannya pada makanan. Kalau sudah begini, sekarang giman
Alis Joshi bertaut, bingung apa hubungannya jajan di luar dengan baju muslimin. Dia tidak tahu makna kata yang Tania lontarkan. Tania sendiri mendapat kalimat tersebut dari temannya Reva waktu itu yang mengatakan jika suaminya selingkuh dan suka jajan di luar. "Ternyata kamu seburuk itu. Suka jajan di luar. Aku nggak nyangka kau semenjijikkan itu." Sedikit tercekat kala Tania mengucapkan hal itu. Walaupun bingung, Joshi berusaha menjawab perkataan ambigu istrinya itu. "Ya ... karena saya tidak punya istri. Makanya suka jajan di luar." Joshi berpikir Tania menyindir kehidupannya sebelum menikah, dia memang suka jajan di luar. Setiap makan pagi, siang, dan malam selalu membeli makanan dari di luar. Sebab tidak ada yang membuatkan makanan di rumah. Namun, mendengar jawaban Joshi sontak membuat mata Tania melotot, marah. "Pria kurang ajar!" Pisau di tangan Tania langsung melayang begitu saja ke arah Joshi. Sontak polisi itu sigap menundu
Kesalahan Joshi ialah, dia terlalu cepat berpikir bahwa dia telah bisa mendapatkan hati dan tubuh Tania kembali. Mungkin hati Tania masih untuk Joshi, tetapi traumanya juga masih pada pria itu. Joshi terlalu cepat melangkah, berpikir Tania telah menerima dirinya dan semua perilaku kurang ajarnya kemarin. Sekarang apa, wanita itu kini kembali menatapnya penuh ketakutan dengan derai air mata. Dia kembali memukul-mukul kepalanya sendiri sambil meminta memori kotor itu keluar dari pikirannya. "Pergi, jangan ganggu aku! Ampun, sakit! Kumohon hentikan, sakit!" Pukulan cepat Tania layangkan pada kepalanya. "Tania, jangan seperti ini ....""Menjauh dariku, Monster! Jangan mendekat!" Tania beringsut ke pojokan. Dia sama sekali tidak melihat Joshi yang sedang mencemaskannya, sedang menatap dia dengan sayu. Tania hanya melihat monster lapar di hadapannya sambil menyeringai buas, menerjang dia sambil mendesah menjijikan di telinga Tania.
Para gerombolan pemuda yang segan dan kasihan melihat Joshi mengerang kesakitan sembari memegang punggungnya, turun dari motor. Menghampiri sang polisi, memapahnya lantas membawa ke rumah. "Sudah, terima kasih." Joshi berucap kala sampai di teras rumah. "Yakin, Pak? Apa perlu kami obati?" tawar salah satu pemuda yang memakai jaket levis biru. "Tidak perlu. Saya bisa sendiri. Sekali lagi terima kasih."Segerombolan pemuda itu pergi, usai Joshi masuk rumah dan menutup pintu. Di ruang tamu, Joshi mengerang menahan rasa sakit di punggungnya. Dia sengaja tidak mengizinkan para pemuda tadi masuk ke rumah. Takut mereka mencari kotak P3K yang ada di dapur. Jangan sampai mereka melihat Tania yang sedang tidur, sedangkan kamar Tania sudah tidak memiliki pintu. Apalagi Tania begitu menggairahkan ketika sedang tidur. Suami mana yang mengizinkan hal tersebut. "Arrhh, sial!" Darah mengucur deras. Joshi memeriksa setiap laci yang
Mata Tania mengerjap beberapa kali pasca mendengar pertanyaan Joshi. Dia sontak membalikan badan sembari berpikir saat Joshi mengedikan alis pada dirinya tadi. Di rumah Tania hanya ada dua kamar, milik ibunya dan Tania sendiri. Tidak mungkin Tania mengizinkan Joshi untuk tidur di kamar ibunya, itu sangat tidak beradab. Namun, untuk tidur di kamarnya, Tania takut. Bagaimana jika Joshi berubah buas dan menerkamnya. Tania kembali menoleh, memandang Joshi terbaring miring sambil menutup mata. Kasihan, dia pasti kedinginan tidur di lantai hanya beralaskan sajadah, sedangkan tubuhnya hanya terbungkus kemeja tipis yang tidak terkancing. "Kenapa kamu tidak pakai selimut?" tanya Tania memecah keheningan. Dia belum bisa meninggalkan Joshi dalam keadaan seperti itu. "Saya tidak punya." Joshi mengulum senyum mengetahui fakta bahwa Tania mulai peduli padanya. "Apa kamu tidak dingin?" Tania bertanya lirih. Dia juga merasa gengsi sebab mulai perhatian pada p
Mata Tania mendelik menatap Joshi yang ada di atasnya. Dia pikir Joshi akan menatapnya dengan buas, tetapi ternyata mata itu terlihat sendu. Dada bidang polos sang pria naik turun dengan berat. Berusaha Joshi untuk mengendalikan hawa nafsu yang hampir menyelimuti akal sehatnya. Dia menatap sendu Tania yang berada di bawahnya. "Kenapa? Kenapa kamu selalu menguji saya? Hmm." Joshi berucap yang langsung membuat Tania membuang muka dengan debar kencang di dada. "Aku tidak sengaja. Aku tidak tau. Turun!" Tania menjawab cepat dengan ketakutan, dia masih tetap memalingkan wajah. "Pandang saya, Tania. Lihat saya! Hapuslah monster di malam itu. Tidak bisakah kamu memafkan saya?" Suara Joshi berubah serak melihat dada Tania yang naik turun. Akal sehatnya mulai hilang. "Tania ... tolong saya," lirih Joshi mendaratkan wajahnya pada kepala Tania. Embusan napas sang pria begitu kencang menyapa telinga Tania, membuat wanita itu bergidik ngeri. Bayangan monst
Tangan Tania mengepal erat, dadanya memanas melihat Joshi yang memasukan kunci rumah di dalam saku celana jinsnya. Ingin merebut kunci itu, tetapi dia takut salah pegang. "Kenapa? Mau ambil kuncinya? Ambil saja kalau bisa." Joshi menantang wanita yang mulai tersulut amarah itu. Menggoda Tania menjadi hobi barunya sekarang. "Berikan kuncinya, Polisi Joshi!" Tania menengadahkan tangannya ke udara dengan mata melotot. "Ini, ambil saja! Saya ikhlas kok." Senyum simpul terpatri indah di wajah Joshi. Dia mendekat pada istrinya. Tania malah impulsif mundur melihat Joshi yang mendekatkan paha pada dirinya. Andai dia mempunyai keberanian, maka kunci yang berada di kedalaman saku celana Joshi pasti sudah berada di tangannya sekarang. Namun apa daya, Tania terlalu pemalu jadi wanita, bahkan pada suaminya sendiri yang sudah sah dan menjadi mahramnya. "Berikan kuncinya, Polisi Joshi! Aku kangen sama Mamah." Wajah Tania berubah memelas.