Assalamuaikum, pagi lovely reader, maaf Pie telat upload, harap maklum he... makasih ya yang udah ngasih support. Semoga Allah membalas kemurahan hati kalian. Selamat beraktifitas en jangan lupa bahagia ...
Shiza menangkup wajahnya dengan ke dua tangannya. Ia menangis. Entah apa alasan yang membuatnya menangis. Apakah sedih karena Aqsa dipukuli ataukah sedih karena Adam bisa bersikap setega itu. Mungkin keduanya.“Za, kamu kenapa?”Aqsa heran melihat sikap adiknya yang terasa berlebihan. Seharusnya yang menangis Aqsa yang teraniaya.“Nggak, Mas,” jawabnya dengan bahu yang berguncang. Tak pandai berbohong, body language Shiza menunjukan bahwa ia bersedih bukan karena sang kakak melainkan karena sesuatu yang tak dipahami. Hanya ia sendiri yang mengerti perasaannya saat ini. Memang urusan hati itu sangat rumit. Lebih rumit ketimbang soal geometri.“Iya, Shiza, kamu kok yang nangis? Harusnya Masmu yang nangis kesakitan. Lah ini kamu,” ucap Rakha melirik padanya.Shiza buru-buru menyeka air matanya dan mendongak melihat langit-langit.“Kelilipan, perih, apa sih debu main masuk aja ke mata,” gumam Shiza membuat Rakha menatapnya heran.Sungguh tak masuk akal air mata yang mengalir deras disebab
“Mau aku antar ke dokter?” tawar Nisa.Adam hanya menggeleng pelan. Ia lalu berusaha berdiri sekuat tenaga tetapi karena merasakan sekujur tubuhnya sakit, ia malah terjatuh. Spontan Nisa membantu Adam berdiri hingga ia bisa bertumpu pada pegangan besi. Lalu ia beringsut menjauh dari Adam sembari mengeluarkan air mineral dan satu strip obat anti nyeri yang selalu ia bawa.“Minumlah!”Nisa menyodorkan air dan obat itu ke tangan Adam. Adam malah memandang Nisa dengan lekat.Apakah ia jodohnya? Batin Adam berbisik seperti itu.Mengapa dipertemukan dalam kondisi yang kurang menguntungkan baginya. Namun ia rela andaikata dihajar terus security itu apabila ia bisa bertemu dengan bidadari bercadar itu setiap hari.Merasa Adam memperhatikannya, Nisa memalingkan wajahnya. Nisa sadar Adam tengah memperhatikannya.“Aku pamit pergi,” katanya sembari melangkahkan kakinya meninggalkan Adam. Adam mendengus kesal karena ia belum sempat menanyakan siapa nama gadis itu dan mengucapkan terima kasih. Ia
Selina menjinjing sepatu pantofelnya dan berjalan mengendap-endap seperti seorang maling yang takut ketahuan. Ya, ia sangat takut berhadapan dengan umminya. Sadar diri, ia telah melakukan kesalahan dengan mendatangi Shiza. Umminya akan segera mencecarnya dengan berbagai pertanyaan interogasi ala detektif swasta. Selina berjalan lewat pintu belakang. Ia merasa lega karena rumah kosong sepertinya abah dan umminya tak ada di rumah. Selina menarik knop pintu kamarnya dan merangsek masuk. Usai rapat yang amat melelahkan membuatnya ingin segera meloncat ke atas kasur. Punggungnya terasa sakit akibat duduk lama saat rapat berlangsung di sekolah. Ia menaruh sepatunya ke dalam walk in closet di mana di dalamnya terdapat bufet kaca khusus tempat menaruh pakaian dan sepatu. Sebelumnya tak ada walk in closet di kamarnya hanya saja karena merasa pakaian dan barang-barangnya terlalu banyak, ia meminta dibuatkan walk in closet yang menampung semua koleksi barang pribadinya. “Jatoh eh jatoh,” Sel
Ummi Sarah terlihat sedang mencari jawaban atas pertanyaan Selina, menebak-nebaknya. “Um, jujur, Ummi gak tahu Nak,” singkat Ummi Sarah. Benar apa kata Selina, mengapa secepat itu dr. Mahendra membatalkannya? “Ummi, apakah dr. Andra tak sabar ingin segera menikah begitukah?” tanya Selina yang masih dibayangi penasaran. “Ada banyak kemungkinan,” Ummi Sarah mengedikkan bahunya. Ia tampak kecewa sekali. Yup, benar. Ummi Sarah yang kelihatan kecewa. Sebenarnya Ummi Sarah mengkhawatirkan nasib takdir cinta Selina. Ia berpikir penyebab batal taaruf ialah karena nasab seperti halnya keluarga Aqsa. Mungkin mereka malu kelak saat ijab qabul terjadi ternyata menantunya tidak dinikahkan oleh Ustaz Bashor di mana semua orang mengira beliau lah ayahnya. Kabar Mahendra membatalkan proses taaruf sudah sampai di telinga Hawa dan Fadel. “Serius Yang?” tanya Fadel tak percaya. Ia menutup koran yang ia baca lalu dilipat dan ditaruh di atas meja. Ia beringsut duduk di dekat sang istri di sofa panj
Tak butuh waktu lama bagi Darius mencari keberadaan rumah Alana. Ia meminta asistennya untuk mencarinya. Sehari setelah insiden ‘one night stand’ keesokan harinya barulah mereka bisa menemukan alamat rumah Alana.Mahendra merasa was-was tatkala kakinya terayun masuk ke dalam rumah Alana yang sederhana. Entah, perasaannya itu sulit sekali dilukiskan dengan kata-kata. Tak mau durhaka pada kedua orang tuanya ia mengikuti keinginan mereka untuk mempertanggungjawabkan apa yang Mahendra lakukan dengan cara menikahinya.Kedatangan Mahendra dan ke dua orang tuanya disambut baik oleh ibunya Alana bernama Kiran. Sebagai wali, Darius menyampaikan maksud kedatangannya ke rumah mereka untuk melamar Alana.Ternyata Kiran tak tahu kronologi kejadian sebenarnya yang menimpa putrinya. Sebelumnya Darius ingin menjelaskan ihwal insiden yang terjadi di antara Mahendra dan Alana tetapi demi menjaga aib ke duanya ia urungkan. Apalagi sang ibu sepertinya tidak tahu karena putrinya sendiri yang belum cerita.
Kiran melirik Alana, memberikan isyarat padanya untuk tutup mulut soal apa yang telah terjadi pada dirinya. “Alana ada yang ngelamar,” ucap Kiran dengan tersenyum hangat pada Nisa. Sebetulnya Kiran merasa risih membicarakan hal itu pada Nisa karena Nisa di usianya yang cukup belum juga mendapatkan jodoh. Namun bagai buah simalakama, Kiran mau tak mau harus segera mengabari Nisa jika adiknya akan segera menikah melangkahinya. Nisa mencium tangan ibunya lalu mengecup kening adiknya yang terlihat masam. “Itu baju kekecilan! Kasihan badanmu menjerit,” kekeh Nisa melihat penampilan adiknya yang selalu seksi. Ia mengenyahkan bokongnya di atas sofa karena rasa letih telah menyergapnya. “Wah, bagus dong Ma!” “Bagus?” Kiran melirik Alana yang tersenyum kecut. “Iya, bagus Ma. Kalau sudah ada jodohnya ngapain ditunda-tunda,” sahut Nisa. Ia mengeluarkan obat dari dalam tasnya dan menelannya beberapa butir lalu minum air putih. “Kalau Alana nikah, kamu gak kenapa-kenapa keduluan? Dia juga
Hari ini Selina libur mengajar, ia pergi jalan-jalan dengan mengayuh sepedanya sekedar membuang rasa penat yang bermukim di kepalanya. Tak sengaja ia melihat ada banyak bunga segar di depan sebuah florist yang baru grand opening. Matanya berbinar mirip kembang api, melihat bunga seperti melihat kekasih hati. Apalagi sedang diadakan diskon besar-besaran. Naluri wanitanya semakin tergugah.Selina yang senang dengan bunga mawar tentu saja mampir lalu menepikan sepedanya di tempat parkir. Ia betulkan celamis yang sedikit terlihat dan segera menurunkan gaunnya dengan cepat. Mungkin untuk sebagian orang akan terasa sulit mengayuh sepeda dengan mengenakan gamis tetapi bagi Selina hal itu sudah biasa. Ia selalu mengangkat gamisnya saat mulai menarik pedal sepeda.Seperti biasa beberapa netra langsung membidiknya saat ia menyeret kakinya menuju bunga yang terhampar indah di hadapannya. Kecantikannya menyatu dengan keindahan bunga mawar. Beberapa pemuda iseng menjepret fotonya tanpa izin.Sang
Selina kesal lantas meninggalkan ke dua lelaki itu yang kelihatan bersitegang. Ia tak jadi memesan bunga mawarnya. Beberapa pengunjung toko sampai heran melihat mereka bertiga. Sepertinya telah terjadi cinta segitiga, pikir mereka sembari bisik-bisik tetangga.Tanpa memperdulikan apapun, Selina menghentakan kakinya lalu berjalan menuju sepeda dan melaju mengayuh sepedanya dengan terburu-buru.“Selin!” seru ke duanya kompak; Aqsa dan Mahendra. Mereka saling lirik. Mereka ibarat dua pangeran yang ditinggal oleh seorang putri.“Kamu? Dokter itu,” gumam Aqsa dengan kesal. Rasa cemburu begitu saja menjalar dalam dirinya tanpa diminta.Mau apa dokter itu mendatangi Selina?Apakah Selina menolaknya lantas menerima dirinya?Ada banyak pertanyaan negatif yang mencuat di kepalanya.“Oh kamu, Aqsa, rupanya,” desis Mahendra yang juga berusaha menerka-nerka lelaki yang ada di sampingnya.Tampan.Kaya.Anak Mama.Batin Mahendra menilai penampilan Aqsa dari ujung kepala hingga ujung rambut. Sedikit