Perempuan itu meletakkan ponsel sesaat setelah sambungan telepon terputus, kemudian dia menatap selembar foto di mana potret dirinya berseragam SMA tengah berdampingan dengan lelaki berpenampilan sedikit berantakan. Rambutnya gondrong terikat dengan celana sobek-sobek. “Jadi begini akhirnya, Mas?” Dia meraih pemantik di sisi tubuh, lalu menyalakannya untuk membakar foto tersebut, setelahnya dia buang ke tempat sampah. Tak ada satu pun yang berpihak padanya kini. Hidup pun serasa tak ada artinya. Dia memang selalu mendapat perhatian penuh, tapi tak pernah merasa benar-benar dicintai. Orang selalu menganggapnya sakit, padahal dia tak merasa demikian. Inilah yang membuatnya selalu merasa iri pada Karin. Perempuan itu memang tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya, tapi entah kenapa dia mudah sekali bergaul, dicintai, dan aktif dalam segala hal. Namun, Nana? Jangankan untuk berkumpul, berkomunikasi atau hang out dengan orang banyak dan berada di tengah-tengah keramaian pun dia mera
"Hoeekk ...."Karin bangkit dari ranjang dan berlari menuju wastafel untuk muntah, ketika merasakan perutnya bergejolak dan memaksa sesuatu di dalam sana untuk dikeluarkan. Selepas subuh tadi dia memutuskan untuk tidur lagi sebentar karena merasa begitu lemas. Sudah beberapa hari ini kepalanya sering sakit dan mual di pagi hari. Semua berawal saat Karin pulang dari rumah mertuanya, dan merasa mual mencium bau Sop Buntut yang mulanya begitu ia sukai. Sudah satu jam berlalu sejak Adam berangkat ke studio. Lelaki itu sempat menawarkan kepada istrinya untuk pergi ke rumah sakit karena khawatir melihat wajah Karin yang terlihat lebih pucat dari biasanya. Namun, Karin menolak karena merasa ia masih baik-baiknya. Sembari membasuh mulut, perempuan berkulit pucat itu menatap pantulan dirinya dalam cermin, lalu tertegun sejenak. "Mungkinkah?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Akhirnya setelah beberapa saat menimbang-nimbang. Karin beranjak, kemudian berjalan menuju ruangan kamar. Merai
Satu bulan kemudian .... Perempuan itu terlihat berdiri di depan balkon. Memperhatikan warna senja memudar digantikan pekatnya malam di balik jendela yang terbuka. Angin berembus pelan, menggerakkan dedaunan dan dahan pohon yang menjulang sampai lantai teratas bangunan setinggi tiga tingkat tersebut.Angin lembut itu seolah membawa pikirannya lari berkelana menuju masa lampau. Masa-masa di mana dia habiskan waktu merutuki takdir dalam diam, menangis dalam bungkam, hingga berteriak tanpa suara.Sampai akhirnya, dia berada di titik ini. Kondisi di mana semua beban yang ditangguhkan terangkat dari bahunya, duri yang ditancapkan terlepas dengan sendirinya, dan benteng yang membatasi pintu hatinya roboh begitu saja.Empat tahun lebih enam bulan tepatnya. Tak terasa sudah selama itu dia hidup bersama orang asing yang akhirnya bisa menarik dia dari belenggu. Seorang lelaki yang mulanya membuat dia menjalani hubungan tanpa perasaan, penuh dengan keterpaksaan, dibumbu kecemburuan, hingga b
"Gimana keadaan Nana sekarang, Im?" Suara perempuan berusia 60-an dengan wajah oriental itu terdengar bersamaan dengan langkahnya menuju ruang VIP di salah satu rumah sakit ternama di Jakarta. Baim mengalihkan pandangan dari wajah Nana yang terbaring di brankar dengan wajah pucat dan selang infus di lengan. "Kondisi kandungannya lemah, Ma. Kata dokter Nana juga kurang gizi makanya harus rawat jalan biar bisa infus. Belum lagi kondisi kejiwaannya yang semakin hari semakin buruk." Kepala Baim tertunduk saat menerangkan kondisi Nana sebulan belakangan setelah ia dapati sang istri hampir mati bunuh diri di kafe-nya sendiri. "Perceraian kalian?" "Udah Baim tarik gugatannya. Entah, Ma. Baim bener-bener ngerasa tolol aja selama ini. Empat tahun, empat kami jalani pernikahan dengan hambar. Tak ada cinta kasih atau kemesraan layaknya pengantin baru yang mengarungi biduk rumah tangga. Bahkan setelah kita melakukan hubungan, Baim memilih tidur di sofa. Mengabaikannya yang seringkali menangis
“Hmmm ... roman-romannya ntu muka dari hari ke hari makin berseri-seri aja. Hayo jujur sama gue, lo abis dapet apaan?” seru Danu saat melihat Adam melenggang masuk ke dalam studio sembari senyum- senyum sendiri. “Kepo lo!” cetus Adam, kemudian duduk di samping Danu. “Mana anak-anak? Kita mulai sekarang syutingnya.” “Hacie ... semangat bener yang pengen cepet-cepet pulang,” goda Danu. Dia tampak memjawil-jawil dagu Adam dan tersenyum penuh arti. Tak! Adam menepis tangan lelaki itu, lalu berdecak sebal. “Eh, Pepita!” seru Danu tiba-tiba bangkit, saat melihat seseorang yang baru saja masuk ke dalam studio. “Pevita, Pe’a!” Adam menoyor kepala Danu saat menyadari siapa yang datang.“Ya mangap, keserimpet dikit,” belanya. “Nah, pemeran utamanya udah dateng. Ali Sueb bilang dia nyusul ke lokasi. Ya udah, kita duluan aja,” ucap Adam.“Maaf, ya, kalian lama nunggu. Tadi anakku nggak mau ditinggal,” ucap perempuan berdarah Jerman itu tak enak hati membuat produser dan sutradara harus me
“Kok, kamu tahu, Pev?” timpal Danu. Karin terbungkam. Sedangkan Adam, lelaki itu mematung di tempat. “Wanita hamil itu bisa kelihatan perbedaannya, Dan. Masa kamu nggak sadar. Liat, deh! Dia lebih berisi dari terakhir kali aku lihat di acara award, auranya juga cantik banget,” papar Pevita semringah.Sebelum terjun ke dunia entertainment, Pevita memang sempat kuliah kedokteran dengan bidang obgin. Namun, dia berhenti di tahun ketiga karena hamil setelah menikah dengan salah satu pengusaha batubara sebelum bercerai empat tahun lalu. Jadi, kalau hanya untuk membedakan perempuan hamil, dia bisa melihatnya dengan mata telanjang dan tanpa tindakan medis. Bu Nisa yang tak kalah terkejut itu pun bangkit dari kursi di samping suaminya dan berjalan menghampiri Karin. Dia usap perut bagian bawah Karin, lalu mengernyit. Keras. “Bener, Rin?” tanya perempuan setengah baya itu pada menantunya yang hanya bisa tertunduk diam. “Loh, emangnya nggak pada tahu? Ya ampun, maafin kelancangan saya,”
Karin hanya diam mematung. Dia tampak menatap Adam sekilas, lalu mengangguk kepala tanda kalau dia baik-baik saja. Diraihnya kedua sisi bahu Hamdan, lalu menuntunnya untuk bangkit. “Karin udah maafkan kalian, kok, Yah. Allah aja Maha Pemaaf, kenapa kita yang cuma makhluk fana harus jadi pendendam?” ucapnya sembari tersenyum. Tak mudah memang. Dia memang bukan tipe manusia munafik yang bisa memaafkan begitu saja setelah semua kemalangan yang menimpanya. Namun, dari semua itu Karin bisa belajar. Belajar bagaimana cara mengikhlaskan. Toh, bila semua ini tak terjadi, dia tak akan ada di titik ini. Berdiri di samping Adam sebagai pendamping hidupnya, menjadi menantu dari keluarga yang begitu luar biasa ini. Selalu ada pelangi setelah badai, bukan? Tuhan selalu adil membagi setiap nikmat dan musibah, lalu untuk apa menghabiskan waktu hanya untuk mengeluh dan merutuk? Dia pun tahu, bagaimana cara membahagiakan hamba yang mendekatkan diri pada-Nya. Lalu, untuk apa kita harus merasa tak
"Dan, waktu bini lu hamil si kembar dia ngidam nggak?" tanya Adam tiba-tiba di tengah break syuting. Berlokasi di daerah Jakarta Utara untuk ke sekian kalinya Adam dan Danu terlibat dalam satu project yang sama dalam menggarap sebuah film bergenre roman-religi. "Sumpeh lo?" Hampir saja Danu tersedak cappuccino dingin yang disesapnya dalam cup berukuran sedang. "Ya jelas ngidamlah. Macem-macem malah. Saat ntu bini gue sampe pernah ngidam kepengen pentol isi usus ayam, pan bingung gue nyarinya.""Oh." Adam hanya bisa menggaruk rambut mendengarnya. "Kenapa emang?" Danu balik bertanya. Adam tampak menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya ia mulai mengutaran kebingungannya. "Tapi, kok bini gue beda, ya?" cetus Adam."Tiap ibu hamil emang beda-beda kali ngidamnya. Biasa ntu," papar Danu. "Bukan gitu, gue heran karena dia kayak nggak pernah ngidam.""Eh, serius? Karin nggak pernah minta apa-apa emang selama ini?" Danu menegakkan tubuhnya yang semula bersandar di tangan kursi. Adam m
Empat tahun kemudian ....Pria itu tampak berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan bocah lelaki yang berdiri di hadapannya, kemudian merapikan rambut bocah dengan mata bulat dan pipi gembil tersebut."Ayah ... kenapa cuma cowok yang harus disunat? Kak Ara sama Ais enggak?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir putranya membuat senyum pria itu mengembang. Ia mengusap kepala bocah bernama lengkap Muhammad Rasyid Prasetyo yang lebih sering dipanggil Rasyid itu setelah."Kak Ara sama Ais, kan perempuan, Sayang. Sedang anak ayah yang ganteng ini, jagoan sholeh. Rasyid selalu bilang sama ayah kalau mau jadi kayak Ayah, 'kan?"Bocah menggemaskan itu tampak mengangguk antusias."Iya, Ayah. Rasyid mau jadi kayak Ayah. Ayah yang ganteng, sayang sama Bunda juga Rasyid.""Nah, itu kamu tahu. Dalam Islam, hukum khitan bagi anak laki-laki itu wajib. Tujuannya bukan cuma sekadar mematuhi perintah agama, tapi juga untuk menjaga agar terhindar dari najis yang kadang nggak keliatan. Kalau udah gede R
Dua bulan kemudian ....Lantunan ayat suci Al-Quran, terdengar samar-samar, ketika kesadaran Karin kembali dari alam mimpi. Menoleh ke bawah, Karin melihat Adam tengah bersila dengan kitab itu di pangkuan.Sadar tengah diperhatikan, Adam menoleh dan tersenyum."Kebangun, ya?"Membalas senyumnya, Karin mengangguk kecil. "Ada yang kamu mau? Biar aku ambilin?" tanya Adam kemudian. Karin menggeleng dan hanya termangu memperhatikan suaminya. Sadar dirinya diperhatikan dengan lekat, Adam langsung menarik pergelangan tangan Karin pelan hingga keduanya duduk berhadapan di atas sajadah yang digelar. "Masa nifas kamu udah selesai, kan?" Karin yang langsung paham dengan maksud Adam pun tersenyum dan mengangguk pelan. "Udah dari dua minggu lalu, Mas!" ucapnya."Umm ... bolehkah?" Adam terlihat ragu melanjutkan. Lelaki itu mengusap tengkuk salah tingkah. Karin yang melihatnya pun lantas terkekeh. "Itu sudah kewajibanku, Mas. Memangnya boleh menolak apa yang sudah menjadi hakmu?!"Kini Adam
Monika berdiri di depan pintu apartemen Pondok Indah Residenses bernomor 210 yang terletak tak jauh dari kompleks perumahan Adam di Menteng. Meskipun sempat ragu, akhirnya dia mengulurkan tangan dan menekan bel. Tak lama sosok Adam muncul dari baliknya. Lelaki itu sempat kaget saat melihat siapa yang tengah berdiri di hadapannya saat ini. "Monika! Ngapain lu di sini?" cetusnya. "Pevita udah pulang?" Pertanyaan Adam itu kembali dijawab oleh pertanyaan lagi."Bentar lagi kayaknya. Ada apa, Mon?""Kenapa hape lo nggak aktif, Dam? Udah berapa hari nggak pulang. Istri lo mau ngelahirin, Dodol!"Sontak mata Adam melebar. Lelaki berdarah Timur Tengah itu langsung menyisir kasar rambutnya ke belakang dan merutuk sendiri. "Astagfirullah. Gue lupa charger hape, Mon. Gue panik banget waktu Monika bilang mantan suaminya dateng buat bawa Gerald. Udah dua hari ini Pevita ngurusin kasus ini. Dia minta tolong gue karena Gerald nggak mau dititip sama yang lain. Baby sitter yang biasa rawat dia lag
"Gimana?" Panggilan ibunya lantas menarik Karin dari lamunan. Masih berdiri di tempat yang sama ia memikirkan segala kemungkinan yang ada kenapa sang suami masih belum juga tiba. Malam semakin larut, dan perasaannya juga kian terasa kalut. Semenjak usia kandungannya menginjak sembilan bulan, ia merasa instingnya lebih kuat dan peka. Perasaannya juga menjadi lebih sensitif daripada sebelumnya, padahal Karin tahu betul suaminya itu setia. Namun, entah kenapa hari ini ada yang berbeda. "Katanya syuting udah selesai dari dua hari lalu, Bu. Jadi, Mas Danu juga nggak tahu Mas Adam ada di mana sekarang." Suara Karin terdengar bergetar. Perempuan berusia dua puluh enam tahun itu tak lagi terlihat tenang. Beberapa kali dia mengelus perut buncitnya yang kembali terasa mulas. "Mungkin Adam pulang ke rumah orangtuanya kali, Rin. Coba ibu telepon Bu Nisa."Karin langsung menggeleng. "Nggak, Bu. Kalau Mas Adam pulang ke rumah mama sama papa dia pasti hubungin Karin, atau--arrghhh." Tubuh Kar
Empat bulan kemudian .... "Kamu beneran nggak apa-apa nih aku tinggal?" Untuk ketiga kalinya Adam bertanya pada Karin yang tengah sibuk mengunyah satu buah apel di depan pelataran rumah mereka. "Iya nggak apa-apa, Mas. Lagian ada Ibu, Bi Narti sama Mbok Nah. Lagian Mas ke Bandung mau kerja, kan bukan main-main." Melihat itu Adam lantas menghela napas panjang sebelum mengecup kening Karin dan benar-benar pamit. Di hadapan mereka tampak sudah terparkir sebuah mobil Fortuner hitam yang Mang Midun siapkan sejak tadi. "Baiklah kalau gitu. Pokoknya jangan sungkan telepon kalau ada apa-apa. "Iya, Mas." Karin mengangguk patuh, lalu meraih tangan Adam dan mencium punggung tangannya takzim. "Hati-hati. Jangan ngebut!""Siap." Adam melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam mobil dan duduk di balik kemudi. Sementara itu Mang Midun terlihat sudah bersiap membuka pagar di depan. "Makasih, Mang!" ucapnya pada Mang Midun sebelum mobil beranjak meninggal pelataran dan kompleks perumahan elite
"Innalilahi wa innalilahi rojiun."Tanpa sadar ponsel Karin terlepas dari genggaman tangannya. Bagai palu godam yang baru saja menghantam, untuk seperkian detik napasnya terasa sesak, dengan dentaman jantung yang bertalu-talu ngilu. Satu jam mereka saling memaafkan. Baru satu jam setelah perempuan itu memeluknya erat bahkan hendak bersujud di kaki untuk meminta pengampunan. Belum ada dua puluh empat jam sejak ia meminta Tiara memanggil mama. Maut, memang demikian itulah adanya. Ia kerap datang di waktu-waktu tak terduga tanpa manusia sangka-sangka. Secara seketika menampar bahwa hidup memanglah sementara. Nana masih muda, usianya belum sampai dua puluh tiga. Psikolog belum memastikan kesembuhannya, tapi yang Karin lihat satu jam lalu dia sudah cukup normal meskipun keadaannya mengkhawatirkan. Perempuan itu bahkan kehilangan delapan kilogram bobot tubuhnya di tengah kandungan yang sudah mencapai tujuh bulan. Mata yang biasa menyorot bening dengan riasan sederhana, kini tampak cekun
Pesta ulang tahun Nana menjadi penyambung silaturrahmi antar keluar yang hampir puluhan tahun tak bersua. Kakek dan Nenek Tiara dari dua belah keluarga Karin, Nana, Adam, serta Baim turut serta tiba memeriahkan acara. Dituntun Baim turun dari mobilnya, Nana terlihat begitu bahagia menginjakkan kaki di rumah Karin dan Adam. Mereka menyalami satu per satu anggota keluarga sebelum duduk di bangku paling depan menyaksikan bagaimana bocah lucu itu tertawa riang menyaksikan teman-teman serta semua keluarga berkumpul di satu tempat yang sama. "Aku nggak pernah liat suasana sehangat dan seramai ini bahkan saat lebaran tiba," ujar Nana masih dengan pandangan yang mengitari sekeliling ruang. "Udah puluhan tahun, Mas. Puluhan tahun sejak Tukar Ranjang pertama kali dilakukan orang tuaku dan Mbak Nana. Ini pertama kalinya kita berkumpul sebagai satu keluarga utuh tanpa ada konflik yang mengiringinya."Baim hanya bisa tersenyum sembari meremas-remas jemari istrinya. Entah kapan sejak terakhir ka
Berbagai kecamuk pikiran menggelayut di benak Karin. Potongan-potongan ingatan masa lampau datang menyerbu secara bersamaan, ketika dia kembali dihadapkan dengan seseorang yang menjadi bayang hitam masa lalunya yang kelam.Hampir semua yang pernah dia punya direbut paksa, hingga meninggalkan luka menganga yang sulit sembuhnya.Ketakutan itu masih terus ada, meski berkian kali Karin coba menyingkirkannya. Bahkan saat pertama kali menginjakkan kaki di bangsal rumah sakit jiwa ini.Namun, saat melihat sosok yang begitu mengenaskan dengan perut buncit itu berlari dalam peluknya, semua ketakutannya perlahan sirna."Ada apa, Na?" Pada akhirnya Karin hanya bisa mengelus punggung kurus Nana yang bergetar hebat dengan sangat lembut. "Maaf, Mbak. Maaf, maaf." Kalimat itu Nana ucapkan berkali kali dengan isak tangis pilu. "Hei, udah lama Mbak maafin kamu tanpa diminta, Na!" Karin mengurai pelukan, dia dapati perempuan itu hendak berlutut, tapi segera Karin raih kedua sisi pundak ringkihnya dan
"Hei, hei! Tenang, Sayang. Walaupun mereka orangtua kandungnya tapi kita yang merawatnya sejak bayi merah. Lagi pula Baim tak mempunyai nasab dengan Tiara karena hubungan terlarang itu. Aku janji sama kamu, saat Tiara dewasa nanti kita yang akan menjadi saksi sekaligus wali dalam pernikahannya. Dia anak kita, tak ada yang bisa menyangkal itu." Adam tarik pelan Karin dalam pelukan, lalu mendekap erat tubuhnya yang lebih berisi semenjak hamil. "Maaf, ya, Mas. Entah kenapa semenjak hamil perasaanku jadi sensitif banget. Nonton film yang nggak ada sedihnya juga malah pengen nangis. Aneh banget."Adam tersenyum kecil, lalu mengusap kepala Karin yang terlindung khimar. "Nggak apa-apa. Asal jangan pas aku lagi pengen nengokin anak kita aja kamu tiba-tiba nangis. Itu baru aneh.""Mas!" Mata Karin langsung membulat, dia beranjak dari dekapan Adam dengan bibir mengerucut. "Haha ...."***Di sebuah kamar dalam rumah sakit rehabilitasi itu Baim tampak tengah menyisir rambut Nana yang kini tak