Setelah lepas dari cengkeraman Leo, Lusi segera mengambil vas bunga yang terletak di meja ruang tamu. Dia menaikkan tangannya hendak melempar vas bunga itu ke arah berdirinya kedua orang tua lelaki itu, namun dengan sigap Leo segera berdiri dari lantai, dan mengambil vas bunga itu dari tangan Lusi, dan meletakkannya kembali ke atas meja. “Sudah Lusi, masalah ini sudah berakhir. Jangan membuka masalah baru!” pinta Leo kepada sepupunya itu agar lebih tenang.
Lusi menghela nafas panjang. Dia menghentikan tindakannya, bukan karena kasihan kepada kedua orang tua lelaki itu, tetapi karena nasehat dari orang yang disayanginya. “Ayo, Pa. Kita pulang sekarang!” ajak Lusi sambil melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan itu. Papa Lusi dan Leo segera berpamitan dengan orang tua lelaki itu, kemudian mengikuti Lusi dari belakang. Mereka bertiga kemudian meninggalkan rumah lelaki itu. Masalah di antara mereka telah selesai.***Satu minggu setMira terjatuh ke tangga. Tepatnya tujuh anak tangga. Beruntungnya, tangga rumah Leo tidak lurus, jadi melengkung tepat pada anak tangga ke delapan. Di situlah tubuh Mira berhenti terjungkir dan terlentang tak berdaya, namun masih bisa membuka mata, walaupun merasakan sakit sekujur badan. Pada saat itulah, dia sempat melihat Lusi berada di tangga teratas, di depan lemari kaca itu, namun kemudian menghilang. Mira berusaha bangkit sendiri. Leo yang baru turun dari kamarnya, terkejut dengan suara gedebuk di tangga. Dia menghampirinya, dan menemukan Mira tengah berusaha berdiri dari jatuhnya. Leo segera turun tangga dan menolongnya. Dia langsung menggendong Mira dan membawanya turun ke lantai bawah, meletakkannya pada sofa di ruang tengah. “Apa kamu tidak apa-apa? Bagian mana yang sakit? Ke dokter sekarang, ya?” tanya Leo dengan wajah penuh kecemasan sambil menggendong kembali tubuh Mira dan dibawanya ke dalam mobil. Mira belum sempat menjawab semua pertanya
Leo mengusap darah di ujung bibirnya dengan lengan baju. Tamparan dari Lusi terasa cukup keras. Dia memang seorang wanita, tetapi menguasai karate sampai sabuk hitam. Pukulan dan tamparannya tidak bisa diremehkan, apalagi tendangannya. Leo menyadari kekuatan sepupunya itu. Dia mulai bergerak mundur menjauh darinya. “Aku tau, kamu adalah wanita yang sangat cantik, pintar, seksi, dan kaya. Tidak ada yang menolakmu. Tapi perasaanku, hanya menganggapmu saudara. Tidak lebih. Tolong, berpakaianlah!” pintanya dengan sangat lembut kepada Lusi dan mengambil kembali selimutnya yang sempat terjatuh di lantai. Dia berjalan dengan hati-hati ke arah Lusi yang bertubuh polos itu, berusaha menutupinya. Namun, terlambat. Lusi sudah terlanjur marah. Niat baik Leo, sama sekali tidak dianggapnya. Matanya berubah tajam, wajahnya memerah, nafasnya naik turun dengan cepat. “Singkirkan selimut itu!” teriak Lusi sambil menampis selimut itu dengan keras. Leo segera bergerak mundur cep
Ikatan kaki Lusi ternyata kurang kuat. Dia hampir saja terlepas. Kembali Leo berlari cepat, tapi bukan melarikan diri darinya, malah mendekatinya. Lelaki gagah itu menguatkan ikatan pada kaki Lusi. Kalau sampai terlepas bisa kewalahan nanti menghadapi wanita satu ini. Setelah itu, Leo berdiri mendekati Bapak dan Ibu Mira, menanyakan keadaan mereka. “Kami baik-baik saja, Leo,” jawab Bapak sambil menepuk pundak Leo. Diikuti anggukan kepala Ibu yang setuju dengan jawaban Bapak. “Mira, bagaimana?” tanya Leo khawatir. “Mira istirahat di rumah, tubuhnya masih sakit,” jelas Bapak Mira. “Dia yang meminta kami untuk mengamati rumahmu, menjagamu kalau sampai terjadi apa-apa,” sambung Ibu Mira. “Benar ternyata, belum lama kami datang, baru sampai depan rumahmu. Eh ... ternyata sedang dikejar,” ucap Bapak kembali bercerita. Leo hanya bisa terdiam mendengarnya. Seketika itu, perasaan bersalahnya serasa menyebar ke seluruh tubuh, menghantui pikirannya. Leo kemudian tersada
Leo menjawab dengan senyuman yang menempel permanen di wajahnya. Dia seolah-olah tidak menghiraukan wajah cemberut Mira. Hatinya benar-benar sedang berbunga-bunga, seperti berada di padang bunga musim semi. Karena ini pertama kalinya bagi Leo, menunjukkan kepada kekasihnya. Kalau dia bisa berlaku selayaknya masyarakat di desanya. “Bukankah ini menyenangkan Mira?” tanyanya sambil tersenyum. Baru saja Mira mau mengeluarkan pertanyaan yang dari tadi mengganjal di benaknya. Tiba-tiba, “Tolong ... tolong, siapa pun. Ampun ... ampun.” Sayup suaranya, tapi terdengar jelas oleh Mira maupun Leo. Lelaki gagah itu kemudian memberikan kode kepada pemain Rebana Ngarak dan orang penyala petasan, untuk berhenti. Seketika suara menjadi senyap. “Paaak ... tolong!” Suara itu kembali terdengar dan sangat jelas. Serontak, Mira dan Leo saling memandang. “Ibu!” teriak mereka bersamaan, sambil berlari menuju ke arah belakang rumah Mira. Sampai di belakang rumah, b
Cafe itu sangat klasik. Berbagai barang tempo dulu terpajang di kiri kanan temboknya dengan indah. Ditambah pajangan foto kota jaman dulu. Serasa di kota tua. Dan alunan musiknya, pas sekali dengan suasananya, dibuat sangat syahdu, mendayu. Membuat orang kurang tidur yang masuk ke kafe, pasti terlelap. Leo datang lebih awal dari jam yang ditentukan. Reni kemudian datang setelahnya. Mereka berdua ternyata tipe orang yang tidak suka terlambat. “Hei. Leo, kan?” tanya Reni kepada Leo. “Iya. Aku Leo,” jawab Lelaki gagah itu dengan tenang. “Kamu masih inget aku?” tanya Leo kemudian. “Ya iyalah. Yang bikin heboh di acara reuni kemarin, kan,” jawab Reni dengan nada centilnya. Leo berdehem setelah mendengar jawaban Reni. Benar-benar kesan buruk yang tidak terlupakan ternyata, pikir Leo. Leo mengamati sekilas penampilan Reni. Rambut ikal, sedikit tembam dan pakaiannya kasual seperti Mira. Dia kemud
Leo dan Mira panik. Tanpa berpikir panjang, Leo segera melepaskan sepatunya dan menjeburkan diri ke dalam kolam renang. Dia mencari keberadaan cincin itu. Dalam kolam renang, Leo menemukan kotak cincinnya yang berwarna merah. Namun, cincinnya tidak ada dalam kotak itu. Kepanikan Leo naik satu level. Dia mencari cincin itu dengan berenang ke sana ke mari, sambil sesekali mengambil napas di permukaan, tapi belum juga ketemu. Mira yang berada di tepi kolam renang hanya bisa mengamati Leo dengan wajah penuh kepanikan dan kekhawatiran. Hingga membuat kedua kakinya lemas tidak sanggup berdiri. Dia terduduk lemas di pinggir kolam, wajahnya mulai memucat. Setelah sekian lama mencari, akhirnya Leo menemukan cincin itu. Segera dia keluar dari dalam air. Kemudian berenang menuju ke permukaan dan mendekati Mira yang sedang terduduk lunglai. Leo menunjukkan cincin itu kepada Mira, seketika wajah pucatnya menjadi segar kembali. Ujung bib
“Maaf Mama Leo. Seperti tradisi yang berlaku di desa kita. Alangkah lebih baik, kalau acara pertunangan nanti, dilakukan di rumah ini saja,” sanggah Bapak Mira berusaha mengingatkan Mama Leo. “Leo adalah anak satu-satu kami. Jadi saya berharap segala hal mengenai dia, terjadi di rumahnya. Agar selalu bisa kamu kenang sebagai orang tua. Gitu lo Bapak Mira,” ucap Mama Leo menjelaskan alasannya. Keluarga Mira mulai gaduh. Satu sama lain saling mengemukakan pendapatnya, tanpa ada yang berani berkata langsung kepada Mama Leo. Bapak dan Ibu saling memandang, benar-benar tidak berani bicara. Takut kalau tiba-tiba pertunangan Mira dan Leo dibatalkan, mereka tidak bisa membayangkan betapa sedih perasaan anak semata wayang mereka, kalau itu benar-benar terjadi. Di sisi lain, mereka sudah paham dengan sifat Mama Leo. Kalau sudah berkehendak, sangat sulit untuk ditumbangkan. Papa Leo merasa bersalah. Dia kemudian menanyakan masakan kepada Ibu Mira
Hari minggu tanggal Tujuh November 2021 pukul 10.00, adalah waktu akan diadakannya pertunangan Leo dengan Mira. Satu minggu sebelum hari H. Mama Leo sudah mengirimi kain kebaya untuk Ibu dan Mira, yang berbeda motif dan warna. Kebaya Mira memiliki motif modern dan berwarna merah muda. Sedangkan kebaya Ibu memiliki motif keibuan namun modern dan berwarna Merah Maron. Kain itu nantinya akan dijahit dan dipakai saat acara pertunangan. Mama Leo juga mengirim baju batik ukuran M yang sangat modis buat Bapak. Sebenarnya baik Ibu, Bapak maupun Mira sangat bahagia diberi kain yang terlihat mahal dan elegan itu. Tapi wajah mereka kembali bermuram durja saat mengingat pelaksanaannya bukan di rumah pihak perempuan, tapi di pihak laki-laki. Keluarga mereka sekarang, sedang menjadi topik pembicaraan satu desa. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Undangan telah disebar. Mau tidak mau, mereka dipaksa menuruti kemauan Mama Leo. Keluarga b
Wajah Mira menegang, terpaku dengan bercak merah itu. Namun, dia segera menyelesaikan memandikan bayinya. Takut kalau terlalu lama kena air, sang bayi bisa sakit karena masuk angin.Setelah selesai memakaikan baju, dia menggendong anaknya dengan wajah panik dan turun ke lantai dua menuju ke kamar Papa Leo. Kebetulan saat itu Mama Leo sedang ada arisan. “Pa, Mira minta tolong anterin ke dokter anak, ya?”“Lo, ada apa Mira? Apa cucu Papa sakit demam?”“Nanti aja jelasinnya ya, Pa,” jawab Mira dengan wajah panik dan cemas.Papa langsung menjawab, “Oke, oke. Ayo, Mir.”Mereka berdua kemudian berjalan cepat menuju ke mobil. Seorang sopir pribadi Papa Leo yang selalu siaga, telah berada di depan mobil dan ikut bergerak cepat mengantarkan majikannya. “Ke Dokter Anak terdekat, ya!” perintah Papa Leo.“Siap, Pak.”Akhirnya me
Papa dan Mama Leo tercengang menyaksikan kepergian anak semata wayangnya. Papa Leo sampai ikut melongo, bingung harus berbuat apa. “Kita harus ngomong apa ke Mira, Ma?” Mama menghela napas dengan kasar. “Mama sendiri pusing rasanya, Pa. Terus setelah ini gimana?” “Lebih baik kita bicara jujur saja, Ma. Anak itu, masih saja emosional apalagi menyangkut Mira,” jelas Papa Leo sambil menggandeng pundak Mama Leo menuju ke kamar Mira. Di salah satu kamar terbaik Rumah Sakit Bersalin itu, Mira mulai pulih keadaannya. Mungkin karena bantuan selang infus dan segala yang dimasukkan ke dalam selang itu, oleh Dokter Spesialis Kandungan dan juga bidannya. Sedangkan, sang bayi memang belum berada di sisinya karena masih dalam pengawasan. Mama dan Papa akhirnya masuk juga ke dalam ruangan itu. Mereka kemudian berdiri berbarengan di sebelah Mira. “Selamat, ya. Bayimu tampan sekali,” ucap Mama dengan senyuman bangga. “Makasih, Ma,” jawab Mi
“Sebentar-sebentar.” Mira mendekati suaminya dan merangkulnya dari belakang. “Kalau mau pingsan sekarang. Aku sudah siap.” “Beneran sudah siap? Oke, aku pingsan sekarang, ya?” Leo menjatuhkan tubuhnya di dekapan Mira sambil menutup mata. Itu pun dengan kekuatan separuh. Mira berusaha menahannya dengan sekuat tenaga. “Argh ... aku gak kuat!” teriaknya dengan manja. Leo terkekeh melihat ulah istrinya sambil mengembalikan posisinya untuk duduk kembali. “haha ... enggak pingsan lah. Ini ‘kan kabar bahagia, sayang.” Leo menarik tangan istrinya yang sedang melingkar di perutnya agar berada di dekapannya. “Selamat ya, sayang. Semoga sehat terus sampai waktu melahirkan nanti,” doa Leo sambil mengelus perut Mira. Istrinya mengamini sambil mengangguk dengan wajah tersenyum bahagia. Senyuman itu sama sekali tidak memudar sejak tadi. Sebulan yang lalu, Leo membimbing Mira untuk mau berhubungan badan lagi. Awalnya Mira sanga
“Siapa, Pak?” tanya bagian keamanan itu penasaran. “Benar ... saya yakin dari postur tubuhnya. Dia Noval. Mantan pacar istri saya.” “Apa Bapak punya fotonya. Agar kami bisa berjaga-jaga kalau dia datang lagi ke sini.” “Tidak. Saya tidak memilikinya. Baiklah, Pak. Terima kasih kerja samanya.” “Tentu, apa pun itu. Kalau bisa membantu.” Dahi Leo mulai berkerut samar. “Si sialan itu tidak kapok juga. Awas, kamu.” Sambil berlalu tangannya semakin mengepal karena menahan marah. Selama di Rumah Sakit Jiwa, Mira mengalami perkembangan yang baik. Dia sudah tidak depresi lagi. Sudah bisa menerima kenyataan kalau apa yang telah terjadi dengannya adalah sebuah takdir yang harus di sikapi dengan bijaksana. Sikap sabar dan kasih sayang suaminya juga yang telah membuatnya bisa menerima kenyataan dengan baik. Setelah tambahan di sana selama satu minggu. Akhirnya, “Mira, ada kabar bagus hari ini.” “Apa itu, Leo?”
Teriakan Leo membuat Noval terpaksa keluar dengan dahi mengernyit. “Tutup mulutmu. Kau bisa membuat semua orang berkumpul di sini.” “Benar dugaanku. Apa kamu yang telah menabrak istriku, hah?!” teriak Leo penuh luapan amarah sambil menggerak-gerakkan pagar rumah itu. Ibnu langsung membuka pagarnya. Dia dengan wajah dibuat seolah-olah tidak mengetahui apa-apa dan berusaha ramah. Mendekati Leo. “Ada apa denganmu, Pak. Kalau mau bertanya langsung ke dalam saja. Jangan di luar seperti ini.” Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Leo. Dia langsung masuk ke dalam pagar rumah itu dan berjalan menuju ke Noval. Menarik kerah bajunya. Matanya membulat garang dan giginya gemeretak. Tangannya yang dari tadi mengepal menahan amarah akhirnya mengayun keras tepat di pipi kiri Noval. Dia meringis kesakitan dan duduk terjatuh ke lantai. Wanita cantik seksi dan Ibnu teman Noval, hanya bisa berdiri diam di sisinya. Leo memiliki postur tubuh lebih t
Suara teriakan Mira yang parau dan dalam mengagetkan seisi ruangan. Hatinya sangat perih. Tangannya yang gemetaran berada di atas perutnya. Dia menangis tersedu-sedu. “Anakku! Anakku!” teriaknya. Seolah tidak bisa menerima kenyataan kalau anak yang selama ini berada dalam perutnya sudah tidak ada lagi. Semua anggota keluarga mengerubungi Mira kembali. Mereka saling pandang dengan wajah penuh tanya tentang apa yang telah terjadi. Sejak keluar dari ruangan dokter itu, Leo tidak bercerita kepada siapa pun di sana. Kalau anak dalam kandungan Mira sudah tidak bisa tertolong. Dia takut mengagetkan mereka semua. Apalagi Ibu Mira yang syok melihat putrinya seperti itu. Bayangkan saja, apa yang akan terjadi jika mereka semua tahu yang sebenarnya. Menanggapi kecelakaan yang menimpa Mira saja, sudah membuat mereka syok, apalagi lebih dari itu. “Ada apa, Leo?” tanya Mama Leo penasaran. Namun teriakan Mira dan gerakan tangan di perutnya membuat para oran
“Sebentar, ya Ayah Leo. Mami mau nanya sama dedek dulu.” “Hah, caranya gimana sayang?” “Pakai telepati.” Mata Mira terpejam seolah sedang berkonsentrasi dengan jabang bayi di perutnya. Mulutnya komat kamit tidak jelas. Leo kembali melongo melihat kelakuan aneh istrinya. “Bisa tidak, gak aneh-aneh seperti itu.” Mira tidak menggubris suaminya. Dia tetap memejamkan mata dan menggerakkan bibirnya “Mir, Mira?” panggil Leo mulai ketakutan. Tiba-tiba, “Waa ... !” teriak Mira mengagetkan Leo. Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat keberhasilan mengerjai suaminya. Leo memegang dadanya. Hampir saja dia melompat karena terkejut. “Gak lucu, ah,” timpal Leo dengan wajah cemberut. Setelah merasa puas, Mira mendekati suaminya. Tangannya dilingkarkan ke leher Leo “Aku semakin sayang, sama kamu,” ucapnya sambil memandang mata suaminya. Leo tersenyum menanggapi ungkapan hati istrinya. Baru saja dia mau menjawabn
Namun, Leo tetap bergeming. Barulah level kepanikan Mira naik. Dia berteriak, “Tolong! Tolong! Kumohon tolong kami.” Tangisannya langsung pecah seiring dengan suara teriakannya. Segera semua penghuni di lantai satu dan dua berlarian menuju ke lantai tiga kamarnya. “Ada apa, Nyonya?” tanya salah satu pembantu yang telah dulu naik ke lantai tiga kamar Mira. “Apa yang terjadi, Mira?” tanya Bibi Jum dengan nada khawatir. “Mira, ada apa?” tanya Mama dengan wajah sangat khawatir. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke tubuh Leo yang tergeletak di lantai. “Astaga, ada apa dengan anakku, Mira. Cepat katakan!” teriaknya. Sama paniknya dengan Mira. Dia juga melakukan yang tadi dilakukan Mira, yaitu menggerak-gerakkan tubuh Leo agar segera tersadar. Papa Leo datang terakhir. Dia yang paling tenang di antara lainnya. “Jangan bergerombol, ya. Coba tenangkan diri kalian. Sekarang, semuanya menjauh dari Leo. Biar Papa yang menangani.” S
“Coba Mira ke dokter, ya? Memastikan keadaan Mira,” ucap Bibi Jum tenang. “Apa ... Bibi Jum menganggap Mira ... gila?” tanya Mira kebingungan. “Bukan, bukan begitu Mira. Kamu salah paham. Sudah gini aja. Bibi nanti ngasih catatan buat dokternya. Nanti waktu Mira ke sana. Kasihkan saja, ya?” Mira masih kebingungan. Bahkan mulutnya masih termenganga saat itu. Namun, dia menganggukkan kepalanya cepat. “Yang penting lakukan saja, mengenai hasilnya dipikirkan nanti saja,” batinnya. Keesokan harinya, Mira pergi ke dokter. Dia pergi ke dokter umum karena terbiasa ke sana kalau sedang jatuh sakit. Tidak lupa dia juga membawa catatan yang diberikan oleh Bibi Jum. Dia tidak membuka dan membaca catatan itu sama sekali. Sebenarnya, dia sangat penasaran tapi karena ingat pesan Bibi Jum, maka dia tidak berani membacanya. “Tolong kasihkan langsung ke dokternya, ya! Tidak usah dibaca.” Itulah kata-kata Bibi Jum yang terngiang di kepala Mira. Saa