Kampung Halaman
Perjalanan malam kian sunyi dan sepi. Anisa duduk di bangku belakang bersama sang Ibu, dirinya masih termenung dengan segala kesedihannya. Air mata terus meluncur tak dapat ia hentikan. Sedih, sakit dan perih kini ia rasakan, setelah sekian lama tinggal dirumah bersama Bagas baru kali ini ia pergi tanpa seijin Bagas.Bu Utari merasa sedih melihat sang putri terus menangis sepanjang perjalanan ke kampung halamannya. Bu Utari selalu menggenggam erat tangan Anisa, memberikan kekuatan pada sang putri tercinta."Kita makan malam dahulu, dan beristirahat sejenak." Ucap Pak Andi yang memecah keheningan didalam mobil yang ia sewa, sedangkan untuk supir ia meminta tolong Abi keponakannya.Perjalanan dari rumah Bagas menuju kampung halaman Anisa membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam. Maka dari itu Pak Andi memilih untuk istirahat Sejenak dan menikmati makan malam disalah satu rumah makan yang ditemuinya. Anisa hanya bisa pasrah dan mengikuti apa kata kedua orangtuanya.Tak ada kata apa pun yang keluar dari mulut Anisa. Bahkan Pak Andi juga membiarkan Anisa, bukan ia tak ingin namun lebih baik menunggu hingga sang putri tenang apalagi membahas di perjalanan teras kurang baik.Tak terasa kini Anisa sudah tiba di tanah kelahirannya. Malam kian pekat bintang bahkan bulan terlihat indah di kampung halaman Anisa. Hawa dingin menyergap menusuk tulang. Apalagi di kampung Anisa masih dikelilingi oleh kebun dan sawah yang membentang luas."Tidurlah, Nis. Hari sudah larut. Bapak dan Ibu juga mai istirahat. Kamar kamu juga masih rapi karena selalu di bersihkan oleh Ibumu.""Iya, Pak. Nisa ke kamar dahulu."Segera Anisa menarik koper bajunya masuk kedalam kamar. Tubuhnya langsung luruh begitu saja. Rasa kehilangan begitu mendalam di hati Anisa saat ini. Ya, cinta yang dimiliki Anisa begitu besar dan dalam untuk Bagas."Apa aku sanggup untuk berpisah dengan Mas Bagas? Aku terlalu mencintainya." ucap Anisa dalam tangisnya.Entah jam berapa Anisa tertidur semalam, saat ia membuka matanya dan melihat jam yang ada di dinding begitu kaget dan segera bangun. Anisa terbangun kala jam dinding menunjukan pukul 9 pagi. Ini bukan dirinya, biasanya ia akan bangun pukul 4 pagi dan beberes rumah.Anisa keluar kamar dan seger menuju dapur, Disana telah terhidang berbagai menu masakan buatan sang Ibu."Udah bangun, Nak? Sarapan dahulu, sudah siang ini?" Ucap Bu Utari yang masuk dari pintu belakang."Kenapa Ibu gak bangunkan Anisa tadi. Anisa jadi bangun kesiangan""Gak pa-pa. Istirahatlah. Kamu pasti lelah." ucap Bu Utari yang mana tangganya mengusap lengan Anisa dengan hangat."Ibu mau nyusul Bapakmu dulu ya,. Buruan sarapan sudah siang, jangan lewatkan makan pagi, Nak.""Baik, Bu."Tak dapat dipungkiri, bahwa Anisa juga merindukan momen dimana kebersamaan kedua orangtuanya kehangatan dan kasih sayang selalu tercurahkan dari orang yang Anisa kasihi. Berbeda saat dirumah mertuanya. Semenjak kepergian ayah mertua, hidup Anisa mulai berubah. Tak ada yang menghargai bahkan menyayangi Anisa. Sang suami yang dahulu suka menggenggam tangan Anisa kini sudah tak pernah rasakan lagi.Rindu? Anisa merindukan saat-saat dimana sang suami menggenggam tangannya, duduk dan makan disampingnya. Walau ia tahu bahwa Bagas tak mencintainya. Seiring berjalanya waktu perubahan demi perubahan kian terpancar jelas. Hinaan demi hinaan sellau ia terima didalam rumah itu. Sang suami juga bersikap dingin tak tersentuh."Apa kamu sudah sarapan, Mas? Siapa yang buatkan kopi susu pagi ini? Siapa yang menyiapkan pakaian kantor kamu? Apakah semalam kamu tidur nyenyak? Kamu akan kesusahan tidur nyenyak sebelum meminum teh herbal buatan ku, apalagi aroma terapi dikamar harus hidup, seingat ku dikamar sudah habis.." Tak terasa air mata Anisa kembali turun lagi. Mengingat kebiasaan sang suami. Apalagi Anisa tahu bagaimana keadaan rumah itu."Maafkan aku, Mas. Aku memilih untuk pulang dan menenangkan diri. Hati ini sakit kala kamu akan meminang Linda, kekasih kamu. Padahal kamu sudah menikahi_ku." Lagi dan lagi Anisa menangis sesengukan di dapur.Walau dirinya sedang tak berselara, namun ia harus tetao makan. Ibunya akan tahu jika ia tak makan makanannya. Usia makam dan mencuci piring kotor segera ia mandi untuk menyegarkan pikiran yang tengah bersedih. Rasa dingin menyergap kulit saat guyuran air membasahi tubuhnya. Air di kampung Anisa akan tetap terasa dingin walau hari sudah siang karena air itu dari berasal dari mata air yang tersambung dari pegunungan.Usai mandi Anisa memilih untuk duduk di teras rumahnya. Udara disini masih sejuk dan asri bahkan banyak warga yang berlalu kalang untuk sekedar ke ladang atau bahkan ke sungai untuk mencuci."Eh Mbak Anisa pulang kampung. Sejak kapan datang, Mbak?""Iya, Bu. Kangen sama Bapak dan Ibu. Baru semalam tiba.""Ya ampun. Pak Andi dan Bu Utari pasti bahagia banget dihampiri sama anaknya. Lah suaminya kemana, Mbak? Gak diajak kah.""Kebetulan Mas Bagas gak bisa ikut, Bu. Sedang ada pekerjaan yang gak bisa ditinggal." ucap Anisa sambil menampilkan senyumannya."Owalah... Ya sudah kalau begitu, ibu mau ke sawah dulu. Nanti mampir kerumah ibu ya, Nis.""InsyaAllah Bu Endah."Setelah kepergian Bu Endah, Anisa, kembali terdiam sesekali ia akan menjawab atau bahkan menyapa tetangganya yang lewat depan rumah. Ada rasa tenang dan nyaman setelah sekian lama tak mengunjungi kampung halamannya.Bagas selalu melarang Anisa untuk pulang kampung. Ia hanya dapat menghubungi sang Ibu melalui sambungan telepon saja. Itupun harus menunggu Bagas pulang bekerja karena hanya ponsel milik Bagas yang berisi kouta bakan dengan tega Bagas juga tak memberi jatah sekedar mengisi pulsa ponsel Anisa.Miris.... Ya itulah kehidupan Anisa selama berumahtangga dengan Bagas. Apalagi setelah kepergian sang Ayah mertua. Semua Keuangan disana diatur oleh sang Ibu mertua."Andai aku punya uang untuk mengisi data ponselku.." lirih Anisa yang kini memandangi ponselnya yang sudah lama kehabisan data.Anisa memilih masuk lagi kedalam rumah, bingung juga ia mau apa lantaran semaunya sudah rapi. Biasanya jam segini dirinya baru bisa makan dan lanjut bekerja lagi hingga malam.Adzan duhur berkumandang, Anisa memilih segera bangkit dan mencari mukenanya. Ia ingin sholat di Masjid saja. Sudah lama dirinya tak pernah sholat berjamaah di Masjid."Alhamdulillah, mukena_ku masi ada." gumam Anisa dan segera mengambil air wudhu. Jarak rumah dan Masjid tidak terlalu jauh hanya perlu berjalan melewati 5 rumah saja.Di kampung Anisa warga masih banyak yang melakukan sholat berjamaah di Masjid daripada dirumah. Anisa terus berjalan dengan sesekali menyapa warga yang ia temui."Loh Anisa... Kamu Anisa Kamila, kan?"Warisan keluarga Bagas"Loh Anisa... Kamu Anisa Kamila, kan?" Betapa kagetnya aku kala mengetahui siapa yang memanggil didepan Masjid. Dia adalah seorang pria yang selalu dekat denganku dahulu. Salah satu teman sekaligus sahabatku. Sebagai tempat aku berkeluh kesah. Namun setelah memutuskan untuk menerima perjodohan ini, aku kehilangan sabahat yang selalu ada disamping_ku. "Mas Satria." "Ya.... Kamu masih mengingatku, Nisa. Aku pikir kamu bakalan lupa sama aku." ucap Satria sambil terkekeh pelan. "Gak mungkin lah, Sat. Kamu teman sekaligus sahabat aku selama ini. Maaf, Sat, aku masuk dahulu." "Baiklah. Mungkin bisa dilanjut nanti lagi." Aku hanya mengangguk dan tersenyum, entah apa yang harus aku lakukan. Satria sangat paham akan diriku ini, ia mudah menebak apa isi hati dan pikiranku. Usai sholat berjamaah, aku memilih segera pulang, sesuai dugaanku, Bapak dan Ibu jiga sudah dirumah. Bisanya Bapak akan ke Masjid untuk sholat, namun kali ini tidak, entah mungkin lelah bekerja j
Kerepotan BagasBagaimana bisa, Mas Bagas saja hingga saat ini tetap bersikap dingin kepadaku. Aku dan Mas Bagas menang berstatus suami istri, namun aku merasa bukan sebagai istrinya. "Pak, bukankah jika..." "Tidak, Nisa. Bapak tak merestui lagi pernikahan kalian. Lebih baik berpisah, itu akan membuat bapak leboh tenang. Didunia ini masih banyak pria yang benar-benar tulus menyayangi kamu, Nisa." Ucapan Bapak benar-benar menohok hati ini, namun apakah aku bisa? Cintaku hingga saat ini masih bertepuk sebelah tangan. Rasa sayangku pada Mas Bagas begitu besar dan tulus. "Nak, benar kata Bapakmu ini. Berpisah dengan Bagas, itu jalan yang terbaik. Hati ibu mana yang tak sakit hati dan kecewa kala putri yang telah dikandung selama 9 bulan diperlakukan semena-mena seperti itu. Ibu yang melahirkan kamu, yang mengasihi, yang menimang setiap hari, memberikan kasih sayangnya dengan penuh cinta. Gak akan ada yang sanggup, Nak. Kebahagiaan kamu bukan bersama Bagas." ucap Ibu dengan derai air
Baju Baru AnisaSudah satu minggu Anisa berada di kampung halamannya. Satu minggu juga Bagas tak berusaha menghubungi Anisa atau menyusulnya ke kampung. Rasa sakit, kecewa memenuhi hatinya. "Masih mikirin suami kamu itu? Buat apa mikirin dia? Bapak sudah menghubungi pengacara buat urus perpisahan kamu." "M....maksud Bapak apa?" Tentu Anisa terkejut akan pernyataan Pak Andi. Ia yang sedang membantu sang Ibu, sontak saja berhenti. "Ya, kamu akan berpisah dengan Bagas." "Pak... Anisa." ."Sudah Anisa, jangan berharap demgan lelaki seperti Bagas. Kalau hanya kebutuhan kamu, bapak masih bisa. Apa kamu tahu Bagas di kota sedang apa? Dia sedang menyiapkan pesta pernikahannya." Ya, Anisa tak begitu terkejut akan hal itu. Kemarin ia sempat menstalking media sosial milik Linda. Linda mengunggah foto gedung pernikahannya dan rancangan gaun yang akan digunakan. Apalagi sepasang cincin berlian yang sanga
Mendapatkan pekerjaanBerkali-kali dering ponsel milik Bapak berdering, namun Bapak mengabaikannya dan malah mematikan ponsel miliknya. Ada rasa lega, tapi penasaran juga ada apa Bu Mutia menghubungi Bapak berkali-kali. Tentu Ibu mertuaku ini tak dapat menghubungiku, lantaran nomor ponselku sudah mati, jadinya aku harus mengganti nomor baru dan itu belum aku lakukan hingga sekarang. Entah Bapak dan Ibu menyadarinya atau tidak, tapi aku tak mengharapkan lebih. Mungkin besok baru aku akan kepasar lagi menjual anting milikku ini. Sekaligus mencari pekerjaan. Malam ini terasa lebih lama, hati ini terus memikirkan Mas Bagas. Hati ini selalu bertanya-tanya mengapa ia tak mencariku kemari? Apakah sesibuk itu ia mempersiapkan pernikahannya hingga tak mengingatku? Mata ini sulit terpejam, mengingat setiap momen dirumah Mas Bagas, mengingat momen saat ia mengucap ikrar nikah yang mana hati ini mulai terpesona akan dirinya. Sepasang Gaun pengant
Keputusan AnisaDengan perlahan aku masuk kedalam rumah. Tangan ini menggenggam erat tas yang ku_kenakan. "Assalamu'alaikum." ucapku kala langkah ini memasuki rumah. Sejenak semua yang ada didalam rumah menolah kearah pintu masuk. Aku mencoba untuk tersenyum. Walau jantung ini begitu berdebar. "Wa'alaikumsalam." jawab Bapak dan Ibu. Ya hanya Bapak dan Ibuku saja yang menjawab salam dariku. Sedangkan Mas Bagas, Bu Mutia, Nana tak menjawab salamku. "Aduh kenapa kamar mandinya kaya gitu sih, Pak. Gak ada toilet duduk begitu," Seketika pandangan ini menoleh ke arah asal suara yang mana ada Linda. Ada apa lagi mereka kemari, hati ini sudah sedikit tenang mengapa mereka mengusik lagi. "Di desa tak ada yang punya toilet duduk, berbeda dengan di kota. Orang desa gak akan bisa yang menggunakannya. Bahkan mereka biasanya memilih di empang bawah sungai sana untuk keperluannya," Jawab Bapak Linda tak menang
Hari pertama bekerja"Jangan bilang kamu menyesal berbicara seperti tadi dihadapan, Bagas!" "Aku, masih menyimpan rasa pada, Mas Bagas, Pak. Apa aku salah menyimpan rasa itu. Kami menikah hampir 2 tahun lamanya, tentu rasa itu sulit untuk dilupakan begitu saja." keluhku pada Bapak dan Ibu. "Ibu tahu, Nak. Tapi.... Tapi buat apa menyimpan rasa begitu besarnya pada, Bagas? Lihatlah dia yang dengan santai membawa calon madu untuk mu kemari, bahkan dia juga mengatakan akan menikah sebentar lagi. Mereka sedang mempersiapkan pernikahan, Nisa." "Apa aku gak berhak bahagia, Bu?" "Kamu berhak bahagia, namun bukan bersama, Bagas. Tunjukan jika kamu bisa, Nisa. Tunjukan seperti apa yang kamu bilang tadi dihadapan, Bagas." Ya, aku harus bisa. Bukankah aku bertekad untuk berubah dan kuat menghadapi mereka lagi. Aku akan belajar pelan- pelan dan Mas Bagas akan menyesal meninggalkan aku."Oh iya, Bu, Pak, aku sudah mendapatka
Kecoak dikamar BagasPov BagasArgh si@l bener hari ini, sudah datang jauh-jauh dari kota ke desa yang... ah menyebalkan. Mana harus menunggu berjam-jam kedatangan Anisa, eh sekali datang diajak pulang gak mau, malah minta cerai lagi. Apa enaknya hidup kadi janda coba. Anisa disana juga terlihat bahagia, dia juga banyak berpergian. Makin seenaknya dia. Apa dia gak mikir jika aku ini masih suaminya yang harus dipatuhi dan dilayani. Semenjak dia pergi meninggalkan rumah hidupku makin kacau, baju kotor menumpuk tak ada yang mencucikan bahkan pakai tak ada yang merapikan bajuku. . Meminta tolong pada Mbak Wulan harus bayar dahulu mana setrikaannya gak rapi seperi Anisa. Apalagi setiap pagi sarapan juga tak tersedia yang mana aku harus membelinya sendiri, bahkan sekedar kopi aku harus membuatnya sendiri. Kepergian Anisa membuat hidupku makin kacau. Makan setiap hari harus membeli, mana aku juga harus menanggung makan seisi rumah.
# 13 Make over Anisa"Bagas. Ada apa Gas?" teriak Ibu dari luar kamar. Segera aku berlari membuka pintu dengan nafas tak beraturan, jantung ini masih berdegup kencang. "Ada apa sih, Mas, bikin kaget satu rumah saja." Gerutu Nana."Hmmm itu ada kecoak didalam akmar Bagas, Bu. Ish, Bagas, geli banget mana tadi merambat dikeoalaki ini, Bu. Pokok ya besok ibu cari orang buat bebwres rumah semaunya. Harus wangi dan bwrsih tak ada kecoak." "Astaga ini kamar atau sarang burung, Bagas? Pantas saja ada kecoak, lah kamar kamu selrti ini, mana bau banget lagi. Ya sudah besok Ibu carikan orang yang mau beberes rumah. Kamu yang bayar kan?" "Iya. Tapi cuma untuk satu hari saja." "Loh kok satu hari sih, Gas. Gak seterusnya," ujar Mbak Wulan."Gak, cuma satu hari saja. Kalau Mbak mau seterusnya ya kita patungan." "Eh.. eh gak bisa dong." "Ya sudah, kalau gak mau. Aku juga lagi butuh uang
SEASON 2 Season 2 "Ayah, ayah kenapa kemari? Bukankah kalau butuh sesuatu ayah bisa telfon aku?" "Ck, kamu pikir ayah sudah setua itu. Ayah cuma masuk angin saja. Kebetulan ayah kangen makan lotek di pasar." "Ayah semalam demam tinggi, ya wajar aku khawatir dengan keadaan ayah. Apalagi ayah tiba- tiba kemari." "Ayah sudah baik- baik saja. Gimana hari ini ramai?" "Enggak begitu yah. Apalagi saat ini 'kan sudah modern, sudah banyak yang punya kendaraan pribadi juga jadi ya begitulah," jawab Rendra. Satria tersenyum dan duduk di warkop kecil yang tak jauh dari parkiran angkutan. Segelas susu hangat menemaninya duduk. "Kenapa kamu masih kukuh untuk meneruskan usaha angkutan ini, Nak. Usaha mendiang ibumu jelas lebih menjanjikan. Apa kamu tak lelah harus bolak balik mengurus semuanya? Masa muda mu masih panjang, Nak, jangan terlalu terforsir dengan bekerja. Nikmatilah masa muda mu ini," ujar Satria. "Yah, aku tahu usaha angkutan ini dirinya oleh almarhum kakek. Ayah juga merintisn
Dibawah teduhnya pohon kamboja sesosok pria berpakain hitam terduduk lesu. Meratapi takdir yang begitu pedih. Kebahagiaan dan kesedihan datang secara bersamaan, entah bagaimana jalan dan takdir yang ia lalui. *"Mas, ingat gak dahulu kita pernah jalan-jalan ke sungai. Kita menulis nama di pohon, lucu sekali ya, Mas."**"Mas ingat gak kalau dahulu di pohon itu setiap berbuah kita akan mengumpulkan buat yang telah terjatuh, jika buat masih bagus maka kita akan makan bersama. Hanya kamu yang selalu dekat denganku dan berteman baik denganku."**"Pohon ini sudah begitu tua, Mas. Bahkan buah pun sudah tak lagi berbuah seperti dahulu. Ternyata perjalanan hidup kita makin berputar, aku beruntung memiliki kamu. Menjadi istrimu adalah hal yang terindah dalam hidupku, terima kasih telah menerima semua kekuranganku dan terima kasih sudah selalu ada untukku disaat terpurukku terdahulu. Aku harap anak dalam kandunganku akan selalu bahagia, ini adalah penantian yang aku
Perjalanan yang cukup panjang dilalui oleh Anisa dan Satria, kini keduanya telah tiba di lokasi pertemuannya dengan Ibu Mutia. Anisa maupun Satria juga sempat bingung mengapa pertemuannya ditempat seperti ini. "Itu bukannya Bu Mutia," tunjuk Satria pada sosok wanita paruh paya yang tengah duduk di samping toko bunga. Pandangan Anisa beralih mengikuti arah telunjuk Satria. "Eh iya, Mas. Kita turun sekarang," ajak Anisa pada suaminya. Ia ingin lekas selesai dan lekas kembali ke desa. Dengan perlahan Satria mengandeng tangan Anisa. Bu Mutia yang melihat kedatangan Anisa segera berdiri dan tersenyum hangat menyambut orang yang ditunggunya. Ada kelegaan tersendiri saat melihat Anisa menempati janjinya. "Syukurlah kamu akhirnya datang. Terimakasih sudah mau menemui ibu, Nis," ucap Bu Mutia. "Sama-sama, Bu," jawab Anisa seraya tersenyum. "Hmm maaf kenapa Ibu meminta kita bertemu disini?" tanya Anisa kembali. "Ini yang ma
Anisa cukup terkejut akan penjelasan dokter tentang kondisi Bagas. Bukan masih memiliki rasa namun lebih ke kasihan ,apalagi ia tadi menyelamatkannya dengan mendorong sehingga ia terbebas dari bahaya. Ada rasa bersalah didalam benaknya. "Dok, lakukan yang terbaik untuk kedua korban." pinta Satria. "Mas.." "Nanti kita bahas lebih lanjut." ucap Satria yang mengerti akan tatapan sang istri. Dokter segera melakukan tindakan yang tepat untuk kedua korban terutama Bagas yang lumayan parah. Sedangkan keluarga kedua belah pihak telah dihubungi dan akan segera datang kerumah sakit. "Sayang, maafkan Mas yang mengambil tindakan ini. Bukan tak mengetikan perasaan kamu, tapi secara tidak langsung Bagas telah menyelamatkan kamu juga. Mas sangat bersyukur karena kamu selamat, walau tindakan itu juga cukup membahayakan jika mas tak kuat menopang tubuh kamu, tapi kuasa Allah itu nyata, kamu dan calon bayi kita selamat. Mas juga sudah mendaftarkan kam
Kecelakaan "Kenapa? Kaget? Biasa saja lah, Nis. Justru aku yang kaget melihat kamu." ujarnya seraya tersenyum kecil. "Mau apa lagi kamu, Mas?" Anisa sudah tak sanggup untuk basa-basi dengan Bagas. Ya, Bagas datang menghampiri Anisa yang tengah duduk di taman sendirian. Ia tadi tak sengaja berkeliling dan melihat Satria berada di taman dan matanya sekita langsung tertuju pada wanita yang duduk di bawah pohon rindang dengan gaun berwarna navy, sama seperti kaos milik Satria. Segera ia menepikan mobilnya dan berjalan mendekati Anisa. "Kamu bahagia sekarang, Nis?" "Ya. Aku sangat bahagia." jawab Anisa acuh tak acuh. "Ya, jelas terlihat dari diri kamu, Nis. Kami bahagia dan keluargaku menderita." ujar Bagas. "Itu karma, Mas." jawab Anisa cepat tanpa menoleh melihat Bagas yang duduk disampingnya. Anisa berharap sang suami lekas kembali. "Karma. Mungkin bisa disebut seperti itu. Asal kamu tahu, N
Nana Meninggal "Na... Nana... Dokter anak saya kenapa? Ada apa dengan anak saya?" "Na, bangun, Na. Kamu dengar ucapku gak sih. Bangun, Na." Wulan terus menggoyangkan tubuh Nana yang sudah tak merespon sama sekali. Dokter telah berusaha semaksimal mungkin menolong Nana saat ini. "Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Maaf, Bu, kami sudah berusaha, semua telah kembali pada sang Pencipta." ujar Dokter yang merawat Nana. "Nana... Kamu tega tinggalin Ibu, Na. Kamu tega biarkan Ibu sendirian. Bangun, Na." Bu Mutia memeluk tubuh Nana dengan erat. Ia menangis menumpahkan rasa sedih sekaligus kehilangan yang sangat mendalam. "Na.... Kenapa kamu jadi wanita lemah, Na. Kenapa kamu lemah begini dan menyerah begitu saja? Mana Nana yang kuat, Nana yang angkuh. Kenapa kamu menyerah, Na." ujar Wulan yang tak kalah sedihnya. "Na, bangunlah, Na. Jangan prank kami, Na." Wulan menangis tak berdaya sambil mengguncang kaki, Nana.
Hasil tes DNA Tepat saat Bagas menatap Mawar, pada saat itu juga Mawar melihat keluarga Nana sedang menunggu di depan ruangan. Lekas Mawar segera menghampiri keluarga Nana. "Halo apa kabar? Jal*ng itu sudah melahirkan ya?" ucapnya dengan pelan tapi menusuk pada hati Bu Mutia. "Dia punya nama, namanya Nana. Jangan sebut anak saya sebagai jal*ng." ucap Bu Mutia dengan geram. "Ck, apa bedanya dengan merebut suami orang? Saya kemari hanya melihat keadaan saja setelah mendengar jal*ng itu pendarahan dan dibawa kerumah sakit ini. Jangan harap bahwa suami saya akan datang kemari melihat wanita itu dan anaknya." ucapnya tegas dan tenang. "Maksud anda apa? Nana juga istrinya, dia sedang bertaruh nyawa didalam bahkan kondisinya kritis tak sadarkan diri." ujar Bu Mutia yang tak terima akan ucapan istri pertama dari suami Nana. "Hahahaha, kalian belum tahu ya, bawa dia bukan istri kedua, melainkan wanita penghibur yang menghibur b
Nana Kritis Anisa kini tengah berkeliling disalah satu pusat pembelanjaan khusus bayi. Ia berkeliling mencari beberapa baju dan kelengkapannya. Ia memang belum tahu jenis kelamin sang anak yang tengah dikandungnya, maka dari itu ia memilih warna netral agar bisa digunakan baik laki-laki maupun perempuan. Satria dengan senang hati menemani sang istri berbelanja, ia juga sesekali mengambil barang yang lucu dan memasukannya kedalam keranjang belanjaannya. "Mas, kok semuanya dimasukin?" protes Anisa. "Gak pa-pa, lucu loh, Yank. Mumpung kita di kota." ucap Satria yang mana langsung mendapatkan cubitan kecil dari Anisa. Brukk"Awwh,,,, to,,,,, tolong." "Astagfirullah. Mas tolongin Ibu hamil itu." ucap Anisa yang melihat wanita hamil terjatuh dan memegangi perut besarnya. Anisa dan Satria bergegas menghampiri wanita yang tengah kesakitan, ada karyawan juga yang sudah menolong, namun hati nurani Anisa m
Pergi ke Kota"Ini pesanan kamu, Nis." Mbak Lala menyerahkan paper bag kepada Anisa. "Wah, terimakasih, Mbak." "Kamu pesan apa, Yank? Kok gak bilang- bilang sih," ucap Satria."Taraaaaa. Lucu kan Mas. Ini satu buat kamu. Buruan dipakai sekarang," pinta Anisa sambil menyerahkan barang pada Satria.Satria membulatkan matanya menatap ngeri pada baju yang diberikan oleh istrinya. Disisi lain, Mas Amor dan Mbak Lala menahan tawanya. Bagaimana tidak satu set pakaian berwarna pink yang harus digunakan oleh Satria. "Astaga istriku. Yank, aku rela di gigit semut loh," tolak Satria dengan halus."Sudahlah Sat, istri kamu lagi ngidam loh." ucap Mas Amir. Sedangkan Anisa menatap penuh harap pada sang suami untuk memakainya. Bukan maksud hati untuk membuat sang suami malu, tapi entah mengapa ia hari ini ingin menggunakan couple baju berwarna pink beserta kelengkapannya. Satria meraup wajah lalu menghe