"Mas... Pak Karyo telfon ini." teriak Linda yang mana Bagas sedang mandi selepas pulang bekerja.
Bagas segera keluar hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya.(Halo, pak Karyo. Bagaimana, pak?)(Ya, mas Bagas. Saya sudah menghubungi Anisa tadi pagi, sudah saya jelaskan semaunya dan daya sudah cukup membantu. Maaf sekali, Anisa tak menginginkannya. Ia tetap bersedia jika anak mas Bagas telah lahir sesuai apa diisi surat wasiat itu. Saya mohon maaf sekali)(Apa? Ya, gak bisa begitu dong, pak. Itu kan ada hak saya juga disana. Biasanya Anisa juga akan menyetujuinya jika aku butuh uang. Gak bisa begitu dong pak?)(Maaf mas Bagas, itu keputusan Anisa)Bagas segera mematikan ponselnya dan melemparkannya di ranjang. Ia tertunduk lemas dengan menutup wajah dengan kedua tangannya."Mas kenapa? Apa Anisa menolak?""Sepertinya aku harus kesana dan memaksanya untuk menandatangani surat pencairan tabunganAnisa tak menggubris teriak bahkan makian dari Bagas dan mantan mertuanya. Ia memilih segera makan karena waktu sudah menunjukan pukul setengah delepan pagi. Tak ingin terlambat gara-gara mantan keluarganya yang mencari masalah. "Mantan mertuamu iku loh nduk, matanya ijo aja kalau bahas duit. Takut banget apa gak dikasih nantinya." gerutu Bu Utari."Biarkan saja, bu. Kalau nanti mereka berbuat yang melebihi batas kita lapor polisi." "Bapak ini loh, lihat pipi anak kita aja memerah begitu, cap tangan lagi. Ini sudah tindakan kekerasan sudah kena pasal loh pak. Bisa ini kalau dilaporkan." Anisa yang masih menahan nyeri di pipinya seketika memiliki ide untuk membuat keluarga Bagas jera. Ia segera mengetik pesan, senyum tersungging disudut bibir Anisa yang sedikit berdarah. "Lihat saja, mas. Ini sedikit pembelajaran untukmu," gumam Anisa dalam hati. Usai sarapan Anisa menengok sejenak keluar dan ternyata diluar sudah tak ada man
Linda terancam keguguranPagi ini Anisa memilih ijin untuk tak bekerja. Rasa trauma masih membekas didalam ingatannya. Apalagi rasa pusing masih mendera di kepalanya akibat benturan saat ia tergelincir belum lagi lemparan batu pada punggungnya terasa sakit. Tok... Tok ... Tok ... "Nis, makan dahulu. Ini tadi Satria mampir kasih kamu bubur gudeg." "Ha, Satria kemari, bu? Kapan? Kok Anisa gak tahu?" "Tadi pagi, dia menemui ibu dibelakang. Takut ganggu kamu istirahat, sekalian mau berangkat narik katanya." "Owh, nanti aku hubungi Satria kalai begitu, bu. Makasih ya bu, sudah dianterin masuk makanannya. Aku bisa kok makan dibelakang." "Kamu lagi sakit, sudah gek habiskan terus minum obat dari bu bidan. Mau ibu rebusin air panas untuk mandi?" "Jangan.... Anisa mandi air dingin saja bu, makin gerah nanti." "Ya sudah kalau begitu. Ibu keluar dahulu, segera habiskan." "Iya, bu." Sete
Bagas dipenjaraTok... Tok ... Tok ... "Selamat siang bapak dan ibu." "Si.. siang pak. Ada apa ya pak?" jawab Bu Mutia yang sedang menunggu Linda dirumah sakit."Maaf bu, saya mencari bapak Bagas." "Ya Pak, saya Bagas. Ada apa ya?" ucap Bagas yang ada dibelakang sang ibu."Bapak bisa ikut saya ke kantor. Ini surat penangkapannya." "A... Apa? Saya gak melakukan apa-apa pak? Bapak salah orang mungkin," sergah Bagas, ia memnag merasa tak melakukan kesalahan apa-apa. "Bapak bisa jelaskan di kantor nanti." Bagas segera digiring oleh kedua polisi untuk segera ke kantor dan memberikan keterangan. "Mas.... Pak! Jangan bawa suami saya. Suami saya gak bersalah, bapak mungkin salah orang." pekik Linda yang kini sudah menangis melihat Bagas dibawa polisi. "Bu, bagaimana ini? Kenapa mas Bagas ditangkap polisi?" "Ibu juga gak tahu, perasaan Bagas anak baik-
Vonis hukuman BagasSegala cara telah Wulan lalukan untuk membebaskan Bagas, namum hingga kini belum berhasil. Pak Karyo bahkan membela Anisa dalam kasus ini. Hingga Linda harus bolak balik masuk rumah sakit karena kandungannya begitu lemah bahkan ia begitu stres dan tertekan. Apalagi kedua orangtua Linda menekan anaknya untuk berpisah saja daripada memiliki suami narapidana. "Enggak, Ma. Aku lagi hamil, aku gak mau berpisah dengan mas Bagas. Kami pacaran sudah lama dan ini adalah penantian-ku. Aku gak peduli status mas Bagas nantinya, yang jelas aku gak mau pisah dengannya, Ma. Tolong jangan tekan aku terus menerus, aku sudah memiliki pilihan tersendiri jadi tolong jangan ikut campur dalam rumahtangga_ku." "Cinta itu memnag buta. Kaya kamu ini buta karena seorang Bagas yang ... Ah sudahlah. Mama pusing mikirnya. Nih uangnya, ini yang terakhir! Jangan minta mama terus, mintalah keluarga suamimu itu, kamu itu tanggungjawabnya." ujar Raya. Setelah men
Pov Bagas "Kamu tenang saja, kami akan menjaganya sebaik mungkin. Mbak paham bagaimana saat hamil dahulu." ucap mbak Wulan. Ya aku rasa mbak Wulan tahu akan perasaan wanita, apalagi dia juga pernah hamil dan merasakan bahwa sangat membutuhkan sosok suami. Linda menjerit histeris kala aku sudah digiring oleh dua orang polisi untuk segera dibawa ke dalam rutan. Ada sesak di dada ini menyaksikan Linda seperti itu. Aku masih sempat tersenyum namun aku sungguh terkejut saat Linda jatuh pingsan. "Linda." teriakku dan akan berlari namun tanganku ditahan oleh kedua polisi. Aku memberontak namun usahaku sia-sia, kekuatan kedua polisi leboh kuat daripada diriku ini. "Pak, aku mohon istriku pingsan. Ijinkan aku menemaninya hingga sadar." pintaku memohon namun lagi dan lagi aku tak bisa. "Disana sudah ada keluarga yang menanganinya, pak. Lebih baik bapak segera ikut kami kembali ke rutan." ujar polisi yang masih memegang pung
Pov AnisaAku tak menyangka setelah berpisah dengan Mas Bagas akan semenyenangkan ini padahal pada umumnya seorang wanita yang berpisah tentu akan merasa terluka dan terpukul namun berbeda denganku, aku malah bahagia apalagi ada Satria teman masa kecilku yang selalu memberikan semangat untuk aku terus menjali hari-hariku ini. Awal mula para tetangga selalu merendahkan statusku yang menjadi janda di usia muda, apalagi janda tanpa anak. Banyak gunjingan yang aku dapati, berkat bapak dan Ibu aku kuat menghadapi gunjingan itu semuanya. Aku malah membalas mereka dengan kebaikan yang tulus aku berikan, memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan bahkan saat kerja bakti aku akan turun berbaur sesama warga. Bukan kecentilan namum aku akan membuktikan bahwa janda belum tentu buruk perilakunya. Alhamdulillah sedikit demi sedikit ibu-ibu yang membicarakan aku dan mencemooh status janda mulai berubah dan meminta maaf atas ucapannya selama ini yang menyaki
Pov Anisa Bangunan bekas rumah makan yang ditunjukan oleh Satria memang sangat bagus dan luas. Apalagi ada taman bermain anak dan juga kolam ikan. Sedikit renovasi makan bangunan ini akan terlihat lebih bagus. Aku memotret banyak untuk ditunjukan kepada Mbak Lala nantinya. "Dijual berapa pak?" tanya Satria pada pemilik resto sebelumnya."700 juta saja, Mas. Saya kasih murah karena memang sedang membutuhkan uang. Kalau mau juga saya bisa menjembatani bekas karyawan saya terdahulu, sebagin juga masih bekum bekerja. Dan saya jamin mereka karyawan-karyawan terbaik dari saya." Harganya cukup fantastis juga, tapi bangunan ini bagus dan aku suka. Tapi jika harga segitu aku rasa tabunganku tak cukup. Sebenarnya disini sudah ada komplit, meja dan kursi makan, meja kasir, komputer, mesin kasir, kompor, frezeer, alat makan dan minum. "Aku suka, Sat. Tapi harganya." bisik-ku pada Satria yang masih melihat-lihat sekitar. Sebenarnya
Pagi ini rumah Anisa telah disulap menjadi tempat yang sangat indah, rangkaian bunga-bunga terlah tersemat didekorasi kecil untuk acara lamarannya. Walau lelah karena ia habis lembur membuat pesanan tapi tak menyurutkan rasa bahagianya yang sebentar lagi akan segera menikah kembali. Anisa akan di make up oleh Jeni teman salonnya nanti malam. Dan kini ia tengah melakukan perawatan di salon tempatnya dahulu bekerja. Segala rangkaian perawatan dilakukan untuk menunjang penampilannya malam ini. "Cie... Cie calon pengantin makin glowing aja.. eh bukan tapi makin ngeglazed aja kulitnya." "Ih Mbak Jeni nih ya, jujur aku gugup banget Mbak." "Lah gugup bagaimana? Bukankan kami sudah pernah melakukannya, relax aja, Nisa." "Kan beda Mbak, dahulu aku gak seperti ini. Lamaran aja juga simple, malam lamaran dan lusa menikah, itupun secara sederhana. Lah ini baru lamaran tapi udah dibikin pesta, gimana gak gugup aku, Mbak." ungkap Anisa.Anisa mengu
SEASON 2 Season 2 "Ayah, ayah kenapa kemari? Bukankah kalau butuh sesuatu ayah bisa telfon aku?" "Ck, kamu pikir ayah sudah setua itu. Ayah cuma masuk angin saja. Kebetulan ayah kangen makan lotek di pasar." "Ayah semalam demam tinggi, ya wajar aku khawatir dengan keadaan ayah. Apalagi ayah tiba- tiba kemari." "Ayah sudah baik- baik saja. Gimana hari ini ramai?" "Enggak begitu yah. Apalagi saat ini 'kan sudah modern, sudah banyak yang punya kendaraan pribadi juga jadi ya begitulah," jawab Rendra. Satria tersenyum dan duduk di warkop kecil yang tak jauh dari parkiran angkutan. Segelas susu hangat menemaninya duduk. "Kenapa kamu masih kukuh untuk meneruskan usaha angkutan ini, Nak. Usaha mendiang ibumu jelas lebih menjanjikan. Apa kamu tak lelah harus bolak balik mengurus semuanya? Masa muda mu masih panjang, Nak, jangan terlalu terforsir dengan bekerja. Nikmatilah masa muda mu ini," ujar Satria. "Yah, aku tahu usaha angkutan ini dirinya oleh almarhum kakek. Ayah juga merintisn
Dibawah teduhnya pohon kamboja sesosok pria berpakain hitam terduduk lesu. Meratapi takdir yang begitu pedih. Kebahagiaan dan kesedihan datang secara bersamaan, entah bagaimana jalan dan takdir yang ia lalui. *"Mas, ingat gak dahulu kita pernah jalan-jalan ke sungai. Kita menulis nama di pohon, lucu sekali ya, Mas."**"Mas ingat gak kalau dahulu di pohon itu setiap berbuah kita akan mengumpulkan buat yang telah terjatuh, jika buat masih bagus maka kita akan makan bersama. Hanya kamu yang selalu dekat denganku dan berteman baik denganku."**"Pohon ini sudah begitu tua, Mas. Bahkan buah pun sudah tak lagi berbuah seperti dahulu. Ternyata perjalanan hidup kita makin berputar, aku beruntung memiliki kamu. Menjadi istrimu adalah hal yang terindah dalam hidupku, terima kasih telah menerima semua kekuranganku dan terima kasih sudah selalu ada untukku disaat terpurukku terdahulu. Aku harap anak dalam kandunganku akan selalu bahagia, ini adalah penantian yang aku
Perjalanan yang cukup panjang dilalui oleh Anisa dan Satria, kini keduanya telah tiba di lokasi pertemuannya dengan Ibu Mutia. Anisa maupun Satria juga sempat bingung mengapa pertemuannya ditempat seperti ini. "Itu bukannya Bu Mutia," tunjuk Satria pada sosok wanita paruh paya yang tengah duduk di samping toko bunga. Pandangan Anisa beralih mengikuti arah telunjuk Satria. "Eh iya, Mas. Kita turun sekarang," ajak Anisa pada suaminya. Ia ingin lekas selesai dan lekas kembali ke desa. Dengan perlahan Satria mengandeng tangan Anisa. Bu Mutia yang melihat kedatangan Anisa segera berdiri dan tersenyum hangat menyambut orang yang ditunggunya. Ada kelegaan tersendiri saat melihat Anisa menempati janjinya. "Syukurlah kamu akhirnya datang. Terimakasih sudah mau menemui ibu, Nis," ucap Bu Mutia. "Sama-sama, Bu," jawab Anisa seraya tersenyum. "Hmm maaf kenapa Ibu meminta kita bertemu disini?" tanya Anisa kembali. "Ini yang ma
Anisa cukup terkejut akan penjelasan dokter tentang kondisi Bagas. Bukan masih memiliki rasa namun lebih ke kasihan ,apalagi ia tadi menyelamatkannya dengan mendorong sehingga ia terbebas dari bahaya. Ada rasa bersalah didalam benaknya. "Dok, lakukan yang terbaik untuk kedua korban." pinta Satria. "Mas.." "Nanti kita bahas lebih lanjut." ucap Satria yang mengerti akan tatapan sang istri. Dokter segera melakukan tindakan yang tepat untuk kedua korban terutama Bagas yang lumayan parah. Sedangkan keluarga kedua belah pihak telah dihubungi dan akan segera datang kerumah sakit. "Sayang, maafkan Mas yang mengambil tindakan ini. Bukan tak mengetikan perasaan kamu, tapi secara tidak langsung Bagas telah menyelamatkan kamu juga. Mas sangat bersyukur karena kamu selamat, walau tindakan itu juga cukup membahayakan jika mas tak kuat menopang tubuh kamu, tapi kuasa Allah itu nyata, kamu dan calon bayi kita selamat. Mas juga sudah mendaftarkan kam
Kecelakaan "Kenapa? Kaget? Biasa saja lah, Nis. Justru aku yang kaget melihat kamu." ujarnya seraya tersenyum kecil. "Mau apa lagi kamu, Mas?" Anisa sudah tak sanggup untuk basa-basi dengan Bagas. Ya, Bagas datang menghampiri Anisa yang tengah duduk di taman sendirian. Ia tadi tak sengaja berkeliling dan melihat Satria berada di taman dan matanya sekita langsung tertuju pada wanita yang duduk di bawah pohon rindang dengan gaun berwarna navy, sama seperti kaos milik Satria. Segera ia menepikan mobilnya dan berjalan mendekati Anisa. "Kamu bahagia sekarang, Nis?" "Ya. Aku sangat bahagia." jawab Anisa acuh tak acuh. "Ya, jelas terlihat dari diri kamu, Nis. Kami bahagia dan keluargaku menderita." ujar Bagas. "Itu karma, Mas." jawab Anisa cepat tanpa menoleh melihat Bagas yang duduk disampingnya. Anisa berharap sang suami lekas kembali. "Karma. Mungkin bisa disebut seperti itu. Asal kamu tahu, N
Nana Meninggal "Na... Nana... Dokter anak saya kenapa? Ada apa dengan anak saya?" "Na, bangun, Na. Kamu dengar ucapku gak sih. Bangun, Na." Wulan terus menggoyangkan tubuh Nana yang sudah tak merespon sama sekali. Dokter telah berusaha semaksimal mungkin menolong Nana saat ini. "Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Maaf, Bu, kami sudah berusaha, semua telah kembali pada sang Pencipta." ujar Dokter yang merawat Nana. "Nana... Kamu tega tinggalin Ibu, Na. Kamu tega biarkan Ibu sendirian. Bangun, Na." Bu Mutia memeluk tubuh Nana dengan erat. Ia menangis menumpahkan rasa sedih sekaligus kehilangan yang sangat mendalam. "Na.... Kenapa kamu jadi wanita lemah, Na. Kenapa kamu lemah begini dan menyerah begitu saja? Mana Nana yang kuat, Nana yang angkuh. Kenapa kamu menyerah, Na." ujar Wulan yang tak kalah sedihnya. "Na, bangunlah, Na. Jangan prank kami, Na." Wulan menangis tak berdaya sambil mengguncang kaki, Nana.
Hasil tes DNA Tepat saat Bagas menatap Mawar, pada saat itu juga Mawar melihat keluarga Nana sedang menunggu di depan ruangan. Lekas Mawar segera menghampiri keluarga Nana. "Halo apa kabar? Jal*ng itu sudah melahirkan ya?" ucapnya dengan pelan tapi menusuk pada hati Bu Mutia. "Dia punya nama, namanya Nana. Jangan sebut anak saya sebagai jal*ng." ucap Bu Mutia dengan geram. "Ck, apa bedanya dengan merebut suami orang? Saya kemari hanya melihat keadaan saja setelah mendengar jal*ng itu pendarahan dan dibawa kerumah sakit ini. Jangan harap bahwa suami saya akan datang kemari melihat wanita itu dan anaknya." ucapnya tegas dan tenang. "Maksud anda apa? Nana juga istrinya, dia sedang bertaruh nyawa didalam bahkan kondisinya kritis tak sadarkan diri." ujar Bu Mutia yang tak terima akan ucapan istri pertama dari suami Nana. "Hahahaha, kalian belum tahu ya, bawa dia bukan istri kedua, melainkan wanita penghibur yang menghibur b
Nana Kritis Anisa kini tengah berkeliling disalah satu pusat pembelanjaan khusus bayi. Ia berkeliling mencari beberapa baju dan kelengkapannya. Ia memang belum tahu jenis kelamin sang anak yang tengah dikandungnya, maka dari itu ia memilih warna netral agar bisa digunakan baik laki-laki maupun perempuan. Satria dengan senang hati menemani sang istri berbelanja, ia juga sesekali mengambil barang yang lucu dan memasukannya kedalam keranjang belanjaannya. "Mas, kok semuanya dimasukin?" protes Anisa. "Gak pa-pa, lucu loh, Yank. Mumpung kita di kota." ucap Satria yang mana langsung mendapatkan cubitan kecil dari Anisa. Brukk"Awwh,,,, to,,,,, tolong." "Astagfirullah. Mas tolongin Ibu hamil itu." ucap Anisa yang melihat wanita hamil terjatuh dan memegangi perut besarnya. Anisa dan Satria bergegas menghampiri wanita yang tengah kesakitan, ada karyawan juga yang sudah menolong, namun hati nurani Anisa m
Pergi ke Kota"Ini pesanan kamu, Nis." Mbak Lala menyerahkan paper bag kepada Anisa. "Wah, terimakasih, Mbak." "Kamu pesan apa, Yank? Kok gak bilang- bilang sih," ucap Satria."Taraaaaa. Lucu kan Mas. Ini satu buat kamu. Buruan dipakai sekarang," pinta Anisa sambil menyerahkan barang pada Satria.Satria membulatkan matanya menatap ngeri pada baju yang diberikan oleh istrinya. Disisi lain, Mas Amor dan Mbak Lala menahan tawanya. Bagaimana tidak satu set pakaian berwarna pink yang harus digunakan oleh Satria. "Astaga istriku. Yank, aku rela di gigit semut loh," tolak Satria dengan halus."Sudahlah Sat, istri kamu lagi ngidam loh." ucap Mas Amir. Sedangkan Anisa menatap penuh harap pada sang suami untuk memakainya. Bukan maksud hati untuk membuat sang suami malu, tapi entah mengapa ia hari ini ingin menggunakan couple baju berwarna pink beserta kelengkapannya. Satria meraup wajah lalu menghe