Pov Anisa
Aku tak menyangka setelah berpisah dengan Mas Bagas akan semenyenangkan ini padahal pada umumnya seorang wanita yang berpisah tentu akan merasa terluka dan terpukul namun berbeda denganku, aku malah bahagia apalagi ada Satria teman masa kecilku yang selalu memberikan semangat untuk aku terus menjali hari-hariku ini.Awal mula para tetangga selalu merendahkan statusku yang menjadi janda di usia muda, apalagi janda tanpa anak. Banyak gunjingan yang aku dapati, berkat bapak dan Ibu aku kuat menghadapi gunjingan itu semuanya. Aku malah membalas mereka dengan kebaikan yang tulus aku berikan, memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan bahkan saat kerja bakti aku akan turun berbaur sesama warga. Bukan kecentilan namum aku akan membuktikan bahwa janda belum tentu buruk perilakunya.Alhamdulillah sedikit demi sedikit ibu-ibu yang membicarakan aku dan mencemooh status janda mulai berubah dan meminta maaf atas ucapannya selama ini yang menyakiPov Anisa Bangunan bekas rumah makan yang ditunjukan oleh Satria memang sangat bagus dan luas. Apalagi ada taman bermain anak dan juga kolam ikan. Sedikit renovasi makan bangunan ini akan terlihat lebih bagus. Aku memotret banyak untuk ditunjukan kepada Mbak Lala nantinya. "Dijual berapa pak?" tanya Satria pada pemilik resto sebelumnya."700 juta saja, Mas. Saya kasih murah karena memang sedang membutuhkan uang. Kalau mau juga saya bisa menjembatani bekas karyawan saya terdahulu, sebagin juga masih bekum bekerja. Dan saya jamin mereka karyawan-karyawan terbaik dari saya." Harganya cukup fantastis juga, tapi bangunan ini bagus dan aku suka. Tapi jika harga segitu aku rasa tabunganku tak cukup. Sebenarnya disini sudah ada komplit, meja dan kursi makan, meja kasir, komputer, mesin kasir, kompor, frezeer, alat makan dan minum. "Aku suka, Sat. Tapi harganya." bisik-ku pada Satria yang masih melihat-lihat sekitar. Sebenarnya
Pagi ini rumah Anisa telah disulap menjadi tempat yang sangat indah, rangkaian bunga-bunga terlah tersemat didekorasi kecil untuk acara lamarannya. Walau lelah karena ia habis lembur membuat pesanan tapi tak menyurutkan rasa bahagianya yang sebentar lagi akan segera menikah kembali. Anisa akan di make up oleh Jeni teman salonnya nanti malam. Dan kini ia tengah melakukan perawatan di salon tempatnya dahulu bekerja. Segala rangkaian perawatan dilakukan untuk menunjang penampilannya malam ini. "Cie... Cie calon pengantin makin glowing aja.. eh bukan tapi makin ngeglazed aja kulitnya." "Ih Mbak Jeni nih ya, jujur aku gugup banget Mbak." "Lah gugup bagaimana? Bukankan kami sudah pernah melakukannya, relax aja, Nisa." "Kan beda Mbak, dahulu aku gak seperti ini. Lamaran aja juga simple, malam lamaran dan lusa menikah, itupun secara sederhana. Lah ini baru lamaran tapi udah dibikin pesta, gimana gak gugup aku, Mbak." ungkap Anisa.Anisa mengu
Bertemu mantan adik iparKeputusan telah di dapatkan, mulai dari souvenir, undangan, dekorasi dan MUA sendiri Anisa memilih menggunakan salon dimana ia terdahulu bekerja. Hari ini juga Satria dan Anisa akan langsung memesan baju untuk acara sakral pernikahannya, dan juga ia akan memesan baju seragam untuk kedua keluarga. Acara pernikahan kali ini akan jauh lebih meriah daripada pernikahannya terdahulu. "Pak, kami ijin berangkat terlebih dahulu hendak ke butik. Sekalian kami juga akan hunting beberapa keperluan yang digunakan untuk pernikahan kami. Sekalian mau ketempat teman Mas Amir buat pesan semuanya." "Pergilah, Nak. Hati-hati kalian." ujar Pak Andi. "Betul Sat, jagan calon menantu Ibu ya. Awas jika lecet kamu berurusan dengan ibu." ancam Bu Tari pada putranya. "Iya... Iya, Bu. Tenang saja, mana mungkin aku membiarkan calon istriku terluka. Sia-sia juga aku menunggunya selama ini." kekeh Satria yang mana mendapatkan tatapan t
"Nana cukup! Kakak kamu sendiri yang memulainya, wanita mana yang terima jika dianiaya dan akan dilecehkan seperti itu. Orangtua mana yang terima jika putrinya menjadi korban kekerasan, bahkan tak sekali dia menampar bahkan memukul aku didepan kedua orangtuaku. Bahkan bapakku saja ia berani memukulnya, wajar jika aku menjebloskannya kedalam penjara. Ini tentang keselamatan yang untukku juga. Coba kau berada diposisi ku, apa yang akan kamu lakukan?" "Halah omong kosong. Kamu hanya memutar balikan fakta, jika kamu memberikan apa yang Mas Bagas mau maka kamu tak akan mendapatkan serangan seperti itu. Ingat hidupmu gak akan tenang." ancam Nana dan kemudian ia berlalu meninggalkan Anisa. Tangan Satria mengepal dan hendak bangkit mengejar Nana, dengan cepat Anisa menahan Satria. Ia tak mau masalah hari ini akan berakibat pada pernikahannya nanti. "Dia harus diberi pelajaran, Nisa. Mulutnya tajam sekali." "Sat, cukup. Ini bukan waktu yang tepat? Kita
Mengembalikan Warisan Anisa meminta Satria untuk parkir didekat Mushola saja, Satria paham akan arah pandangan Anisa, walau ia sedikit lupa, namun tetap menuruti permintaan Anisa. Ia juga sudah menawarkan untuk berpindah tempat, namun lagi dan lagi "isa menolaknya dan memilih tetap di resto ini. Jantungnya terus berdetak tak menentu, namun sebisa mungkin Anisa menyingkirkan rasa ketakutannya. Sembari menunggu Satria memesan makanan di dalam restauran, Anisa bermain ponsel untuk menghilangkan kegelisahannya. Ya pada akhirnya Satria menawarkan untuk take away makanan saja dan dimakan didalam mobil untuk mengurasi rasa tak nyaman Anisa. "Maaf antriannya lama, makanlah." Satria masuk kedalam mobil dengan membawa bungkusan makanan dan menyerahkan pada Anisa. "Loh kok jalan lagi? Kita mau kemana lagi?" tanya Anisa yang heram ketika Satria menjalankan mobilnya kembali. Padahal ia tak mengapa jika makan didalam mobil ditempat parkir ini. Ada
Sumpah serapah dilontarkan Linda dan Nana untuk Anisa. Ia tetap tak terima bahwa warisan jatahnya di wakaf_kan begitu saja. Bahkan Anisa juga sudah menandatangani surat penyerahan harta pada Pak Karyo. Perkara nantinya anak diberikan pada keluarga Bagas itu bukan lagi hak Anisa. Ia sudah lepas tangan masalah harta yang sellau membuatnya cemas dan tak tenang. Apalagi setelah mendengar kenyataan bahwa anak Linda telah tiada membuatnya seakan bersalah. "Kamu harus tandatangan ini dan kota sidang. Harta itu tak boleh di wakaf_kan seperti yang kamu bilang, Nisa? Samapi kapanpun aku tak ikhlas, itu adalah jatah keluarga kami!" seru Linda yang sudah mengebu ingin mendapatkan semua warisan keluarga Bagas."Kamu itu hanya menantu Linda, mengapa kamu ngotot ingin harta itu? Lagipula sudah dijelaskan oleh Pak Karyo, mengapa kamu tak mengerti juga? Dalam tabungan itu cukup banyak uangnya karena aku tak pernah memakai sepeserpun, tabungan itu aman tak ada transaksi keluarnya,
Urusan telah usaiPagi ini Anisa dan Satria sudah berada di kantor Pak Karyo, keduanya menunggu kedatangan Linda dan juga Nana. "Kalian hari ini tampil serasa sekali. Bapak do'akan pernikahan kalian berjalan lancar dan langgeng sampai maut memisahkan." "Aamiin. Terimakasih Pak Karyo. Saya harap Bapak bisa datang nanti di pernikahan saya." "InsyaAllah, Nis. Semoga saja tak ada pekerjaan." jawab Pak Karyo."Sepertinya mereka sudah datang," ujar Satria yang menunjuk pada mobil berwarna merah yang barusan terparkir tak jauh dari mobilnya. "Ah nambah rumit ini, Sat. Bu Mutia juga ikut datang bersama mereka, semoga hari ini selesai urusanku." lirih Anisa disekat Satria. Pak Karyo menyambut kedatangan ketiga tamunya dengan ramah. Anisa hanya terdiam tanpa ikut campur pembicaraan mereka. "Ada upik abu berubah jadi putri. Dasar perempuan benalu dan mur*han." cibir Bu Mutia yang menatap sinis pada Anisa.
Hari-hari pun terus berlalu, berbagai kesiapan acara pernikahan Anisa dan Satria telah selesai. Sejak semalam dikediaman Anisa sudah diadakan pengajian, dan pagi ini Anisa sudah di make up untuk acara sakral pada pukul 8 pagi. Acara pernikahan ini diajukan dari sebelumnya. Sebelumnya akan diadakan ijab pada jam 10, namun sesuai keinginan Bu Tari dan kedua belah pihak akhirnya mereka setuju untuk memajukan acara ijab dan disaksikan oleh keluarga ini. Anisa menggunakan kebaya pengantin adat sunda berwarna putih terang, gaun Anisa dirancang dengan panjang ekor yang menjuntai. Tak ketinggalan Anisa juga menggunakan siregar sebagai pelengkap penampilannya. Anisa begitu tampil cantik dan menawan. Sedangkan untuk Satria ia menggunakan baskap putih serasi dengan warna kebaya milik Anisa. "MasyaAllah cantik banget adek aku ini. Hmmm yakin deh Satria akan terpana," ujar Lala yang kini berada didalam ruangan make up. Ruangan kerja Anisa di resto diubah menjadi tempat m
SEASON 2 Season 2 "Ayah, ayah kenapa kemari? Bukankah kalau butuh sesuatu ayah bisa telfon aku?" "Ck, kamu pikir ayah sudah setua itu. Ayah cuma masuk angin saja. Kebetulan ayah kangen makan lotek di pasar." "Ayah semalam demam tinggi, ya wajar aku khawatir dengan keadaan ayah. Apalagi ayah tiba- tiba kemari." "Ayah sudah baik- baik saja. Gimana hari ini ramai?" "Enggak begitu yah. Apalagi saat ini 'kan sudah modern, sudah banyak yang punya kendaraan pribadi juga jadi ya begitulah," jawab Rendra. Satria tersenyum dan duduk di warkop kecil yang tak jauh dari parkiran angkutan. Segelas susu hangat menemaninya duduk. "Kenapa kamu masih kukuh untuk meneruskan usaha angkutan ini, Nak. Usaha mendiang ibumu jelas lebih menjanjikan. Apa kamu tak lelah harus bolak balik mengurus semuanya? Masa muda mu masih panjang, Nak, jangan terlalu terforsir dengan bekerja. Nikmatilah masa muda mu ini," ujar Satria. "Yah, aku tahu usaha angkutan ini dirinya oleh almarhum kakek. Ayah juga merintisn
Dibawah teduhnya pohon kamboja sesosok pria berpakain hitam terduduk lesu. Meratapi takdir yang begitu pedih. Kebahagiaan dan kesedihan datang secara bersamaan, entah bagaimana jalan dan takdir yang ia lalui. *"Mas, ingat gak dahulu kita pernah jalan-jalan ke sungai. Kita menulis nama di pohon, lucu sekali ya, Mas."**"Mas ingat gak kalau dahulu di pohon itu setiap berbuah kita akan mengumpulkan buat yang telah terjatuh, jika buat masih bagus maka kita akan makan bersama. Hanya kamu yang selalu dekat denganku dan berteman baik denganku."**"Pohon ini sudah begitu tua, Mas. Bahkan buah pun sudah tak lagi berbuah seperti dahulu. Ternyata perjalanan hidup kita makin berputar, aku beruntung memiliki kamu. Menjadi istrimu adalah hal yang terindah dalam hidupku, terima kasih telah menerima semua kekuranganku dan terima kasih sudah selalu ada untukku disaat terpurukku terdahulu. Aku harap anak dalam kandunganku akan selalu bahagia, ini adalah penantian yang aku
Perjalanan yang cukup panjang dilalui oleh Anisa dan Satria, kini keduanya telah tiba di lokasi pertemuannya dengan Ibu Mutia. Anisa maupun Satria juga sempat bingung mengapa pertemuannya ditempat seperti ini. "Itu bukannya Bu Mutia," tunjuk Satria pada sosok wanita paruh paya yang tengah duduk di samping toko bunga. Pandangan Anisa beralih mengikuti arah telunjuk Satria. "Eh iya, Mas. Kita turun sekarang," ajak Anisa pada suaminya. Ia ingin lekas selesai dan lekas kembali ke desa. Dengan perlahan Satria mengandeng tangan Anisa. Bu Mutia yang melihat kedatangan Anisa segera berdiri dan tersenyum hangat menyambut orang yang ditunggunya. Ada kelegaan tersendiri saat melihat Anisa menempati janjinya. "Syukurlah kamu akhirnya datang. Terimakasih sudah mau menemui ibu, Nis," ucap Bu Mutia. "Sama-sama, Bu," jawab Anisa seraya tersenyum. "Hmm maaf kenapa Ibu meminta kita bertemu disini?" tanya Anisa kembali. "Ini yang ma
Anisa cukup terkejut akan penjelasan dokter tentang kondisi Bagas. Bukan masih memiliki rasa namun lebih ke kasihan ,apalagi ia tadi menyelamatkannya dengan mendorong sehingga ia terbebas dari bahaya. Ada rasa bersalah didalam benaknya. "Dok, lakukan yang terbaik untuk kedua korban." pinta Satria. "Mas.." "Nanti kita bahas lebih lanjut." ucap Satria yang mengerti akan tatapan sang istri. Dokter segera melakukan tindakan yang tepat untuk kedua korban terutama Bagas yang lumayan parah. Sedangkan keluarga kedua belah pihak telah dihubungi dan akan segera datang kerumah sakit. "Sayang, maafkan Mas yang mengambil tindakan ini. Bukan tak mengetikan perasaan kamu, tapi secara tidak langsung Bagas telah menyelamatkan kamu juga. Mas sangat bersyukur karena kamu selamat, walau tindakan itu juga cukup membahayakan jika mas tak kuat menopang tubuh kamu, tapi kuasa Allah itu nyata, kamu dan calon bayi kita selamat. Mas juga sudah mendaftarkan kam
Kecelakaan "Kenapa? Kaget? Biasa saja lah, Nis. Justru aku yang kaget melihat kamu." ujarnya seraya tersenyum kecil. "Mau apa lagi kamu, Mas?" Anisa sudah tak sanggup untuk basa-basi dengan Bagas. Ya, Bagas datang menghampiri Anisa yang tengah duduk di taman sendirian. Ia tadi tak sengaja berkeliling dan melihat Satria berada di taman dan matanya sekita langsung tertuju pada wanita yang duduk di bawah pohon rindang dengan gaun berwarna navy, sama seperti kaos milik Satria. Segera ia menepikan mobilnya dan berjalan mendekati Anisa. "Kamu bahagia sekarang, Nis?" "Ya. Aku sangat bahagia." jawab Anisa acuh tak acuh. "Ya, jelas terlihat dari diri kamu, Nis. Kami bahagia dan keluargaku menderita." ujar Bagas. "Itu karma, Mas." jawab Anisa cepat tanpa menoleh melihat Bagas yang duduk disampingnya. Anisa berharap sang suami lekas kembali. "Karma. Mungkin bisa disebut seperti itu. Asal kamu tahu, N
Nana Meninggal "Na... Nana... Dokter anak saya kenapa? Ada apa dengan anak saya?" "Na, bangun, Na. Kamu dengar ucapku gak sih. Bangun, Na." Wulan terus menggoyangkan tubuh Nana yang sudah tak merespon sama sekali. Dokter telah berusaha semaksimal mungkin menolong Nana saat ini. "Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Maaf, Bu, kami sudah berusaha, semua telah kembali pada sang Pencipta." ujar Dokter yang merawat Nana. "Nana... Kamu tega tinggalin Ibu, Na. Kamu tega biarkan Ibu sendirian. Bangun, Na." Bu Mutia memeluk tubuh Nana dengan erat. Ia menangis menumpahkan rasa sedih sekaligus kehilangan yang sangat mendalam. "Na.... Kenapa kamu jadi wanita lemah, Na. Kenapa kamu lemah begini dan menyerah begitu saja? Mana Nana yang kuat, Nana yang angkuh. Kenapa kamu menyerah, Na." ujar Wulan yang tak kalah sedihnya. "Na, bangunlah, Na. Jangan prank kami, Na." Wulan menangis tak berdaya sambil mengguncang kaki, Nana.
Hasil tes DNA Tepat saat Bagas menatap Mawar, pada saat itu juga Mawar melihat keluarga Nana sedang menunggu di depan ruangan. Lekas Mawar segera menghampiri keluarga Nana. "Halo apa kabar? Jal*ng itu sudah melahirkan ya?" ucapnya dengan pelan tapi menusuk pada hati Bu Mutia. "Dia punya nama, namanya Nana. Jangan sebut anak saya sebagai jal*ng." ucap Bu Mutia dengan geram. "Ck, apa bedanya dengan merebut suami orang? Saya kemari hanya melihat keadaan saja setelah mendengar jal*ng itu pendarahan dan dibawa kerumah sakit ini. Jangan harap bahwa suami saya akan datang kemari melihat wanita itu dan anaknya." ucapnya tegas dan tenang. "Maksud anda apa? Nana juga istrinya, dia sedang bertaruh nyawa didalam bahkan kondisinya kritis tak sadarkan diri." ujar Bu Mutia yang tak terima akan ucapan istri pertama dari suami Nana. "Hahahaha, kalian belum tahu ya, bawa dia bukan istri kedua, melainkan wanita penghibur yang menghibur b
Nana Kritis Anisa kini tengah berkeliling disalah satu pusat pembelanjaan khusus bayi. Ia berkeliling mencari beberapa baju dan kelengkapannya. Ia memang belum tahu jenis kelamin sang anak yang tengah dikandungnya, maka dari itu ia memilih warna netral agar bisa digunakan baik laki-laki maupun perempuan. Satria dengan senang hati menemani sang istri berbelanja, ia juga sesekali mengambil barang yang lucu dan memasukannya kedalam keranjang belanjaannya. "Mas, kok semuanya dimasukin?" protes Anisa. "Gak pa-pa, lucu loh, Yank. Mumpung kita di kota." ucap Satria yang mana langsung mendapatkan cubitan kecil dari Anisa. Brukk"Awwh,,,, to,,,,, tolong." "Astagfirullah. Mas tolongin Ibu hamil itu." ucap Anisa yang melihat wanita hamil terjatuh dan memegangi perut besarnya. Anisa dan Satria bergegas menghampiri wanita yang tengah kesakitan, ada karyawan juga yang sudah menolong, namun hati nurani Anisa m
Pergi ke Kota"Ini pesanan kamu, Nis." Mbak Lala menyerahkan paper bag kepada Anisa. "Wah, terimakasih, Mbak." "Kamu pesan apa, Yank? Kok gak bilang- bilang sih," ucap Satria."Taraaaaa. Lucu kan Mas. Ini satu buat kamu. Buruan dipakai sekarang," pinta Anisa sambil menyerahkan barang pada Satria.Satria membulatkan matanya menatap ngeri pada baju yang diberikan oleh istrinya. Disisi lain, Mas Amor dan Mbak Lala menahan tawanya. Bagaimana tidak satu set pakaian berwarna pink yang harus digunakan oleh Satria. "Astaga istriku. Yank, aku rela di gigit semut loh," tolak Satria dengan halus."Sudahlah Sat, istri kamu lagi ngidam loh." ucap Mas Amir. Sedangkan Anisa menatap penuh harap pada sang suami untuk memakainya. Bukan maksud hati untuk membuat sang suami malu, tapi entah mengapa ia hari ini ingin menggunakan couple baju berwarna pink beserta kelengkapannya. Satria meraup wajah lalu menghe