Dua bulan telah berlalu, kini Anisa tengah bersiap untuk menghadiri putusan sidang di kota dimana Bagas tinggal selama ini. Dua bulan juga Bagas tak menampakan lagi dikediaman Anisa. Anisa juga sudah menghubungi Pak Karyo waktu itu dan menceritakan apa yang telah terjadi. Bahkan Pak Karyo juga datang berkunjung dirumah Anisa.
"Gimana, Nduk? Apa sudah siap?""Sudah, Pak. Kita tinggal berangkat saja,"Ya, Anisa berangkat sore hari lantaran jadwal sidangnya pagi pukul 9 tepat, ia tak ingin terlambat akan putusan itu. Kali ini.Kali ini Anisa dan keluarga ya diantarkan oleh Satria yang mana sekalian menyewa mobilnya, namun Satria dengan rela mengantarkan tanpa meminta imbalan apapun.Walaupun Anisa selalu menghindar, namun Satria tetap peduli padanya. Ia juga sadar bahwa status Anisa masih belum jelas, maka dari itu ia selalu memperhatikan Anisa dari jauh.Tepat pukul 10 malam rombongan Anisa telah tiba disalah satu hotel yangUngkapan Satria "Bagas ada rahasia apa kamu dan Anisa? Apa yang kamu sembunyikan dari ibu, hah? Jangan bilang ini tentang warisan itu?" cecar Bu Mutia kala mereka telah tiba dirumah."Bu,,,, ibu tak usah dengarkan wnaita kampungan itu lah, bu. Percayalah sama Bagas. Bagas anak ibu loh," "Betul, bu. Mas Bagas tak mungkin menyembunyikan apa-apa dari wanita itu. Ia hanya belum terima saja akan perpisahannya apalagi sekarang aku yang tengah hamil anak mas Bagas. Pasti dia iri, bu." ujar Linda membela suaminya. "Tapi kok kayaknya dia serius banget, Gas? " tanya Wulan yang penasaran juga."Halah paling juga cuma akting mbak. Aku setuju apa kata mbak Linda daripada kata si gendut itu." Ungkap Nana yang kini duduk merebahkan dirinya di sofa."Awas kamu, Gas. Pokoknya desak terus Anisa untuk menyerahkan bagiannya pada kita, enak sekali dia mendapatkan setengah harta dari ayah kalian seorang diri." "Tenang saja, bu. Ibu gak us
Perkara Rendang Sesuai permintaan Anisa, kini mereka masih tinggal disekitaran pantai. Satria memesan homestay untuk menginap malam ini. Satria kekeh ingin membayar tempat menginapnya. Mau tak mau Anisa mengalah dan membiarkan Satria yang akan membayarnya. "Terimakasih ya, Sat. Malah merepotkan kamu, padahal bapak mengajak kamu karen kamu yang bisa menyopir tapi kini malah kamu yang bayar sewa penginapan untuk kami." "Apaan sih, Nis. Aku ikhlas, lagian kemarin kamu juga yang sewa hotel untukku, belum lagi makan dan lainnya. Apa salahnya gantian aku yang membayarnya. Gak usah dipermasalahkan, yang penting kamu bahagia dan aku juga ikut bahagia." ucap Satria yang memandang lekat wajah Anisa. Anisa hanya tersenyum, senyum manis yang memikat hati Satria. Walau bagi Satria senyuman itu berbeda dari Anisa yang gendut. Walau berbeda tetapi masih terlihat manis. Ya kini keduanya menikmati malam bersama dipinggir pantai. Sedangkan kedua orangtua A
"Haduh, punggung ini rasanya mau copot, bersih-bersih rumah segini besarnya belum lagi harus masak jiga. Udah kaya babu dirumah sendiri, punya anak perempuan gak ada yang peduli akan nasib ibunya, belum lagi Bagas punya istri baru bukannya mengurangi beban ku tapi malah menambah beban dan pekerjaanku. Dahulu ada Anisa justru aku bisa istirahat dan berpergian, pulang-pulang semuanya sudah rapi, bersih, makanan sudah tersedia kalau perlu apa-apa tinggal bilang dan pasti langsung dikerjakan.Sekarang mau bilang sama siapa? Mana uang yang diberikan Bagas dikurangi lagi, aku sudah gak bisa mengontrol keuangan Bagas gara-gara Linda." gerutu Bu Mutia yang kini merebahkan dirinya di sofa. Sedangkan Wulan dan Nana sudah pergi usai sarapan bersama tadi pagi. Entah kemana perginya Wulan bersama sang anak, setidaknya Bu Mutia bisa lebih cepat membereskan rumah. Rumahnya kini tidak selalu sebersih dahulu saat ada Anisa, namun setidaknya jika masuk kedalam rumah terlihat sediki
Tak henti-hentinya Linda marah-marah malam ini. Ia menyalahkan bu Mutia terus menerus. Bagas sudah berusaha menenangkan sang istri namun usahanya sia-sia belaka. Apalagi mbak Wulan juga ikut dalam membela sang ibu. "Sudahlah sayang. Nanti aku belikan lagi baju baru. Ingat kamu sedang mengandung.. mbak juga lihat disana ada anak mbak sedang makan, apa kalian gak berpikir jauh sebelum bertengkar." "Itu juga karena istrimu, Gas. Kalau tak memancing emosiku jelas gak ada pertengkaran seperti ini. Hanya masalah sepele aja dibikin besar. Beda sama Anisa yang tak pernah membentak dan memberontak." "Apa! Jangan samakan aku dengan orang kampungan itu mbak. Aku lebih berkelas dan berpendidikan." Dengan terpaksa Bagas menarik tangan Linda untuk dibawanya memasuki kamar. Ia sudah pusing menengahi pertengkaran malam ini. Apalagi mbak Wulan juga membawa nama yang dibenci oleh Linda, bisa- bisanya pertengkaran ini tak akan selesai. Tak lupa ia juga meraih pl
# 28 Sudah kepalang tanggung Bu Mutia malu akibat penuturan sang putra. Selama ini ia berkoar-koar lantaran Anisa tak ku jung hamil nyatanya sang putra sendiri yang tak menyentuhnya. "Nak Bagas, itu sama aja berdosa, jika dari awal tak menyukainya mengaoa nak Bagas menikahi Anisa. Setahu ibu Anisa itu wanita yang begitu baik dan tulus. Cantik itu bukan karena fisiknya tapi hatinya. Jaman sekarang wanita cantik makin banyak asal dapat perawatan. Kemarin saja ibu melihat Nisa begitu berubah, dia cantik, menarik dan semakin bersinar. Ibu yakin sebentar lagi ia akan semakin maju. Andai kamu mau memberikan biaya untuk perawatan tentu Anisa akan menjadi wanita yang cantik." "Maaf, bu. Ibu kok seolah menjelekan aku sih. Aku ini istri mas Bagas loh sekarang, dan saya sekarang sedang hamil anaknya. Kalau tak tahu perjalanan cerita kita jangan membandingkan aku dengan mantan istri gendut mas Bagas." sungut Linda yang tak terima. Ia merasa tersindir akan ucap
"Mas... Pak Karyo telfon ini." teriak Linda yang mana Bagas sedang mandi selepas pulang bekerja. Bagas segera keluar hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya. (Halo, pak Karyo. Bagaimana, pak?)(Ya, mas Bagas. Saya sudah menghubungi Anisa tadi pagi, sudah saya jelaskan semaunya dan daya sudah cukup membantu. Maaf sekali, Anisa tak menginginkannya. Ia tetap bersedia jika anak mas Bagas telah lahir sesuai apa diisi surat wasiat itu. Saya mohon maaf sekali) (Apa? Ya, gak bisa begitu dong, pak. Itu kan ada hak saya juga disana. Biasanya Anisa juga akan menyetujuinya jika aku butuh uang. Gak bisa begitu dong pak?) (Maaf mas Bagas, itu keputusan Anisa) Bagas segera mematikan ponselnya dan melemparkannya di ranjang. Ia tertunduk lemas dengan menutup wajah dengan kedua tangannya. "Mas kenapa? Apa Anisa menolak?" "Sepertinya aku harus kesana dan memaksanya untuk menandatangani surat pencairan tabungan
Anisa tak menggubris teriak bahkan makian dari Bagas dan mantan mertuanya. Ia memilih segera makan karena waktu sudah menunjukan pukul setengah delepan pagi. Tak ingin terlambat gara-gara mantan keluarganya yang mencari masalah. "Mantan mertuamu iku loh nduk, matanya ijo aja kalau bahas duit. Takut banget apa gak dikasih nantinya." gerutu Bu Utari."Biarkan saja, bu. Kalau nanti mereka berbuat yang melebihi batas kita lapor polisi." "Bapak ini loh, lihat pipi anak kita aja memerah begitu, cap tangan lagi. Ini sudah tindakan kekerasan sudah kena pasal loh pak. Bisa ini kalau dilaporkan." Anisa yang masih menahan nyeri di pipinya seketika memiliki ide untuk membuat keluarga Bagas jera. Ia segera mengetik pesan, senyum tersungging disudut bibir Anisa yang sedikit berdarah. "Lihat saja, mas. Ini sedikit pembelajaran untukmu," gumam Anisa dalam hati. Usai sarapan Anisa menengok sejenak keluar dan ternyata diluar sudah tak ada man
Linda terancam keguguranPagi ini Anisa memilih ijin untuk tak bekerja. Rasa trauma masih membekas didalam ingatannya. Apalagi rasa pusing masih mendera di kepalanya akibat benturan saat ia tergelincir belum lagi lemparan batu pada punggungnya terasa sakit. Tok... Tok ... Tok ... "Nis, makan dahulu. Ini tadi Satria mampir kasih kamu bubur gudeg." "Ha, Satria kemari, bu? Kapan? Kok Anisa gak tahu?" "Tadi pagi, dia menemui ibu dibelakang. Takut ganggu kamu istirahat, sekalian mau berangkat narik katanya." "Owh, nanti aku hubungi Satria kalai begitu, bu. Makasih ya bu, sudah dianterin masuk makanannya. Aku bisa kok makan dibelakang." "Kamu lagi sakit, sudah gek habiskan terus minum obat dari bu bidan. Mau ibu rebusin air panas untuk mandi?" "Jangan.... Anisa mandi air dingin saja bu, makin gerah nanti." "Ya sudah kalau begitu. Ibu keluar dahulu, segera habiskan." "Iya, bu." Sete
SEASON 2 Season 2 "Ayah, ayah kenapa kemari? Bukankah kalau butuh sesuatu ayah bisa telfon aku?" "Ck, kamu pikir ayah sudah setua itu. Ayah cuma masuk angin saja. Kebetulan ayah kangen makan lotek di pasar." "Ayah semalam demam tinggi, ya wajar aku khawatir dengan keadaan ayah. Apalagi ayah tiba- tiba kemari." "Ayah sudah baik- baik saja. Gimana hari ini ramai?" "Enggak begitu yah. Apalagi saat ini 'kan sudah modern, sudah banyak yang punya kendaraan pribadi juga jadi ya begitulah," jawab Rendra. Satria tersenyum dan duduk di warkop kecil yang tak jauh dari parkiran angkutan. Segelas susu hangat menemaninya duduk. "Kenapa kamu masih kukuh untuk meneruskan usaha angkutan ini, Nak. Usaha mendiang ibumu jelas lebih menjanjikan. Apa kamu tak lelah harus bolak balik mengurus semuanya? Masa muda mu masih panjang, Nak, jangan terlalu terforsir dengan bekerja. Nikmatilah masa muda mu ini," ujar Satria. "Yah, aku tahu usaha angkutan ini dirinya oleh almarhum kakek. Ayah juga merintisn
Dibawah teduhnya pohon kamboja sesosok pria berpakain hitam terduduk lesu. Meratapi takdir yang begitu pedih. Kebahagiaan dan kesedihan datang secara bersamaan, entah bagaimana jalan dan takdir yang ia lalui. *"Mas, ingat gak dahulu kita pernah jalan-jalan ke sungai. Kita menulis nama di pohon, lucu sekali ya, Mas."**"Mas ingat gak kalau dahulu di pohon itu setiap berbuah kita akan mengumpulkan buat yang telah terjatuh, jika buat masih bagus maka kita akan makan bersama. Hanya kamu yang selalu dekat denganku dan berteman baik denganku."**"Pohon ini sudah begitu tua, Mas. Bahkan buah pun sudah tak lagi berbuah seperti dahulu. Ternyata perjalanan hidup kita makin berputar, aku beruntung memiliki kamu. Menjadi istrimu adalah hal yang terindah dalam hidupku, terima kasih telah menerima semua kekuranganku dan terima kasih sudah selalu ada untukku disaat terpurukku terdahulu. Aku harap anak dalam kandunganku akan selalu bahagia, ini adalah penantian yang aku
Perjalanan yang cukup panjang dilalui oleh Anisa dan Satria, kini keduanya telah tiba di lokasi pertemuannya dengan Ibu Mutia. Anisa maupun Satria juga sempat bingung mengapa pertemuannya ditempat seperti ini. "Itu bukannya Bu Mutia," tunjuk Satria pada sosok wanita paruh paya yang tengah duduk di samping toko bunga. Pandangan Anisa beralih mengikuti arah telunjuk Satria. "Eh iya, Mas. Kita turun sekarang," ajak Anisa pada suaminya. Ia ingin lekas selesai dan lekas kembali ke desa. Dengan perlahan Satria mengandeng tangan Anisa. Bu Mutia yang melihat kedatangan Anisa segera berdiri dan tersenyum hangat menyambut orang yang ditunggunya. Ada kelegaan tersendiri saat melihat Anisa menempati janjinya. "Syukurlah kamu akhirnya datang. Terimakasih sudah mau menemui ibu, Nis," ucap Bu Mutia. "Sama-sama, Bu," jawab Anisa seraya tersenyum. "Hmm maaf kenapa Ibu meminta kita bertemu disini?" tanya Anisa kembali. "Ini yang ma
Anisa cukup terkejut akan penjelasan dokter tentang kondisi Bagas. Bukan masih memiliki rasa namun lebih ke kasihan ,apalagi ia tadi menyelamatkannya dengan mendorong sehingga ia terbebas dari bahaya. Ada rasa bersalah didalam benaknya. "Dok, lakukan yang terbaik untuk kedua korban." pinta Satria. "Mas.." "Nanti kita bahas lebih lanjut." ucap Satria yang mengerti akan tatapan sang istri. Dokter segera melakukan tindakan yang tepat untuk kedua korban terutama Bagas yang lumayan parah. Sedangkan keluarga kedua belah pihak telah dihubungi dan akan segera datang kerumah sakit. "Sayang, maafkan Mas yang mengambil tindakan ini. Bukan tak mengetikan perasaan kamu, tapi secara tidak langsung Bagas telah menyelamatkan kamu juga. Mas sangat bersyukur karena kamu selamat, walau tindakan itu juga cukup membahayakan jika mas tak kuat menopang tubuh kamu, tapi kuasa Allah itu nyata, kamu dan calon bayi kita selamat. Mas juga sudah mendaftarkan kam
Kecelakaan "Kenapa? Kaget? Biasa saja lah, Nis. Justru aku yang kaget melihat kamu." ujarnya seraya tersenyum kecil. "Mau apa lagi kamu, Mas?" Anisa sudah tak sanggup untuk basa-basi dengan Bagas. Ya, Bagas datang menghampiri Anisa yang tengah duduk di taman sendirian. Ia tadi tak sengaja berkeliling dan melihat Satria berada di taman dan matanya sekita langsung tertuju pada wanita yang duduk di bawah pohon rindang dengan gaun berwarna navy, sama seperti kaos milik Satria. Segera ia menepikan mobilnya dan berjalan mendekati Anisa. "Kamu bahagia sekarang, Nis?" "Ya. Aku sangat bahagia." jawab Anisa acuh tak acuh. "Ya, jelas terlihat dari diri kamu, Nis. Kami bahagia dan keluargaku menderita." ujar Bagas. "Itu karma, Mas." jawab Anisa cepat tanpa menoleh melihat Bagas yang duduk disampingnya. Anisa berharap sang suami lekas kembali. "Karma. Mungkin bisa disebut seperti itu. Asal kamu tahu, N
Nana Meninggal "Na... Nana... Dokter anak saya kenapa? Ada apa dengan anak saya?" "Na, bangun, Na. Kamu dengar ucapku gak sih. Bangun, Na." Wulan terus menggoyangkan tubuh Nana yang sudah tak merespon sama sekali. Dokter telah berusaha semaksimal mungkin menolong Nana saat ini. "Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Maaf, Bu, kami sudah berusaha, semua telah kembali pada sang Pencipta." ujar Dokter yang merawat Nana. "Nana... Kamu tega tinggalin Ibu, Na. Kamu tega biarkan Ibu sendirian. Bangun, Na." Bu Mutia memeluk tubuh Nana dengan erat. Ia menangis menumpahkan rasa sedih sekaligus kehilangan yang sangat mendalam. "Na.... Kenapa kamu jadi wanita lemah, Na. Kenapa kamu lemah begini dan menyerah begitu saja? Mana Nana yang kuat, Nana yang angkuh. Kenapa kamu menyerah, Na." ujar Wulan yang tak kalah sedihnya. "Na, bangunlah, Na. Jangan prank kami, Na." Wulan menangis tak berdaya sambil mengguncang kaki, Nana.
Hasil tes DNA Tepat saat Bagas menatap Mawar, pada saat itu juga Mawar melihat keluarga Nana sedang menunggu di depan ruangan. Lekas Mawar segera menghampiri keluarga Nana. "Halo apa kabar? Jal*ng itu sudah melahirkan ya?" ucapnya dengan pelan tapi menusuk pada hati Bu Mutia. "Dia punya nama, namanya Nana. Jangan sebut anak saya sebagai jal*ng." ucap Bu Mutia dengan geram. "Ck, apa bedanya dengan merebut suami orang? Saya kemari hanya melihat keadaan saja setelah mendengar jal*ng itu pendarahan dan dibawa kerumah sakit ini. Jangan harap bahwa suami saya akan datang kemari melihat wanita itu dan anaknya." ucapnya tegas dan tenang. "Maksud anda apa? Nana juga istrinya, dia sedang bertaruh nyawa didalam bahkan kondisinya kritis tak sadarkan diri." ujar Bu Mutia yang tak terima akan ucapan istri pertama dari suami Nana. "Hahahaha, kalian belum tahu ya, bawa dia bukan istri kedua, melainkan wanita penghibur yang menghibur b
Nana Kritis Anisa kini tengah berkeliling disalah satu pusat pembelanjaan khusus bayi. Ia berkeliling mencari beberapa baju dan kelengkapannya. Ia memang belum tahu jenis kelamin sang anak yang tengah dikandungnya, maka dari itu ia memilih warna netral agar bisa digunakan baik laki-laki maupun perempuan. Satria dengan senang hati menemani sang istri berbelanja, ia juga sesekali mengambil barang yang lucu dan memasukannya kedalam keranjang belanjaannya. "Mas, kok semuanya dimasukin?" protes Anisa. "Gak pa-pa, lucu loh, Yank. Mumpung kita di kota." ucap Satria yang mana langsung mendapatkan cubitan kecil dari Anisa. Brukk"Awwh,,,, to,,,,, tolong." "Astagfirullah. Mas tolongin Ibu hamil itu." ucap Anisa yang melihat wanita hamil terjatuh dan memegangi perut besarnya. Anisa dan Satria bergegas menghampiri wanita yang tengah kesakitan, ada karyawan juga yang sudah menolong, namun hati nurani Anisa m
Pergi ke Kota"Ini pesanan kamu, Nis." Mbak Lala menyerahkan paper bag kepada Anisa. "Wah, terimakasih, Mbak." "Kamu pesan apa, Yank? Kok gak bilang- bilang sih," ucap Satria."Taraaaaa. Lucu kan Mas. Ini satu buat kamu. Buruan dipakai sekarang," pinta Anisa sambil menyerahkan barang pada Satria.Satria membulatkan matanya menatap ngeri pada baju yang diberikan oleh istrinya. Disisi lain, Mas Amor dan Mbak Lala menahan tawanya. Bagaimana tidak satu set pakaian berwarna pink yang harus digunakan oleh Satria. "Astaga istriku. Yank, aku rela di gigit semut loh," tolak Satria dengan halus."Sudahlah Sat, istri kamu lagi ngidam loh." ucap Mas Amir. Sedangkan Anisa menatap penuh harap pada sang suami untuk memakainya. Bukan maksud hati untuk membuat sang suami malu, tapi entah mengapa ia hari ini ingin menggunakan couple baju berwarna pink beserta kelengkapannya. Satria meraup wajah lalu menghe