Yuki dan Yuka berpamitan pada nenek dan ayahnya yang masih sama-sama shock."Nek, kami pulang, ya." Yuka mencium punggung tangan neneknya. Yuki pun melakukan hal yang sama."Kami Pamit pulang, yah," ucap Yuka lirih. Air matanya menetes ke pipi. Yuki pun mengikuti kakak kembarnya menjabat tangan ayahnya yang masih terpaku di sudut pintu. Dinda hanya menatap si kembar dengan pandangan tak biasa. Aku masih tertunduk lesu di lantai teras, menatap si kembar pamit dengan adik angkatku itu."Jaga ayah dan nenek ya, tan. Berarti mulai sekarang tante nggak di rumah bunda lagi, ya? Tapi di sini sama ayah dan nenek." Yuki mendongakkan wajahnya dengan air mata berlinang. Aku tahu mungkin dia tak terlalu paham dengan keadaan ini tapi setidaknya mereka tahu kalau ayah dan tantenya ada hubungan lebih. Ibu mertua menarik lenganku pelan saat aku mencoba untuk berdiri. Ibu mencoba menenangkan dengan usapan lembutnya di lenganku. Mungkin ada setitik rasa bersalah di hatinya sebab ikut terlibat pernik
Siang ini begitu terik. Sinar mentari seolah berada tepat di atas kepala dan benar-benar membakar kulit. Dari dalam mobil Bella, kulihat Mas Bima dan Adinda memasuki ruang sidang.Sejak beberapa hari yang lalu aku sudah meminta mereka untuk mengikuti aturan mainku. Ancaman menyebarkan video mereka memang cukup ampuh membuat Mas Bima tak berkutik. Padahal sekalipun aku tak berniat serius untuk menyebarkan aibnya. Walau bagaimanapun aku paham, tak patut menyebarkan air orang lain apalagi video syur begitu di media sosial dan dilihat orang banyak. Otomatis aku bakal kena cipratan dosanya juga. Meski aku mengancam bakal membuang ponsel itu ke jalanan agar orang lain yang menyebarkan video tak patut itu, tetap saja aku sengaja melakukannya. Kalaupun nggak terkena pidana, tetap kecipratan dosanya. Bella dan ibu Fatimah selalu mendampingiku di tiap sidang. Mereka memberikan support dan banyak nasehat yang membuatku lebih bersemangat. Seperti sidang terakhir ini. Sejak kemarin aku sudah b
Pov : BIMA Sepi. Tak ada lagi terdengar suara celotehan kedua anakku, Yuka dan Yuki. Biasanya tiap weekend begini, mereka selalu mengajakku bermain meski sekadar petak umpet atau tebak-tebakan. Tapi mungkin beginilah hidup, penuh dengan pilihan. Memilih bertahan dan pasrah menerima keadaan atau memilih pergi mencari sesuatu yang baru untuk perubahan. Tak salah kan, jika aku lebih memilih opsi kedua? Pergi mencari yang lain demi perubahan yang membahagiakan. Awalnya kupikir begitu. Namun pada akhirnya, kenyataan tak sesuai dengan harapan. Adinda yang kupikir bisa cepat memberiku anak laki-laki ternyata gagal. Aku harus lebih bersabar menunggunya pulih. Pulih dari sakitnya dan pulih dari sedihnya karena tak bisa wisuda tahun ini. Gagal total. Biaya belum bisa kulunasi, skripsinya pun masih perlu revisi di sana-sini. Sedangkan dia mulai malas untuk merevisinya karena aku tak jua mendapatkan biaya seperti yang dia minta. Ibu pun lebih banyak diam. Apalagi sejak aku dan Dinda ikut t
Pov : AmeliaMas Bima buru-buru pergi dan menghilang di ujung jalan. Dia beneran ngojek dan mengambil pesanan di restoku? Tadi bener Mas Bima, kan? Kutepuk pipiku pelan. Terasa sakit, itu buktinya yang kulihat tadi memang nyata bukan mimpi semata. "Siang, Bu, Amel," sapa seorang juru parkir sembari menundukkan punggungnya padaku. Aku jawab sapaannya dengan seulas senyum.Twins Resto, nama resto sederhana yang baru kubuka satu minggu lalu. Semua tabungan dan hasil bagiku dengan Bella kugunakan untuk membangunnya. Bella bilang aku harus lebih semangat dalam hal apapun untuk membuktikan pada Dinda dan Mas Bima bahwa aku dan anak-anak jauh lebih bahagia setelah berpisah dengan mereka. Bella juga yang memberitahuku untuk membangun resto sederhana di sini. Tempatnya cukup strategis juga adem. Banyak kantor, sekolah, kampus yang otomatis banyak anak kost di daerah sini. Apalagi belum ada masakan ala ndeso seperti restoku. Pecel, aneka ikan tawar, soto, timlo, nasi kebuli dll menjadi men
Pov : Bima Perasaanku benar-benar campur aduk. Marah. Kesal. Muak. Malu. Seolah campur baur menjadi satu. Membuat kepalaku semakin pusing.Bagaimana tidak? Di satu tempat aku bertemu dengan dua orang yang sangat berarti dalam hidupku. Amelia. Entah mengapa aku ditakdirkan bertemu dengannya di resto itu. Untuk apa dia ke sana? Mungkin memang benar, kalau harta rampasan tak akan awet di tangan. Aku yakin dia akan melamar kerja di resto itu. Resto yang sepertinya baru dibuka. Yang aku heran, kenapa dia tak menggunakan ijazahnya untuk melamar kerja di tempat lain? Atau mungkin dia di sana sekadar mencuri resep agar bisa membuka resto sendiri suatu saat nanti? Entahlah. Yang pasti aku sangat malu bertemu dengannya di saat mengenakan jaket ojol. Dia pasti terbahak melihatku dalam keadaan seperti itu. Merasa lebih beruntung daripada aku. Padahal aku dan dia sama saja miskinnya, hanya pekerjaan yang membedakan. Bertemu Amelia hanya tersirat malu. Namun bertemu dengan Dinda benar-benar t
Pov : Adinda Sejak sandiwaraku bersama Mas Bima ketahuan, semua serba berantakan. Rencana yang dari dulu tersusun rapi hancur berkeping-keping. Mbak Amel bahkan menguras semua tabungan Mas Bima yang rencananya untuk membelikanku rumah. Tak hanya sampai di situ, uang semesteran pun dia tak mampu membayar hingga aku malas menyelesaikan skripsi. Buat apa? Toh dia tak bisa membayar biaya wisuda. Gagal wisuda membuatku semakin muak dengan keadaan ini.Mas Bima pun berbulan-bulan tak mendapatkan kerja. Berulang kali mengirimkan lamaran dan interview, nyatanya belum juga diterima di mana pun. Utang semakin menumpuk tapi pemasukan tipis. Penghasilan dari ngojeknya tak seberapa, nggak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Buat makan, bayar cicilan mobil, buat bayar listrik, bayar air dan wifi. Apalagi tiap dua minggu sekali harus mengantar ibu ceck up. Keadaan nggak jelas ini membuat pikiranku semakin kacau. Ingin rasanya segera menghilang dari rumah ini. Aku pun sudah ke sana-sini mencari ke
Pov : Adinda Langit begitu mendung. Sepertinya hujan akan segera turun. Petir mulai datang menyambar sesekali. Rintik hujan pun mulai menetes dari porosnya. Pak Hamzah sudah bersiap-siap pulang. Karyawan lain juga sudah pulang beberapa menit yang lalu. Aku sengaja mengulur waktu agar bisa diantar pulang Pak Hamzah seperti minggu lalu. Beruntung nggak ada Mas Bima di rumah karena dia masih ngojek. Kalau nggak pasti dia ngomel-ngomel nggak jelas. Seperti biasa pula aku pura-pura sibuk dengan ponsel di tanganku saat Pak Hamzah keluar dari pintu. Dia sedikit kaget melihatku masih di depan kantor sementara hujan mulai deras mengguyur. "Din, kamu belum pulang?" tanyanya singkat sesekali melihat ke jalanan yang mulai basah diguyur hujan."Belum, Pak. Ini baru mau pesan ojek online," jawabku sekenanya. "Ayo saya antar pulang saja. Sekalian kenalan sama ibu bapakmu kalau boleh," ucap Pak Hamzah sembari tersenyum kecil. Hatiku berdebar-debar mendengar ucapannya. Apa maksud Pak Hamzah? Ken
POV : Denis"Mas, jangan terlalu baik padaku karena aku takut jatuh cinta padamu," ucap Amel tiap kali aku membantunya memecahkan segala sesuatu. "Memang itu yang aku inginkan. Kamu mencintaiku," jawabku singkat. Kulirik dari ekor mata dia tersipu. Senyum tipis nan manis terlukis di bibirnya."Aku takut cinta ini hanya bertepuk sebelah tangan. Apalah aku yang hanya perempuan biasa dan dari keluarga yang biasa pula. Sedangkan kamu berbeda," ucapnya lagi. Aku tahu dia sedang menyeka kedua sudut matanya yang basah. "Apa yang membedakan? Harta? Itu milik orang tuaku. Aku tak punya apa-apa, hanya sekadar cintaku yang terlalu besar untukmu," jawabku lagi. Kutatap lekat kedua matanya yang berembun. Seolah tak percaya berulang kali dia menanyakan apakah aku mencintainya. Berulang kali pula kukatakan iya. Cinta ini sangat besar untuknya. 11 Oktober, aku masih ingat tanggal di mana aku dan dia tertawa bersama setelah mengungkapkan rasa. Rasa saling suka dan cinta. Aku memang tak menjanjik
Kehidupan baru yang membahagiakan itu benar-benar ada dan kini aku mulai merasakannya. Mas Denis selalu berusaha membuatku tersenyum dan tertawa. Cinta dengan segala keromantisan dan kekonyolannya membuatku merasa istimewa. Tak hanya aku, tapi juga dua gadis kembarku. Mereka tak hanya mencintaiku, tapi juga mencintai ayah sambungnya. Ketulusan Mas Denis menjadikan Yuki dan Yuka tumbuh menjadi gadis kecil yang ceria, cantik dan pintar. Mereka tak pernah kekurangan kasih sayang seorang ayah. Keduanya memiliki ayah kandung dan ayah sambung yang saling support. Tak ada lagi persaingan untuk saling menjatuhkan di antara mereka. Namun, kini dua laki-laki itu saling mendukung satu sama lain untuk kebaikan bersama. Tak hanya itu saja. Mas Bima juga berusaha menepati janjinya untuk berubah lebih baik. Dia ingin menjadi ayah yang baik untuk kedua anak kembarnya. Kini, dia sering datang ke rumah untuk bermain dan belajar bersama buah hatinya. Mas Bima bilang ingin mengganti waktu yang pernah
Suasana rumah duka sudah cukup ramai saat keluarga kecilku datang. Mama yang memang sangat pengertian gegas mengajak dua gadis kembarku duduk tak jauh dari teras bersama pelayat lain. Wanita yang kini menjadi mama mertuaku itu memintaku dan Mas Denis untuk masuk ke rumah, melihat kondisi Mas Bima yang kupastikan shock berat. Ibu memang sering hipertensi bahkan gejala stroke, tapi aku tak menyangka jika secepat ini dia pergi. Kasih sayangnya sebagai mertuaku dulu masih terasa hingga detik ini. Ibu sangat menyayangiku. Bahkan setelah aku dan anak lelakinya sah bercerai pun kasih sayang ibu padaku dan kedua cucunya tak berubah justru semakin bertambah. Kepergian ibu selamanya tentu menyisipkan duka mendalam bagi Mas Bima. Tak ada lagi cinta dan perhatian dari sang ibu yang dulu selalu dia rasakan. Dinda sudah datang dan duduk di samping pembaringan ibu. Wajah wanita itu terlihat sangat damai mendapatkan siraman doa-doa dari pelayat. Mas Bima yang duduk bersebelahan dengan Dinda tampak
"Apa yang terjadi, Din? Ada masalah apa?" Aku kembali bertanya saat melihat air matanya menetes seketika setelah menerima panggilan dari Mas Bima. "Ibu, Mbak. Ibu meninggal dunia," ujarnya dengan suara serak yang membuatku ikut shock. Ibu meninggal dunia, katanya. Mantan ibu mertuaku itu adalah mertua yang baik dan perhatian. Kasih sayangnya padaku dan anak-anak seolah tak pernah berubah meski aku dan Mas Bima tak lagi bersama. Ibu tak pernah menyalahkanku atas perselingkuhan anaknya. Dia bahkan sempat mendukung perpisahan dengan anak semata wayangnya jika memang kebersamaanku dengannya hanya menimbulkan luka. Berulang kali ibu minta maaf atas kesalahan Mas Bima. Ibu sempat merasa menjadi ibu yang gagal karena tak berhasil mendidik anak lelakinya untuk menjadi pemimpin yang baik bagi keluarganya. Ibu begitu bersedih saat akhirnya kuputuskan untuk menggugat cerai. Dia tak ingin kehilangan aku sebagai menantunya. Meski sudah ada Dinda sebagai penggantiku, tapi baginya akulah menan
Perjalanan cintaku dengan Mas Denis terlalu istimewa. Kini, aku mendapatkan madu dari semua kepahitan yang pernah kurasakan sebelumnya. Duka itu berusaha dia hapus dengan beragam tawa dan bahagia. Kelembutan dan perhatiannya benar-benar membuatku merasa istimewa. Dia menjadikanku seperti ratu, membuat hari-hariku semakin berwarna. Indah dan berwarna, tak kelabu seperti dulu. "Doakan aku bisa menjalani hidup ini lebih baik ya, Mbak. Aku juga ingin sepertimu yang mendapatkan cinta sejati. Rasanya lelah terus disakiti meski kutahu itu semua bagian dari ulahku sendiri. Namun, tak salah jika aku juga mengharapkan bahagia seperti perempuan lainnya bukan?" Dinda menatapku lekat. Sudut matanya basah. Adik angkatku itu kembali menemuiku di ujung senja, sebulan setelah pernikahanku dengan Mas Denis. Dia sengaja mengajakku makan bersama dan ngobrol empat mata. Berulang kali mengucap maaf atas segala kekhilafannya selama ini dan berjanji tak akan pernah mengusik hidupku lagi. "Bukannya kam
Pagi ini, semua sibuk dengan koper masing-masing karena kami akan liburan bersama ke villa Mas Riko di puncak. Si kembar begitu antusias dan riang mendengar kabar dariku sejak subuh tadi. Bik Marni dan mama pun ikut juga. Biarlah ini menjadi liburan bersama bukan hanya honeymoon berdua. Karena kebahagiaan mereka juga menjadi bahagiaku sendiri. Sepanjang jalan si kembar tak henti-hentinya bercanda dan bernyanyi. Mama pun terkadang mengikuti nyanyian mereka. Pun Bik Marni yang sering kali tertawa melihat kekonyolan si kembar.Mobil naik perlahan menuju puncak. Aku menikmati pemandangan kanan dan kiri yang masih rindang dengan pepohonan terlebih pohon karet. Semakin naik, udara semakin dingin. Sebelah kiri jalan banyak gubuk-gubuk yang menjajakan makanan ringan dan minuman, terutama es degan atau kelapa muda. Ada juga yang menjual kelapa bakar. Mas Denis mengendarai mobil dengan hati-hati karena jalanan cukup licin bekas hujan semalaman. Jika terburu-buru, bisa saja mobil oleng dan te
Malam ini dunia terasa berbeda. Ada dia yang kini berada di sampingku. Dia yang sedang menatapku lekat sembari membisikkan kata-kata cinta, membuatku semakin tersipu. Dia yang dulu pernah aku cinta hingga berakhir luka, kini kembali mendekapku dalam cinta seutuhnya. Cinta halal yang akan melukiskan pahala saat menikmatinya. Tak ada lagi orang-orang yang bisa memisahkan kecuali DIA."I love you," ucapnya dengan tatapan mata penuh cinta dan bahagia. "Love you too, Mas," balasku dengan wajah berbinar. Aku dan Mas Denis saling melempar senyum. Laki-laki yang kini sah menjadi suamiku itu mengecup pipi dan keningku beberapa kali. Dibelainya rambut panjangku. Rambut yang biasanya kututup rapat saat di luar kamar. Kini kubiarkan terurai. Aku menikmati malamku dengan bahagia bersamanya.Hujan rintik-rintik di luar kamar membuat malam semakin syahdu. Aku dan dia saling bercerita tentang apa saja hingga saat-saat paling buruk dalam hidupku. "Saat aku kamu tinggalkan begitu saja tanpa alasan,
Aku benar-benar tak menyangka jika kini bisa melihatnya kembali. Dinda yang dulu selalu ceria dan mempesona, entah mengapa kini terlihat berbeda. Dia mencoba tersenyum, tapi jelas tak menutupi wajah aslinya yang terlihat murung dan tirus seperti menahan banyak beban di hatinya.Dinda lebih kurus dibandingkan pertemuan terakhirku dengannya di kebun binatang kala itu. Entah karena apa aku pun tak tahu. Mungkin ada banyak hal yang terjadi di dalam hidupnya dan aku tak ingin ikut campur lagi soal itu sebab kuyakin dia sudah dewasa dan tahu mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Kupikir mereka tak akan datang ke acara bahagiaku, tapi ternyata dugaanku keliru. Mereka tetap datang meski terlambat. Tak mengapa asalkan semua hadir untuk ikut menikmati kebahagiaan yang kurasa."Wa'alaikumsalam. Masuk saja, Mas. Akadnya sudah selesai sekarang tinggal resepsinya saja." Suara seseorang entah siapa menjawab cukup panjang sedangkan yang lain hanya menjawab salamnya saja. Aku tersenyum sembari me
Kebaya pink pastel dengan payet di bagian dada, dilengkapi ekor berbahan lace dengan bordiran yang cantik membalut tubuhku. Sedangkan Mas Denis dan si kembar pun memakai gaun dengan warna senada denganku, pink pastel. Hari yang begitu mendebarkan dan membahagiakan itu akhirnya datang juga. Tak ada lagi tangis luka di sini, yang ada hanya senyum bahagia. Kunikmati hari ini dengan senyum dan perasaan syukur tiada kira. Banyak sekali tamu yang datang. Ibu juga sudah ada di sini dengan balutan kebaya coklat tuanya. Duduk di samping tante Rosita yang sebentar lagi akan menjadi mama mertua. Tak ada Mas Bima di sini. Kulihat ke sekeliling pun tak tampak batang hidungnya. Sepertinya dia tak datang. Atau dia memang tak ingin melihat pernikahanku dengan Mas Denis, sahabatnya sendiri? Entahlah. Namun kuharap dia bisa menerima dengan lapang dada atas semua keputusan yang sudah kuambil. Mas Denis duduk di depan penghulu sekaligus wali hakimku dengan wajah yang tenang meski kemarin dia bilang b
"Mas Bima?" Tak hanya aku yang shock melihatnya di sini, Dinda pun sepertinya sama. Suaranya begitu lirih seolah tak berdaya. Saat ini dia pasti sangat ketakutan. Pakaiannya cukup koyak bahkan jilbab yang dia pakai untuk menutupi auratnya pun hampir terlepas dari kepala. Dia bergegas membenarkan jilbab dan bajunya saat laki-laki itu menjatuhkannya ke tanah yang basah, membuatnya meringis kesakitan. Entah kenapa hati ini begitu tak rela melihat Dinda diperlakukan demikian. Kuambil kayu yang berada tak begitu jauh dari tempatku berdiri. Dengan sekuat tenaga kupukuli laki-laki itu. Dia teriak-teriak kesakitan, namun aku tak berhenti sampai di situ. Kubuat dia babak belur. Darah mengalir di kedua sudut bibirnya saat kuhantam dengan kepalan tangan. Pukulanku terhenti saat laki-laki itu meringis minta ampun memohon pengampunan. Meskipun aku begitu tersulut emosi namun aku tahu, jika lawan sudah minta ampun dan tak berdaya, aku tak patut terus membuatnya terluka dengan membabi buta. Kuba