Reyna membelalakkan matanya seraya menatap Farel. Bisikan Farel barusan membuatnya shock.
Farel kembali membawa Reyna ke ruangannya.
'Ma-maksudmu apa, Kak?" tanya Reyna sekali lagi saat mereka sudah berada di dalam ruangan.
"Ayo menikah denganku, aku akan selalu membuat mu bahagia, Reyna. Kakak janji," jawab Farel lagi.
"Kau serius, Kak?'
"Sangat serius."
Reyna menatap iris mata Farel dengan tajam, dia ingin sekali mengetahui arti kesungguhan ucapan Farel padanya.
Reyna tertegun sesaat, susah sekali rasanya untuk mengeluarkan kata-kata. Reyna sungguh belum pernah berpikir harus menikah dengan kakak angkatnya walau dia amat menyayangi Farel.
"Kau tahu aku masih belum bercerai, Kak."
Farel melangkah mendekati Reyna, di genggamnya tangan Reyna seraya menatap penuh kasih.
&nb
Bagaimana kanjutan kisah Reyna? Berhasilkan Reyna dan Aldi bercerai dan kemudian menikah dengan Farel? Komen yuk! Love you all.
Dua pekan setelah kepergian Farel, Reyna kembali menjalani aktifitas nya sendiri. Namun Farel tidak pernah melupakan waktu untuk menghubunginya. Bahkan seperti minum obat saja jadwal Farel hingga tiga kali sehari menghubungi wanita itu dengan rutin. Apla5gi saat terakhir berpisah, Reyna berjanji untuk menerima Farel menjadi seseorang yang istimewa dalam hidupnya kelak. Hal itu membuat Farel lebih merasa memiliki tanggung jawab untuk hidup Reyna sejak saat ini. Hari - hari wanita itu sejak kepergian Farel disibukkan dengan mengelola butiknya yang baru. Karena sistem promosi dan kualitas produk yang mereka jual memiliki kualitas yang tinggi tentu saja membuat butik mereka melejit cepat. "Mbak Reyna, jangan lupa undangan ulang tahun nyonya Alicia, pelanggan kita yang merupakan istri dari CEO Armajaya Coorporation." Reyna mengambil undangan yang di sodorkan oleh Ika, asistennya.
Di tempat yang lain tepatnya di negara Singa putih terlihat seorang pria yang sedang kesal dengan benda pipih di telinganya. "Kerja kalian bagaimana sih? Aku meminta kalian untuk menjaga nyonya Reyna, kenapa kalian membiarkan dia dipermalukan seperti itu!" bentak pria itu menggeram marah. Pria itu berdiri seraya mengepalkan tangannya. Jika tidak ingat urusan perusahaan yang harus dia selesaikan, Farel akan segera terbang dan menemui wanita terkasihnya. Kejadian buruk yang menimpa Reyna membuatnya cemas dan panik. "Maaf Tuan, kami terlambat bertindak Saat nyonya mulai diserang, kami sudah akan mengambil alih namun, tiba-tiba Tuan Aldi datang menyelamatkan nyonya." "Huh, kalian tidak bisa aku andalkan! Sekali lagi kau membuat kesalahan, aku tidak akan segan membuatmu tidak bisa bekerja lagi." "Ampun, Tuan. Saya dan teman-teman akan lebih hati-hati lagi menjaga
Reyna membuka matanya, dia merasakan ada beban yang bersumber di atas perutnya. Penat di tubuhnya dia abaikan saat dia sadar apa yang terjadi padanya semalam. Wanita itu menggeliat kecil lalu mencoba menyingkirkan tangan yang berada di atas perutnya. "Bolehkah aku meminta agar tangan ini tetap diam di sana?" bisik pria di sampingnya. Reyna berbalik menghadap pria yang saat ini menatapnya seraya tersenyum. Rupanya pria itu terbangun karena ulah Reyna yang mencoba menyingkirkan tangan pria itu di atas tubuh nya. "Ah, bahagianya melihat senyuman ini datang kembali. Seandainya saja waktu bisa berhenti sejenak, aku ingin momen ini aku nikmati bersamanya," benak Reyna tanpa mengalihkan tatapannya. Aldi membelai kepala Reyna dengan penuh kasih. Tatapan keduanya seakan menggantikan apa yang mereka rasakan. "Kenapa membawaku ke apartemen mu ini
Reyna perlahan membuka matanya, dia samar-samar melihat bayangan seorang laki-laki yang menatapnya cemas. Laki-laki itu duduk di samping tempat tidurnya seraya menggenggam tangannya. "Aku di mana, Kak?' "Rumah sakit." Reyna teringat sesaat sebelum dia tidak sadarkan diri. "Siapa yang membawaku ke sini?" Farel tidak menjawab dia hanya membelai puncak kepala Reyna dengan mata yang menyimpan setumpuk aksara. "Ika?" tanya Reyna lagi berharap Farel memberi jawaban. Farel mengangguk seraya tersenyum tipis. Reyna ingin beranjak dari tempat tidurnya namun, laki-laki itu menahannya. "Istirahat Reyna, aku tidak ingin kau banyak bergerak dulu." "Aku sakit apa, Kak?" tanya Reyna. Farel tidak langsung menjawab pertanyaan Reyna, dia men
Reyna melepaskan dirinya dari pelukan Aldi. Wajah wanita itu seketika panik dan memerah. "Terima kasih," ucap Reyna sambil mencoba berdiri dengan memegang perutnya. Aldi bergeming, dia memandang perut Reyna yang membesar. Tanpa sadar tangannya menyentuh perut Reyna. "Berapa bulan?" tanya Aldi dengan tatapan menyelidik." "Em, masih sekitar 5 bulanan," jawab Reyna berdusta. Aldi mengangguk seraya tersenyum. Tatapan rindu dari mata laki-laki itu terlihat nyata. "Mas kurusan," tanya Reyna melihat Aldi yang memang terlihat lebih slim." "Iya, beberapa bulan ini aku sangat sibuk, projek yang aku kelola sudah harus selesai akhir tahun ini." Keduanya kembali diam, suasana terlihat kaku, ada banyak kata yang tidak bisa terucap dari keduanya. "Maaf aku ke toilet ya,
Sudah setahun berlalu, Aldi masih belum berhasil menemukan keberadaan Reyna. Wanita itu bak ditelan bumi, hingga Aldi merasa frustasi untuk menemukan mantan istrinya itu. "Bagaimana usahamu, Andre? Kenapa belum ada tanda-tanda kau menemukan Reyna. "Suaminya punya kekuasaan untuk memblok kita mengakses keberadaan mereka, Tuan. Aldi mengusap wajahnya kasar. Dia frustasi karena sampai sejauh ini pun dia masih tidak berhasil menemukan Reyna. "Sabar Tuan, aku akan berusaha terus mencari tahu keberadaan mereka dari perusahaan-perusahaan milik Tuan Farel di sini." Aldi berdecak kesal, dia tetap tidak yakin dengan keberhasilan Andre. "Kau sudah melakukannya berulang-ulang," ucap Aldi pesimis. Pria itu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Dia akan selalu menyibukkan dirinya dengan semua pekerjaaan dan projek-projek yang seharusny
Aldi menghempaskan dirinya di tempat tidur. Malam ini dia pulang ke rumahnya. Aldi ingin lihat apakah Nadia berani kembali ke rumah ini atau tidak. Aldi mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Andre aku ingin kau membuat pengaduan ke kepolisian tentang tindakan penipuan dan perbuatan tidak menyenangkan." "Di tujukan untuk siapa, Tuan?" "Nadia dan David." Andre bungkam sesaat. Dia seperti memikirkan sesuatu. "Maksud Tuan, Nadia istri Tuan Aldi?" Aldi mengepalkan tangannya saat mendengar kenyataan yang di ucapkan Andre. "Dia bukan istriku, dia penipu!" ucap Aldi tegas. "Ba-baik, Tuan. Aku akan mengurus secepatnya." Melihat kemarahan tuannya, Andre segera pamit untuk menyelesaikan tugasnya. Dia hafal sekali sifat atasannya itu.
Sosok laki-laki tampan sedang menautkan jemarinya diatas perut. Pandangannya kosong ke depan. Ingatannya beberapa tahun silam tentang seorang wanita yang dia cintai membuatnya menahan sesak. Tidak terasa sudah tiga tahun lebih dia harus menahan rasa rindu pada seorang wanita yang telah menjadi milik laki-laki lain. "Apakah kau bahagia, Reyna? Bagaimana dengan anakku?" gumam Aldi frustasi. Tok ... Tok ... Tok "Masuk!" "Tuan, lusa Tuan harus menghadiri grand opening Resort yang ada di Bali," ucap Andre mengingatkan. Aldi merapikan berkas yang masih menumpuk di atas mejanya. "Aku ingat, kau siapkan saja semua kebutuhan saat di sana dan jangan lupa semua mitra harus kau undang." "Siap, Tuan. Shinta sudah mengatur semuanya. Dia penanggung jawab acara sekaligus
"Mas Aldi?" tanya Reyna dengan wajah bingung. Abi mengangguk yakin. Dia mengamati reaksi Reyna yang terlihat masih tidak percaya. "Kau tidak percaya?" tanya Abi. Reyna mengangguk, dia yakin Aldi tidak akan mungkin berbuat jahat padanya dan Evan, anak kandungnya sendiri. Abi membuka ponselnya, lalu menekan rekaman suara seseorang. "Jangan sampai Reyna tahu aku yang mengatur semua nya. Pastikan semua tersusun rapi sampai waktunya tiba. Aku punya alasan sendiri untuk melakukan ini," suara Aldi terdengar jelas dari ponsel Abi. "Masih tidak percaya padaku?" tanya Abi pada Reyna yang diam mematung. Sungguh dia tidak mau percaya dengan apa yang dia dengar. Tapi rekaman itu menyatakan Aldi yang seolah-olah mengatur semua nya. Reyna menggeleng sekali lagi. Dia sungguh tidak ingin percaya dengan apa yang dikata
"Jadi kemana kau akan pergi setelah ini Reyna?" Sosok pria tampan itu maaih menatap Reyna dengan pandangan rumit. Reyna tidak menjawab, dia justru asyik membantu menyuapi Evan. Beberapa saat kemudian wanita itu mendongak menatap pria itu seraya tersenyum. "Aku akan ke suatu tempat yang menbuat Aldi tidak bisa menemukan aku. Bukankah aku sudah menceritakan semuanya padamu tentang masalahku dan alasanku pergi?" Pria itu menghampiri Evan dan membelai puncak kepala bocah itu. Evan melirik tidak suka. "Jangan pegang-pegang kepala, Evan!" protesnya membuat pria itu tertawa. Reyna menggeleng lalu membersihkan mulut Evan setelah menghabiskan suapan nya. Dia mengerti sifat Evan yang tidak bisa cepat akrab pada orang yang baru dia kenal. Untuk itu Reyna heran saat Evan cepat akrab dengan Aldi ketika pertama kali mereka bertemu. Mungkin ikatan anak dan ayah membuat Evan mera
Aldi membuka matanya perlahan, dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ia tempati. "Tuan, sudah sadar?" Andre yang melihat pergerakan atasan nya segera beranjak dari sofa tempatnya duduk. "Mana Reyna?" Andre terdiam, ada keraguan untuk menjawab pertanyaan Aldi. Pria itu takut Aldi mengambil tindakan yang salah, padahal dia masih harus menjalankan perawatan. "Emm, itu Tuan, Nyonya harus mengunjungi perusahaan nya di luar kota. Ada yang dia harus selesaikan," ucap Andre tanpa berani menatap atasan nya. Aldi mengernyit, diantidka menyangka Reyna pergi di saat dia sedang tidak baik-baik saja. "Kau sudah menemukan sesuatu yang mencurigakan tentang kejadian yang menimpaku ini?" tanya Aldi mengalihkan topik. Andre menyodorkan amplop coklat tertutup pada atasan nya. Dia memperlihatkan kepada Aldi data
"Apalagi ini Tuhan, kenapa cobaan untuk hidupku tidak pernah berhenti?" Reyna menaltap nanar isi tulisan dalam kertas itu. Dia segera meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Dengan tubuh yang masih gemetar Reyna melangkahkan kakinya mendekati Aldi. Langkahnya gontai seraya menatap Aldi yang saat ini kembali tertidur. Tangannya terangkat dan menyentuh wajah pria itu, setelah itu tangan Reyna mengusap kepala Aldi lembut. "Maafkan aku, Mas. Aku kembali harus menyusahkanmu. Semoga setelah ini semua akan baik-baik saja. Kau harus selalu bahagia, aku tidak ingin ada yang menyakitimu karena aku," bisik Reyna dengan air mata yang menetes. Reyna mengecup kening Aldi lalu bergegas keluar ruangan dengan menarik tas nya. Wanita itu berlari melewati koridor rumah sakit. Dia menuju ke arah pintu gerbang rumah sakit. Reyna menoleh ketika dia merasa ada langkah
Aldi telah dipindah ke ruang rawat inap setelah selesai melakukan operasi untuk membuang peluru yang bersarang di punggung kiri nya. Menurut dokter yang menangani, jarak peluru tidak terlalu dalam namun, Aldi kehilangan banyak darah. Untuk itu laki-laki itu harus dirawat untuk memulihkan bekas operasi dan kondisinya. Keesokan harinya, kondisi Aldi sudah mulai membaik. Reyna menatap nanar ke arah sosok pria yang sedang terbaring di tempat tidur kamar perawatan. Wanita cantik yang matanya masih terlihat sembab itu menggenggam tangan Aldi. "Mas, beneran tidak apa-apa?" tanya Reyna lembut. Aldi baru saja tersadar dari pengaruh obat bius. Pria itu berusaha tersenyum untuk menenangkan hati Reyna. "Aku tidak apa-apa, tidak perlu cemas, ya," jawab Aldi mengusap punggung tangan Reyna. Reyna memperhatikan pria yang masih terbaring lemah. Dia tahu Aldi belum pulih walau seny
Seminggu ini Reyna kembali di teror oleh orang yang sama. Laki-laki bertopi yang acap.kali tiba-tiba hadir entah mengikutinya, atau sekedar lewat di depan kantor nya. Pernah Reyna merasa pria asing itu mondar mandir di depan rumahnya dengan menggunakan sepeda motor. Yang membuat Reyna heran saat Aldi ada di sampingnya atau berada di dekatnya, gangguan teror itu tidak pernah hadir, kecuali saat mereka ada di taman beberapa waktu lalu. Reyna sungguh merasa hidupnya tidak tenang. Beberapa kali dia berpikir akan pergi membawa Evan ke tempat yang lebih aman, tetapi wanita itu memikirkan kandungannya yang tambah besar. "Apakah pergi solusi terbaik untuk kami? apakah akan menjamin keselamatan kami?" Benak Reyna bermonolog. Kegelisahan menyelimuti hati wanita itu untuk mengambil keputusan, namun dia juga tidak ingin membicarakan keinginannya dengan Aldi.
"Apa itu, Bunda?" tanya Aldi pada Reyna. Reyna menaikkan bahunya dan kemudian mengambil sesuatu yang di pegang Evan. Miniatur robot yang tangan nya tidak lengkap. Hilang sebelah. "Evan di kasih om yang tadi, Bunda. Katanya buat Evan main, tapi kata Om nya tangan robot nya harus Evan sembuhkan dulu, karena lepas sebelah. Evan bilang, nanti Evan aja yang bawa ke dokter," ucap bocah itu lucu. Reyna dan Aldi berpandangan. Mereka menerka-nerka maksud pria bertopi tadi. "Evan tidak apa-apa kan,Nak? Om tadi tidak menyakiti Evan?" Bocah tampan itu menggeleng seraya melingkarkan tangan nya di leher Aldi. Dia tidak mengerti jika kedua orang tua nya sangat cemas pada nya. Keduanya terlihat lega. Reyna mencium pipi Evan dengan rasa syukur dan lega yang luar biasa. Kecemasan masih terlihat di wajahnya tapi wanita itu sudah bisa tersenyum sera
"Daddy, Evan mau ke taman," pinta bocah kecil memeluk kaki Aldi dengan wajah membujuk. Aldi menunduk memperhatikan tatapan Evan, mengelus puncak kepala bocah itu dengan penuh kasih. "Evan mau ke taman sama Daddy?" Aldi balik bertanya. Evan mengangguk penuh harap. Membiarkan Aldi memainkan pipi gembul nya. "Bunda gimana dong? Tega neinggalin bundanya di rumah?" "Bunda mau kok, tadi bunda bilang ke Evan, asal Daddy nemenin, bunda pasti ikut." Aldi tersenyum lalu menggendong Evan dan memeluknya erat. Hatinya bahagia, momen untuk bersama putranya dan Reyna tidak akan di sia-siakan. "Yuk, ganti baju dulu ya, Tuan muda," ajak Aldi menemani Evan ke kamarnya. Aldi tidak bisa melepaskan pandangan nya pada wanita cantik di depan nya. Wali pun perut wanita itu sudah terlihat membuncit, namun kec
Hari ini akhir pekan, Aldi tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk bersama putranya dan Reyna. Namun kesehatan Reyna masih belum pulih. Beda dengan Evan yang sekarang sudah mulai bermain kembali. Aldi mengetuk kamar Reyna lalu membukanya perlahan saat suara Reyna mempersilahkan dia masuk. Aldi menghampiri Reyna lalu meraba kening wanita itu. "Udah minum obat?" tanya Aldi. Reyna menggeleng. Wajahnya masih terlihat pucat. Akibat teror yang dia alami membuatnya malas makan dan stress, untuk itu dokter Mario menyuruh Reyna untuk bedrest, apalagi kehamilannya masih masuk tri semester pertama. "Pasti belum sarapan? Kau harus makan dulu sebelum minum obat." Reyna kembali menggeleng lemah. Entah kenapa dia tidak nafsu makan. Tubuh nya masih terasa lemah. Aldi keluar kamar sebentar lalu masuk k