Aldi menghempaskan dirinya di tempat tidur. Malam ini dia pulang ke rumahnya. Aldi ingin lihat apakah Nadia berani kembali ke rumah ini atau tidak.
Aldi mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Andre aku ingin kau membuat pengaduan ke kepolisian tentang tindakan penipuan dan perbuatan tidak menyenangkan."
"Di tujukan untuk siapa, Tuan?"
"Nadia dan David."
Andre bungkam sesaat. Dia seperti memikirkan sesuatu.
"Maksud Tuan, Nadia istri Tuan Aldi?"
Aldi mengepalkan tangannya saat mendengar kenyataan yang di ucapkan Andre.
"Dia bukan istriku, dia penipu!" ucap Aldi tegas.
"Ba-baik, Tuan. Aku akan mengurus secepatnya."
Melihat kemarahan tuannya, Andre segera pamit untuk menyelesaikan tugasnya. Dia hafal sekali sifat atasannya itu.
Reyna kembali ke Indonesia, namun dia berdomisili di kota Denpasar, Bali. Kakeknya mengamanahkan dia untuk mengembangkan perusahaan fashion dan aksesoris yang di dirikan kakeknya sebelum meninggal. Apakah dia akan bertemu kembali dengan Aldi? Kuy terus ikutin ya.. Love you all.
Sosok laki-laki tampan sedang menautkan jemarinya diatas perut. Pandangannya kosong ke depan. Ingatannya beberapa tahun silam tentang seorang wanita yang dia cintai membuatnya menahan sesak. Tidak terasa sudah tiga tahun lebih dia harus menahan rasa rindu pada seorang wanita yang telah menjadi milik laki-laki lain. "Apakah kau bahagia, Reyna? Bagaimana dengan anakku?" gumam Aldi frustasi. Tok ... Tok ... Tok "Masuk!" "Tuan, lusa Tuan harus menghadiri grand opening Resort yang ada di Bali," ucap Andre mengingatkan. Aldi merapikan berkas yang masih menumpuk di atas mejanya. "Aku ingat, kau siapkan saja semua kebutuhan saat di sana dan jangan lupa semua mitra harus kau undang." "Siap, Tuan. Shinta sudah mengatur semuanya. Dia penanggung jawab acara sekaligus
"Apa kabar, Nyonya?" ucap Andre menghampiri Reyna saat wanita itu sedang mengambil dessert. Reyna berbalik dan menoleh ke arah Andre yang menghampirinya. "Hai, Andre. Aku baik-baik saja. Bagaiamana dengan kalian?" Andre mengambil dessert yang tersedia di meja perjamuan lalu kembali mendekati Reyna. "Em, kami baik-baik saja, Nyonya. Tapi sudah banyak sekali perubahan yang terjadi di perusahaan maupun di kehidupan pribadi Tuan Aldi." Reyna terdiam, sesaat dia melirik ke depan dimana dia melihat Aldi yang sedang berbincang dengan Shinta. Keduanya terlihat akrab, Reyna kembali menatap Andre. "Kenapa Nadia tidak ikut? Bukan kah dia sekertaris Aldi?" Andre akan menjawab ketika Nindia datang. "Bu, ada telpon dari Bik Susi. Katanya Evan tidak mau makan, dia ingin makan nasi goreng buatan ayahnya."
Reyna tidak bisa memejamkan matanya, Dia masih cemas dengan kehadiran Aldi yang sangat akrab bersama Evan. Reyna mengambil benda pipih dan menghubungi seseorang dengan panggilan video. "Sayang, aku baru saja mau menghubungi mu," Reyna tersenyum menatap Farel yang juga tersenyum menampakkan lesung pipi nya. Ditatap nya laki-laki itu dengan perasaan membuncah, rasanya ingin sekali bermanja dan membenamkan diri nya di pelukan Farel. "Merindukan ku?" Reyna tidak menjawab, raut wajahnya terlihat gundah walau senyum masih menghias bibir nya. Hingga beberapa saat mereka saling mengunci tatapan dan akhirnya Reyna membuka suara. "Sangat." Farel tersenyum manis dengan tatapan memuja. Wajah istrinya yang terlihat sendu membuatnya seolah ingin terbang dan berada di samping Reyna saat ini.
*ALDI POV Aku terkejut saat pertama kali melihat wanita yang selama ini telah membuat aku tidak dapat lagi mengenal artinya bahagia. Ya, dia wanitaku, wanita yang selama ini aku cari. Wanita yang selama ini telah berhasil merampas hampir seluruh hidupku. Aku tertegun ketika wanita yang aku cinta sejak dulu itu, sekarang tiba-tiba hadir di hadapanku. "Tuhan, terima.kasih kau telah mengabulkan doa-doaku," aku memuji Tuhan Yang Maha Esa. Aku bahkan tidak sanggup menyembunyikan kebahagiaan ku, walau aku tahu dia gelisah melihatku. Aku tidak ingin membuatnya khawatir dan cemas, kubiarkan saja dia pergi tanpa banyak berkata-kata, aku tersenyum menatapnya pergi dengan segala harapan untuk seseorang. "Andre, cari tahu dimana alamat Reyna di sini," perintahku pada Andre, asistenku. Dan beberapa saat kemudian, pada s
Sudah beberapa hari ini Aldi selalu video call untuk sekedar menyapa Reyna dan yang paling utama adalah berbicara pada Evan, putra nya. Sejak Aldi kembali ke Jakarta, tidak pernah sehari pun dia absen untuk menghubungi putra kecil nya. "Daddy, kapan datang lagi main sama Evan?" tanya Evan dengan raut wajah kesedihan. Reyna melirik anak nya yang terlihat manja pada Aldi. Wanita itu tidak ingin mengganggu momen kedekatan mereka. "Sabar Sayang, Daady pasti akan secepatnya menemui Evan lagi. Bocah kecil itu mengangguk. Dia terlihat senang ketika Aldi berjanji padanya untuk segera datang. "Daddy datang kalau nanti ayah juga datang ya? Kata bunda, beberapa hari lagi ayah akan pulang." Aldi terdiam seraya melirik Reyna yang terlihat asyik dengan laptop nya. Wanita cantik itu bergeming tampak tidak peduli dengan obrolan
Reyna membuka matanya, dia mengerjap sesaat lalu memperhatikan detail ruangan dimana dia terbaring. Ah, aku terbaring di kamar," benak Reyna berkata. "Kau sudah bangun, Sayang," sapa laki-laki yang terasa membelai puncak kepalanya. Reyna menatap laki,-laki yang penuh dengan perban tebal di kepalanya. Wajahnya terlihat pucat, namun bibirnya selalu saja tersenyum. "Kak Farel, apa yang terjadi? Kau tidak apa-apa, kan? Lukamu ini bagaimana? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Reyna khawatir. Dia akan beranjak dari tempat tidurnya namun, pria di depan nya menahan tubuh nya. Pria yang saat ini duduk di pinggir tempat tidurnya membelai kepalanya lembut, menatapnya tanpa kedip dan sesekali mencium hidung dan bibirnya dengan gemas. "Kakak kok ngeliatin aku seperti itu, sih?" tanya Reyna dengan wajah merona. Farel menggel
Reyna dilarikan ke rumah sakit. Wanita itu mengalami pendarahan ringan akibat syock karena kejadian yang menimpanya. "Reyna hamil 5 minggu, Pak," jelas dokter kepada Aldi. Pria itu terdiam tanpa bisa berucap. Pria itu merasakan sesuatu yang membuat tubuhnya lunglai. Dia memposisikan dirinya sebagai Reyna. Bagaimana perasaan wanita itu saat dia tahu berita kehamilannya. Aldi yakin kesedihan hati Reyna semakin bertambah. Aldi menatap Reyna yang masih terbaring lemah. Wanita itu belum sadar setelah dua jam di rumah sakit. "Begitu banyak cobaan dan peristiwa yang kau hadapi, Reyna. Sungguh aku salah satu orang yang menyebabkan kau menderita Aku menyesal membuatmu harus melewati masa-masa sulit saat bersama ku. Kapan kebahagiaan kbali datang padamu, Sayang," ucap Aldi pelan seraya menggenggam tangan Reyna. Berita kehamilan Reyna kembali membuat nya ib
Seminggu ini Aldi tidak bisa bertemu Reyna dan Evan, dia keluar kota untuk menyelesaikan projek yang sebentar lagi akan launching. Dan seminggu ini juga Aldi hanya bisa menghubungi Reyna dan anaknya lewat panggilan video. "Bagaiamana baby ku, apa dia baik-baik saja?" tanya Aldi pada Reyna. Reyna tersenyum kecil seraya membelai perutnya. "Dia baik-baik saja, tapi sering sekali tengah malam kepingin yang aneh-aneh," ucap Reyna. Aldi terkekeh kecil. Dia gemas membayangkan baby Reyna yang pasti lucu menggemaskan. "Kau ingin dia laki-laki atau wanita?" tanya Aldi. "Terserah saja, Mas. Yang penting baby sehat." Aldi mengangguk setuju. Dia bahagia bisa membantu Reyna melewati masa-masa sulit saat ditinggal suaminya, walau Aldi tahu Reyna akan tetap bersedih saat dia sendiri. "Mas ingin
"Mas Aldi?" tanya Reyna dengan wajah bingung. Abi mengangguk yakin. Dia mengamati reaksi Reyna yang terlihat masih tidak percaya. "Kau tidak percaya?" tanya Abi. Reyna mengangguk, dia yakin Aldi tidak akan mungkin berbuat jahat padanya dan Evan, anak kandungnya sendiri. Abi membuka ponselnya, lalu menekan rekaman suara seseorang. "Jangan sampai Reyna tahu aku yang mengatur semua nya. Pastikan semua tersusun rapi sampai waktunya tiba. Aku punya alasan sendiri untuk melakukan ini," suara Aldi terdengar jelas dari ponsel Abi. "Masih tidak percaya padaku?" tanya Abi pada Reyna yang diam mematung. Sungguh dia tidak mau percaya dengan apa yang dia dengar. Tapi rekaman itu menyatakan Aldi yang seolah-olah mengatur semua nya. Reyna menggeleng sekali lagi. Dia sungguh tidak ingin percaya dengan apa yang dikata
"Jadi kemana kau akan pergi setelah ini Reyna?" Sosok pria tampan itu maaih menatap Reyna dengan pandangan rumit. Reyna tidak menjawab, dia justru asyik membantu menyuapi Evan. Beberapa saat kemudian wanita itu mendongak menatap pria itu seraya tersenyum. "Aku akan ke suatu tempat yang menbuat Aldi tidak bisa menemukan aku. Bukankah aku sudah menceritakan semuanya padamu tentang masalahku dan alasanku pergi?" Pria itu menghampiri Evan dan membelai puncak kepala bocah itu. Evan melirik tidak suka. "Jangan pegang-pegang kepala, Evan!" protesnya membuat pria itu tertawa. Reyna menggeleng lalu membersihkan mulut Evan setelah menghabiskan suapan nya. Dia mengerti sifat Evan yang tidak bisa cepat akrab pada orang yang baru dia kenal. Untuk itu Reyna heran saat Evan cepat akrab dengan Aldi ketika pertama kali mereka bertemu. Mungkin ikatan anak dan ayah membuat Evan mera
Aldi membuka matanya perlahan, dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang ia tempati. "Tuan, sudah sadar?" Andre yang melihat pergerakan atasan nya segera beranjak dari sofa tempatnya duduk. "Mana Reyna?" Andre terdiam, ada keraguan untuk menjawab pertanyaan Aldi. Pria itu takut Aldi mengambil tindakan yang salah, padahal dia masih harus menjalankan perawatan. "Emm, itu Tuan, Nyonya harus mengunjungi perusahaan nya di luar kota. Ada yang dia harus selesaikan," ucap Andre tanpa berani menatap atasan nya. Aldi mengernyit, diantidka menyangka Reyna pergi di saat dia sedang tidak baik-baik saja. "Kau sudah menemukan sesuatu yang mencurigakan tentang kejadian yang menimpaku ini?" tanya Aldi mengalihkan topik. Andre menyodorkan amplop coklat tertutup pada atasan nya. Dia memperlihatkan kepada Aldi data
"Apalagi ini Tuhan, kenapa cobaan untuk hidupku tidak pernah berhenti?" Reyna menaltap nanar isi tulisan dalam kertas itu. Dia segera meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Dengan tubuh yang masih gemetar Reyna melangkahkan kakinya mendekati Aldi. Langkahnya gontai seraya menatap Aldi yang saat ini kembali tertidur. Tangannya terangkat dan menyentuh wajah pria itu, setelah itu tangan Reyna mengusap kepala Aldi lembut. "Maafkan aku, Mas. Aku kembali harus menyusahkanmu. Semoga setelah ini semua akan baik-baik saja. Kau harus selalu bahagia, aku tidak ingin ada yang menyakitimu karena aku," bisik Reyna dengan air mata yang menetes. Reyna mengecup kening Aldi lalu bergegas keluar ruangan dengan menarik tas nya. Wanita itu berlari melewati koridor rumah sakit. Dia menuju ke arah pintu gerbang rumah sakit. Reyna menoleh ketika dia merasa ada langkah
Aldi telah dipindah ke ruang rawat inap setelah selesai melakukan operasi untuk membuang peluru yang bersarang di punggung kiri nya. Menurut dokter yang menangani, jarak peluru tidak terlalu dalam namun, Aldi kehilangan banyak darah. Untuk itu laki-laki itu harus dirawat untuk memulihkan bekas operasi dan kondisinya. Keesokan harinya, kondisi Aldi sudah mulai membaik. Reyna menatap nanar ke arah sosok pria yang sedang terbaring di tempat tidur kamar perawatan. Wanita cantik yang matanya masih terlihat sembab itu menggenggam tangan Aldi. "Mas, beneran tidak apa-apa?" tanya Reyna lembut. Aldi baru saja tersadar dari pengaruh obat bius. Pria itu berusaha tersenyum untuk menenangkan hati Reyna. "Aku tidak apa-apa, tidak perlu cemas, ya," jawab Aldi mengusap punggung tangan Reyna. Reyna memperhatikan pria yang masih terbaring lemah. Dia tahu Aldi belum pulih walau seny
Seminggu ini Reyna kembali di teror oleh orang yang sama. Laki-laki bertopi yang acap.kali tiba-tiba hadir entah mengikutinya, atau sekedar lewat di depan kantor nya. Pernah Reyna merasa pria asing itu mondar mandir di depan rumahnya dengan menggunakan sepeda motor. Yang membuat Reyna heran saat Aldi ada di sampingnya atau berada di dekatnya, gangguan teror itu tidak pernah hadir, kecuali saat mereka ada di taman beberapa waktu lalu. Reyna sungguh merasa hidupnya tidak tenang. Beberapa kali dia berpikir akan pergi membawa Evan ke tempat yang lebih aman, tetapi wanita itu memikirkan kandungannya yang tambah besar. "Apakah pergi solusi terbaik untuk kami? apakah akan menjamin keselamatan kami?" Benak Reyna bermonolog. Kegelisahan menyelimuti hati wanita itu untuk mengambil keputusan, namun dia juga tidak ingin membicarakan keinginannya dengan Aldi.
"Apa itu, Bunda?" tanya Aldi pada Reyna. Reyna menaikkan bahunya dan kemudian mengambil sesuatu yang di pegang Evan. Miniatur robot yang tangan nya tidak lengkap. Hilang sebelah. "Evan di kasih om yang tadi, Bunda. Katanya buat Evan main, tapi kata Om nya tangan robot nya harus Evan sembuhkan dulu, karena lepas sebelah. Evan bilang, nanti Evan aja yang bawa ke dokter," ucap bocah itu lucu. Reyna dan Aldi berpandangan. Mereka menerka-nerka maksud pria bertopi tadi. "Evan tidak apa-apa kan,Nak? Om tadi tidak menyakiti Evan?" Bocah tampan itu menggeleng seraya melingkarkan tangan nya di leher Aldi. Dia tidak mengerti jika kedua orang tua nya sangat cemas pada nya. Keduanya terlihat lega. Reyna mencium pipi Evan dengan rasa syukur dan lega yang luar biasa. Kecemasan masih terlihat di wajahnya tapi wanita itu sudah bisa tersenyum sera
"Daddy, Evan mau ke taman," pinta bocah kecil memeluk kaki Aldi dengan wajah membujuk. Aldi menunduk memperhatikan tatapan Evan, mengelus puncak kepala bocah itu dengan penuh kasih. "Evan mau ke taman sama Daddy?" Aldi balik bertanya. Evan mengangguk penuh harap. Membiarkan Aldi memainkan pipi gembul nya. "Bunda gimana dong? Tega neinggalin bundanya di rumah?" "Bunda mau kok, tadi bunda bilang ke Evan, asal Daddy nemenin, bunda pasti ikut." Aldi tersenyum lalu menggendong Evan dan memeluknya erat. Hatinya bahagia, momen untuk bersama putranya dan Reyna tidak akan di sia-siakan. "Yuk, ganti baju dulu ya, Tuan muda," ajak Aldi menemani Evan ke kamarnya. Aldi tidak bisa melepaskan pandangan nya pada wanita cantik di depan nya. Wali pun perut wanita itu sudah terlihat membuncit, namun kec
Hari ini akhir pekan, Aldi tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk bersama putranya dan Reyna. Namun kesehatan Reyna masih belum pulih. Beda dengan Evan yang sekarang sudah mulai bermain kembali. Aldi mengetuk kamar Reyna lalu membukanya perlahan saat suara Reyna mempersilahkan dia masuk. Aldi menghampiri Reyna lalu meraba kening wanita itu. "Udah minum obat?" tanya Aldi. Reyna menggeleng. Wajahnya masih terlihat pucat. Akibat teror yang dia alami membuatnya malas makan dan stress, untuk itu dokter Mario menyuruh Reyna untuk bedrest, apalagi kehamilannya masih masuk tri semester pertama. "Pasti belum sarapan? Kau harus makan dulu sebelum minum obat." Reyna kembali menggeleng lemah. Entah kenapa dia tidak nafsu makan. Tubuh nya masih terasa lemah. Aldi keluar kamar sebentar lalu masuk k