Mereka adalah Mark dan Spencer, dua pejabat dalam negeri di pemerintahan ini. "Kenapa? Ada masalah?" Mark yang tidak sengaja melihat ada keramaian yang tidak wajar di lobby begitu penasaran ingin tahu. "Ah tidak. Hanya masalah kecil," jawab dokter Hadi santai. Namun wajah Spencer yang menatapnya dengan aura intimidasi, membuat dokter Hadi menjelaskan sedikit apa yang terjadi. "Barusan ada pasien miskin yang ingin meminta keringan biaya. Dia ingin bertemu denganku tapi aku menolaknya. Untuk apa, bukan? Buang-buang waktu saja. Dia tinggal minta surat keterangan miskin dari petugas setempat dan tinggal serahkan ke bagian administrasi. Semudah itu," terang dokter Hadi. Dan kemudian wajahnya berpaling pada Marita yang berada di sebelahnya. "Bukan begitu, Rita?" Marita sendiri tau apa yang akan dia katakan. "Benar sekali, dok." Barulah ekpresi Spencer berubah menjadi biasa lagi. "Jadi bukan masalah politik?" "Aku akan mengadukannya pada kalian kalau ternyata yang aku hadapi seper
"Hei Joe apa yang kamu lakukan?" Baru saja Joe meminta Pevita mengantarnya ke makam Naura lagi. Tanpa bertanya Pevita mengikuti kemauan Joe. Dan setibanya di makam, Pevita shock melihat Joe menyuruh orang untuk membongkar kembali makam putri kecil anak angkat nyonya Kim. Sama sekali tidak mengira kalau Joe akan melakukan ini. "Aku yakin ada sesuatu yang aneh dengan makam Naura," sahut Joe sekenanya. "Joe! Tapi ini melanggar peraturan. Kamu tidak bisa membongkar makam seseorang begitu saja tanpa seijin nyonya Kim. Bagaimana kalau dia tahu makam putrinya diacak-acak seperti ini?" "Aku hanya ingin memastikan. Tidak ada yang mengacaknya. Setelah aku tau kalau yang dikubur itu memanglah Naura, aku akan merapikannya kembali," bantah Joe. Pevita yang terlihat cemas semakin tidak karuan dengan perasaannya menghadapi Joe yang dianggap nekat. "Aku tidak ingin ada masalah dengan nyonya Kim," pungkasnya. "Kamu tenanglah. Tidak akan ada masalah apa-apa." Joe justru terlihat santai. D
"Seharian ini aku mungkin akan sibuk, sebaiknya kamu pulanglah," ucap Joe, sebelum dia keluar dari mobil. Nampak aura yang terlihat sedih pada wajah cantik itu. Pevita jelas lagi memikirkan sesuatu, namun dia menahannya. Mungkin dia sungkan untuk mengutarakan pada Joe. Akhirnya dia mengangguk pelan, seperti pasrah. "Ada yang ingin kamu sampaikan?" Joe yang melihat ekpresi Pevita yang datar jadi penasaran ingin tahu. "Tidak ada. Pergilah. Aku bisa sendiri," sahutnya pelan. Entah kenapa, perasaan Joe ingin menoleh ke arah belakang. Tepat di bangku penumpang di baris dua dia melihat ada bungkusan yang sangat cantik. Joe mengambilnya, lalu bertanya, "kado ini untuk siapa?" "Mama. Hari ini dia ulang tahun," jawabnya datar. Di titik ini Joe mengerti kenapa Pevita terlihat murung ketika dirinya ingin berpamitan. Pevita menginginkan Joe untuk menemaninya. Tapi dia sungkan meminta itu lantaran hutang budi pada Joe karena kesalahannya sendiri. "Titip salamku untuk mamamu." Joe mem
Rose? Sepertinya nama itu tidak asing di telingaku. Pevita masih berusaha mengingat-ingat siapa wanita yang usianya sekitar tiga puluhan yang menjadi asisten mamanya yang baru. Oh Tuhan, aku baru ingat. Nama ini persis sekali dengan wanita yang Joe cari di rumah nyonya Kim. Apa mungkin Rose yang dimaksud adalah dia? Tapi bisa saja hanya namanya yang kebetulan mirip, bukan? "Boleh aku tanya sesuatu padamu?" "Silakan nona," sahutnya. "Bagaimana papaku bisa mendapatkanmu?" "Dari agency Marko, nona. Kebetulan saya tergabung di sana. Dan papa nona kenal dekat dengan tuan Marko." Rose menjawabnya dengan tenang dan santai. Sama sekali tidak menandakan kalau dia mengada-ngada perkataannya. Ya, seingatku papa memang memiliki sahabat kecil yang memiliki usaha di jasa seperti ini. Mungkin saja itu benar, gumamnya dalam hati. "Sebelumnya kamu bekerja di mana?" Dalam pertanyaan ini Pevita berharap kalau Rose mengatakan sama persis dengan apa yang diinginkannya, kalau dia bekerja di rum
"Non Pevi sedang mencari sesuatu?" Pertanyaan Rose membuat Pevita salah tingkah.Tertangkap basah di tempat orang lain tanpa seijin pemiliknya sangat tidak membuat hati nyaman. Tapi sebagai tuan rumah apalagi majikan, Pevita tidak mau kalah."Umm, tidak. Ya. Sebenarnya aku lagi mencari tasku. Seingatku, dulu aku pernah meninggalkannya di sini," alasannya, yang tentu saja dia buat-buat. "Tas?" Dahi Rose berkerut kedalam, heran. "Bukankah Mansion ini baru saja di tempati nyonya Maya seminggu yang lalu? Tuan Jeriko baru saja membelinya. Dan kebetulan saya orang pertama yang menempati kamar ini, non," ujarnya, yang membuat Pevita menelan ludah karena kebodohan yang dia tunjukan sendiri.Sial! Bagaimana bisa aku mengatakan itu? Benar-benar bodoh kamu ini Pevi! batin Pevita. Dia pun akhirnya menyudahi saja meninggalkan Rose dengan wajah merah dan perasaan malu. "Sudah lupakan saja. Tidak penting juga," ucapnya sambil mengahalau tangan dan berjalan keluar. Rose yang mendapatkan sikap maj
Joe yang dibawa jauh ke halaman belakang, setidaknya ada beberapa pertanyaan di benakanya untuk apa Pevita sampai begitu serius mengajaknya ke tempat tersembunyi seperti ini? Berlebihan sekali. Kenapa tidak berbicara di ruang tamu saja?"Aku khawatir ada yang mendengar pembicaraan kita," ujarnya, mungkin dia sadar kalau Joe sudah menaruh heran terhadapnya. "Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan?" "Joe, apa kamu mempercayaiku?" Pevita bertanya balik. "Tergantung. Apa kamu bisa dipercaya?""Joe, aku serius. Aku baru saja bertemu dengan Rose. Tentu kamu tau siapa Rose, bukan?"Mendengar ini, rona wajah Joe berubah kencang. Yang tadinya Joe tidak begitu serius menanggapi Pevita sekarang berubah jadi dia yang tertarik untuk perbincangan ini. "Perempuan itu saksi kunci tentang kematian Naura dan kebusukan dokter Hadi. Di mana kamu bertemu dengannya?" Joe begitu antusias mengatakan ini. "Sudah aku bilang, aku akan menyampaikan hal serius." "Baiklah, sekarang aku mendengarkanmu." Joe me
Seharusnya ini hari bahagia untuk semua orang, tapi hati Jilly begitu berat melewatinya. Perasannya masih berselimut gelisah lantaran Vino sampai siang ini belum juga ada kabar. Padahal janjinya, dia akan mengabari sebelum jam sebelas siang mengenai keberangkatannya ke negeri Menara. Dan sekarang sudah jam satu. Bola mata Jilly tidak lepas dari terus memperhatikan layar ponsel. Dan saat yang bersamaan, keluarga Miller secara lengkap sedang menghadiri undangan seseorang di sebuah Castile di negeri Menara. Sungguh, ini undangan luar biasa mengingat tidak sembarang orang bisa masuk ke tempat paling elit di negeri Menara. Lebih tepatnya, kalau memang tidak ada hubungannya dengan pemerintahan tidak akan mungkin menginjakan kaki di Castile mewah nan megah yang merupakan kebanggaan negeri Menara. Erika Salian Heung yang bertugas sebagai duta besar di sini yang mengundang Aland Miller untuk datang. Tidak lain, lantaran Jeriko yang mengurusnya. Karena saat ini Aland Miller sudah menjadi bag
Mereka semua terkejut dengan kedatangan Prof Ferguso yang sangat terkenal. Sebelumnya mereka hanya bisa melihat laki paruh baya dengan tubuh yang masih energik, wajah penuh senyum dan pembawaan yang tenang namun memiliki kekuasaan dan juga aset mendunia hanya dari layar kaca. Dan Prof Ferguso bukan orang yang mudah ditemui dengan sembarang. Suatu keberuntungan keluarga Miller bisa bertatap muka langsung dengannya. Ini merupakan sebuah penghormatan besar bagi keluarga Miller yang tentunya akan membuat iri semua orang. "Apa ada masalah?" Prof Ferguso memastikan sekali lagi sambil menatap ramah wajah-wajah keluarga Miller. "Tidak ada Prof," sahut Aland, kemudian dia mengalihkan dengan pembicaraan yang lain. "Suatu kehormatan bagi kami bisa bertemu anda di sini, Prof.""Jangan berlebihan," sahutnya dengan rendah hati. Dan seorang pengawal datang menghampiri untuk membakar cerutu prof Ferguso. "Silakan duduk," titahnya. Semua anggota keluarga Miller pun duduk dengan tenang. Bahkan Jill