Desir lembut meraba hati dan jantungnya. Seakan membuat Sherley mabuk sesaat dan tak sadar. Bahwa yang sedang dia hadapi seorang William. Yang mampu menaklukkan wanita mana pun. Dengan segala rayuan dan sikapnya yang membuat wanita luluh saat bersama dirinya.
"Apa kau masih butuh janji yang lain Sherley sayang?"
"Janji?"
"Iya. Aku ingin kau menjadi wanitaku," bisik William.
"Kita pulang William. Aku kedinginan."
"Biar aku peluk kamu, Sherley."
Keduanya terdiam dengan pandangan mata memandang ke arah laut lepas.
"Kita pulang, William. Angin pantai bikin aku serasa mual."
"Baiklah!"
Tampak William membantu Sherley naik ke atas kuda.
"Berpeganglah sama aku, Sher! Aku tak ingin kamu jatuh," bisik William.
Sherley hanya mengulum senyuman.
'Pantas semua wanita itu tak berdaya bila dihadapan William. Apa aku juga?'
Hanya dalam sekian menit. Kuda mereka sudah memasuki halaman kast
"Siapa dia?" tanya William menyelidik."Saudara sepupuku, seorang wanita yang cantik dan sangat menarik. Aku yakin kau pasti suka berbincang dengannya. Karena dia sangat ahli soal hubungan di ranjang!""Apa maksud kamu bicara seperti itu, Floy?!" tegur Jill Anne. "Seharusnya kau hargai dirimu sendiri. Dengan tak bicara hal yang tak pantas seperti tadi. Sangat tak pantas kau lakukan tadi, Floy!""Apa kau cemburu, Jill?"Pertanyaan Beatrix seolah sedang menantang dirinya. Jill terus memperhatikan ulah Beatrix yang sedang merayu William."Nanti malam waktunya kaun berkunjung ke kamarku, William. Jangan lupakan itu!" tandas Beatrix manja.William tak menjawab. Dia melirik pada Sherley yang hanya mengulum senyum. Seakan sedang mengejek William, yang baru saja berucap janji padanya.Beatrix yang merasa tak ditanggapi. Ikut mengarahkan pandangan pada Sherley. Rasa geram dan kesal merambat dalam hati."Ehhh! Kenapa kamu senyum-se
Pagi yang cerah. Tampak Beatrix menunggu kedatangan saudara sepupunya. Tak berhenti tatap matanya menerawang lepas ke arah jalan perbukitan yang terlihat."Kamu menunggu saudara kamu?""Iya, Laurice.""Apa ... dia cantik?"Beatrix tersenyum tpis. Dia tahu ke mana arah pembicaraan Laurice."Kamu takut dia akan merebut hati William?""Menurutmu?"Terdengar tawa lirih Beatrix."William milik kita bersama Lau. Kamu tak bisa mengusainya sendiri. Karena kamu pun tahu. Dia tak bisa mengikat cintanya hanya pada satu orang saja.""Haahhh! Aku telah salah mencintai seorang lelaki. Dan aku pun telah salah menyerahkan semua hartaku padanya.""Dan kau pun tak mampu melawan pesonanya, Laurice. Seperti tadi malam. Dia begitu garang dan beringas di ranjang. Iya 'kan?"Tanpa memberi tanggapan. Laurice pergi meninggalkan Beatrix yang sedari tadi tersenyum puas."Andai kau tahu siapa Ivy Grace, laurice. Kamu akan
"Kamu masih terlalu muda untukku," bisik Sherley. Sembari dia beranjak dari kursi. Saat hendak melangkah pergi. George menarik lengan Sherly dengan kuat. Hingga wanita itu terjatuh dalam pangkuan George."Aku akan lakukan apa pun untuk mendapatkan kamu. Biar pun harus bersaing dengan William.""Biarkan aku pulang, George!""Silakan! Tapi, kamu perlu ingat yang baru saja aku katakan tadi, Sherley Kendall."Sherley menatapnya cukup lama."Aku serius dengan yang aku katakan barusan, Sherley.""Sebaiknya aku pulang, George. Aku tak ingin sampai Jill banyak pertanyaan padaku.""Jill atau kah William?"Sherley tak menjawab pertanyaan George. Dia mengambil tas dan segera pergi meninggalkan lelaki muda dan tampan itu."Kita pasti akan bertemu lagi, Sherley."Wanita itu hanya mengangkat sebelah tangannya. Langkah kakinya terburu-buru menuju kereta yang telah emnunggu."Kita jalan Brandy!""Baik, Nyonya!"
Malam ini, Sherley terlihat gelisah. Dia tak bisa tidur dengan nyenyak. Masih terbayang setiap kata yang terlontar dari George."Apakah benar yang dikatakan George? Apa William seperti itu? Baru saja dia mengucap kata indah buatku. Dan, aku terpesona olehnya. Aku bingung harus mempercayai siapa?"Tampak Sherley gelisah. Dia berjalan mondar mandir di dalam kamarnya."Aku harus menemui William. Aku tak bisa gelisah seperti ini terus!"Bergegas Sherley keluar kamar. Berjalan menyusuri lorong di lantai dua, yang sangat sepi dan hening. Saat melewati kamar Jill Anne. Sebuah panggilan tertuju padanya."Sherley! Mau ke mana kamu?"Tiba-tiba Jill Anne sudah berada di depan pintu."Jill, kamu belum tidur?""Belum. Memang kamu mau ke mana?""A-aku ... ehhhh."Sangat terlihat jelas Sherley resah dan tak bisa bicara lugas pada Jill Anne. Yang tersenyum padanya. Dia berjalan menghampiri Sherley."Sepertinya kamu telah t
Tubuh Sherley bergetar hebat. Dia tak bisa berkata-kata lagi. Saat Ivy semakin melucuti pakaian tidur yang masih menempel di tubuhnya. Hingga menyisakan pakaian dalam, yang menutupi organ intim."Apa maksud kalian seperti ini?" teriak Sherley."Agar kamu juga merasakan nikmatnya bercinta dengan kita bertiga. Kamu lihat bagaimana William tak berdaya dengan kondisi seperti ini! Apa kamu benar-benar tak menginginkannya, Sherley?" ucap Beatrix sengaja menggoda.Di atas ranjang, Ivy terus beraksi. Dia membuat William mengerang penuh kenikmatan. Sembari meracau dan memanggil nama Sherley."Kemarilah Sherley!" ajak William.Namun Sherley bergeming. Dia hanya melihat cara Ivy memperlakukannya."Sungguh kamu tak ingin?" Kembali Beatrix menggoda Sherley. "Karena yang aku lihat kamu juga tergoda dengannya. Iya 'kan? Ngaku!"Ivy yang sedari tadi hanya memperhatikan Sherley. Menghampiri dan menarik tangan Sherley agar mengikuti langkahnya.
Beatrix menatap tajam Aston yang terlihat bicara serius. "Cinta baru?" "Iya!" "Untuk aku?" Kembali Aston mengangguk. "Dari siapa cinta itu akan datang?" "Kalau dari aku bagaimana?" "Kamu? Mencintai aku?" Aston mengangkat kedua pundaknya. "Kenapa tidak Floy? Apa karena aku tak sekaya William." "Bu-bukan itu? Karena aku hanya wanita biasa saja. Bagaimana bisa kamu jatuh cinta sama aku?" "Buktinya? Aku jatuh cinta sejak melihat kamu pertama kalai di tangga itu. Kamu sangat cantik dan menawan. Heran saja, kalau sampai William tak begitu menganggap dirimu." Beatrix Floy menggeser dudunya. Lalu meletakkan kepalanya di bahu kanan Aston. "Aku tak pernah tau, kalau dia akan begitu sama aku, Aston. Menurutku dia akan memperlakukan diriku jadi wanita pilihan satu-satunya. Selain Jill Anne." "Mana bisa William seperti itu. Apa benar di kastil itu sudah ada lima orang wanita, selain Jill
"Satu hal yang perlu kamu tau tentang William. Dia sangat tak menyukai jika ada wanitanya yang digoda oleh lelaki lain." "Aneh! Sangat egois. Memangnya apa yang akan dilakukan William?" "Dia bisa melakukan segalanya. Termasuk membunuh siapa pun lelaki itu, Sherley. Kamu mulai mengerti 'kan?" Sherley hanya bisa terbeliak dan terperangah saat mendengar penjelasan Jill Anne. Dia tak menyangka kepribadian William yang menakutkan. "Dan, mereka para wanita itu mengetahuinya, Jill?" Jill Anne menggeleng. "Hanya kamu yang aku beritahu. Makanya berhati-hatilah." Langkah Sherley mendekati Jill Anne, seraya berbisik, "Apakah kamu pernah ada keinginan melarikan diri darinya?" "Pernah ada rasa ingin itu, Sherley. Tapi, aku tak bisa. Aku pendam keinginan itu kuat-kuat. Kehidupanku seperti sudah dia renggut, Sherley. Seluruh harta dan aset yang aku punya, sudah pindah nama atas miliknya. Aku memang berhasil menumbuhkan s
Ivy kembali menggeleng. Jill Anne berjalan menghampiri Ivy yang duduk di kasur. Di sebelah Beatrix yang masih pingsan. "Asal kamu tahu. Ini mulai berbahaya bagi Beatrix dan seseorang yang dia temui itu, Ivy. Kamu harus segera cari tahu secepatnya. Siapa orang yang ditemui oleh Beatrix itu?!" "Kenapa harus begitu Jill?" Jill mendekatkan wajahnya pada Ivy. Kedua manik mata saling bertemu. Hingga embusan napas hangat Jill, terasa bagai menyapu kulit wajah Ivy. "Jika dirimu ingin Beatrix selamat. Ikuti apa kataku tadi!" Seketika Ivy merasa tubuhnya gemetaran. Apa yang tersirat di sinar mata Jill. Semua bukanlah sebuah kebohongan. Dan Ivy tahu itu. "Ba-baiklah. Besok pagi aku akan mencari tahu." "Bagus!" Segera Jill meninggalkan pergi kamar itu. Tak jauh darinya berjalan seorang pelayan berlari ke arahnya. "Nyonya Jill!" Neva sudah berdiri di hadapannya. "Ada apa, Neva?" "Ada dua orang wanita. Mereka
"Memangnya apa yang bisa aku lakukan?""Kamu ikuti prosedur mereka. Kami ingin tahu sampai sejauh mana William terjerat. Kasus ini saksinya hanya kamu, Sherley!""Tapi, aku tak melihat penembaknya. Bahkan sosok posturnya aku mulai sedikit lupa."Sampai Sherley teringat pada seseorang, si pemberi surat dari Angle White."Aku baru ingat!""Apa?" Jill meanatap tajam."Aku jadi ingat sama sosok si pengantar surat. Menurut aku perawakannya mirip penembak itu, cuman aku masih ragu.""Kamu jangan asal menebak, Sherley. Akan sangat berbahaya buat kamu. Sebaiknya kita fokus pada William."Sherley tertegun sejenak.'Kenapa Jill mengalihkan pembicaraan ini? Apa dia sudah punya rencana lain?"Buru-buru Sherley mendekati dan menarik lengannya sedikit menjauh dari Laurice dan Beatrix."Ada apa Jill?""Maksud kamu?""Apa yang kamu sembunyikan dari aku? Aku sangat tahu kamu, pasti kamu sedang mere
Tiba-tiba .... "Tidak salah sama sekali!" sahut Beatrix yang sudah berdiri di ambang pintu. Mmebuat mereka bertiga tersentak. "Kamu ... menguping?" sentak Jill geram. Dengan tenang dan santai, Beatrix menutup pintu kamar. "Tenanglah, Jill. Kalau dalam hal ini, aku sepakat denganmu. Kapan niat itu akan kamu lakukan?" Jill masih terlihat tegang dengan kedatangan Beatrix, hal yang tidak dia duga sebelumnya. "Percayalah sama aku. Tidak mungkin aku akan bocorkan perihal ini. Karena semenjak kejadian menyakitkan itu, aku membencinya." Sepertinya Jill bisa mempercayai Beatrix. "Baiklah kalau begitu. Kita akan menunggu apa yang akan dilakukan Lady Rose. Apa benar dia mampu membuat William benar-benar mengusir kita dari sini." "Dan pastinya menceraikan kamu, Jill," sahut Laurice. "Kalau itu sampai terjadi, kita akan keluar tanpa apa pun. Ingat juga, keluarga Lady rose suaranya masih didengar pihak kerajaan,
"Mungkin, ada baiknya kamu ikuti saran dari surat itu. Siapa tahu Abel benar-benar mencintai kamu?"Sherley hanya tersenyum masam."Entahlah? Aku pun tidak bernapsu untuk mendapat cinta dari siapa pun.""Termasuk William? Tampaknya kamu telah tergoda padanya.""Dia terlalu banyak memiliki wanita. Sulit untuk bisa setia. Aku tak mau dan tak ingin hidup seperti kamu, Jill. Menderita!"Jill Anne hanya menyeringai dengan mengangkat sudut bibirnya."Itu William sudah menemui mereka. Aku hanya ingin kamu segera bebas dari permasalahan ini."Dari arah atas, terdengar suara Laurice memanggil mereka."Jill!"Kedua wanita menghentikan langkah, dan melihat pada Laurice yang berlari kecil mendekat."Ada apa ini?""William ada tamu dari para penyidik mengenai kasus penembakan Darriel.""Apa?! Ta-tapi tidak mungkin 'kan William melakukannya?""Semoga speerti itu, Lau. Kenapa? Kamu speertinya sangat ke
"Masih menduga?""Iya, karena belum terbukti apa pun. Mereka sama sekali tidak memiliki bukti tentang keterlibatan kamu.""Aku memang tidak melakukannya, Sherley!" tegas William.Jill Anne yang mendengar percakapan mereka menghampiri."Kalau aku boleh saran padamu. Sebaiknya kamu kasih ijin pada mereka, karena memang kamu bukan pelakunya. Jika kamu mempersulit, pasti mereka merasa benar atas dugaan selama ini."Sejenak William memikirkan perkataan Jill, tanpa berpikir panjang lagi. Sherley melirik padanya. Seolah mempertanyakan, saran Jill Anne yang bisa semakin menjebak William."Baiklah kalau begitu saran kamu, Jill. Aku yakin kamu masih peduli padaku.""William, tunggu!" Lady Rose mendekat. "Saran Jill itu gila! Buat apa kamu mengikuti mereka. Kamu 'kan punya kuasa.""Ahhh ... para bangsawan itu, mana ada yang peduli denganku, Rose. Mereka hanya memandang Jill Anne, yang pintar dan berduit, dari pada diriku!"
Sepertinya William sudah tidak sabar menghadapi Sherley, yang menurutnya terus mengelak. Tangan kanan bergerak mencengkram lengan kiri Sherley kuat-kuat. Sampai membuatnya tersentak, karena sakit. "William!" sentak Jill Anne. "Tidak perlu kamu kasar begitu padanya!" "Wowww, kalian juga saling membela seperti ini? Ini hal yang sangat menarik, Jill," celetuk Lady Rose dengan senyum yang masam. Dalam waktu bersamaan, Jill Anne mendekati wanita itu. Dia mendorong kuat tubuhnya sampai hampir terjungkal. "Sekali lagi kamu ikut campur urusan kami, aku bungkam sendiri mulut kamu!" bentak Jill. Namun, ancaman itu semakin membuat Lady Rose tertawa. "Silakan kalau berani kau Jill Anne!" Sudut bibirnya menyungging, seakan mengajak Jill Anne untuk terus melanjutkan pertengkaran di antara mereka. Kesal dengan sikap Lady Rose, yang semakin mengejek. Tak segan Jill Anne menerjang tubuhnya, hingga kedua wanita bangsawan itu terhempas ke lantai.
Tiba-tiba,"Jill ... Jill!"Sontak Ester dan Jill berbalik dan memperhatikan sosok Sherley yang tersengal-sengal."Apa ... ada kejadian baru?""A-ada Nyonya. Sekarang juga Tuan William sedang menunggu Nyonya Sherley." Tampak Ester benar-benar khawatir."Kenapa dia mencari aku?" Sherley terlihat tegang."Hemmm ... kamu harus berhati-hati, Sherley. Aku takut kalau William mencurigai kamu soal ini.""Baik, Jill. Ester, di mana William menunggu aku?""Di lantai bawah, Nyonya.""Baik aku akan ke sana juga."Bergegas Sherley menuruni beberapa anak tangga. Dia tak ingin sampai William tahu ini adalah perbuatan dirinya. Melihat keaaan yang smekain runyam, Jill pun mengekori Sherley."Sherley, tunggu!"Wanita itu hanya menoleh dan meneruskan langkahnya."Ada apa, Jill?""Berhati-hatilah, William saat ini sedang didukung oleh Lady Rose. Dia sangat berbahaya, dan mampu membalikkan keadaan de
"Maksudnya?""Dia ingin memeriksa seluruh isi kamar. Dalam isi surat ini juga dijelaskan kalau aku menyimpan bukti untuk kasus pembunuhan.""Pembunuhan?" Kedua matanya melotot, seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Kamu ... bicara serius?""Iya, Rose. Dalam surat ini sangat jelas mengetakannya.""Ta-tapi, William?" Rose manatap tajam pada lelaki tampan itu. "Bagaimana bisa mereka ingin mencari barang bukti di dalam kamar kamu? Pasti ada seseorang yang memang sengaja menjebak kamu, William.""Kita akan lihat nanti, Rose."William terlihat tenang."Ester!" teriak William kencang.Wanita berkulit hitam, berlari mendekat."Iya, Tuan. Ada apa?""Di mana Sherley?""Nyonya Sherley, sepertinya masih tidur di kamar.""Panggil dan suruh kemari, cepat!""Ba-baik, Tuan."Bergegas Ester keluar kamar, dan menuju lantai dua. Dia berjalan cepat menapaki beberapa anak tangga. Sampai
"Baiklah, apa kamu akan langsung pulang?""Iya, setelah ini Abel. Bolehkah?" Lelaki itu hanya manggut-manggut.Selesai menemani Abel makan, Sherley pun berpamitan hendak pulang."Terima kasih atas semua bantuan kamu. Kuharap kamu bisa membantu aku terbebas dari ini semua.""Iya, Cantik. Aku akan upayakan semuanya.""OKe, aku pulang ke kastil. Aku tidak mau ada dugaan dari William, kalau aku yang melakukan pelaporan semua ini." Abel hanya manggut-manggut.Sheerley pun segera naik kereta yang telah menjemput dirinya. Tangannya melambai pada Abel dengan senyum lebar mengarah padanya."Tolong kamu percepat keretanya!""Baik, Nyonya."Tapak kuda mulai berlari kencang. Sherley berharap bahwa kedatangannya tidak membuat curiga William dan juga yang lain._Kastil Lily Edward_Salah seorang pelayan menyampaikan pada Ester jika ada seorang tamu."Tamu dari mana?""Ini suratnya, Ester."
"Berarti semua aman 'kan?""I-iya, aman semuanya."Abel menghempaskan tubuhnya di sebelah Sherley."Mereka baru saja berangkat ke kastil. Kita lihat nanti hasilnya bagaimana.""Apa ... menurut kamu semua ini akan lancar? Jujur, aku takut Abel."Lelaki kharismatik itu, menyudutkan pandangannya hingga membuat matanya menyipit."Kamu takut apa?""Pastinya kamu tahu, siapa seorang William ini?""Hemmmm, karena itu saja?""Iya, karena hal ini saja sudah membuat kepalaku pusing. Aku tinggal satu atap dengannya, dia yang memberikan penghidupan buat aku. Andai dirimu menjadi aku bagaimana?""Aku mengerti yang kamu rasakan ini, Sherley. Kalau memang kamu bukan seperti yang dituduhkan, kurasa kamu tenang saja. Tidak perlu mengkhawatirkan tentang William.""Apa, menurut kamu tahu bahwa aku yang memberikan bukti-bukti itu?"Abel Griffin menghela napas panjang."Iya! Kurasa cepat atau lambat pasti akan men