"Apa William akan tidur sama kamu?"
"Pastinya dong, Floy. Kalau kamu mau, kita bisa main bertiga."
"Apaaaa?!"
"Kenapa kamu kaget? Memangnya kamu belum pernah tahu? Atau, pura-pura enggak tahu?"
Lalu Laurice berjalan mendekati Beatrix yang masih terpaku di tempatnya. Dan berbisik,
"Kita bisa bermain threesome. Mau ikut?" Laurice mempermainkan sebelah mata yang mengerling ke arah Beatrix.
"William mau?"
"Pasti lah akhirnya mau."
Tanpa banyak bicara lagi. Laurice menarik pergelangan tangan Beatrix yang masih terbengong.
"Ayo!"
Keduanya menaiki anak tangga,. menuju kamar Laurice.
"Aku di kamar kamu?"
"Iya. Lepas gaun kamu itu. Dan, pakai baju tidur kamu. Kamu akan tidur di sini sampai William datang. Bagaimana?"
"Sepertinya ide kamu sangat menarik, Lau. Kau ternyata sangat mahir juga di ranjang."
Satu jam berlalu. Beatrix dan Laurice masih menunggu kedatangan 'suami' mereka. Tampak
"Aku tak mau bila Nyonya Jill Anne mengetahuinya. Aku tak mau melukai perasaan dia."William menutupkan telunjuknya di bibir Sofia lembut. Lalu memagut bibir Sofia dengan liar."Hentikan, Tuan!""Kenapa?""Saya tak mau jika akan dimusuhi oleh ketiga istri Tuan. Saya tak sanggup kalau harus adu mulut dengan mereka.""Kenapa kau masih memikirkan mereka? Harusnya yang ada dalam pikiranmu cuman aku!""Ta-tapi, Tu--"William tak memberi kesempatan pada Sofia untuk melanjutkan perkataannya. Lelaki garang itu telah membungkam mulutnya dengan bibir William.Malam ini, Sofia menyerahkan kesuciannya pada lelaki yang membuat dia tak bisa berkutik. Pesona William membuat Sofia mati kutu.Di waktu yang bersamaan. Di lantai dua, kamar Jill Anne. Ester masih berdiri tak jauh darinya."Jadi, mereka berdua tidur bersama?""Iya, Nyonya. Mungkin mereka sedang menunggu Tuan William."Lalu Jill Anneh terkekeh. Dan akhirn
Suara Jill Anne benar-benar menggoda mereka. Dia pun terus terkekeh. Saat melihat perubahan di raut wajah Beatrix dan Laurice. "Me-memangnya siapa istri yang lain?" "Sofia Malvin!" "Apaaaa?!!!!" teriak mereka berdua, seperti mengguncang seluruh kastil. Jill Anne tersenyum lebar dengan terkekeh. Dia merasa senang telah membuat mereka berdua kebakaran jenggot. Walaupun mereka tak berjenggot. Laurice langsung meninggalkan Jill Anne. Dia menuruni anak tangga menuju lantai dasar. Melihat hal itu, Beatrix berusaha mengejar. "Laurice! Tunggu dulu Lau!" Dia terus berteriak. Mencoba menghalangi niat Laurice, yang sudah terbakar api cemburu dan emosi. Laurice pun berhenti. "Kenapa kamu melarang aku?" "William sangat tak menyukai kalau ada yang mengganggu dia." "Aku tak peduli. Ini kesalahan yang telah dia lakukan!" "Ta-tapi, Lau--" Wanita cantik berambut merah itu, pergi berlalu. Beatrix hany
"Siapa dia?""Dialah akuntan yang aku ceritakan dulu. Dia seorang yang handal. Kau tak perlu ragukan pilihanku, William.""Aku tahu itu Jill," sahut William tanpa berkedip. William terus menatap lekat. Lalu Jill Anne berjalan mendekatinya dan berbisik,"Kau jangan membuat temanku takut oleh ulahmu!""Dia tak akan takut. Yang ada malah tertarik denganku.""Awas, kalau kau menggodanya."Kalimat Jill Anne penuh ancaman."Oke, Sherley. William yang akan menjelaskan semuanya. Aku tinggal keluar. Nanti setelah selesai, biar Ester mengantar kamu ke kamarku.""Baik, Jill.""Oh, ya Sherley. Aku sudah menyiapkan kamar untukmu. Bersebelahan dengan kamarku, bagaimana? Dari pada kau harus tinggal di kota.""Hemmm, boleh juga Jill tawaran kamu. Terima kasih sebelumnya."Jill Anne pun pergi berlalu meninggalkan mereka berdua."Sudah berapa lama anda berkecimpung dalam pekerjaan ini Nona Sherley?""Cukup lama
"Bagaimana dengan harta kekayaan Sofia? Apakah masuk menjadi milik William juga?""Tidak. Karena aku yang memegangnya.""Lalu apa rencana kamu selanjutnya, Jill? Dan, buat apalagi kau memasukkan wanita itu?"Jill Anne tersenyum tipis, seraya menyeringai."Suatu saat nanti. Kau pasti akan tau manfaat Sherley ada di sini!"Tiba-tiba, Beatrix sudah berada di ujung lantai tiga. Dia menapaki beberapa anak tangga. Menghampiri mereka."Sepertinya ada gosip hangat?""Apa kau tidak tahu, Floy? Kalau 'suami' kita telah tertarik pada seorang wanita baru. Apa kau akan membiarkannya?" Sengaja Laurice membuat Beatrix agar cemburu."Yang bisa menghentikan William, adalah dirinya sendiri!""Kau benar, Floy," sahut Jill Anne, seraya masuk kamar.Sedangkan di taman bunga lily. Yang mengelilingi kastil. William dan Sherley masih asyik berbincang dan saling bertukar pikiran."Bagaimana kalau para wanita kamu bersel
"Sebaiknya kita pergi dari sini. Aku sangat tidak menyukai kalau ada lelaki lain yang melihat para wanitaku!" bisik William."Ta-tapi, aku bukan wanitamu, William!""Tak ada seorang wanita yang menolakku! Termasuk kamu, Sherley."Wanita itu hanya memandang tajam ke arah William. Tampaknya George mengerti ke mana rah perbincangan William. Dia pun berpamitan untuk melanjutkan perjalanan."Saya sangat senang bisa mengenalmu Nyonya," bisik George. Dan telah membuat Sherley terpesona."Aku tak menyukai lelaki itu!""Karena dia tampan? Kaya dan dari kalangan bangsawan juga?""Sepertinya dari tadi, kau terus menghakimi aku."Sherley tersenyum lebar. Lalu, menarik pergelangan tangan William yang terlihat kesal."Jika kau geram, apalagi marah. Garis gurat di wajahmu akan bertambah satu.""Dari mana kau tahu itu?""Hemmm, dari orang-orang tua kita dulu. Apa kamu tak pernah dengar?""Tidak!"Sherle
Desir lembut meraba hati dan jantungnya. Seakan membuat Sherley mabuk sesaat dan tak sadar. Bahwa yang sedang dia hadapi seorang William. Yang mampu menaklukkan wanita mana pun. Dengan segala rayuan dan sikapnya yang membuat wanita luluh saat bersama dirinya."Apa kau masih butuh janji yang lain Sherley sayang?""Janji?""Iya. Aku ingin kau menjadi wanitaku," bisik William."Kita pulang William. Aku kedinginan.""Biar aku peluk kamu, Sherley."Keduanya terdiam dengan pandangan mata memandang ke arah laut lepas."Kita pulang, William. Angin pantai bikin aku serasa mual.""Baiklah!"Tampak William membantu Sherley naik ke atas kuda."Berpeganglah sama aku, Sher! Aku tak ingin kamu jatuh," bisik William.Sherley hanya mengulum senyuman.'Pantas semua wanita itu tak berdaya bila dihadapan William. Apa aku juga?'Hanya dalam sekian menit. Kuda mereka sudah memasuki halaman kast
"Siapa dia?" tanya William menyelidik."Saudara sepupuku, seorang wanita yang cantik dan sangat menarik. Aku yakin kau pasti suka berbincang dengannya. Karena dia sangat ahli soal hubungan di ranjang!""Apa maksud kamu bicara seperti itu, Floy?!" tegur Jill Anne. "Seharusnya kau hargai dirimu sendiri. Dengan tak bicara hal yang tak pantas seperti tadi. Sangat tak pantas kau lakukan tadi, Floy!""Apa kau cemburu, Jill?"Pertanyaan Beatrix seolah sedang menantang dirinya. Jill terus memperhatikan ulah Beatrix yang sedang merayu William."Nanti malam waktunya kaun berkunjung ke kamarku, William. Jangan lupakan itu!" tandas Beatrix manja.William tak menjawab. Dia melirik pada Sherley yang hanya mengulum senyum. Seakan sedang mengejek William, yang baru saja berucap janji padanya.Beatrix yang merasa tak ditanggapi. Ikut mengarahkan pandangan pada Sherley. Rasa geram dan kesal merambat dalam hati."Ehhh! Kenapa kamu senyum-se
Pagi yang cerah. Tampak Beatrix menunggu kedatangan saudara sepupunya. Tak berhenti tatap matanya menerawang lepas ke arah jalan perbukitan yang terlihat."Kamu menunggu saudara kamu?""Iya, Laurice.""Apa ... dia cantik?"Beatrix tersenyum tpis. Dia tahu ke mana arah pembicaraan Laurice."Kamu takut dia akan merebut hati William?""Menurutmu?"Terdengar tawa lirih Beatrix."William milik kita bersama Lau. Kamu tak bisa mengusainya sendiri. Karena kamu pun tahu. Dia tak bisa mengikat cintanya hanya pada satu orang saja.""Haahhh! Aku telah salah mencintai seorang lelaki. Dan aku pun telah salah menyerahkan semua hartaku padanya.""Dan kau pun tak mampu melawan pesonanya, Laurice. Seperti tadi malam. Dia begitu garang dan beringas di ranjang. Iya 'kan?"Tanpa memberi tanggapan. Laurice pergi meninggalkan Beatrix yang sedari tadi tersenyum puas."Andai kau tahu siapa Ivy Grace, laurice. Kamu akan
"Memangnya apa yang bisa aku lakukan?""Kamu ikuti prosedur mereka. Kami ingin tahu sampai sejauh mana William terjerat. Kasus ini saksinya hanya kamu, Sherley!""Tapi, aku tak melihat penembaknya. Bahkan sosok posturnya aku mulai sedikit lupa."Sampai Sherley teringat pada seseorang, si pemberi surat dari Angle White."Aku baru ingat!""Apa?" Jill meanatap tajam."Aku jadi ingat sama sosok si pengantar surat. Menurut aku perawakannya mirip penembak itu, cuman aku masih ragu.""Kamu jangan asal menebak, Sherley. Akan sangat berbahaya buat kamu. Sebaiknya kita fokus pada William."Sherley tertegun sejenak.'Kenapa Jill mengalihkan pembicaraan ini? Apa dia sudah punya rencana lain?"Buru-buru Sherley mendekati dan menarik lengannya sedikit menjauh dari Laurice dan Beatrix."Ada apa Jill?""Maksud kamu?""Apa yang kamu sembunyikan dari aku? Aku sangat tahu kamu, pasti kamu sedang mere
Tiba-tiba .... "Tidak salah sama sekali!" sahut Beatrix yang sudah berdiri di ambang pintu. Mmebuat mereka bertiga tersentak. "Kamu ... menguping?" sentak Jill geram. Dengan tenang dan santai, Beatrix menutup pintu kamar. "Tenanglah, Jill. Kalau dalam hal ini, aku sepakat denganmu. Kapan niat itu akan kamu lakukan?" Jill masih terlihat tegang dengan kedatangan Beatrix, hal yang tidak dia duga sebelumnya. "Percayalah sama aku. Tidak mungkin aku akan bocorkan perihal ini. Karena semenjak kejadian menyakitkan itu, aku membencinya." Sepertinya Jill bisa mempercayai Beatrix. "Baiklah kalau begitu. Kita akan menunggu apa yang akan dilakukan Lady Rose. Apa benar dia mampu membuat William benar-benar mengusir kita dari sini." "Dan pastinya menceraikan kamu, Jill," sahut Laurice. "Kalau itu sampai terjadi, kita akan keluar tanpa apa pun. Ingat juga, keluarga Lady rose suaranya masih didengar pihak kerajaan,
"Mungkin, ada baiknya kamu ikuti saran dari surat itu. Siapa tahu Abel benar-benar mencintai kamu?"Sherley hanya tersenyum masam."Entahlah? Aku pun tidak bernapsu untuk mendapat cinta dari siapa pun.""Termasuk William? Tampaknya kamu telah tergoda padanya.""Dia terlalu banyak memiliki wanita. Sulit untuk bisa setia. Aku tak mau dan tak ingin hidup seperti kamu, Jill. Menderita!"Jill Anne hanya menyeringai dengan mengangkat sudut bibirnya."Itu William sudah menemui mereka. Aku hanya ingin kamu segera bebas dari permasalahan ini."Dari arah atas, terdengar suara Laurice memanggil mereka."Jill!"Kedua wanita menghentikan langkah, dan melihat pada Laurice yang berlari kecil mendekat."Ada apa ini?""William ada tamu dari para penyidik mengenai kasus penembakan Darriel.""Apa?! Ta-tapi tidak mungkin 'kan William melakukannya?""Semoga speerti itu, Lau. Kenapa? Kamu speertinya sangat ke
"Masih menduga?""Iya, karena belum terbukti apa pun. Mereka sama sekali tidak memiliki bukti tentang keterlibatan kamu.""Aku memang tidak melakukannya, Sherley!" tegas William.Jill Anne yang mendengar percakapan mereka menghampiri."Kalau aku boleh saran padamu. Sebaiknya kamu kasih ijin pada mereka, karena memang kamu bukan pelakunya. Jika kamu mempersulit, pasti mereka merasa benar atas dugaan selama ini."Sejenak William memikirkan perkataan Jill, tanpa berpikir panjang lagi. Sherley melirik padanya. Seolah mempertanyakan, saran Jill Anne yang bisa semakin menjebak William."Baiklah kalau begitu saran kamu, Jill. Aku yakin kamu masih peduli padaku.""William, tunggu!" Lady Rose mendekat. "Saran Jill itu gila! Buat apa kamu mengikuti mereka. Kamu 'kan punya kuasa.""Ahhh ... para bangsawan itu, mana ada yang peduli denganku, Rose. Mereka hanya memandang Jill Anne, yang pintar dan berduit, dari pada diriku!"
Sepertinya William sudah tidak sabar menghadapi Sherley, yang menurutnya terus mengelak. Tangan kanan bergerak mencengkram lengan kiri Sherley kuat-kuat. Sampai membuatnya tersentak, karena sakit. "William!" sentak Jill Anne. "Tidak perlu kamu kasar begitu padanya!" "Wowww, kalian juga saling membela seperti ini? Ini hal yang sangat menarik, Jill," celetuk Lady Rose dengan senyum yang masam. Dalam waktu bersamaan, Jill Anne mendekati wanita itu. Dia mendorong kuat tubuhnya sampai hampir terjungkal. "Sekali lagi kamu ikut campur urusan kami, aku bungkam sendiri mulut kamu!" bentak Jill. Namun, ancaman itu semakin membuat Lady Rose tertawa. "Silakan kalau berani kau Jill Anne!" Sudut bibirnya menyungging, seakan mengajak Jill Anne untuk terus melanjutkan pertengkaran di antara mereka. Kesal dengan sikap Lady Rose, yang semakin mengejek. Tak segan Jill Anne menerjang tubuhnya, hingga kedua wanita bangsawan itu terhempas ke lantai.
Tiba-tiba,"Jill ... Jill!"Sontak Ester dan Jill berbalik dan memperhatikan sosok Sherley yang tersengal-sengal."Apa ... ada kejadian baru?""A-ada Nyonya. Sekarang juga Tuan William sedang menunggu Nyonya Sherley." Tampak Ester benar-benar khawatir."Kenapa dia mencari aku?" Sherley terlihat tegang."Hemmm ... kamu harus berhati-hati, Sherley. Aku takut kalau William mencurigai kamu soal ini.""Baik, Jill. Ester, di mana William menunggu aku?""Di lantai bawah, Nyonya.""Baik aku akan ke sana juga."Bergegas Sherley menuruni beberapa anak tangga. Dia tak ingin sampai William tahu ini adalah perbuatan dirinya. Melihat keaaan yang smekain runyam, Jill pun mengekori Sherley."Sherley, tunggu!"Wanita itu hanya menoleh dan meneruskan langkahnya."Ada apa, Jill?""Berhati-hatilah, William saat ini sedang didukung oleh Lady Rose. Dia sangat berbahaya, dan mampu membalikkan keadaan de
"Maksudnya?""Dia ingin memeriksa seluruh isi kamar. Dalam isi surat ini juga dijelaskan kalau aku menyimpan bukti untuk kasus pembunuhan.""Pembunuhan?" Kedua matanya melotot, seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Kamu ... bicara serius?""Iya, Rose. Dalam surat ini sangat jelas mengetakannya.""Ta-tapi, William?" Rose manatap tajam pada lelaki tampan itu. "Bagaimana bisa mereka ingin mencari barang bukti di dalam kamar kamu? Pasti ada seseorang yang memang sengaja menjebak kamu, William.""Kita akan lihat nanti, Rose."William terlihat tenang."Ester!" teriak William kencang.Wanita berkulit hitam, berlari mendekat."Iya, Tuan. Ada apa?""Di mana Sherley?""Nyonya Sherley, sepertinya masih tidur di kamar.""Panggil dan suruh kemari, cepat!""Ba-baik, Tuan."Bergegas Ester keluar kamar, dan menuju lantai dua. Dia berjalan cepat menapaki beberapa anak tangga. Sampai
"Baiklah, apa kamu akan langsung pulang?""Iya, setelah ini Abel. Bolehkah?" Lelaki itu hanya manggut-manggut.Selesai menemani Abel makan, Sherley pun berpamitan hendak pulang."Terima kasih atas semua bantuan kamu. Kuharap kamu bisa membantu aku terbebas dari ini semua.""Iya, Cantik. Aku akan upayakan semuanya.""OKe, aku pulang ke kastil. Aku tidak mau ada dugaan dari William, kalau aku yang melakukan pelaporan semua ini." Abel hanya manggut-manggut.Sheerley pun segera naik kereta yang telah menjemput dirinya. Tangannya melambai pada Abel dengan senyum lebar mengarah padanya."Tolong kamu percepat keretanya!""Baik, Nyonya."Tapak kuda mulai berlari kencang. Sherley berharap bahwa kedatangannya tidak membuat curiga William dan juga yang lain._Kastil Lily Edward_Salah seorang pelayan menyampaikan pada Ester jika ada seorang tamu."Tamu dari mana?""Ini suratnya, Ester."
"Berarti semua aman 'kan?""I-iya, aman semuanya."Abel menghempaskan tubuhnya di sebelah Sherley."Mereka baru saja berangkat ke kastil. Kita lihat nanti hasilnya bagaimana.""Apa ... menurut kamu semua ini akan lancar? Jujur, aku takut Abel."Lelaki kharismatik itu, menyudutkan pandangannya hingga membuat matanya menyipit."Kamu takut apa?""Pastinya kamu tahu, siapa seorang William ini?""Hemmmm, karena itu saja?""Iya, karena hal ini saja sudah membuat kepalaku pusing. Aku tinggal satu atap dengannya, dia yang memberikan penghidupan buat aku. Andai dirimu menjadi aku bagaimana?""Aku mengerti yang kamu rasakan ini, Sherley. Kalau memang kamu bukan seperti yang dituduhkan, kurasa kamu tenang saja. Tidak perlu mengkhawatirkan tentang William.""Apa, menurut kamu tahu bahwa aku yang memberikan bukti-bukti itu?"Abel Griffin menghela napas panjang."Iya! Kurasa cepat atau lambat pasti akan men