"Ada apa kamu bikin onar, Lau?"
"Aku ingin bicara sama kamu penting!"
Tanpa menunggu jawaban dari William. Laurice langsung menerobos masuk. Namun, betapa sangat terkejut dirinya, saat melihat sosok Heidi Asher sudah berada di balik selimut tebal.
"Kamuuu!!!" teriak Laurice geram bercampur marah. "Bagaimana bisa kamu sangat cepat ada di sini?"
"Kenapa Nyonya Laurice yang terhormat? Ada yang salahkah?"
"Ini gila! Bagaimana bisa kamu membawanya ke sini William?"
"Jangan kamu tanya aku, Lau. Dia sendiri yang datang."
"Sejak kapan dia ada di sini?"
Sembari berjalan ke arah ranjang dengan sorot mata penuh intimidasi. Kali ini, Laurice benar-benar marah. Dia tak menyangka kalau wanita ini dengan seenaknya datang ke kastil dan sekarang berada di atas ranjang William.
"Aku baru saja datang. Memangnya kenapa Nyonya Laurice? Apakah aku mesti laporan sama kamu?"
Tak menjawab pertanyaan Heidi. Laurice dengan cepat menyibak se
"Awas, kamu!" ancam Laurice tak bisa terima diperlakukan seperti ini.Masih dengan napas yang tersengal-sengal. Wanita cantik itu menaiki anak tangga menuju lantai dua. Sesaat dia menghentikan langkahnya, dan mengurungkan niat menuju kamar dirinya."Sepertinya aku harus memberitahukan hal ini pada Jill. Dia harus tahu, kelakuan buruk William!" desis Laurice.Dug dug dug!"Jilll ... buka!"Tiba-tiba Aster sudah berdiri di sampingnya."Ada apa Nyonya Lau? Kurasa Nyonya Jill sudah tidur.""Tidak mungkin. Baru saja aku bertemu dengannya tadi." Protes Laurice dengan angkuh.Tak indahkan peringatan Ester. Laurice terus mengetuk pintu kamar Jill Anne. Tak lama, dia bisa mendengar derap langkah kaki kian mendekat. Benar saja, pintu kamar pun terbuka sedikit.Seraut wajah Jill yang terlihat mengantuk, tampak enggan begitu melihat Laurice di hadapannya."Ada apa kamu ke sini?""Aku ingin bicara sama kamu. Penti
"Ayolah, Lau! Lupakan William! Dia bukan satu-satunya lelaki yang ada di dunia ini. Yang benar adalah dia lelaki paling brengsek yang pernah aku temui. Kamu paham?"Merasa hatinya hancur. Laurice pun menangis tergugu. Dia tidak bisa terima dengan semua ini."Apakah aset yang aku titipkan padanya, bisa aku ambil lagi?""Itu yang tengah aku lakukan. Aku ingin mengambil semuanya," bisik Jill Anne. Membuat Laurice semakin terperanjat. Laurice memandang dnegan sorot mata yang tajam, tanpa jeda."Bagaimana caranya?"Jill Anne hanya menyeringai."Hanya aku yang tahu. Takutnya kamu mmebocorkan hal ini pada William. Mengingat rasa cintamu yang besar padanya, Lau.""Walau aku cinta, tidak mungkin aku akan mengatakan hal ini padanya.""Ivy pun bilang yang sama. Kenyataannya di hadapan William dia tidak berkutik. Membuka semua hal yang aku bicarakan padanya.""Hemmm ...."Jill Anne berjalan menuju pintu kamar.&nbs
Brianna pun melangkah masuk. Dibalik selambu yang menutupi ranjang William. Dia melihat samar, bayangan dua orang yang tengah memadu kasih, dengan desah dan erangan penuh kenikmatan."William!" sentak Brianna dengan mata yang melotot.Sontak dua insan itu, terhenyak saat mendengar suara Brianna yang setengahnya berteriak."Kamu, memanggil aku ke sini hanya untuk melihat kalian bercumbu? Sudah gila kamu William!"Seketika Brianna berbalik dan berjalan cepat ingin pergi dari kamar William. Dengan gerak cepat, William melompat dan menarik pinggang Brianna. Hingga wanita dengan luka di pipi, menghadap ke arahnya."Kamu jangan pergi dulu! Periksa luka Heidi dulu, Brianna.""Memeriksa dia tanpa pakaian seperti ini?" tanya Brianna dengan wajah kesal."Memangnya kenapa kalau aku tanpa pakaian?" Seketika Heidi menyambar outer untuk pakaian tidur. Walau pun begitu masih saja terlihat lekuk tubuhnya yang menawan."Siapa kamu?"
"Aku butuh investasi untuk membeli sebuah lahan pertanian, ladang anggur dan gandum, di kota Northy Wenter." "Bukan kah itu berdekatan dengan kastil ini?" "Karenanya aku ingin membeli ladang itu, untuk semakin membuat kastil ini punya nama. Kamu bisa mengerti maksudku, Heidi?" Heidi hanya bisa tercengang, saat mendengar permintaan William yang begitu mahal baginya. "Kenapa kamu seperti terkejut begitu?" "I-iya, aku memang terkejut. Ini mahal sekali William." "Bagimu ini hanya seujung kuku, Heidi. Bagimana bisa bilang mahal. Pikirkanlah lagi investasi berharga ini. Pastinya ini kan milik kamu, belum lagi keuntungan yang dibagi." "Entahlah William, menurutku itu akan menghabiskan banyak hartaku. Aku akan pikirkan dulu." "Baiklah, kurasa kamu harus mengambilnya." _Tiga hari berlalu_ Entah mengapa perasaan Sherley gelisah. Ada keinginan untuk mengatakan perihal mantel dan topi merah itu pada Abel Griff
"Hai!" sapa Sherley dengan senyum yang dipaksa."Ohhh, Sherley. Bisa kita bicara dengan berkeliling kastil ini?""Bisa. Kamu lebih menyukai taman atau pantai?""Mana yang buat kamu nyaman saja.""Baiklah, kita jalan di taman tulip saja ya?""Iya, Sherley."Mereka berdua pun meninggalkan kastil menuju taman. Sherley mengajak Abel menuju sebuah kursi taman. Tanpa sepengetahuan keduanya, William terus memperhatikan dari lantai atas. Hingga sebuah tepukan mengejutkan William."Lagi mengintip atau sedang mematai seseorang?"Suara Jill terdengar dekat di telinga. William hanya menyeringai tipis, dengan sikap acuh dan dingin."Kamu sepertinya takut William.""Atas alasan apa?""Aku tidak tahu. Hanya kamu yang bisa menjawab." Seraya Jill meninggalkan William sendiri. "Oh, ya William. Apa kamu sudah mendapatkan investasi baru?"Kedua mata mereka saling beradu. Jill Anne tersenyum sinis, dan akhirnya pergi men
"Aku sama sekali tidak melihat wajah orang itu. Dia berlari sangat cepat, di antara pepohonan.""Terus ada lagi yang kamu ingat?""Ada!"Kali ini Abel pun melihat ke arah Sherley dengan pandangan yang serius."Apa itu yang kamu ingat?""Mantel yang dia pakai, serta topi merah.""Hemmm, itu berulang kali kamu sebutkan Sherley.""Dengarkan aku dulu!" sela Sherley, seraya menutup bibir Abel dengan ujung jarinya. "Ada yang ingin aku ceritakan padamu.""Katakan!" Saat Sherley hendak menarik tangannya. Abel mencegah dan membiarkan tangan Sherley terus membekap mulutnya."Abel, kamu?""Tersulah bercerita!" Sembari dia melirik ke lantai atas. Abel tahu ada seseorang yang sedang mengintai mereka berdua."Aku menemukan mantel dan topi yang dipakai si penembak itu."Sontak Abel terkajut. Dia langsung melepaskan tangan Sherley spontan."Di mana kamu menemukannya?"Sherley terlihat ragu dan bimbang.
"Kamu harus cerdik menghadapi William, Sherley!"Tiba-tiba, Jill Anne sudah berdiri di sebelahnya."Kamu?""Aku sedari tadi mendengarkan perbincangan kalian. Aku ada disudut sana.""Ehmmm, pantas. Datang-datang kamu sudah langsung nimbrung."Jill Anne mengajak Sherley berjalan ke arah taman."Kamu ingin bertanya apa, Jill?""Apa saja yang kalian bicarakan?""Abel maksud kamu?"Jill Anne mengangguk cepat."Keluarga Darriel tidak terima dengan kematiannya. Mereka langsung menuduh kalau aku terlibat langsung dengan si penembak. Gila 'kan? Aku yang tak tahu apa pun bisa langsung dituduh seperti itu, Jill.""Terus, kata Abel gimana?""Dia sebenarnya juga tak percaya, dan mau memegang omongan aku. Hanya saja, soal mantel dan topi merah itu aku bilang sama dia, Jill.""Wahhhh ... terus? Apa yang akan dilakukannya?""Pastinya Abel akan menyeldiiki semuanya."Jill Anne pun manggut-m
"Kenapa kamu pergi dari ruangannya William? Siapa itu perempuan?" tanya Beatrix menyelidik."Yang jelas perempuan yang aku bawa tadi, adalah pesaing kalian. Dan siap-siaplah kalian pergi dari sini!" tegas Heidi."Hei! Tunggu sebentar!" teriak Beatrix, menahan kepergian Heidi. Yang terlihat tidak senang dengan sikap mereka."Ada apalagi?" Dengan kesal yang tidak bisa Heidi sembunyikan dari Ivy dan Beatrix."Aku yang ingin bicara sama kamu!"Dari ujung lorong muncul Laurice yang berjalan santai ke arah Heidi."Kamu baru masuk ke sini, sudah punya saingan. Kasihan sekali!" tegas Laurice. Sengaja mempermainkan emosi Heidi.Tanpa banyak bicara lagi, Heidi mengayunkan langkah cepat menuju kamar. Dia membantingting tubuhnya, yang terasa penat. Walau sebenarnya yang lelah hati dan pikirannya.Sedang di ruang pribadi William. Lelaki tampan itu terus merayu Lady Rose agar mau menanamkan investasinya."Bagaimana kalau k
"Memangnya apa yang bisa aku lakukan?""Kamu ikuti prosedur mereka. Kami ingin tahu sampai sejauh mana William terjerat. Kasus ini saksinya hanya kamu, Sherley!""Tapi, aku tak melihat penembaknya. Bahkan sosok posturnya aku mulai sedikit lupa."Sampai Sherley teringat pada seseorang, si pemberi surat dari Angle White."Aku baru ingat!""Apa?" Jill meanatap tajam."Aku jadi ingat sama sosok si pengantar surat. Menurut aku perawakannya mirip penembak itu, cuman aku masih ragu.""Kamu jangan asal menebak, Sherley. Akan sangat berbahaya buat kamu. Sebaiknya kita fokus pada William."Sherley tertegun sejenak.'Kenapa Jill mengalihkan pembicaraan ini? Apa dia sudah punya rencana lain?"Buru-buru Sherley mendekati dan menarik lengannya sedikit menjauh dari Laurice dan Beatrix."Ada apa Jill?""Maksud kamu?""Apa yang kamu sembunyikan dari aku? Aku sangat tahu kamu, pasti kamu sedang mere
Tiba-tiba .... "Tidak salah sama sekali!" sahut Beatrix yang sudah berdiri di ambang pintu. Mmebuat mereka bertiga tersentak. "Kamu ... menguping?" sentak Jill geram. Dengan tenang dan santai, Beatrix menutup pintu kamar. "Tenanglah, Jill. Kalau dalam hal ini, aku sepakat denganmu. Kapan niat itu akan kamu lakukan?" Jill masih terlihat tegang dengan kedatangan Beatrix, hal yang tidak dia duga sebelumnya. "Percayalah sama aku. Tidak mungkin aku akan bocorkan perihal ini. Karena semenjak kejadian menyakitkan itu, aku membencinya." Sepertinya Jill bisa mempercayai Beatrix. "Baiklah kalau begitu. Kita akan menunggu apa yang akan dilakukan Lady Rose. Apa benar dia mampu membuat William benar-benar mengusir kita dari sini." "Dan pastinya menceraikan kamu, Jill," sahut Laurice. "Kalau itu sampai terjadi, kita akan keluar tanpa apa pun. Ingat juga, keluarga Lady rose suaranya masih didengar pihak kerajaan,
"Mungkin, ada baiknya kamu ikuti saran dari surat itu. Siapa tahu Abel benar-benar mencintai kamu?"Sherley hanya tersenyum masam."Entahlah? Aku pun tidak bernapsu untuk mendapat cinta dari siapa pun.""Termasuk William? Tampaknya kamu telah tergoda padanya.""Dia terlalu banyak memiliki wanita. Sulit untuk bisa setia. Aku tak mau dan tak ingin hidup seperti kamu, Jill. Menderita!"Jill Anne hanya menyeringai dengan mengangkat sudut bibirnya."Itu William sudah menemui mereka. Aku hanya ingin kamu segera bebas dari permasalahan ini."Dari arah atas, terdengar suara Laurice memanggil mereka."Jill!"Kedua wanita menghentikan langkah, dan melihat pada Laurice yang berlari kecil mendekat."Ada apa ini?""William ada tamu dari para penyidik mengenai kasus penembakan Darriel.""Apa?! Ta-tapi tidak mungkin 'kan William melakukannya?""Semoga speerti itu, Lau. Kenapa? Kamu speertinya sangat ke
"Masih menduga?""Iya, karena belum terbukti apa pun. Mereka sama sekali tidak memiliki bukti tentang keterlibatan kamu.""Aku memang tidak melakukannya, Sherley!" tegas William.Jill Anne yang mendengar percakapan mereka menghampiri."Kalau aku boleh saran padamu. Sebaiknya kamu kasih ijin pada mereka, karena memang kamu bukan pelakunya. Jika kamu mempersulit, pasti mereka merasa benar atas dugaan selama ini."Sejenak William memikirkan perkataan Jill, tanpa berpikir panjang lagi. Sherley melirik padanya. Seolah mempertanyakan, saran Jill Anne yang bisa semakin menjebak William."Baiklah kalau begitu saran kamu, Jill. Aku yakin kamu masih peduli padaku.""William, tunggu!" Lady Rose mendekat. "Saran Jill itu gila! Buat apa kamu mengikuti mereka. Kamu 'kan punya kuasa.""Ahhh ... para bangsawan itu, mana ada yang peduli denganku, Rose. Mereka hanya memandang Jill Anne, yang pintar dan berduit, dari pada diriku!"
Sepertinya William sudah tidak sabar menghadapi Sherley, yang menurutnya terus mengelak. Tangan kanan bergerak mencengkram lengan kiri Sherley kuat-kuat. Sampai membuatnya tersentak, karena sakit. "William!" sentak Jill Anne. "Tidak perlu kamu kasar begitu padanya!" "Wowww, kalian juga saling membela seperti ini? Ini hal yang sangat menarik, Jill," celetuk Lady Rose dengan senyum yang masam. Dalam waktu bersamaan, Jill Anne mendekati wanita itu. Dia mendorong kuat tubuhnya sampai hampir terjungkal. "Sekali lagi kamu ikut campur urusan kami, aku bungkam sendiri mulut kamu!" bentak Jill. Namun, ancaman itu semakin membuat Lady Rose tertawa. "Silakan kalau berani kau Jill Anne!" Sudut bibirnya menyungging, seakan mengajak Jill Anne untuk terus melanjutkan pertengkaran di antara mereka. Kesal dengan sikap Lady Rose, yang semakin mengejek. Tak segan Jill Anne menerjang tubuhnya, hingga kedua wanita bangsawan itu terhempas ke lantai.
Tiba-tiba,"Jill ... Jill!"Sontak Ester dan Jill berbalik dan memperhatikan sosok Sherley yang tersengal-sengal."Apa ... ada kejadian baru?""A-ada Nyonya. Sekarang juga Tuan William sedang menunggu Nyonya Sherley." Tampak Ester benar-benar khawatir."Kenapa dia mencari aku?" Sherley terlihat tegang."Hemmm ... kamu harus berhati-hati, Sherley. Aku takut kalau William mencurigai kamu soal ini.""Baik, Jill. Ester, di mana William menunggu aku?""Di lantai bawah, Nyonya.""Baik aku akan ke sana juga."Bergegas Sherley menuruni beberapa anak tangga. Dia tak ingin sampai William tahu ini adalah perbuatan dirinya. Melihat keaaan yang smekain runyam, Jill pun mengekori Sherley."Sherley, tunggu!"Wanita itu hanya menoleh dan meneruskan langkahnya."Ada apa, Jill?""Berhati-hatilah, William saat ini sedang didukung oleh Lady Rose. Dia sangat berbahaya, dan mampu membalikkan keadaan de
"Maksudnya?""Dia ingin memeriksa seluruh isi kamar. Dalam isi surat ini juga dijelaskan kalau aku menyimpan bukti untuk kasus pembunuhan.""Pembunuhan?" Kedua matanya melotot, seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Kamu ... bicara serius?""Iya, Rose. Dalam surat ini sangat jelas mengetakannya.""Ta-tapi, William?" Rose manatap tajam pada lelaki tampan itu. "Bagaimana bisa mereka ingin mencari barang bukti di dalam kamar kamu? Pasti ada seseorang yang memang sengaja menjebak kamu, William.""Kita akan lihat nanti, Rose."William terlihat tenang."Ester!" teriak William kencang.Wanita berkulit hitam, berlari mendekat."Iya, Tuan. Ada apa?""Di mana Sherley?""Nyonya Sherley, sepertinya masih tidur di kamar.""Panggil dan suruh kemari, cepat!""Ba-baik, Tuan."Bergegas Ester keluar kamar, dan menuju lantai dua. Dia berjalan cepat menapaki beberapa anak tangga. Sampai
"Baiklah, apa kamu akan langsung pulang?""Iya, setelah ini Abel. Bolehkah?" Lelaki itu hanya manggut-manggut.Selesai menemani Abel makan, Sherley pun berpamitan hendak pulang."Terima kasih atas semua bantuan kamu. Kuharap kamu bisa membantu aku terbebas dari ini semua.""Iya, Cantik. Aku akan upayakan semuanya.""OKe, aku pulang ke kastil. Aku tidak mau ada dugaan dari William, kalau aku yang melakukan pelaporan semua ini." Abel hanya manggut-manggut.Sheerley pun segera naik kereta yang telah menjemput dirinya. Tangannya melambai pada Abel dengan senyum lebar mengarah padanya."Tolong kamu percepat keretanya!""Baik, Nyonya."Tapak kuda mulai berlari kencang. Sherley berharap bahwa kedatangannya tidak membuat curiga William dan juga yang lain._Kastil Lily Edward_Salah seorang pelayan menyampaikan pada Ester jika ada seorang tamu."Tamu dari mana?""Ini suratnya, Ester."
"Berarti semua aman 'kan?""I-iya, aman semuanya."Abel menghempaskan tubuhnya di sebelah Sherley."Mereka baru saja berangkat ke kastil. Kita lihat nanti hasilnya bagaimana.""Apa ... menurut kamu semua ini akan lancar? Jujur, aku takut Abel."Lelaki kharismatik itu, menyudutkan pandangannya hingga membuat matanya menyipit."Kamu takut apa?""Pastinya kamu tahu, siapa seorang William ini?""Hemmmm, karena itu saja?""Iya, karena hal ini saja sudah membuat kepalaku pusing. Aku tinggal satu atap dengannya, dia yang memberikan penghidupan buat aku. Andai dirimu menjadi aku bagaimana?""Aku mengerti yang kamu rasakan ini, Sherley. Kalau memang kamu bukan seperti yang dituduhkan, kurasa kamu tenang saja. Tidak perlu mengkhawatirkan tentang William.""Apa, menurut kamu tahu bahwa aku yang memberikan bukti-bukti itu?"Abel Griffin menghela napas panjang."Iya! Kurasa cepat atau lambat pasti akan men