Aku langsung menuju kamar. Sengaja aku tak mau mendengar obrolan mereka. Sudah bisa kupastikan Mas Harso akan menegur Mbak Rumi terkait perkara belanja bulanan itu.
Mas Ali terlihat tengah duduk dan memainkan ponselnya. Dia menoleh ke arahku yang menyebabkan pintu terbuka.
"Ren, laper nih! Makan yuck!" Mas Ali sepertinya sudah merasa lapar dari tadi.
"Bentar, Mas! Aku lihat dulu nasinya mateng atau belum?" Kubergegas ke dapur untuk memeriksa nasi yang kumasak tadi.
Aku segera menuju kamar lagi.
"Mas, ayo! Nasinya udah mateng!" Ajakku.
Mas Ali bangkit dari duduknya dan melenggang menuju pintu. Aku mengambil dua potong KFC dari plastik yang tergeletak di atas nakas.
"
Mbak Rumi memang keterlaluan. Semenjak kejadian kemarin, dia benar-benar menyimpan semua stock makanan di dalam kamarnya.Yang paling menyebalkan, ternyata dia sudah menyuruh Mas Ali untuk membayar utang sembako Ibuku. Uang segitu pun dijadikannya itungan.Baru pertama kali aku menemukan orang seperti dia. Sudah perhitungan, cerewet, pelit tidak mau ngalah lagi.Sepertinya rencanaku harus dipercepat. Aku harus segera mendatangkan Mbak Hilma. Tetapi harus kupastikan ketika Mas Harso ada di rumah.Sepertinya weekend sekarang merupakan hari yang paling tepat. Kemarin kudengar percakapan Mbak Rumi dengan Mbak Ambar kalau mereka akan kumpul di rumah Mba Ambar untuk mengocok arisan.Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan lagi. Segera kumenghubungi Mbak Hilma. Namun aku pastikan suamiku
Aku bergegas pulang dari rumah Ambar untuk mengambil souvenir arisan yang ketinggalan. Namun alangkah kagetnya ketika kulihat dari ambang pintu. Mas Harso suamiku sedang berduaan dengan seorang wanita seksi."Mas, kalian sedang apa?"Mas Harso terkaget dan menoleh ke arahku.Aku menatap Mas Harso dan wanita itu bergantian. Dari pakaiannya yang seksi dan kurang bahan, wanita itu sudah terlihat seperti wanita penggoda. Aku menatapnya tajam, ingin menimbang sejauh apa keberaniannya."Rum, udah pulang? Ini Hilma temennya, Reni!" Mas Harso mencarikan keadaan. Wajahnya sedikit terkejut melihat kemunculanku yang mendadak."Hai, Mbak!" Dia tersenyum padaku. Namun entah kenapa, aku melihatnya sebagai senyuman penuh tantangan."Hai," balasku dengan senyum singkat."Kamu kenapa udah pulang, bukannya biasnya arisannya lama 'kan ya?" tanya Mas Harso lagi seperti
Hari itu akhirnya selesai. Reni mengantarkan wanita menyebalkan itu hingga ke depan pagar. Kali ini sepertinya aku akan sedikit kejam. Tidak apa sesekali sebagai ganjaran karena sudah merusakkan lemariku.Aku tidak menghiraukan keberadaannya yang wara-wiri tidak jelas. Sepertinya dia sedang mecari-cari celah untuk berbicara pada Mas Harso. Aku yakin, itu mengenai rencana busuk yang sudah dibuatnya.Aku sedang mencuci cumi waktu dia lewat. Dia menghampiri suamiku yang tengah membenahi tanaman anggrek di tepi kamar mandi. Kebiasaan Mas Harso jika punya tanaman baru dia akan menyimpannya dulu di dalam untuk beberapa hari.“Mas, minta bantu boleh gak? Temen aku ada yang minta di cangkokin pohon rambutan, dia suka tanam-tanaman juga,”ucapnya. Suamiku menoleh ke arahnya.“Bentar ya Dek, Mas lagi tata pohon anggrek dulu! Kamu siapin aja alat-alatnya! Plastik, tanah sama pisau,” uca
Pagi itu aku melihat wajah Reni pucat. Pagi-pagi sekali sudah ada di ruang tengah. Tumben, pikirku. Aku tetap melanjutkan langkahku ke dapur. Baru saja aku hendak membuka pintu kamar mandi. Adik iparku tersayang berlari dari ruang tengah dan menyerobot.“Mbak, Rum! Aku duluan!” pekiknya sambil terus menutup pintu dengan keras. Aku tersenyum geli.Akhirnya aku memanaskan air untuk membuat kopi. Mas Harso baru saja menyelesaikan sholat shubuh dan masih di kamarnya. Ali datang dari dalam dengan sudah mengenakan seragam.“Mbak, Rum! Aku boleh pinjem duit dulu gak?”Tumben Ali pinjam uang padaku. Aku melirik wajahnya yang sudah segar.“Tumben Li? Buat apa?” tanyaku.&
“Mbak, bukan mau ikut campur! Kalian kan gak bakal selamanya numpang di sini! Namanya orang yang udah rumah tangga tuh harus punya rencana untuk memiliki rumah sendiri. Mbak cuma mau mastiin jika kalian memang bener merencanakan semuanya dengan baik.”Aku masih berbicara secara halus. Mengingat ada Mas Harso dan Ali. Reni tidak akan mengeluarkan nada terlalu tinggi jika ada keduanya. Aku pun akan bersikap sama.“Oh, jadi Mbak Rumi keberatan nampung kami di sini? Kami hanya sedang mencari rumah dengan harga yang murah saja. Mbak tahu sendiri kan, Mas Ali baru saja kerja. Gajinya juga masih jauh di bawah Mas Harso pastinya!”Dengan wajah memelas dia duduk menghampiri Ali. Menarik satu kursi di sampingnya.“Kamu jangan salah faham, Dek! Mbakmu cuma ingin kalian segera memiliki rumah!”Kini suamiku berada di pihakku. Bag
Mobil online yang kutumpangi berjalan merayap. Akhirnya sampai juga di tempat Ali kuminta menunggu. Terlihat Ali sedang duduk di tepi pembatas jalan sambil sesekali melihat ponselnya. Aku segera membuka kaca mobil dan melambaikan tangan ke arahnya.Dia bergegas menghampiriku. Menatap sekilas wajahku seperti sedang mencari tahu, sakit apa sebetulnya?“Ayo! Cepetan!” ucapku pada Ali dengan lantang. Karena suara berlomba dengan kencangnya deru mesin kendaraan.Dia mengngguk dan segera masuk ke dalam mobil. Memilih duduk di depan, di samping Pak Supir.“Jalan, Pak!” ucapku pada pengemudi mobil online itu. Lelaki itu mengangguk dan segera memacu kendaraan yang kami tumpangi.Aku kembali melihat jam tangan, sudah lima belas menit berlalu. Mungkin Mas Harso sudah sampai ke tempat itu. Aku segera mengusap layar ponsel dan mencari kontaknya pada aplikasi berwar
"Bagian mana saja yang disentuh wanita itu?”Mataku menyalak menatap lelaki yang wajahnya masih terlihat keget itu. Kaget atau senang melihat pemandangan indah di depan mata, cih!Mas Harso tiba-tiba memelukku. Namun aku mendorongnya menjauh. Pikiran dan hatiku belum bisa berdamai.“Rum! Maafin Mas gak percaya perkataanmu!” lirihnya sambil kembali berusaha memelukku.“Lepas! Aku gak sudi dipeluk oleh tangan yang sudah memegang wanita lain!” pekikku sambil menyingkirkan tubuh Mas Harso. Aku bergegas berjalan meninggalkannya dengan Ali.“Rum! Kami belum melakukan apa-apa!” pekiknya sambil mengejarku. Ali
"Tapi, Ali bilang mereka tidak memiliki tabungan sepeser pun! Bisakah pakai uang tabungan kita dulu Rum?!”Pertanyaan Mas Harso membuat seluruh nadi dan persendianku berontak. Apakah aku akan rela memberikan seluruh tabunganku untuk membiayai operasi orang yang telah berencana menikamku dari belakang?“Mas, lihat kan sekarang buktinya? Meskipun kita memberikan tumpangan gratis dan menanggung seluruh biaya hidup mereka tapi mana? Jangankan mereka berpikir untuk mengumpulkan DP rumah? Untuk dana emergency saja mereka tidak punya! Sia-sia saja semua yang Kamu lakukan buat mereka selama ini, Mas!” Akhirnya kutumpahkan uneg-uneg yang selama ini kupendam.“Iya, setelah ini Mas janji akan mencarikan mereka kontrakan biar mereka belajar hidup mandiri!” ucap Mas Harso.“Aku berangkat dulu, Mas!” ucapku tanpa menjawab pertanyaannya. Segera kuayunkan langkah hen
“Reni!” teriakku.Langkahnya terhenti. Dia menoleh kearahku. Tanpa basa-basi dan berkata apa-apa lagi. Aku melemparkan keresek hitam berisi buah-buahan busuk itu. Hampir saja mengenai wajahnya.“Apaan sih, Mbak?” pekiknya sambil menghindar.“Sepertinya makanan itu cocok buat kamu! Soalnya sama ….” Ucapku sambil melengos pergi meninggalkannya yang sedang menghentak-hentakan kaki kesal.“Sama-sama busuk seperti hati pemiliknya,” sambungku dalam batin.***Semenjak kejadian itu. Aku semakin dia sisihkan. Satu minggu lagi katanya hari pernikahannya. Kulihat setiap hari dia begitu sibuk wara-wiri dengan mobil mewah calon suaminya. Dengar-dengar, Tante Haminah ingin merayakan
Reni dan Tante Haminah sudah menempati rumah itu sejak dua minggu yang lalu. Tepatnya keesokan harinya setelah acara selamatan malam itu.Sejak saat itu pula, Hilma menjadi lebih sering bermain ke rumahku. Terlebih dia mulai merasa tidak nyaman atas sindiran-sindiran sarkas dari mantan madunya itu. Namun sialnya, Reni sepertinya menyangka jika aku memihak pada adik ipar baruku ini. Dia selalu terlihat sinis bahkan sama sekali tidka pernah menyapaku lagi.Dengan uang yang dimilikinya, Reni sudah mulai mengambil hati orang-orang disekitarnya. Salah satunya Bu Onah---pemilik warung langgananku. Dan beberapa tetangga komplek yang sering mendapatkan asupan gizi gratis dari kantongnya.Memang bagi orang-orang yang suka mengambil kesempatan, maka Reni adalah sebaik-baik orang yang bisa dimanfaatkan. Cukup disanjung sedikit, melambung dan menghamburkan begitu saja hitungan rupiah yang tidak susah payah dia dapa
Penemuan mobil mewah di depan rumah baru itu akhirnya menjadi topik utama pembicaraanku dengan Ambar siang ini. Namun kami hanya seperti membicarakan pepesan kosong. Tidak ada makna dan tidak ada hasil apapun dari hasil pembicaraan kali ini.Baiklah, hanya tinggal menunggu waktu sekitar dua bulan lagi. Pasti akan muncul sendirinya siapa sang empunya rumah yang kini tengah dibangun itu.***Ali kulihat sedang duduk murung. Sejak pagi dia sudah nongkrong di teras rumahku. Istrinya katanya sedang ada keperluan jadi tadi gak masak dulu juga sebelum berangkat. Namun bukan itu yang menjadi sorotanku saat ini. Ali terlihat murung tidak seperti biasanya.Aku yang baru saja mencantolkan gagang kain pel berlalu ke dalam untuk mengambil bayam yang akan kusayur. Aku duduk serta bersama mereka sambil menyiangi bayam untukku sayur bening.“Mbak, kalau aku bercerai d
"Dicari! Buronan polisi … bandar narkoba! Berdasarkan data intel, orang tersebut melarikan diri ke daerah sekitar pinggiran Jakarta!”Ah memang zaman sekarang pekerjaan orang sudah bermacam ragam. Terlebih mereka yang memiliki gaya hidup tinggi tapi penghasilan pas-pasan. Bahkan mungkin dibawah standardDengan tipisnya iman ya akhirnya salah satu jalan pintas yang menggiurkanlah yang mereka ambil. Menjadi bandar narkoba salah satunya.Aku menghabiskan waktu sampai setengah sampai keripik kentangku habis. Diluar sudah sepi sepertinya. Reni mungkin sudah pulang.Aku mengambil kerudung simple, rencana hari ini mau berbelanja alat kebersihan ke toko klontong. Sapu ijukku rambutnya sudah rontok, kain pel juga warna putihnya sudah berubah menjadi cokelat.Baru aku sampai ke luar gerbang. Kulihat Hilma sedang tertegun sambil memegang dua kantong plastik. Dia tersenyum melihat
Hanya satu harapanku saat ini. Rumah ini tidak sesuai kriteria dan memiliki mitos-mitos yang mereka percaya, sehingga aku tidak akan bertetangga sedekat ini dengan mereka.“Bu Tejo kenapa rumahnya dijual?” tanyaku sambil melirik pada tetangga yang hampir tidak pernah bertegur sapa itu. Kehidupan Bu Tejo dan keluarganya selama ini sangat tertutup.“Suami saya sakit, sudah tidak kuat bertahan … Dia minta dibawa pulang ke rumah keluarga di kampung,” jawabnya. Wajahnya terlihat tidak nyaman, mungkin dia tipe orang yang tidak suka bercerita. Baiklah aku kini kembali focus pada Hilma.Kulihat Hilma, Ibu dan pamannya baru saja keluar dari dalam rumah. Wajah mereka tampak puas. Sepertinya harapanku akan sia-sia.Benar saja, Hilma berhambur ke arahku dengan
Aku terdiam sejenak. Kalau aku jawab itu tespeck Hilma kira-kira apa dia akan berteriak histeris? Atau jawab saja tespeck punyaku dan masalah akan selesai? Eh, nanti kalau dia woro-woro ke seisi komplek malah jadi runyam, ya?Namun belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Hilma muncul lagi sambil berlari. Dia menerobos kami begitu saja.“Wah, untung ketinggalannya di sini! Kirain jatuh!” gumamnya. Dia melirik ke arahku dan tersenyum. Namun dia sama sekali tidak menyapa Tante Haminah.“Misi, Mbak!” ucapnya lagi sambil tergopoh-gopoh pergi.Kulihat perubahan raut muka Tante Haminah. Dia menatap punggung Hilma dengan tatapan penuh kebencian.“Permisi!”Tante Haminah melengos pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Kuhanya menatap punggungnya yang kemudian menghilang terhalang rumah-rumah samping
Terhalang satu rumah dari rumahku, mobil itu ternyata berhenti. Benar saja kecurigaanku terbukti. Reni celingukan kemudian tergesa menaiki mobil itu.“Mas!”Aku meneriaki Mas Harso yang masih asyik dengan dunianya sendiri. Namun tidak ada sahutan. Mobil yang kuperhatikan malah semakin menjauh.“Maaas!” Kali ini kumenariakinya lebih keras.“Apa, Rum?” Mas Harso menoleh ke arahku.“Sini! Cepetan!” panggilku lagi dengan intonasi yang semakin tinggi. Aku sudah kesal mau bercerita, Mas Harso malah bersantai Ria.“Apa sih, Rum?” tanyanya lagi sambil berdiri. Dia menggeliatkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Mobil yang kupandangi sudah raib kini. Mobil mewah itu sudah berbelok ke tikungan.Mas Harso berlenggang santai ke arahku.“Ada apa, Rum?” tanyanya Ket
Setelah drama perebutan suami yang terjadi di rumahku kemarin, baik Reni maupun Ali tidak pernah menampakkan batang hidungnya lagi.Aku bisa saja mengunjungi mereka, tapi buat apa? Meskipun jarak aku dekat dengan kontrakan mereka, tapi gelayut rasa malas benar-benar membuatku tidak ingin kemana-mana. Sudah hampir satu bulan aku tidak bertemu mereka.Namun ada hal yang menggelitik pikiranku. Sudah dua kali aku melihat sosok wanita yang mirip Reni naik ke sebuah mobil mewah. Pertama kali, Ketika aku dan Ambar sedang berbelanja di pasar. Kemudian yang kedua kali Ketika aku menemani Rihana di acara sekolahnya. Acara liburan ke dunia fantasi pekan lalu. Aku pun melihat orang yang mirip dengannya.Aku mengatakan mirip, karena belum memastikan jika itu benar-benar Reni. Bahkan waktu di dunia fantasi aku melihatnya berjalan mesra dengan seorang laki-laki.Akhirnya weekend ini Ketika Mas Harso k
"Wanita jalang!” teriak Reni sambil memburu Hilma yang sedang meringis kesakitan.Reni hilang kendali dan menindih tubuh wanita yang lebih semok itu darinya. Dia menjambak rambut Hilma sambil memaki tanpa henti.“Hilma!” pekik Ali.Dia berlari memburu kedua wanita yang sedang berguling-guling di halaman rumahku. Aku memijat pelipis. Kubiarkan dulu mereka beberapa menit.Percuma juga kupisahkan orang yang sedang bergulung dengan emosi itu. Lagian itu juga buah dari perbuatan mereka berdua yang hendak menyakitiku. Aku kejam? Terserah juga jika mereka berpikiran seperti itu.Kulihat Ali memburu dan memeluk Hilma. Ternyata adik lelaki Mas Harso itu cukup menyebalkan juga. Dia lebih melindungi istri barunya dari