"Reni, Kamu ngabisin gula Mbak lagi ya?” teriakku dari dapur.
“Ya elah, Mbak! Gula doang pelit amet!” Kudengar adik iparku menyahut dari dalam kamarnya. Aku hanya menghela nafas. Kebiasaan buruknya sepertinya sudah melekat. Setiap kali kuhabis belanja bulanan maka sebagian bahan makanan akan berpindah pada toples yang dia simpan di kamarnya. Gula, kopi, teh, susu dalam sekejap semua akan tinggal setengah. Padahal aku tidak pernah membatasinya yang penting bekasnya dirapikan kembali dan tetap disimpan di dapur yang bisa di akses bareng-bareng. Jika barang-barang itu sudah masuk ke dalam kamarnya maka pantang untuk keluar lagi.Semenjak Ali menikah dengannya dan mengajaknya tinggal di rumah ini semua menjadi serba sulit. Dia bukan hanya tidak pandai menitipkan diri, tetapi aji mumpung. Semenjak mereka di sini kebutuhan harian meningkat dua kali lipat. Selain itu, hal yang pali"Ren, kamu yang sopan, ya! Jangan menguji batas kesabaran Mbak! Kalau sudah gak nyaman dan gak bisa ikut aturan, silakan pergi dari rumah ini!” Teriakku di depan kamarnya.Tidak ada sahutan yang terdengar. Rupanya dia masih takut juga jika kuusir. Aku segera berlalu menuju teras. Tehku sudah menghangat rupanya. Baru satu biskuit yang kuhabiskan tiba-tiba Bu Marni pedagang pakaian keliling datang.“Assalamu’alaikum, Mbak Rumi!” ucapnya dengan senyuman merekah.“Wa’alaikumsalam! Jualan, Bu Mar?” sapaku ramah sambil menarik satu kursi untuknya.“Iya ... saya di sini aja duduknya, Mbak Rum,” ucapnya sambil memilih duduk di lantai dan menggelarkan dagangannya.“Ayo, dipilih pakaiannya ada model terbaru nih, yang ini daster yang lagi musim lho, terus kalau yang ini pakaian tidur kekinian, biar suami betah, Mbak!&rdqu
"Nih kamu nyapu dulu, bersihkan semua rumah, nanti Mbak kasih kamu uang!”Kujatuhkan sapu itu didepannya. Kemudian kubanting pintu dengan keras.“Mbak Rumiii!” teriaknya kesal. Tidak lagi kuhiraukan. Pintu kukunci dari dalam agar dia tidak menggangu istirahatku kali ini.Entah apa yang terjadi selanjutnya. Tidak kudengar lagi suara dari depan kamar. Semoga saja anak itu benar-benar membersihkan rumah.Baru sebulan menumpang saja sikapnya sudah melunjak. Entah apa yang membuat Ali tertarik untuk memperistrinya. Andai saja kutahu lebih awal tentang perangainya yang menyebalkan sudah kupastikan, Ali tidak akan berjodoh dengannya.Aku sebetulnya lebih menyukai Tiara yang katanya saudara tirinya. Namun sepertinya Reni lebih agresif mendekati Ali.Sekarang, nasi sudah menjadi bubur. Tidak baik jika aku menyuruh mereka berce
Aku mempercepat jalanku agar segera tiba di kediaman Bonbon. Berharap segera pulang kembali dan mencari tahu siapa wanita itu?“ Assalamu’alaikum,” ucapku.“Waalaikumsalam,” jawab seseorang dari dalam.“Bar! Nana ada di dalam?” tanyaku pada Ambar---Ibunya Bonita.“Ada Rum, ayo masuk aja!” ujarnya sambil memberikan jalan padaku untuk masuk mengikutinya.“Eh, masih belum kelar belajarnya?” tanyaku ketika melihat Nana dan Bonbon beserta buku mereka yang berantakan.“Belum, Mah!” jawab Nana dan Bonbon.Aku duduk di sofa milik Ambar. Tipe rumahnya sama dengan milikku, cuma punya mereka sudah di renovasi dan dibikin dua lantai.
"Reni! Kenapa semua bahan stock bulanan tidak ada di tempatnya, gula, kopi, teh, susu, bahkan bahan makanan yang mau di masak juga tidak ada?” Aku berkacak pinggang.“Nanti akhir bulan kuganti, Mbak! Tadi aku kasih mamahku ... masa pulang gak bawa oleh-oleh!” ucapnya."Ya ampuuun Reni! Modal dong kalau mau ngasih oleh-oleh buat orang tua tuh ... terus tadi bahan masakan yang Mbak udah siapkan kemana? Kho gak ada?”“Aku kasihin Mamahku sekalian tadi, Mbak! Soalnya buat makan malam sekarang dia bawain aku KFC, makanan favoritku. Jadinya daripada masak mending langsung makan deh, gak pake ribet!” jawabnya enteng dengan wajah tanpa merasa bersalah.“Oh ya udah kalau gitu, mulai besok tidak ada lagi stock makanan bersama. Silakan kamu atur sendiri urusan bul
Mas Harso yang baru saja mengambil handuk dan baru membuka pintu kamar menatapku heran.“Rum, kamu buat apa beli lemari lagi? Di simpan di kamar pula?”“Di dapur sekarang banyak tikus, Mas! Aku mau simpen stock makanan bulanan kita di dalam kamar!” jawabku.Tidak mungkin aku menjelaskan secara gamblang. Bagaimanapun, Mas Harso selalu memintaku untuk memngayomi kedua orang tersebut. Tapi adik seperti apa dulu yang harus kuayomi? Seenak jidatnya saja.Mas Harso mandi duluan sebelum Ali. Kulihat Reni ada di dapur dan tengah menatap magic com nasi yang kosong.“Mbak, nasi kho gak ada, ya?’ tanyanya padaku.“Habis,” jawabku singkat sambil mengambil satu cangkir keramik besar. Aku akan membuatkan Mas Harso
Sejak awal, aku memang sudah merasa jika Mbak Rumi itu tidak menyukaiku. Bagaimanapun aku bisa merasakan perbedaan tatapannya ketika pertama kali kami bertemu. Aku melihat dia seperti lebih menyukai Tiara daripada aku.Perlahan semua itu terbukti. Semenjak aku tinggal di rumahnya, perlakuannya makin hari makin semena-mena terhadapku.Memang aku menumpang di sini karena Mas Ali pun masih status karyawan percobaan. Kami sedang berencana mengambil rumah secepatnya. Namun sikap perhitungannya yang kebangetan semakin membuatku muak. Karenanya setiap hari aku lebih memilih berdiam di kamar daripada harus bersitatap dengannya.Terlebih akhir-akhir ini, dia sudah berani menyuruh-nyuruhku untuk membersihkan rumah. Menyapu, mengepel, memangnya aku ini pembantunya?Dia pikir dia siapa? Baru memili
Aku langsung menuju kamar. Sengaja aku tak mau mendengar obrolan mereka. Sudah bisa kupastikan Mas Harso akan menegur Mbak Rumi terkait perkara belanja bulanan itu. Mas Ali terlihat tengah duduk dan memainkan ponselnya. Dia menoleh ke arahku yang menyebabkan pintu terbuka. "Ren, laper nih! Makan yuck!" Mas Ali sepertinya sudah merasa lapar dari tadi. "Bentar, Mas! Aku lihat dulu nasinya mateng atau belum?" Kubergegas ke dapur untuk memeriksa nasi yang kumasak tadi. Aku segera menuju kamar lagi. "Mas, ayo! Nasinya udah mateng!" Ajakku. Mas Ali bangkit dari duduknya dan melenggang menuju pintu. Aku mengambil dua potong KFC dari plastik yang tergeletak di atas nakas. "
Mbak Rumi memang keterlaluan. Semenjak kejadian kemarin, dia benar-benar menyimpan semua stock makanan di dalam kamarnya.Yang paling menyebalkan, ternyata dia sudah menyuruh Mas Ali untuk membayar utang sembako Ibuku. Uang segitu pun dijadikannya itungan.Baru pertama kali aku menemukan orang seperti dia. Sudah perhitungan, cerewet, pelit tidak mau ngalah lagi.Sepertinya rencanaku harus dipercepat. Aku harus segera mendatangkan Mbak Hilma. Tetapi harus kupastikan ketika Mas Harso ada di rumah.Sepertinya weekend sekarang merupakan hari yang paling tepat. Kemarin kudengar percakapan Mbak Rumi dengan Mbak Ambar kalau mereka akan kumpul di rumah Mba Ambar untuk mengocok arisan.Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan lagi. Segera kumenghubungi Mbak Hilma. Namun aku pastikan suamiku
“Reni!” teriakku.Langkahnya terhenti. Dia menoleh kearahku. Tanpa basa-basi dan berkata apa-apa lagi. Aku melemparkan keresek hitam berisi buah-buahan busuk itu. Hampir saja mengenai wajahnya.“Apaan sih, Mbak?” pekiknya sambil menghindar.“Sepertinya makanan itu cocok buat kamu! Soalnya sama ….” Ucapku sambil melengos pergi meninggalkannya yang sedang menghentak-hentakan kaki kesal.“Sama-sama busuk seperti hati pemiliknya,” sambungku dalam batin.***Semenjak kejadian itu. Aku semakin dia sisihkan. Satu minggu lagi katanya hari pernikahannya. Kulihat setiap hari dia begitu sibuk wara-wiri dengan mobil mewah calon suaminya. Dengar-dengar, Tante Haminah ingin merayakan
Reni dan Tante Haminah sudah menempati rumah itu sejak dua minggu yang lalu. Tepatnya keesokan harinya setelah acara selamatan malam itu.Sejak saat itu pula, Hilma menjadi lebih sering bermain ke rumahku. Terlebih dia mulai merasa tidak nyaman atas sindiran-sindiran sarkas dari mantan madunya itu. Namun sialnya, Reni sepertinya menyangka jika aku memihak pada adik ipar baruku ini. Dia selalu terlihat sinis bahkan sama sekali tidka pernah menyapaku lagi.Dengan uang yang dimilikinya, Reni sudah mulai mengambil hati orang-orang disekitarnya. Salah satunya Bu Onah---pemilik warung langgananku. Dan beberapa tetangga komplek yang sering mendapatkan asupan gizi gratis dari kantongnya.Memang bagi orang-orang yang suka mengambil kesempatan, maka Reni adalah sebaik-baik orang yang bisa dimanfaatkan. Cukup disanjung sedikit, melambung dan menghamburkan begitu saja hitungan rupiah yang tidak susah payah dia dapa
Penemuan mobil mewah di depan rumah baru itu akhirnya menjadi topik utama pembicaraanku dengan Ambar siang ini. Namun kami hanya seperti membicarakan pepesan kosong. Tidak ada makna dan tidak ada hasil apapun dari hasil pembicaraan kali ini.Baiklah, hanya tinggal menunggu waktu sekitar dua bulan lagi. Pasti akan muncul sendirinya siapa sang empunya rumah yang kini tengah dibangun itu.***Ali kulihat sedang duduk murung. Sejak pagi dia sudah nongkrong di teras rumahku. Istrinya katanya sedang ada keperluan jadi tadi gak masak dulu juga sebelum berangkat. Namun bukan itu yang menjadi sorotanku saat ini. Ali terlihat murung tidak seperti biasanya.Aku yang baru saja mencantolkan gagang kain pel berlalu ke dalam untuk mengambil bayam yang akan kusayur. Aku duduk serta bersama mereka sambil menyiangi bayam untukku sayur bening.“Mbak, kalau aku bercerai d
"Dicari! Buronan polisi … bandar narkoba! Berdasarkan data intel, orang tersebut melarikan diri ke daerah sekitar pinggiran Jakarta!”Ah memang zaman sekarang pekerjaan orang sudah bermacam ragam. Terlebih mereka yang memiliki gaya hidup tinggi tapi penghasilan pas-pasan. Bahkan mungkin dibawah standardDengan tipisnya iman ya akhirnya salah satu jalan pintas yang menggiurkanlah yang mereka ambil. Menjadi bandar narkoba salah satunya.Aku menghabiskan waktu sampai setengah sampai keripik kentangku habis. Diluar sudah sepi sepertinya. Reni mungkin sudah pulang.Aku mengambil kerudung simple, rencana hari ini mau berbelanja alat kebersihan ke toko klontong. Sapu ijukku rambutnya sudah rontok, kain pel juga warna putihnya sudah berubah menjadi cokelat.Baru aku sampai ke luar gerbang. Kulihat Hilma sedang tertegun sambil memegang dua kantong plastik. Dia tersenyum melihat
Hanya satu harapanku saat ini. Rumah ini tidak sesuai kriteria dan memiliki mitos-mitos yang mereka percaya, sehingga aku tidak akan bertetangga sedekat ini dengan mereka.“Bu Tejo kenapa rumahnya dijual?” tanyaku sambil melirik pada tetangga yang hampir tidak pernah bertegur sapa itu. Kehidupan Bu Tejo dan keluarganya selama ini sangat tertutup.“Suami saya sakit, sudah tidak kuat bertahan … Dia minta dibawa pulang ke rumah keluarga di kampung,” jawabnya. Wajahnya terlihat tidak nyaman, mungkin dia tipe orang yang tidak suka bercerita. Baiklah aku kini kembali focus pada Hilma.Kulihat Hilma, Ibu dan pamannya baru saja keluar dari dalam rumah. Wajah mereka tampak puas. Sepertinya harapanku akan sia-sia.Benar saja, Hilma berhambur ke arahku dengan
Aku terdiam sejenak. Kalau aku jawab itu tespeck Hilma kira-kira apa dia akan berteriak histeris? Atau jawab saja tespeck punyaku dan masalah akan selesai? Eh, nanti kalau dia woro-woro ke seisi komplek malah jadi runyam, ya?Namun belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Hilma muncul lagi sambil berlari. Dia menerobos kami begitu saja.“Wah, untung ketinggalannya di sini! Kirain jatuh!” gumamnya. Dia melirik ke arahku dan tersenyum. Namun dia sama sekali tidak menyapa Tante Haminah.“Misi, Mbak!” ucapnya lagi sambil tergopoh-gopoh pergi.Kulihat perubahan raut muka Tante Haminah. Dia menatap punggung Hilma dengan tatapan penuh kebencian.“Permisi!”Tante Haminah melengos pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Kuhanya menatap punggungnya yang kemudian menghilang terhalang rumah-rumah samping
Terhalang satu rumah dari rumahku, mobil itu ternyata berhenti. Benar saja kecurigaanku terbukti. Reni celingukan kemudian tergesa menaiki mobil itu.“Mas!”Aku meneriaki Mas Harso yang masih asyik dengan dunianya sendiri. Namun tidak ada sahutan. Mobil yang kuperhatikan malah semakin menjauh.“Maaas!” Kali ini kumenariakinya lebih keras.“Apa, Rum?” Mas Harso menoleh ke arahku.“Sini! Cepetan!” panggilku lagi dengan intonasi yang semakin tinggi. Aku sudah kesal mau bercerita, Mas Harso malah bersantai Ria.“Apa sih, Rum?” tanyanya lagi sambil berdiri. Dia menggeliatkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Mobil yang kupandangi sudah raib kini. Mobil mewah itu sudah berbelok ke tikungan.Mas Harso berlenggang santai ke arahku.“Ada apa, Rum?” tanyanya Ket
Setelah drama perebutan suami yang terjadi di rumahku kemarin, baik Reni maupun Ali tidak pernah menampakkan batang hidungnya lagi.Aku bisa saja mengunjungi mereka, tapi buat apa? Meskipun jarak aku dekat dengan kontrakan mereka, tapi gelayut rasa malas benar-benar membuatku tidak ingin kemana-mana. Sudah hampir satu bulan aku tidak bertemu mereka.Namun ada hal yang menggelitik pikiranku. Sudah dua kali aku melihat sosok wanita yang mirip Reni naik ke sebuah mobil mewah. Pertama kali, Ketika aku dan Ambar sedang berbelanja di pasar. Kemudian yang kedua kali Ketika aku menemani Rihana di acara sekolahnya. Acara liburan ke dunia fantasi pekan lalu. Aku pun melihat orang yang mirip dengannya.Aku mengatakan mirip, karena belum memastikan jika itu benar-benar Reni. Bahkan waktu di dunia fantasi aku melihatnya berjalan mesra dengan seorang laki-laki.Akhirnya weekend ini Ketika Mas Harso k
"Wanita jalang!” teriak Reni sambil memburu Hilma yang sedang meringis kesakitan.Reni hilang kendali dan menindih tubuh wanita yang lebih semok itu darinya. Dia menjambak rambut Hilma sambil memaki tanpa henti.“Hilma!” pekik Ali.Dia berlari memburu kedua wanita yang sedang berguling-guling di halaman rumahku. Aku memijat pelipis. Kubiarkan dulu mereka beberapa menit.Percuma juga kupisahkan orang yang sedang bergulung dengan emosi itu. Lagian itu juga buah dari perbuatan mereka berdua yang hendak menyakitiku. Aku kejam? Terserah juga jika mereka berpikiran seperti itu.Kulihat Ali memburu dan memeluk Hilma. Ternyata adik lelaki Mas Harso itu cukup menyebalkan juga. Dia lebih melindungi istri barunya dari