"Kamu tunggu di sini. Biar aku ke rumah kamu. Biar aku beri pelajaran laki-laki nggak berakhlak kayak dia!" ucapnya seraya menggulung kain lengan kemejanya. Lalu kembali melangkah dan aku dengan cepat menahannya lagi."Ga usah, Fan! Ga usah!" cegahku sambil mencekal lengan Fano.Fano menurunkan pegangan tanganku di lengannya. "Han, biar aku nemuin Adrian. Biar aku beri dia pelajaran karena udah keterlaluan sama kamu. Dia manusia serakah, Han. Kalau dia nggak mau mengembalikan apa yang seharusnya jadi milik kamu. Biar aku yang lawan dia sekarang, Han!" tegasnya dengan rahang mengeras."Nggak usah, Fan. Kamu mau lawan dia dengan cara apa? Kekerasan?""Nggak ada cara lain! Biar aku patahkan lehernya itu, Han!"Aku menggeleng. Lalu memegangi kedua pundak Fano yang tentu saja sedikit lebih tinggi dariku. "Jangan, Fan. Yang ada kamu bisa dilaporkan ke polisi atas tindakan kekerasan.""Gak papa, Han. Aku gak takut. Meski aku harus masuk penjara karena menyiksa Adrian, aku gak papa. Asalkan s
"Lo kalau Dateng ke rumah orang 'tuh yang sopan. Bisa gak sih? Gak punya tata Krama Lo, ya!" hardik Fano seperti sangat kesal pada Mas Adrian."Halahh. Jangan banyak omong Lo. Mana Jihan? Mana istri gue? Pasti elo sembunyiin dia di sini 'kan?!" Mas Adrian kembali menanyakan keberadaanku."Eitsss! Gue bilang yang sopan kalau bertamu! Siapa yang izinin elo masuk! Lagipula, gue nggak sembunyiin Jihan. Kalau pun dia ada di sini, itu lebih baik. Daripada harus di rumah Lo dan tinggal bareng sama istri muda Lo itu!" Mereka terlibat adu mulut. Nada bicaranya saling bentak dan begitu sengit."Jihan? Sayang? Keluar, Sayang! Ini mas ada di sini. Kita pulang, Sayang!" teriak Mas Adrian begitu nyaring."Mana istri gue? Suruh dia keluar karena gue akan bawa dia untuk pulang!" ujar Mas Adrian lagi pada Fano."Ngapain dia harus pulang? Kan udah ada istri muda Lo, ngapain Lo masih peduli sama Jihan, hah?" hardik Fano tak kalah sengit."Mau Lo apa sih? Gue gak ada urusan sama Lo, Dokter Fano! Gue cuma
Fano menutup pintu rumahnya setelah Mas Adrian benar-benar pergi. "Dasar orang stress!" dumelnya seraya berjalan mendekat ke arahku."Han, kamu baik-baik aja 'kan?" tanyanya cemas.Aku mengangguk pelan. "Fan? Apa yang Mas Adrian bilang tadi itu bener? Kamu mencintaiku, Fan?"Nampak bibir Fano terbuka. Netranya melebar sempurna menatapku saat ini. Lalu beberapa saat, Fano terlihat seperti mengendalikan dirinya."Semua itu nggak bener 'kan, Fan?" tanyaku lagi."Ya—ya—nggaklah, Han. Kamu jangan ge-er!" ujarnya sambil mencubit ujung hidungku. "Jangan dengerin suami eh calon mantan suami kamu. Eh apa sih, yang tepat buat nyebut Adrian itu?" Fano menggaruk kepalanya asal.Aku menatapnya yang seperti salah tingkah. Apa dia sedang menutupi kalau kata-kata yang diucapkan Mas Adrian tentang perasaannya tadi adalah benar?"Fan … bilang jujur sama aku, yang Mas Adrian bilang tadi itu, nggak bener 'kan? Sama sekali nggak bener!" Aku menekannya untuk berkata jujur.Aku dan Fano saling tatap. Tiba-t
POV YOLANDATok Tok Tok!Baru beberapa langkah aku menjauh dari pintu yang sudah kututup selepas kepergian Mba Jihan. Kini terdengar kembali ketukan.Apa Mba Jihan kembali lagi? Kutarik napas panjang. Dasar menambah-nambah kerjaanku saja dia itu.Tok tok tok!Kembali pintu diketuk. Aku melangkah hingga ke ruang televisi. Menurunkan Arsen dari gendonganku ke karpet empuk di ruang ini.Dok Dok Dok! Dok Dok Dok!Ketukan di pintu berubah jadi gedoran. Aku pun bangkit selepas menurunkan Arsen. Lalu beranjak dari ruang televisi ke arah pintu utama rumah ini.Dok Dok Dok!Pintu kembali digedor tak sabaran. "Iyaaa! Sebentar!" teriakku kesal.Ceklek.Kuputar anak kunci lalu membuka pintunya. Astaga, aku terkejut melihat dua orang perempuan, yang masih aku ingat. Mereka adalah Mba Aini dan Mba Sindy, teman arisan Mba Jihan waktu itu."A—da apa ya, Mba?" tanyaku meredakan kegugupan yang langsung menyerang. Aku berusaha bersikap normal di hadapan kedua perempuan ini.."Mba Jihan mana? Kok ada Mba
Terpaksa aku meninggalkan Arsen yang sudah polos untuk ke kamar mandi. Ada yang mendesak ingin dikeluarkan.Cepat aku duduk di kloset dan menuntaskannya. Sampai perutku terasa lega.Setelah selesai, aku kembali untuk mengambil Arsen dan memandikannya. Tapi tiba-tiba perutku mulas kembali. Rasanya ada yang ingin keluar dan sudah diujung tanduk.Baru saja aku membungkuk untuk menggendong Arsen. Terpaksa aku menegakkan tubuhku. Setengah berlari masuk ke kamar mandi lagi dan duduk di kloset.Kuhembus napas lega setelah menuntaskan kedua kalinya. Lalu keluar dari kamar mandi dan menghampiri Arsen lagi.Saat badanku sudah membungkuk untuk meraih Arsen, perutku lagi-lagi melilit. Hingga terpaksa aku balik masuk ke kamar mandi dan bersemedi lagi.Perutku rasanya seperti dikuras. Entah kenapa juga aku merasa seperti terkena diare. Setelah ketiga kalinya bersemedi di kamar mandi. Tubuhku duduk terkulai ke lantai tepat di ujung tempat tidur.Kutepuk-tepuk kaki Arsen karena dia terlihat seperti s
POV YOLANDA********Menjelang malam hari, akhirnya aku dipasangi infus. Aku benar-benar lemas dan hanya bisa terbaring di atas tempat tidur. Mas Adrian memanggilkan seorang dokter untuk datang ke rumah ini. Hingga aku bisa mendapatkan penanganan akibat mulas di perutku yang tak berkesudahan.Ternyata aku mengalami disentri yang akhirnya membuatku dehidrasi dan tubuhku jadi lemas. Sampai aku merasa ingin pingsan saja saking lemasnya.Setelah dipasangi infus seperti sekarang, barulah mulai ada sedikit tenaga. Meski tidak serta merta aku pulih.Mas Adrian mengambil alih menggendong dan mengayun-ayunkan Arsen. Hingga Arsen terlelap dan ditidurkan di sisi yang lain di atas kasur yang sama denganku.Tempat tidur yang dulunya hanya memberikan kehangatan untuk Mba Jihan. Tapi saat dia tidak rumah untuk menghadiri acara reuninya. Itulah saat pertama kali, kehangatan tempat tidur ini telah terbagi denganku. Mba Jihan memang terlalu polos dan bod*h."Aku mau makan dulu! Laper!" cetusnya setelah
POV YOLANDABibirku terkatup rapat. Seiring dengan kertas yang berhasil sudah kuremas. Kulempar asal kertas di tangan. Kepalaku menggeleng tak percaya dengan apa yang sudah kubaca barusan.Duk Duk Duk!Krak Krak!Pintu rumah yang sudah aku kunci. Tiba-tiba saja hendelnya bergerak-gerak. Diikuti suara dari luarnya.Aku melangkahkan mundur untuk segera mengambil Arsen dan mengurung diri di dalam kamar.BRAKKKK!"Tunggu pelakor!"Aku yang sudah berbalik badan, tak menghiraukan teriakan seorang wanita di belakang sana. Aku memilih melangkah dan hendak berlari untuk secepatnya menuju lantai atas."Aghhhh!""Mau ke mana kau? Mau kabur? Salah jalan! Pintu keluar di sini, Nona!"Baru beberapa langkah kaki ini bergerak. Tanganku telah dicekal lalu diplintir. Hingga tubuhku terseret ke arah belakang. Dan kini sudah berada di teras luar.Rambutku ditarik hingga kepala ini mendongak. Dari suaranya, itu seperti suara Mba Clara. Teman Mba Jihan yang waktu itu ikut arisan juga.Tanganku yang ditarik
Aku semakin menangis dan menjerit-jerit, meski mereka tidak akan mendengar dengan jelas karena mulutku yang tertutup lakban.Di depanku kini, Mba Sindy, Mba Aini dan juga Mba Dini tertawa melihat perbuatan Mba Clara padaku. Mereka menertawakan penderitaan yang diberikan Mba Clara ini."Jangan nangis dong, Mba. Kita cuma ingin bermain-main aja sama kamu! Kita gak akan rebut Mas Adrian dari kamu, jadi kamu jangan nangis gitulah!" Mba Dini berucap disertai tawa meledek."Hmmm …." Aku sudah tidak punya tenaga rasanya. Mba Clara sukses membuatku merasakan sakit di wajah yang selalu aku rawat ini.Aku coba menatap Mba Clara dengan tatapan mengiba. Agar dia berhenti menusukkan jari kukunya itu di pipiku. Namun, Mba Clara justru tersenyum kecut.Sampai akhirnya dia menghempas wajahku dengan kasar. Hingga wajahku berpaling sendirinya akibat hempasan tangan Mba Clara. Cengkramannya memang sudah terlepas. Namun juga sukses meninggalkan denyut kesakitan setelahnya."Mba Sin, sekarang!" cetus Mba
TETANGGA BARU_48 || TAMATPov Jihan.***************Aku menatap hampa pada bunga-bunga mawar yang bermekaran sempurna di hadapanku saat ini. Di taman rumah sakit, aku duduk di sebuah kursi roda. Seorang perawat menemaniku dan duduk di kursi beton belakang sana.Setelah tiga hari dinyatakan kritis, pagi tadi aku berhasil tersadar dan melewati masa kritis akibat kecelakaan yang kualami bersama Fano. Sahabatku itu pun sama kritisnya sepertiku, tetapi dia dapat sadar lebih dulu dan lebih dulu dariku. Sehingga Fano telah keluar dari rumah sakit dan tengah kembali ke rumahnya. Setelah kecelakaan yang menimpa kami, membuat Fano harus kehilangan mobilnya.Aku mengusap perutku yang telah rata. Bayiku tidak dapat bertahan. Perutku terkena benturan yang cukup keras. Sehingga aku dinyatakan keguguran. Juga wajahku di pipi sebelah kanan yang terkena hantaman. Menyebabkan sebelah wajahku tak lagi mulus.Namun lebih dari itu, kehilangan bayiku adalah hal paling menyakitkan. Seluruh harta dan aset y
TETANGGA BARU_47POV ADRIAN******Aku pulang hanya memikul rasa kecewa dan jengkel bukan main. Hakim pengadilan sangat-sangat tidak adil dalam memutuskan perkara ini. Dari sekian banyak harta serta aset yang dimiliki Jihan. Aku tak kebagian sepeser pun. Padahal selama enam tahun menikah, akulah yang mengurusi dua toko besar itu hingga dapat tetap bertahan dan beroperasi, di tengah persaingan banyaknha toko-toko ritel sejenis. Berkat ketekunan dan kerja kerasku, dua toko itu tidak sampai gulung tikar. Tetapi, aku tidak mendapatkan apa-apa dari kerja kerasku. Semua jatuh pada Jihan. Semuanya.Bahkan yang paling membuatku tak habis pikir, ialah saat notaris yang kudatangi dan kupercayai, hadir di persidangan dan membelot. Tiba-tiba saja dia berada di pihak Jihan. Padahal, aku sudah mempercayakan semua surat-surat padanya.Aku benar-benar kecewa.Seharusnya , aku mendapatkan bagianku dari harta dan surat-surat itu. Karena aku, memiliki andil dalam mengelolanya. Andaikan bukan aku yang me
TETANGGA BARU-46*Hampir tiga bulan lamanya. Aku masih menumpang di rumah milik Fano. Dia melarangku keluar dari rumahnya. Sebab, dia khawatir tidak ada yang menjagaku yang tengah berbadan dua saat ini. Dia juga cemas, jika aku sendirian, membuat Mas Adrian dan Yolan mendatangiku.Sehingga, aku masih tertahan di rumah Fano. Tiga bulan tinggal dengannya, diam-diam aku jadi sering memperhatikannya.Fano memang sosok laki-laki yang baik. Dia tulus dan sangatlah pengertian. Hanya saja, dia terlalu cuek dan datar pada orang baru yang belum dikenalnya. Tapi padaku, dia adalah sosok yang hangat dan terbuka. Persidangan perceraian antara aku dan Mas Adrian telah digelar sejak dua bulan ke belakang. Sidang pertama dan kedua, Mas Adrian tak kunjung menghadiri. Aku yakin, dia pasti ingin mempersulit prosesnya. Namun, aku sudah menyiapkan pengacara mahal dengan jam terbang tinggi. Sehingga meski dia tidak menghadiri sidang pertama dan kedua. Sidang tetap menemui putusan di sidang ketiga hari i
"Jangan harap. Bukannya kemarin, kamu yang menantang'supaya aku menggugat cerai? Kenapa sekarang kamu balik memohon-mohon? Sudahlah, Mas. Apapun yang kamu katakan, tidak akan pernah mengubah keputusanku. Lagi pun gugatan itu sudah aku daftarkan. Kamu tinggal menunggu surat pemanggilan untuk sidang. Aku pastikan, kamu akan kalah dan kembali miskin!"Mas Adrian meraih tanganku yang menunjuk-nunjuknya. "Dek, mas mohon. Batalkan. Kalau kamu mau, mas akan menceraikan Yolanda, Dek. Mas akan tinggalkan dia dan kita akan hidup bersama lagi. Mas Mohon, Dek."Aku menggeleng cepat, sembari menyentak tanganku darinya. "Gak Sudi! Sekarang kamu pulang. Urus saja istri muda dan anak kamu. Jangan pernah menemuiku, atau coba membujukku lagi. Waktu kamu habis. Aku mau masuk," tegasku lantas berlalu dari hadapan Mas Adrian.Namun, belum sempat aku melangkah. Mas Adrian memeluk kakiku dengan erat. "Dek, apa kamu sudah tidak mencintai mas? Apa kamu sudah terhasut oleh sahabat kamu itu, Dek? Batalkan gugat
POV Jihan.Malam hari di dalam kamar di rumah Fano. Aku duduk sendirian di atas tempat tidur dengan kaki diluruskan.Siang tadi, aku sudah selesai mendaftarkan gugatan perceraian di pengadilan negeri. Rasanya aku sudah tidak sabar, berpisah dengan laki-laki yang sudah menemaniku selama enam tahun lamanya itu.Ini tidaklah mudah.Sedikitpun, aku tidak pernah membayangkan, jika kedatangan Yolanda dan juga Arsen, akan membawaku pada tabir kenyataan yang begitu pahit.Kuusap perutku yang masih sangat rata.Meski tanpa suami. Aku berjanji, akan menjaga kehamilanku ini dengan sangat baik.Beruntung, ada Fano yang menguatkanku hingga detik ini. Memberiku tumpangan tempat tinggal dan juga dukungan yang tak henti.Segelas susu cokelat khusus ibu hamil, sudah tersedia di atas nakas. Aku meneguknya sampai setengah gelas. Lantas membaringkan badanku terlentang.Tok Tok Tok!"Han! Kamu udah tidur belum, Han?"Tok Tok Tok!"Han, Jihan!"Fano menggedor pintu kamarku cukup keras seraya berteriak-teri
Aku semakin menangis dan menjerit-jerit, meski mereka tidak akan mendengar dengan jelas karena mulutku yang tertutup lakban.Di depanku kini, Mba Sindy, Mba Aini dan juga Mba Dini tertawa melihat perbuatan Mba Clara padaku. Mereka menertawakan penderitaan yang diberikan Mba Clara ini."Jangan nangis dong, Mba. Kita cuma ingin bermain-main aja sama kamu! Kita gak akan rebut Mas Adrian dari kamu, jadi kamu jangan nangis gitulah!" Mba Dini berucap disertai tawa meledek."Hmmm …." Aku sudah tidak punya tenaga rasanya. Mba Clara sukses membuatku merasakan sakit di wajah yang selalu aku rawat ini.Aku coba menatap Mba Clara dengan tatapan mengiba. Agar dia berhenti menusukkan jari kukunya itu di pipiku. Namun, Mba Clara justru tersenyum kecut.Sampai akhirnya dia menghempas wajahku dengan kasar. Hingga wajahku berpaling sendirinya akibat hempasan tangan Mba Clara. Cengkramannya memang sudah terlepas. Namun juga sukses meninggalkan denyut kesakitan setelahnya."Mba Sin, sekarang!" cetus Mba
POV YOLANDABibirku terkatup rapat. Seiring dengan kertas yang berhasil sudah kuremas. Kulempar asal kertas di tangan. Kepalaku menggeleng tak percaya dengan apa yang sudah kubaca barusan.Duk Duk Duk!Krak Krak!Pintu rumah yang sudah aku kunci. Tiba-tiba saja hendelnya bergerak-gerak. Diikuti suara dari luarnya.Aku melangkahkan mundur untuk segera mengambil Arsen dan mengurung diri di dalam kamar.BRAKKKK!"Tunggu pelakor!"Aku yang sudah berbalik badan, tak menghiraukan teriakan seorang wanita di belakang sana. Aku memilih melangkah dan hendak berlari untuk secepatnya menuju lantai atas."Aghhhh!""Mau ke mana kau? Mau kabur? Salah jalan! Pintu keluar di sini, Nona!"Baru beberapa langkah kaki ini bergerak. Tanganku telah dicekal lalu diplintir. Hingga tubuhku terseret ke arah belakang. Dan kini sudah berada di teras luar.Rambutku ditarik hingga kepala ini mendongak. Dari suaranya, itu seperti suara Mba Clara. Teman Mba Jihan yang waktu itu ikut arisan juga.Tanganku yang ditarik
POV YOLANDA********Menjelang malam hari, akhirnya aku dipasangi infus. Aku benar-benar lemas dan hanya bisa terbaring di atas tempat tidur. Mas Adrian memanggilkan seorang dokter untuk datang ke rumah ini. Hingga aku bisa mendapatkan penanganan akibat mulas di perutku yang tak berkesudahan.Ternyata aku mengalami disentri yang akhirnya membuatku dehidrasi dan tubuhku jadi lemas. Sampai aku merasa ingin pingsan saja saking lemasnya.Setelah dipasangi infus seperti sekarang, barulah mulai ada sedikit tenaga. Meski tidak serta merta aku pulih.Mas Adrian mengambil alih menggendong dan mengayun-ayunkan Arsen. Hingga Arsen terlelap dan ditidurkan di sisi yang lain di atas kasur yang sama denganku.Tempat tidur yang dulunya hanya memberikan kehangatan untuk Mba Jihan. Tapi saat dia tidak rumah untuk menghadiri acara reuninya. Itulah saat pertama kali, kehangatan tempat tidur ini telah terbagi denganku. Mba Jihan memang terlalu polos dan bod*h."Aku mau makan dulu! Laper!" cetusnya setelah
Terpaksa aku meninggalkan Arsen yang sudah polos untuk ke kamar mandi. Ada yang mendesak ingin dikeluarkan.Cepat aku duduk di kloset dan menuntaskannya. Sampai perutku terasa lega.Setelah selesai, aku kembali untuk mengambil Arsen dan memandikannya. Tapi tiba-tiba perutku mulas kembali. Rasanya ada yang ingin keluar dan sudah diujung tanduk.Baru saja aku membungkuk untuk menggendong Arsen. Terpaksa aku menegakkan tubuhku. Setengah berlari masuk ke kamar mandi lagi dan duduk di kloset.Kuhembus napas lega setelah menuntaskan kedua kalinya. Lalu keluar dari kamar mandi dan menghampiri Arsen lagi.Saat badanku sudah membungkuk untuk meraih Arsen, perutku lagi-lagi melilit. Hingga terpaksa aku balik masuk ke kamar mandi dan bersemedi lagi.Perutku rasanya seperti dikuras. Entah kenapa juga aku merasa seperti terkena diare. Setelah ketiga kalinya bersemedi di kamar mandi. Tubuhku duduk terkulai ke lantai tepat di ujung tempat tidur.Kutepuk-tepuk kaki Arsen karena dia terlihat seperti s