“Itu cuma mimpi, Ayah. Mimpi buruk yang gak akan pernah menjadi nyata!” komentar Ravin, berusaha bersikap wajar.
“Ya, semoga saja begitu. Itulah, saat tadi ayah melihat kamu dan Belva begitu mesra, rasanya sangat tenang. Artinya kalian memang baik-baik saja.” Givari tersenyum hangat.
Sementara Ravin hanya tersenyum getir. Pasalnya pelukan yang tadi ia dan Belva lakukan bukanlah pelukan penuh cinta layaknya suami istri yang tengah bermesraan, melainkan hanya dekapan sebagai rasa saling menguatkan dan permohonan maaf saja. Tidak lebih.
Namun, biarlah. Biarkan seperti apa adanya saja orang tua menilai keadaan mereka.
Di kamar utama, Alana sempat lupa kalau hari ini masih ada orang tua Ravin dan Belva. Saat hendak membuka pintu ia terkejut ketika melihat Givari dan Ravin sedang berbincang di ruang tengah. Dan, Alana pun sempat mendengar perbincangan mereka.
“Andaikan aku diterima dalam keluargamu, Rav. Aku pasti sangat bah
Dari perawakannya sudah jelas sekali itu adalah seorang wanita. Pakaian semi formal, rambut pendek sebahu dengan postur tubuh yang ramping.“Selamat pagi. Maaf menunggu lama!” sapa Belva membuat sekretarisnya menoleh.Mata mereka saling beradu. Beberapa detik Belva menatap lekat dan mengingat-ingat. Sampai akhirnya ia baru tersadar bahwa wanita dihadapannya itu adalah orang yang sangat ia kenal.“Cindy?” ucap Belva dengan mata yang melebar.“Hai, Belva!”Wanita bernama Cindy itu tersenyum sumringah dan langsung berdiri siap menyambut pelukan penuh kerinduan.“Ini beneran kamu? Ya ampun, apa kabar?” Belva langsung berhambur dalam pelukan itu. Mereka terlihat sangat akrab dan senang sekali.Sementara Ravin hanya termangu memperhatikan keduanya.“Aku baik. Kamu apa kabar, Bel? gak nyangka akhirnya aku ketemu juga sama desainer internasional!” ujar Cindy.“Alh
“Aku tadi sempat dengar kamu seperti berharap seseorang merindukan kamu juga. Namanya ... Titan? Kalau boleh tau, siapa dia?” tanya Ravin serius.Alana menelan ludah. Ia mendadak gugup.“Oh, itu ... dia ... sepupuku!” Alana berbohong.Ravin menaikkan kedua alis. Sorot matanya penuh selidik.“Sepupu darimana? bukankah orang tuamu sama-sama anak tunggal?” tanya Ravin.Alana menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ravin mengetahui segalanya tentang Alana termasuk keluarga dan orang tuanya, tetapi satu hal yang tidak pernah Alana katakan pada suaminya, yaitu tentang masa lalu.“Kita kan sudah menikah, tidak perlu takut untuk berterus terang tentang banyak hal. Kita bisa saling terbuka, apa pun itu aku siap menjadi pendengar yang baik buat kamu!” sambung Ravin.Alana masih terdiam dengan kepala menunduk.“Apa kamu sedang merindukan seseorang?” tanya Ravin. Pria itu masih bers
Belva hanya tertawa getir. Cindy tidak mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi ini.“Nggak terjadi apa-apa, kok. Semalaman aku gak tidur sama mereka!” ucap Belva.Kini sepanjang perjalanan, Belva menceritakan semuanya pada Cindy. Mulai saat pernikahannya kandas dengan Arav, kemudian dipaksa menikah dengan Ravin yang ternyata telah beristri, hingga segala drama yang terjadi selama kurang lebih satu bulan ini Belva tinggal bersama Ravin.Cindy hanya terdiam penuh rasa iba pada temannya itu. Ia sangat prihatin dengan keadaan Belva yang amat memprihatinkan. Belva pun menceritakan selama itu hanya ada Tigor yang bersamanya.“Aku juga kalau jadi kamu pasti melakukan hal yang sama kok, Bel. Ogah banget disentuh sama lelaki kayak si Ravin. Bisa-bisanya gitu tega bohongin keluarga demi nikahin model murahan kayak si Alana itu!” gerutu Cindy. Ia memang tipikal wanita yang ceplas-ceplos.Sebenarnya Belva tidak mengatakan hal yang
“Mungkin itu klien kami di Australia. Tigor banyak laporan kalau di sana banyak peminat gaun rancanganku itu dari kalangan wanita yang masih muda-muda. Mungkin wanita itu salah satunya!” ujar Belva.“Mungkin kali ya. Kirain pacar barunya. Eh, pas kemarin ketemu katanya dia masih single selama 6 tahun! beuhhh gak lumutan apa tuh bahunya.” Cindy terkekeh.“Eh iya, sekarang kan udah gak lumutan lagi bahunya. Udah ada yang bersandar, haha!” goda Cindy.Belva hanya tertawa saja. Mobil mereka pun sudah tiba di lokasi meeting. Sembari menunggu klien, Belva dan Cindy kembali berbincang-bincang. Kali ini perbincangan mereka serius mengenai pekerjaan.Kemudian ponselnya berdering. Kali ini yang sedang dibicarakan membuat panggilan untuknya.Cepat-cepat Belva menjawab panggilan itu.“Ya, Tigor.”“Hai, Bel. Gimana? Lebih enak ditemani Cindy atau aku?” ucap Tigor. Langsung pada intinya.
“Kamu kenapa, Mas?” Alana membawakan secangkir teh hangat untuk Ravin yang sedang termenung di kursi teras.“Nggak apa-apa, sayang.” Ravin tersenyum manis. Setiap kali pikirannya gusar, kemudian melihat senyuman indah dari Alana, seketika beban hati dan pikirannya runtuh.Walaupun sedang hamil, kecantikan Alana tak pernah berkurang. Dia tetap terlihat sangat cantik dan seksi di mata Ravin. Wajar saja, dulunya seorang model yang hebat. Tentu akan tau bagaimana caranya tetap bisa mengurus diri. Apalagi fasilitas yang diberikan oleh Ravin padanya pun cukup paripurna.“Oh ya, Belva mana?” tanya Alana.“Sudah berangkat barusan!” jawab Ravin.“Dia makin sibuk ya, Mas.” Alana menghela napas sembari mengusap-usap perutnya.“Ya, karena grand opening cabang butik sama event bridal show-nya tinggal hitungan hari. Apalagi acaranya diwaktu yang bersamaan. Pasti butuh tena
“Apa maksud kamu? Itu tidak mungkin!” timpal Ravin.“Berarti menyentuhku juga sebuah ketidakmungkinan untukmu, Ravin!” balas Belva dengan seringaian di wajahnya.Ravin mendengus perlahan. Belva memang wanita yang cerdas. Tentu saja dia tidak mau rugi soal apa pun.“Kalau aku melakukan itu, hubunganku dengan Alana akan berakhir! Kamu tega sekali, Belva!” seru Ravin dengan nada pelan.“Tepat sekali. Apa perlu aku perjelas sekali lagi?” Belva menatap lurus dan tajam ke arah Ravin.“Kamu bisa menyentuhku asal kamu menjadi milikku satu-satunya! Karena aku tidak sudi berbagi raga dengan siapa pun!” Belva tetap teguh pada pendiriannya.Ravin bungkam. Belva ternyata tak pernah berubah. Kemudian Ravin jadi teringat tentang kisah Belva dan managernya saat ini“Tapi, andaikan aku bercerai dengan Alana dan memilihmu, apakah ada jaminan hubunganmu dengan Tigor akan berakhir juga?&rd
“Awalnya aku tidak yakin, tapi aku percaya sepenuhnya pada Alana. Dalam rahimnya adalah benih cinta kami.” Ravin tampak percaya diri.Sementara Belva hanya mencebikkan bibir. Dalam hatinya Belva pun berbicara, Dasar lebay.“Baiklah, kalau begitu. Semoga persalinannya lancar, ya.” Hanya itu komentar Belva.“Terimakasih,” sahut Ravin. “Tapi aku punya sebuah usul, Belva.”“Apa itu?” tanya Belva.“Aku berniat, bayi kami ingin aku berikan pada keluargaku dan mengatakan bahwa itu adalah anakmu dan aku!” ujar Ravin, membuat Belva membelalakan mata dengan mulut terbuka.“Sinting kamu!” umpat Belva.“Itu satu-satunya cara agar Oma dan Ayahku berhenti meminta cucu sama kita!” kata Ravin.“Tapi bukan begitu caranya, Ravin. Duh, bisa gak sih kamu itu berpikir cerdas sedikit aja, Rav!” timpal Belva, ia terlihat geram.
“Kamu ngomong sama aku, Rav?” Belva menoleh ke arah teras rumah. Belva menoleh ke kanan dan kiri. Berpikir mungkin saja Ravin sebenarnya berbicara pada Alana.Ravin mengangguk dan tersenyum.“Kamu kan ada penyakit lambung, kalau melewatkan sarapan terus bisa bahaya buat kesehatanmu. Ayo, kita sarapan dulu!” ajak Ravin sembari merangkul istri mudanya itu.Belva mengernyit. Masih bingung dengan sikap Ravin. Kemudian ia menilik ke arah jam tangan. Masih ada waktu jika ia menyempatkan untuk sarapan. Terlebih perutnya pun sudah mulai terasa perih.“Oke, deh.” Belva kembali ke dalam rumah bersama dengan Ravin.Kalau biasanya Belva tak pernah mau sarapan di rumah, karena Tigor pasti sudah menyiapkan sarapan untuknya di butik, tetapi pagi ini perut Belva sudah tidak bisa di ajak toleransi. Pekerjaannya tadi malam sungguh menguras pikiran dan tenaga, jadilah sepagi ini pun perutnya sudah keroncongan tak tertahankan.
Tigor terdiam beberapa detik. Cindy bisa melihat ada air mata yang membasahi pipi pria itu. Tigor bangkit dari tempat tidur dan berjalan sempoyongan ke arah pintu.“Mama ....” Tigor bergumam lirih, tak lama ia terkulai di atas lantai dan kehilangan kesadaran.Cindy bergegas menghubungi pihak keamanan untuk membatunya membawa Tigor ke layanan kesehatan.“Dia mabuk berat. Tapi tidak perlu khawatir, kami sudah memberikan terapi yang tepat untuk pasien. Hanya saja dalam waktu beberapa jam, dia masih harus tertidur.” Dokter menjelaskan keadaan Tigor.Cindy bersandar lelah di kursi tunggu. Dia memberi kabar pada Aisyah mengenai keadaan Tigor. Tetapi berharap agar Aisyah tidak memberitahu hal ini pada Maria. Khawatir akan memperburuk keadaan.Wanita cantik itu bahkan tak mengerti, mengapa dia bisa dihadapkan dengan situasi yang sangat rumit ini. Dia berada ditengah-tengah kisah cinta yang beragam. Belva dan Rizwan yang kini tengah
Di sela-sela perjalanan, untuk pertama kalinya Tigor merasakan patah hati yang lebih dalam. Ini lebih menyakitkan daripada melihat Belva menikah dengan pria lain. Pikirnya, Belva hanya menikah sebagai status, dan kesuciannya tak akan pernah dia berikan.Namun, kenyataan tak semanis itu. Kali ini Belva menikah sungguhan karena landasan cinta. Bukan hanya cinta saja, melainkan karena satu keimanan. Tigor tak pernah berpikir, Belva akhirnya mengandung benih pria lain. Ini amat sangat menyakitkan.Tigor menatap pantulan dirinya di dalam kamar apartement. Bahkan di pipinya pun masih tergambar jelas telapak tangan Cindy yang menamparnya semalam. Wanita yang dulu mendukung hubungannya dengan Belva, kini malah menorehkan rasa sakit di pipinya.“Arrgggghhh!!” Tigor berteriak kencang di dalam kamar. Hatinya remuk dan hancur. Setelah ini, dia tidak tahu dengan cara apa menyatukan kembali serpihan hatinya yang berserakan itu.***Kabar kehamilan Be
“Tigor?” Belva termangu. Sementara pria itu malah duduk santai sembari melipat kaki dan tersenyum erotis menatapnya.“Hai, sayang. Long time no see!” Tigor beranjak dari sofa dan berjalan ke arah Belva.Belva menelan ludah dan masih tak menyangka, pria itu kembali juga hari ini.“Ke mana aja kamu? Ninggalin kerjaan gitu aja. Gak bertanggung jawab!” ketus Belva sembari berjalan ke arah meja kerja untuk merapikan tas dan barang bawaannya.“Sengaja. Biar dapat hukuman dari kamu!” Tigor meraih tangan Belva tanpa ragu dan dengan gerakan cepat Belva menghentakkan genggaman itu.“Jangan kurang ajar!! Kamu gak pantas melakukan itu ini! Keterlaluan!” Belva menatap tajam.“Kenapa, Bel? Kamu mau mengelak apa lagi? Jelas, yang kamu lakukan hari ini adalah bukti bahwa kamu masih mencintai aku, kan?” Pria tampan itu menatap serius.Sementara Belva mendelik jengkel. &ld
Sampai waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Belva pun berpamitan. Dia menyetir mobil sendiri menuju hotel.Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Belva melirik sekilas, kemudian matanya melebar saat melihat orang yang dicari-cari tengah menghubungi.Tigor is calling...Cepat-cepat Belva menepikan mobilnya di bahu jalan, dan gegas menjawab panggilan itu.“Kamu ke mana aja, Tigor?” Belva langsung berujar tegas.Tak ada jawaban.“Hallo? Tigor?”“Hai, Belva.” Suara pria itu terdengar santai sekali.“Kamu nggak usah sok misterius mendadak ilang-ilangan kayak gini, Tigor. Kamu kekanak-kanakan tau nggak! Ninggalin kerjaan dan nyusahin kita semua!” Belva mengomel kesal.“Kamu yang udah buat aku kayak gini, Belva. Apa salah kalau aku pergi!” Pria di seberang panggilan itu tertawa kecil. “Ah, tapi aku berhasil. Ternyata ... kamu gak benar-benar ning
Sejenak Rizwan berpikir. Sebenarnya ini adalah ide yang bagus juga. Hitung-hitung sebagai bulan madu mereka yang sempat tertunda.“Aku mau temanin kamu. Tapi aku harus izin dulu sama kiyai Rahman. Karena pasti kita di sana dalam waktu yang tidak sebentar kan?” ujar Rizwan.Belva tersenyum manis dan melingkarkan tangan di leher suaminya. Kini semakin lama sepasang suami istri itu kian lekat dan romantis. Sudah tidak canggung lagi dalam menunjukkan cinta dan sayangnya.“Beliau pasti mengizinkan kamu, Mas. Lagian ... ini kan sudah masuk minggu ke tiga pernikahan kita, tapi kita belum pernah pergi berdua. Maksudnya seperti berbulan madu.” Belva merona sendiri mengatakannya.Rizwan pun menciup pipi sang istri dan berkata, “Baiklah, permaisuriku. Kita akan sekalian honeymoon. Meskipun setiap malam setelah pernikahan kita ini, rasanya seperti bulan madu terus bagi aku.”Keduanya merona dalam pelukan mesra. Setiap malam
Tempat itu menjadi saksi dari bersatunya sebuah cinta yang halal. Seorang istri telah menjadi hak penuh untuk suaminya. Akhirnya apa yang dulu sangat dijaga, kini waktunya untuk dijelajahi. Apa yang dulu sempat haram di pandang, kini menjadi nilai ibadah untuk dilakukan.Beberapa waktu kemudian, mereka terbaring lelah bersebelahan. Merasakan pelepasan yang sangat sulit dilukiskan bagaimana rasanya. Hanya bisa saling pandang dalam senyuman yang penuh cinta. Mereka sudah cukup dewasa untuk mengartikan kenikmatan itu. Yang jelas, setelah ini hanya ada harapan-harapan baik juga benih-benih cinta yang akan selalu mereka tanam.“Mau mandi bareng?” Rizwan mengulurkan tangan. Mengajak sang istri untuk sama-sama membersihkan tubuh.Belva mangangguk malu-malu. Semua yang mereka lakukan malam ini, adalah pengalaman pertama yang sangat menyenangkan. Rizwan pun memberitahu bagaimana cara mandi dan bersuci dengan benar. Bagi Belva, ini pengetahuan yang baru dan se
Ada gelenyar aneh dalam debaran hati mereka masing-masing. Belva tak pernah merasakan desiran yang sangat memanjakan dalam hatinya ketika bibir manis pria itu menyentuh jemarinya untuk pertama kali.Sejenak, hanya keheningan di antara keduanya. Saling menatap penuh makna.“Jangan menatap aku begitu, Rizwan. Aku ... malu.” Belva menunduk. Menyembunyikan rona kemerahan di wajah cantiknya.Rizwan tersenyum manis. Jemarinya menyentuh dagu sang istri agar wajah itu kembali terangkat dan menatapnya.“Aku kan sudah bilang, jangan panggil nama.” Suara bariton pria itu semakin sensual di telinga.Belva tersenyum gugup. Padahal belum ada satu menit suaminya memberikan permintaan, tetapi rasa canggung mengalahkan ingatannya.“Oh ... i-iya. Maaf, aku lupa, Riz. Eh, M-Mas....” Sebisa mungkin Belva membunuh rasa gugupnya. Mencoba tetap tenang di hadapan sang suami.Belva memang tidak memiliki pengalaman terlalu j
Sementara itu, Laila tampak termenung di tengah-tengah kebahagiaan itu. Meskipun dia merasa bahagia juga, tetapi di sisi lain hatinya, terbesit sebuah rasa gelisah yang tak menentu. Benaknya teringat dengan seorang pria yang jauh di sana. Bertanya dalam hati, apakah pria itu baik-baik saja? Apalagi setelah mengetahui kenyataan ini.“Abi, Umi, aku mau langsung pamitan aja ya.” Laila menghampiri orang tuanya dan berniat untuk berpamitan.Kiyai Rahman dan istrinya tampak bingung. “Loh, cepat sekali, Nak? Katanya kamu libur?”“Iya, tapi kerjaanku ternyata masih banyak, Abi. Ada kendala tekhnis yang gak bisa aku biarkan.” Laila beralasan. Namun, sebetulnya alasannya cukup masuk akal. Beberapa menit tadi, salah satu pegawai memang menghubungi Laila dan memberi informasi tentang sebuah kendala kecil di kantornya.“Ya sudah, kalau urusan kerjaan, kita tidak bisa menghalangi. Nanti Abi antar kamu ke Bandara ya,” ujar
“Wah, nantangin nih ceritanya?” Ravin menatap kembali. Ekspresi wajahnya masih terkesan mengejek.Laila tersenyum tipis dan menimpali. “Siapa yang nantangin? Aku cuma mau membuktikan omongan aku aja!”“Baiklah, sekarang coba katakan, sejauh apa pengetahuan dan proyek yang sudah kamu jalani?” tanya Ravin masih tak ingin kalah.Laila melirik ke arah Givari yang sedari tadi hanya memperhatikan keduanya. Kemudian gadis itu membuang napas pelan.Sebenarnya Ravin pun tak bermaksud meragukan kinerja dan masa depan Laila. Tentu saja aslinya dia paham betul gadis seperti apa Laila itu. Hanya saja, Ravin sejak dulu senang menggoda dan meledek.“Dua bulan lalu, aku baru aja menyelesaikan dua projek yang sangat menyenangkan!” kata Laila sembari tersenyum bangga.Ravin menaikkan sebelah alis dan berkata, “Oh ya? Projek apa tuh?”“Butiknya Mbak Belva dan toko buku punya Mas Rizwan!&r