Bab 20Pasar terapung adalah pasar tradisional yang terkenal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Lokasi pasar bukan berada di darat. Melainkan di sungai. Para pedagang yang mayoritas perempuan, berjualan di atas perahu yang mereka sebut jukung. Mereka memakai topi tanggui, yaitu topi caping lebar yang terbuat dari daun rumbia. Menariknya, sistem bapanduk (barter) masih berlaku di situ. Sesama pedagang bisa saling menukar hasil alam yang mereka bawa. Pisang dengan ubi, kue-kue tradisional dengan buah-buahan atau beras dengan ikan.Sayangnya, Panglima tidak memiliki itu semua. Apalagi uang. Satu-satunya yang dibawa ialah emas batangan dari Sarandjana.Si Ilmuwan tertawa melihat Panglima yang masih mengenakan seragam tentara, tapi orang-orang di tempat itu tertipu matanya. Mereka seolah melihat si Panglima berpakaian layaknya masyarakat biasa. Apalagi kumis yang dimiliki si Panglima, tentu saja membuat area yang tidak ada lekukan di atas bibirnya itu tertutup sempurna."Di sana masi
Bab 21Sepulang dari kunjungan kerja tersebut, Anang jadi paranoid. Di kediaman kesultanan dia seperti manusia linglung.Efek dari melihat Cyborg, dia terkadang salah bicara, salah paham, sampai salah menyebut nama Istrinya. Permaisuri Gompeng tapi disebutnya Gempong. Kadang juga dipanggil Kepompong.Semua itu karena Anang terbayang-bayang pada Cyborg dan mesin teleportasi. Dia sulit move on. Selain itu, efek radiasi yang terpancar dari kedua teknologi canggih tersebut telah merubah jumlah gelombang otak yang dimiliki Anang. Manusia di dunia nyata umumnya hanya memiliki lima gelombang otak, yaitu: Alfa, Beta, Delta, Theta dan Gamma.Sementara makhluk di dimensi lain memiliki delapan gelombang otak. Yakni lima dari gelombang sebelumnya ditambah dengan gelombang Hypergamma, Lambda dan Epsilon.Gelombang Lambda dan Epsilon berhubungan dengan kemampuan luar biasa alias supernatural.Jadi pada hakikatnya, semua hal mistis dapat dipelajari dan dibuktikan secara Sains. Dengan demikian, d
Bab 22Di kota Surabaya, tepat di salah satu ruas jalan yang ramai oleh geliat ekonomi masyarakat, ada sebuah rumah yang berdiri megah. Sayangnya telah lama terbengkalai alias ditinggalkan pemiliknya.Di depan pagar rumah tersebut, ada tanaman bonsai yang tumbuh sangat rimbun, tak terawat dan tak pernah dipangkas. Pedagang-pedagang keliling alias pedagang kaki lima menjadi leluasa untuk mangkal di depan rumah tersebut. Ada penjual cilok, penjual bakso, penjual siomay, penjual terompet dan mainan anak-anak, sampai dengan penjual kerupuk. Masing-masing membunyikan instrumen khas mereka untuk memancing pembeli. Ada yang berupa kerincingan, sendok beradu dengan mangkuk, terompet ditiup, hingga teriakan "kerupuk ... kerupuk ...."Emak-emak dan anak-anak mulai bermunculan dari rumah masing-masing. Mereka melangkah gembira menuju lokasi mangkal para pedagang.Mereka sibuk memesan cilok dan bakso. Kurang lengkap bila tanpa kerupuk. Beberapa anak terlihat membeli terompet dan mainan lato-la
Bab 23"Jauh bujur pasarnya, Gusti pedagang," keluh Paduka Anang di perjalanan. "Kaki saya sudah kesal. Seumur hidup kada pernah memacul kaki begini."Si penjual cilok lalu menjawab medok dengan logat Surabaya-nya. "Harusnya aku yang kesal dimintai tolong oleh sampean. Ini malah kaki sampean yang kesal. Sampean bisa bicara yang bener gak sih?"Paduka Anang mengernyit heran. "Kesal artinya lelah kalau di negeri Sarandjana. Kaki saya kesal maksudnya kaki saya lelah. Bagaimana dengan di sini?"Yang ditanya tidak lagi menjawab. Dalam benaknya, si penjual cilok merutuk hari yang paling sial ini. Hari di mana ia ditakdirkan bertemu manusia aneh dengan bahasa Indonesia terbolak-balik. Paduka Anang terus mengikuti ke mana saja si penjual cilok menuntunnya. Mereka akhirnya tiba di pasar tradisional dan segera mengibas kerumunan orang agar sampai di lokasi tengkulak emas.Ketika si tengkulak menerima tiga batangan emas dari tangan Paduka Anang, ia sejenak mengamati. Awalnya dia tak percaya b
Bab 24Mereka terus memperhatikan Paduka Anang yang sibuk meracik cilok bumbu kacang ke dalam mangkuk. "Harum banget ya Abangnya," puji salah satu Emak. "Kek bukan bau parfum, tapi bau badannya memang harum.""Keringat bidadari apa bidadara tuh?" goda Emak yang banyak kutu. "Bidadara dong ...." balas yang lain sambil ketawa-ketiwi. "Kan Abangnya cowok." Manakala mangkuk cilok telah mereka terima dan mulai menyantap bulatan-bulatan makanan tersebut, mencuatlah binar kesima di mata mereka."Enak banget.""Maknyus!" "Woalah, seganteng orangnya!"Cilok buatan Paduka Anang memang premium. Bahan-bahannya tidak pasaran. Bumbu kacang diracik pas dan isiannya memakai suwiran daging sapi.Sambil makan, sambil mereka memperhatikan paduka Anang. Makin diperhatikan, makin sadar mereka bahwa memang ada yang tak biasa. Wajah penjual cilok yang mereka puja-puji ini tidak punya lekukan di atas bibir."Kok bisa gitu ya?" bisik Emak yang banyak kutu kepada Emak bertubuh gempal. Yang dibisiki hanya
Bab 25Orang introvert sebenarnya bukan tidak suka bergaul. Melainkan enggan memulai atau membuka obrolan duluan. Namun bila dipertemukan dengan orang yang tepat, maka karakter mereka bisa berubah 180 derajat. Sama halnya dengan Amoy.Semenjak diberi semangkuk cilok oleh Paduka Anang, dia jadi sering memesan cilok pada pria itu setiap harinya. Keduanya kerap mengobrol panjang lebar di beranda kosan. Kerap pula terdengar tawa cekikan mereka ketika ada bahasa yang berbenturan satu sama lain. Amoy paling merasa lucu bila Paduka Anang menyebut kata orang dengan urang, kata cocok dengan cucuk, atau istilah 'jalan-jalan' disebutnya 'makan angin'.Saking lucunya, sampai-sampai orang lain yang mendengar obrolan mereka ikut tertawa.Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Hingga tahun berganti tahun. Banyak hal berubah.Amoy akhirnya wisuda. Ia dipercayakan sebuah perusahaan oleh orang tuanya untuk dikelola. Sapri telah pulang ke kampung halaman dan menjadi pebisnis sukses di sana. Semen
Bab 26Selama di perjalanan pulang ke Jakarta, sang Ibu lebih banyak diam. Kalaupun ia bersuara, semata-mata hanyalah isakan tangis.Enam tahun lamanya menunggu anaknya pulang, ternyata bagai menjaring angin. Kini, baik ia maupun suaminya, telah menyerah. Lenyap sudah sisa-sisa pengharapan yang selama ini berupaya bertahan di sanubari mereka. "Yang sabar, Bu. Kita ikhlaskan saja Anang ke hadirat Allah. Yang penting kita sudah berusaha semaksimal mungkin," ujar anaknya menasehati dari balik kemudi.Sang Ayah menarik jemari istrinya ke pangkuannya, memijat lembut agar wanita itu merasa tenang. "Nang, Nang ... di mana pun kamu berada saat ini, hidup atau mati, susah atau senang, biarlah Allah yang melingkupi kamu, Nak," keluh sang Ayah diikuti membuang napas berat. ***Di hari-hari selanjutnya, kesehatan Ibu Anang semakin menurun. Sakit vertigonya semakin menjadi-jadi. Ia sering gelap mata dan merasakan tubuh seperti melayang. Kalau sudah demikian, tidak sekali ia jatuh pingsan hing
Bab 27Firma Hukum Kemenangan adalah nama salah satu Lembaga Bantuan Hukum, tempat di mana Bimbim bekerja. Gedungnya lumayan besar. Terlihat orang mondar-mandir, masuk dan keluar. Rata-rata memakai setelan jas yang rapi. Di antara mereka, ada seorang Pria berperawakan tinggi yang berjalan terburu-buru menuju ruangan Bimbim. Dia adalah pengusaha tambak udang asal Surabaya yang kasus sengketa lahannya dimenangkan oleh Bimbim dua tahun lalu.Kali ini dia datang bukan untuk kasus baru. Dia sendiri belum tahu, kenapa Bimbim memanggilnya. "Koh Abeng ...." sapa Bimbim seraya memeluk pundak Pria itu. "Apa kabarnya?""Kabar baik Pak Bimbim. Gimana dengan Pak Bimbim, amankah?" "Sedikit gak aman, Koh Abeng. Makanya ini aku perlu bantuan." Bimbim tertawa kecil. "Puji Tuhan. Aku siap membantu," balas Koh Abeng antusias.Bimbim mempersilakan Koh Abeng untuk duduk. Dia lantas bercerita panjang lebar perihal pengalamannya di masa lalu. Pengalaman mendaki gunung Slamet yang berakhir tragis. Ko