Wanita berpakaian serba putih itu menatap gedung yang menjulang tunggi di depannya. Bangunan yang menjuntai itu, jika dilihat orang asing pasti akan mengira hanyalah sebuah pabrik, atau perkantoran perusahaan kelapa sawit, singkong, atau karet. Dari luar tampak biasa saja tanpa ada keindahan sama sekali.Di luar bangunan tersebut, juga masih ada beberapa bagunan lagi yang lebih rendah, mengelilingi bangunan utama. Seperti halnya para orang asing yang menebak, wanita itu juga meragu, ketika akan memberi kode kepada orang di dalam, bahwa ada dia di luar gerbang.Sekitar lima belas menit wanita itu berdiri di sana. Selama itu pula tidak ada siapa pun yang bisa ia tanyai. Merasa tidak yakin dengan tujuannya, wanita itu membalik tubuhnya, berniat pergi."Tunggu."Baru beberapa langkah kakinya berjalan, sebuah suara mencegahnya. Wanita itu berhenti dan menoleh kepada pemilik suara. Seorang perempuan muda dua puluhan tahun berdiri di depannya."Anda mencari seseorang?" tanya perempuan muda i
Di dalam kamarnya, Ayara merasa gelisah sekali, seperti kegerahan, meskipun sebenarnya, kediamannya juga dikelilingi oleh pepohonan yang menyejukkan. Baru saja ia mendapat pesan dari Gistara. Memberi kabar, bahwa dia berniat kembali ke kontrakan lamanya, untuk mengambil barang-barang. Ayara bersikeras mencegah, memintanya menunggu sampai dia bisa menemani. Tetapi Gistara meyakinkannya bisa melakukannya sendiri, dan berjanji akan baik-baik saja. Apa boleh buat, Ayara sendiri belum tahu kapan bakal bisa menemani. Sebab dia juga baru saja meminta ijin keluar untuk membeli keperluan pribadi. Dia tidak mungkin lagi meminta ijin kedua kalinya dalam sehari. Arlo sudah termasuk berbaik hati dengan mengijinkannya keluar rumah, selama satu jam tanpa ditemani oleh pegawainya. Dan itu terjadi ketika Ayara pernah dianggap kabur olehnya. Ayara keluar kamar. Angin sejuk langsung menghempas cantik wajahnya, menyingkap rambutnya yang tergerai lepas ke belakang. Menuruni tangga pendek yang menuju ha
Nawang Nehan duduk terpekur menekuni cangkirnya yang sudah kosong. Jemarinya sebentar memutar, sebentar mengait ke pegangan cangkir. Hatinya terasa kosong, amun juga diliputi rasa yang dia sendiri bingung menerjemahkannya.Cashel baru saja menemuinya, memintanya agar mengijinkan Ambar, ibunya, tetap tinggal bersamanya di kediaman Cashel sendiri. Sementara ini, Nawang mengijinkan. Namun dia mengatakan kepada Cashel, bahwa ia akan mengambil keputusan baru ke depannya, dan belum tahu, itu apa.Ambar sudah memilih pergi bertahun-tahun lalu, seharusnya sudah tidak ada tempat lagi baginya untuk kembali. Hanya saja, karena Cashel memohon, Nawang tidak bisa mengabaikan perasaan anak bungsunya itu. Dia rindu.Nawang mendesah berat, sebelum akhirnya bangkit dari duduknya. Mengenakan mantel, kemudian berjalan keluar rumah, melalui pintu khusus miliknya. Ia terus berjalan hingga sampai di sebuah tempat, yang lumayan luas, dengan beberapa pohon kamboja di sana. Di bawah pepohonan itu, ada tiga bu
Ayara berkali-kali melirik Arlo yang tidak melakukan apa-apa. Hanya diam berdiri memandangi burung piaraannya yang terikat di angkringan. Napasnya teratur, wajahnya terlihat tenang. Sudah satu jam namun belum ada satupun kalimat yang keluar dari mulutnya. Rasanya pegal kaki Ayara ikut berdiri di sampingnya. Diam-diam dia berdoa, pria di sampingnya itu sebaiknya pingsan saja, agar tidak menyusahkannya."Maaf, Tuan Muda sedang tidak ingin diganggu," sayup-sayup terdengar suara dari depan rumah."Ini perintah Tuan Besar, Boss," Terdengar suara lainnya. Arlo menoleh kepada Ayara. Gadis itu bersorak dalam hati. Akhirnya, Arlo bakal gerak juga. Itu artinya Ayara akan terbebas dari suasana tidak mengenakkan, bersama pria salju itu.Arlo berjalan ke arah datangnya suara, dan mendapati dua orang pria sedang berbicara di depan rumahnya. "Ada apa?" tanya Arlo. Kedua pria itu langsung mengangguk hormat kepadanya."Tuan Besar meminta semua anggota keluarganya berkumpul untuk sarapan bersama pagi
"Bagaimana, Dokter?" tanya Nawang Nehan, cemas. Kondisi Arlo terlihat sangat tak berdaya. Dokter yang memeriksa mendesah."Maaf, Tuan, saya belum bisa memastikan apa yang dialami, Arlo. Tetapi sepertinya ada suatu racun yang menyebabkannya mengalami semua ini. Kita harus memeriksa tempat di mana Arlo berada sebelumnya.""Di ruang makan," Newang menjawab dengan cepat."Bisa antarkan saya ke sana?""Tentu."Nawang Nehan dan dokter meninggalkan ruangan, di mana Arlo berbaring di atas ranjang dalam kondisi lemas tak berdaya. Tanasiri dan Rhys Victor juga mengikuti mereka. Sebelum mereka pergi. Ayara sempat melihat keduanya saling memberikan kode, yang tidak ia mengerti. Namun, ia yakin sekali, ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi di antara mereka berdua. Ingin rasanya Ayara ikut pergi bersama Nawang Nehan dan dokter keluarga, agar tahu apa yang terjadi. Namun dia harus menunggui Arlo, di sebuah kamar tidak jauh dari ruang makan."Kakak, kamu tidak ingin keluar ikut dengan mereka?"
Semua yang hadir di ruang itu mempertanyakan, kiranya, benda apa yang bisa mencelakai orang secara perlahan dan mematikan sedemikian rupa itu?"Lalu, bagaimana benda itu bisa mencelakaiku?" Tak terkecuali Arlo, pria itu langsung melontarkan pertanyaan, karena penasaran."Potongan benda ini ada di bawah kursi yang Anda duduki, Tuan Muda." Jawab dokter yang sekaligus seorang tabib tradisional khusus keluarga Nawang Nehan itu.Ayara, dan Cashel terperangah. Sedangkan Arlo tampak datar saja."Benda ini sangat berbahaya bila disentuh tanpa alas. Dan bila tanpa penutup, maka efeknya akan sangat pelan terbawa udara. Orang yang menghirupnya dalam waktu lebih dari tiga puluh menit, dan dari jarak yang sangat dekat, maka efeknya akan mulai bekerja saat itu juga. Dan ini ada yang sengaja meletakkannya di bawah kursi Tuan Muda Arlo, tanpa penutup." Dokter keluarga kembali menerangkan.“Jika cara kerjanya seperti itu, bukan kah seharusnya semua yang ada di ruangan ini bisa terkena imbasnya? Mengap
Hari terus merangkak. Rasanya sudah cukup buat semua orang termenung. Begitu juga dengan Ayara. Entah mengapa, meskipun fakta begitu jelas mengatakan pelaku kejahatannya itu memang Cashel, hati Ayara tetap meragukannya. Cashel pria yang baik. Dia bersahabat selama bertahun-tahun dengan Arlo. Arlo pun menyayanginya. Tidak mungkin Cashel tega melakukan itu. Tidak mungkin ia berniat mencelakai saudaranya sendiri hanya demi memperebutkan harta ayah mereka.Kedatangan Ambar? Benarkah wanita itu yang membisikkan kejahatan dan membawa racun untuk Cashel mencelakai Arlo? Benarkah hanya demi harta? Ayara menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Aku tidak mungkin mempercayai ini.Ayara menghentak tubuhnya dari duduk. Ia berjalan ke pintu, dan membukanya. Dia harus menemui Cashel, dan meminta penjelasan.Saat pintu sudah terbuka lebar, ada Among di halaman depan rumahnya. Ayara melihat ke arah jam dinding, jarum jam ada di angka tiga dan dua belas. Gadis itu mendesah berat. Semestinya belum waktunya m
Among tersentak dari tidurnya di sebuah cabang pohon besar di samping halaman rumah Ayara. Arlo sudah berdiri di sampingnya. Sekretaris pribadi Arlo itu langsung melompat turun dari pohon."Saya belum melihat Nona Ayara kembali, Tuan," kata Among."Ya, aku tahu," jawab Arlo singkat. Sejurus kemudian dia memperhatikan wajah Among. Masih tampak segar."Ada kamar di sana, mengapa kamu tidur di pohon?" Arlo menunjuk pintu sejajar dengan pintu masuk rumah Ayara. Hanya jarak beberapa langkah ke samping."Tadinya saya hanya menikmati kesegaran udara di sini saja, Tuan. Wangi bunga yang ditanam Nona Ayara juga sangat enak, ternyata malah terbuai, saya jadi ketiduran," jawab Among polos. Samar Arlo tersenyum. Lalu dia berjalan menjauh. Among mengejarnya."Mau ke mana Tuan Muda? Ingat Tuan masih belum pulih," kata Among mengingatkan."Kita ke kediaman, Cashel." balas Arlo.“Apakah dia sudah kembali?”“Saya ingin melihatnya.”"Baik, Tuan," kata Among seraya mengimbangi langkah Arlo.***Cashel m