"Bagaimana, Dokter?" tanya Nawang Nehan, cemas. Kondisi Arlo terlihat sangat tak berdaya. Dokter yang memeriksa mendesah."Maaf, Tuan, saya belum bisa memastikan apa yang dialami, Arlo. Tetapi sepertinya ada suatu racun yang menyebabkannya mengalami semua ini. Kita harus memeriksa tempat di mana Arlo berada sebelumnya.""Di ruang makan," Newang menjawab dengan cepat."Bisa antarkan saya ke sana?""Tentu."Nawang Nehan dan dokter meninggalkan ruangan, di mana Arlo berbaring di atas ranjang dalam kondisi lemas tak berdaya. Tanasiri dan Rhys Victor juga mengikuti mereka. Sebelum mereka pergi. Ayara sempat melihat keduanya saling memberikan kode, yang tidak ia mengerti. Namun, ia yakin sekali, ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi di antara mereka berdua. Ingin rasanya Ayara ikut pergi bersama Nawang Nehan dan dokter keluarga, agar tahu apa yang terjadi. Namun dia harus menunggui Arlo, di sebuah kamar tidak jauh dari ruang makan."Kakak, kamu tidak ingin keluar ikut dengan mereka?"
Semua yang hadir di ruang itu mempertanyakan, kiranya, benda apa yang bisa mencelakai orang secara perlahan dan mematikan sedemikian rupa itu?"Lalu, bagaimana benda itu bisa mencelakaiku?" Tak terkecuali Arlo, pria itu langsung melontarkan pertanyaan, karena penasaran."Potongan benda ini ada di bawah kursi yang Anda duduki, Tuan Muda." Jawab dokter yang sekaligus seorang tabib tradisional khusus keluarga Nawang Nehan itu.Ayara, dan Cashel terperangah. Sedangkan Arlo tampak datar saja."Benda ini sangat berbahaya bila disentuh tanpa alas. Dan bila tanpa penutup, maka efeknya akan sangat pelan terbawa udara. Orang yang menghirupnya dalam waktu lebih dari tiga puluh menit, dan dari jarak yang sangat dekat, maka efeknya akan mulai bekerja saat itu juga. Dan ini ada yang sengaja meletakkannya di bawah kursi Tuan Muda Arlo, tanpa penutup." Dokter keluarga kembali menerangkan.“Jika cara kerjanya seperti itu, bukan kah seharusnya semua yang ada di ruangan ini bisa terkena imbasnya? Mengap
Hari terus merangkak. Rasanya sudah cukup buat semua orang termenung. Begitu juga dengan Ayara. Entah mengapa, meskipun fakta begitu jelas mengatakan pelaku kejahatannya itu memang Cashel, hati Ayara tetap meragukannya. Cashel pria yang baik. Dia bersahabat selama bertahun-tahun dengan Arlo. Arlo pun menyayanginya. Tidak mungkin Cashel tega melakukan itu. Tidak mungkin ia berniat mencelakai saudaranya sendiri hanya demi memperebutkan harta ayah mereka.Kedatangan Ambar? Benarkah wanita itu yang membisikkan kejahatan dan membawa racun untuk Cashel mencelakai Arlo? Benarkah hanya demi harta? Ayara menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Aku tidak mungkin mempercayai ini.Ayara menghentak tubuhnya dari duduk. Ia berjalan ke pintu, dan membukanya. Dia harus menemui Cashel, dan meminta penjelasan.Saat pintu sudah terbuka lebar, ada Among di halaman depan rumahnya. Ayara melihat ke arah jam dinding, jarum jam ada di angka tiga dan dua belas. Gadis itu mendesah berat. Semestinya belum waktunya m
Among tersentak dari tidurnya di sebuah cabang pohon besar di samping halaman rumah Ayara. Arlo sudah berdiri di sampingnya. Sekretaris pribadi Arlo itu langsung melompat turun dari pohon."Saya belum melihat Nona Ayara kembali, Tuan," kata Among."Ya, aku tahu," jawab Arlo singkat. Sejurus kemudian dia memperhatikan wajah Among. Masih tampak segar."Ada kamar di sana, mengapa kamu tidur di pohon?" Arlo menunjuk pintu sejajar dengan pintu masuk rumah Ayara. Hanya jarak beberapa langkah ke samping."Tadinya saya hanya menikmati kesegaran udara di sini saja, Tuan. Wangi bunga yang ditanam Nona Ayara juga sangat enak, ternyata malah terbuai, saya jadi ketiduran," jawab Among polos. Samar Arlo tersenyum. Lalu dia berjalan menjauh. Among mengejarnya."Mau ke mana Tuan Muda? Ingat Tuan masih belum pulih," kata Among mengingatkan."Kita ke kediaman, Cashel." balas Arlo.“Apakah dia sudah kembali?”“Saya ingin melihatnya.”"Baik, Tuan," kata Among seraya mengimbangi langkah Arlo.***Cashel m
Di bawah cahaya remang karena tertutup dahan pepohonan, Ayara menatap wajah pria yang baru saja membekap mulutnya demi menyelamatkannya. Wajah teduhnya mengulas senyum menampilkan ketampanannya yang sempurna. Bagaimana aku bisa menolakmu jika kamu selalu menyelamatkanku? Aku berhutang banyak kepadamu."Kelinci Liar, apa kamu mulai mengagumi ketampananku?" bisik pria itu. Ayara tergeragap, malu karena sudah ketahuan memperhatikan wajah Cashel lumayan lama."Ugh…" Ayara melepaskan diri dari rengkuhan tangan Cashel."Kenapa kamu kelayapan tengah malam begini, apa yang hendak kamu cari?""Jika malam ini aku selamat, besok aku akan mengatakannya kepadamu,""Ayo, lewat sini," bisik Cashel lagi. Ayara mengikuti. Keduanya mengendap menyusuri tembok paling belakang kediaman Nawang Nehan."Ayara, jika kita berjalan bersama, maka akan mudah ketahuan oleh mereka, karena pakaianku yang berwarna putih. Aku akan keluar, kamu teruslah berjalan sesuai petunjuk yang kuberikan tadi." bisik Cashel, sambi
PART 35. Misteri Kematian Hyuna Sada Ayara melepas tatapan penuh kebencian kepada Arlo. Hatinya sungguh terluka, pria itu sama sekali tidak pernah bisa menghargai perjuangannya, yang sudah berusaha totalitas melayaninya. Dia tidak pernah menyangka, ternyata selama ini Arlo hanya memandangnya tidak lebih dari seorang budak belian jaman dahulu kala. Yang tidak mengapa dimiliki dan dilepas kapanpun dia mau. Sekuat tenaga Ayara menahan air matanya, agar tidak menetes di depan pria, yang mulai detik itu, akan dia anggap sebagai musuh terbesarnya. Selamanya. Ayara berjalan mengikuti langkah polisi, yang membawanya dengan kedua tangan diborgol. Tak dipedulikannya bisik-bisik beberapa pelayan yang melihat kejadian tersebut. Saat mereka hampir keluar dari Gerbang Dalam, sebuah suara memanggil nama Ayara. Mereka berhenti sebentar, untuk memberi kesempatan sosok yang memanggil itu mendekat. “Apa yang terjadi?” Gemetar suara itu bertanya. Dia tidak percaya anak yang dulu dia rawat dan besarka
Cashel benar-benar merasa geram ketika melihat motor dan mobilnya telah dirantai dengan kuat di garasi miliknya. Dia tidak pernah menyangka Nawang Nehan ayahnya benar-benar tega melakukan ancamannya. Bahkan di saat duka kehilangan ibunya belum hilang dari hati Cashel.Ditariknya rantai itu dengan penuh kemarahan, namun benda itu sama sekali tidak bergerak."Siapa yang melakukan ini?" Teriaknya. Penjaga Gerbang Dalam tergopoh mendekati."Siapa yang melakukan ini?" ulang Cashel seraya meraih kerah baju penjaga yang mendekatinya."Saya sungguh tidak tahu, Tuan," jawab penjaga dengan napas tersengal."Bagaimana kamu tidak tahu, sedangkan kamu yang berjaga di sini?" Cashel melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Penjaga terjatuh beberapa langkah ke belakang."Maafkan saya, Tuan, saya sungguh tidak tahu," gumamnya sekali lagi, seraya menggeleng pelan.Sama sekali tak terlintas di benak Cashel, ayahnya yang selama ini bersikap lembut kepadanya dan kepada semua anak-anaknya, kini bisa sejahat
"Kita mau ke mana, Cashel?" Ayara memeluk erat pinggang Cashel yang menyetir motor dengan kecepatan maksimal. Mereka sudah empat jam perjalanan, dan sudah jauh meninggalkan desa. Dua kota juga sudah mereka lintasi. Hanya berhenti sebentar untuk membeli makanan dan minuman."Kenapa? Kamu capek?""Tidak. Kamu yang seharusnya istirahat," balas Ayara."Aku masih sanggup," balas Cashel, "kita juga belum boleh berhenti, karena polisi pasti sudah menyebarkan informasi ke beberapa kota terdekat."Ayara mengangguk, dalam hati ia merasa sedih karena harus melibatkan Cashel dalam masalahnya. Sementara Cashel sendiri memiliki masalah yang lumayan berat berkaitan masa depan hidupnya.Malam semakin merayap. Ayara dan Cashel berhenti di sebuah rumah sederhana di pinggiran hutan. Tubuh keduanya sudah sangat letih, ketika seorang pria dengan perawakan tinggi besar menyambut keduanya. Itu adalah salah seorang sahabat Cashel yang dulu pernah peroleh bantuan darinya. Malam itu mereka menginap di rumah te
Seorang pelayan yang sejak tadi menguping di depan pintu kamar Rhys Victor, langsung terperangah. Jadi benar kecurigaan, Among?Pria bodoh itu..., senyap. Hanya ada suara ketukan beberapa kali dari dalam kamar. Gadis pelayan itu menduga, itu pasti suara benturan gelas Rhys saat diletakkan di meja. Pelayan mematikan ponselnya. Kemudian memasukkan benda pipih itu ke dalam saku rahasianya, yang paling aman dari jangkuan.Pelayan itu mengetuk pintu.“Tuan, apakah Anda membuthkan bantuan?” Senyap, tidak ada jawaban. Pelayan itu tersenyum.Dasar penjahat! Kamu akan menuai buah perbuatanmu sendiri!Dua hari yang lalu, sebelum ia dikirim menjadi pelayan di penginapan ini, ia sedang kebingungan karena tidak memiliki tujuan jelas. Tidak memiliki uang dan tempat tinggal.Tiba-tiba seseorang memanggil namanya dengan lembut. Saat dia menoleh, di depannya seseorang yang sangat dia kenali. Orang yang seketika membuatnya tersenyum bahagia, karena mengira akan memiliki harapan untuk bertemu dengan sos
Menyaksikan sahabatnya hanya diam dalam keadaan tertuduh, Yudha merasa heran. Segera didekatinya Cashel dengan penuh tanya, “Kamu tidak ingin mencegahnya, Cashel?”Cashel tidak menjawab, sebagai gantinya, pria itu justru berbalik arah dan masuk ke rumah Yudha. Lalu duduk di kursi, dan meminta Yudha menjauh darinya. Cashel ingin sendirian. Hatinya terlalu sakit, untuk mencerna kenyataan.***Di dalam hutan, Ayara tidak berhasil menemukan jejak Arlo. Dia hanya menemukan, semak yang berantakan, dan patah di mana-mana. Ia bisa menyimpulkan, itu bekas perkelahian. Ada darah di mana-mana.Tidak bisa menemukan Arlo di dalam hutan, Ayara keluar dari sana. Dia sampai di sebuah pedesaan yang ramai dengan banyak orang yang melakukan aktivitas.Seperti kehidupan di pedesaan umumnya, ada yang pergi ke pasar untuk menjual hasil panen mereka. Ada juga yang membawa peralatan bercocok tanam di ladang.Ayara melangkah dengan kecepatan di atas rata-rata. Sesekali bertanya, di mana ada penginapan. Banyak
"Aku juga membutuhkanmu, Ayara. Sangat."Ayara bergeming. Andai saja bisa, dia ingin membagi tubuhnya, untuk Arlo dan Cashel.***Arlo menerima telepon dari Among saat sedang berdua dengan Ayara. Walaupun sangat ingin bisa lebih lama bersama dengan gadis yang lama ia cari, dan baru dipertemukan itu, ia terpaksa pamit untuk pergi. Ada hal penting yang harus mereka lakukan."Jangan ke mana-mana, aku akan menjemputmu setelah ini," pinta Arlo kepada Ayara. Ayara tidak menjawab, karena hatinya tahu sekali, dia harus bersama Cashel, meskipun sangat ingin kembali bersama Arlo.Cashel tidak memiliki siapa siapa lagi selain dia. Sedangkan Arlo, masih memiliki ayah yang sangat menyayanginya. Memiliki banyak anak buah, dan teman. Meskipun Ayara tidak pernah melihat Arlo bersama temannya, selain Among. Arlo juga masih memiliki semua kemewahan hidupnya. Bahkan pelayan kamar yang baru, jika pria itu menginginkan. Sedangkan Cashel, bahkan kartu ATMnya pun dibekukan. Ke depannya Cashel harus berjuang
Ayara duduk di atas potongan pohon kelapa sawit tidak jauh dari rumah Yudha. Kedua matanya menatap kalung yang menggantung di tangannya. Benda yang selama belasan tahun menemani hidupnya. Sisa kenangan masa lalunya. Usianya baru empat tahun saat itu. Dia sedang bermain dengan teman-teman di dekat rumahnya, ketika sebuah mobil melintas dan hampir menabraknya. Mobil itu tidak tahu jika ada anak kecil yang sedang menyeberang di jalurnya. Untungnya, ada tangan kecil lainnya yang menarik tubuh anak itu, sehingga anak itupun selamat. "Anak kecil kenapa kamu mainan di jalan sendirian," tanya penolongnya, yang tidak lain adalah anak lelaki, berusia sekitar sepuluh tahunan. "Tadi aku sama teman-teman, Kak. Tapi mereka larinya cepat sekali," jawab anak itu lugu. "Ah gitu…, ayo Kakak antar, di mana rumahmu?" "Tidak. Ibu bilang aku tidak boleh ikut orang asing," "Hahaha, kakak bukan orang asing, tetapi kakak adalah penolongmu." jawab anak lelaki itu. Anak kecil itu menatapnya. "Apakah Kaka
"Aku harus pergi," ucap Birdella seraya membalikkan tubuhnya, lalu meninggalkan Arlo yang menatapnya tanpa ekspresi. Arlo sangat paham, gadis itu berusaha menghindari pertanyaannya. Tingkahnya memang seperti itu dari dulu. Lucu dan menggemaskan. Namun Arlo tidak pernah tertarik untuk menggodanya. Seperti yang dilakukan Cashel dan banyak orang terdekatnya.Arlo melanjutkan langkah. Mengabaikan Among yang tersenyum menyaksikan tingkah Birdella."Gadis itu benar-benar polos," gumam Among."Tidak. Dia menyimpan rahasia," balas Arlo."Maksud, Tuan?""Mari kita lihat nanti, apa yang sudah dilakukan gadis yang katamu polos itu." Among tidak menjawab apa-apa lagi. Ia dengan sigap mengikuti langkah Arlo menuju kediamannya."Jadi bagaimana rencana kita selanjutnya, Tuan?""Kirimkan dua intel terbaik kepadaku, setelah itu kita pergi mencari Hyuna Sada.""Apa? Bukankah Hyuna sudah meninggal, Tuan?""Tidak, yang meninggal adalah Gistara, sahabat Hyuna Sada." Arlo menjawab dengan mantap. Langkahnya
Among mulai gelisah. Sudah satu jam Arlo mengunci diri di dalam kamar Ayara. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan bossnya sejak dia mengabdi kepadanya, selama hampir dua puluh tahun. Among dapat merasakan, Arlo seperti merasa kehilangan atas kepergian Ayara. Kali ini Among yakin sekali, perasaan Arlo bukan lagi sekadar antara majikan dan pelayannya. Namun dia masih tetap menahan diri untuk memastikan itu. Ragu, tangan Among mengawang, hendak mengetuk pintu, tetapi takut mengganggu.Di dalam kamar Ayara, tangan dan tubuh Arlo bergetar hebat. Pandangannya membulat demi melihat apa yang dia temukan di bawah bantal Ayara. Tadinya dia hanya penasaran dengan pisau kecil yang dilihatnya di samping bantal. Arlo ingin memastikan, benda yang selalu terselip di rambut Ayara itu sekuat apa. Selama ini Arlo bukan tidak tahu, Ayara selalu membawa senjata tersebut ke mana-mana. Bahkan ketika masuk rumah dan kamarnya. Tetapi Arlo tidak melarang, dan tidak pernah menyinggung hal itu. Bagi dia, itu buka
"Kita mau ke mana, Cashel?" Ayara memeluk erat pinggang Cashel yang menyetir motor dengan kecepatan maksimal. Mereka sudah empat jam perjalanan, dan sudah jauh meninggalkan desa. Dua kota juga sudah mereka lintasi. Hanya berhenti sebentar untuk membeli makanan dan minuman."Kenapa? Kamu capek?""Tidak. Kamu yang seharusnya istirahat," balas Ayara."Aku masih sanggup," balas Cashel, "kita juga belum boleh berhenti, karena polisi pasti sudah menyebarkan informasi ke beberapa kota terdekat."Ayara mengangguk, dalam hati ia merasa sedih karena harus melibatkan Cashel dalam masalahnya. Sementara Cashel sendiri memiliki masalah yang lumayan berat berkaitan masa depan hidupnya.Malam semakin merayap. Ayara dan Cashel berhenti di sebuah rumah sederhana di pinggiran hutan. Tubuh keduanya sudah sangat letih, ketika seorang pria dengan perawakan tinggi besar menyambut keduanya. Itu adalah salah seorang sahabat Cashel yang dulu pernah peroleh bantuan darinya. Malam itu mereka menginap di rumah te
Cashel benar-benar merasa geram ketika melihat motor dan mobilnya telah dirantai dengan kuat di garasi miliknya. Dia tidak pernah menyangka Nawang Nehan ayahnya benar-benar tega melakukan ancamannya. Bahkan di saat duka kehilangan ibunya belum hilang dari hati Cashel.Ditariknya rantai itu dengan penuh kemarahan, namun benda itu sama sekali tidak bergerak."Siapa yang melakukan ini?" Teriaknya. Penjaga Gerbang Dalam tergopoh mendekati."Siapa yang melakukan ini?" ulang Cashel seraya meraih kerah baju penjaga yang mendekatinya."Saya sungguh tidak tahu, Tuan," jawab penjaga dengan napas tersengal."Bagaimana kamu tidak tahu, sedangkan kamu yang berjaga di sini?" Cashel melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Penjaga terjatuh beberapa langkah ke belakang."Maafkan saya, Tuan, saya sungguh tidak tahu," gumamnya sekali lagi, seraya menggeleng pelan.Sama sekali tak terlintas di benak Cashel, ayahnya yang selama ini bersikap lembut kepadanya dan kepada semua anak-anaknya, kini bisa sejahat
PART 35. Misteri Kematian Hyuna Sada Ayara melepas tatapan penuh kebencian kepada Arlo. Hatinya sungguh terluka, pria itu sama sekali tidak pernah bisa menghargai perjuangannya, yang sudah berusaha totalitas melayaninya. Dia tidak pernah menyangka, ternyata selama ini Arlo hanya memandangnya tidak lebih dari seorang budak belian jaman dahulu kala. Yang tidak mengapa dimiliki dan dilepas kapanpun dia mau. Sekuat tenaga Ayara menahan air matanya, agar tidak menetes di depan pria, yang mulai detik itu, akan dia anggap sebagai musuh terbesarnya. Selamanya. Ayara berjalan mengikuti langkah polisi, yang membawanya dengan kedua tangan diborgol. Tak dipedulikannya bisik-bisik beberapa pelayan yang melihat kejadian tersebut. Saat mereka hampir keluar dari Gerbang Dalam, sebuah suara memanggil nama Ayara. Mereka berhenti sebentar, untuk memberi kesempatan sosok yang memanggil itu mendekat. “Apa yang terjadi?” Gemetar suara itu bertanya. Dia tidak percaya anak yang dulu dia rawat dan besarka