“Berikan dulu nomor itu padaku, Bi! Atau gak akan ada uang sama sekali yang akan aku keluarkan untuk Bibi! Gimana?” Nuria menatap tajam. Wajah Bi Lela semakin memerah dibuatnya sekarang. Bi Lela berdecak, lalu menatap tajam pada Nuria. Gak menyangka, keponakannya yang penurut sudah berubah. Apakah mungkin kekuatan uang bisa sebegitu dahsyatnya? “Kamu sudah berani sama Bibi sekarang ya, Nur! Menolak dan melawan Bibi, sama saja cari mati.” Dia menyeringai, raut wajahnya yang ditekuk perlahan berubah dipenuhi seringai tajam. Nuria hanya menarik napas panjang. Lelah, itu yang dia rasakan setiap kali beradu debat dengan orang seperti Bi Lela. Nuria belum menjawab, ketika Bi Lela melanjutkan kalimatnya. “Nuria keponakanku yang manis, sayangnya gaya OKB kamu gak bakal bisa nekan Bibi. Sekarang sih, semua terserah sama kamu … mau pinjami Bibi uang, atau Bibi buat Ibu kami membenci kamu. Ingat, Nur … Mbak Fatma sangat membenci Juragan Arga. Kamu lupa, ya? Mbak Fatma pergi jadi TKW ke luar
“Bu Anggi, mari mau minum apa?” Bi Lala tak menjawab pertanyaan Anggita, tetapi dia gegas mengalihkan pembicaraan. Dia pun mengisyaratkan Nuria untuk gegas ke dapur, tak berlama-lama di sana. “Ahm gak usah Bi Lala, saya hanya mau mengambil barang Celia yang tertinggal. Kebetulan tadi sekalian lewat! Lagian, saya bawa minum sendiri, kok!” Anggita menjawab pertanyaan Bi Lala seraya menunjukkan kaleng softdrink yang sudah terbuka di tangannya, tetapi fokusnya pada punggung Nuria yang menjauh dan menghilang di balik pintu yang menghubungkan ke dapur.“Bi Lala … apa dia sepolos penampilannya?” Anggita masih tertarik membahas Nuria. Bi Lala memaksakan diri tersenyum dan mengangguk.“Seperti yang Bu Anggi lihat, Nyonya Nur masih sangat belia.”“Apakah bukan serigala berbulu domba, Bi? Yang pura-pura polos, tetapi sebetulnya mengincar kekayaan harta benda milik kakak saya?” Anggita berbicara pada Bi Lala, tetapi semua itu seperti dia lontarkan pada dirinya sendiri. “Bibi gak tahu, Bu! Nam
Hari ketiga yang ditunggu Bi Lela pun tiba. Sejak pagi dia melihat ke arah jalanan, berharap Nuria mengirimkan seorang utusan untuk mengiriminya uang. Namun hingga sore menjelang, tak ada kabar sedikit pun dari keponakannya itu. Tak ada sepeser pun uang yang Nuria kirimkan. “Mama, gimana sudah dapat uangnya, Ma?” Nirina yang sudah cantik dengan balutan kebaya dan riasan wajah yang paripurna menatap ibunya. Sore itu keluarga Rudi akan datang untuk meminangnya, meresmikan hubungan mereka berdua. “Kamu itu tahunya cuma uang sih, Rin! Si Nur gak ngasih, jangan tanya Mama melulu! Lagian coba kamu suruh di Rudi itu nanggung semua biaya, sih? Yang mau nikah ‘kan kalian, kenapa Mama yang harus repot gini!” Bi Lela menoleh pada Nirina. Lama-kelamaan, kesal juga rasanya. Yang membuat dia kesal karena keinginan Nirina untuk membuat pesta lebih mewah dari pada pesta pernikahan Nuria dan Juragan Arga. “Kok gitu sih, Ma? Mama kan orang tua aku. Kok ada orang tua yang pikirannya sempit kayak Mam
“Iya, Mama setuju, Yah! Semoga saja setelah disakiti keluarga si Rudi, Rina mau ya sama Juragan Arga. Tapi emangnya Juragan lagi mau cari istri baru lagi, Yah?”Bi Lela menoleh pada Paman Nursam yang tengah memijit pelipisnya. “Gampang itu, sih, Ma. Nanti biar Ayah tanyakan sama Pak Suryadi. Lagian si Rina juga gak kalah cantik sama si Nur. Bisa-bisa malah jadi istri kesayangan Juragan nantinya. Biar keponakan kurang ajar itu tahu diri. Mama pastikan saja bujuk Rina biar mau sama Juragan Arga, ya!” Paman Nursam bicara dengan berapi-api. “Iya, bener, Yah! Mama juga kesel sama si Nur. Mentang-mentang sudah jadi istri orang kaya, sudah seperti kacang lupa kulitnya. Biar Mama nanti bujuk Nirina, masa iya dia gak terpikat melihat ketampanan Juragan Arga. Mama saja kalau tahu keren sama ganteng kayak gitu mah, dari kemarin gak akan setujuin Si Rina sama Rudi, huh. Ayah juga gak bilang kalau Juragan masih ganteng.” “Ya mana ayah tahu lah, Ma. Lagian memang ayah juga gak pernah langsung ko
“B--bukan itu, Juragan. Saat ini, Nirina sudah dewasa … dia sudah siap untuk menikah! Apakah Juragan ada minat untuk tambah istri baru misalnya. Saya jamin, Nirina gak kalah cantik dari pada Nuria, Juragan!” Paman Nursam akhirnya bisa menyampaikan kalimatnya dengan lancar. Juragan Arga tertegun, ditatapnya lekat wajah lelaki paruh baya yang ada di depannya itu.“Pak Nursam bercanda?”“Tidak, Juragan. Saya serius. Waktu kemarin itu Nirina memang belum siap nikah. Sekarang dia sudah siap, Juragan.” Juragan Arga bergeming. Dia menautkan alis dengan tatapan yang tajam menatap Paman Nursam.“Bagaimana orang bisa dewasa secepat itu.” Seolah tengah berbicara dengan dirinya sendiri, Juragan Arga hanya memalingkan wajah. “Betul, Juragan. Kemarin itu Nirina sangat takut untuk menikah, tetapi sekarang sudah siap. Dia bahkan siap menjadi adik madu dari Nur, Juragan. Saya harap Juragan bisa mempertimbangkannya.” Lelaki dengan wajah tampan itu bergeming. Dia melirik sekilas pada Paman Nursam de
"Lagi pula! Saya tahu, salah satu alasan kenapa kalian menginginkan Nirina untuk menikah cepat!” Juragan Arga menepuk tangannya. Tak berapa lama tampak Suryadi berjalan dari arah pos security dan menghampirinya. “Tolong tunjukkan pada mereka, apa yang kamu ketahui, Suryadi!” titahnya. “Baik, Juragan!” Suryadi langsung berdiri di tengah-tengah mereka. Lalu dia mengeluarkan satu buah amplop. Lalu di tumpahkannya isinya. Semua mata memandang benda-benda yang tercecer itu. Seketika wajah Nirina memucat. Paman Nursam dan Bi Lela menoleh pada putrinya. Dengan tangan gemetar dia mengambil salah satu foto yang tergeletak. “S--siapa lelaki dalam foto ini, Rina?” Suara Bi Lela bergetar. Bahkan rasanya dirinya tak punya muka melihat gambar-gambar tak berpakaian dengan berbagai fose itu berserak di depannya. Nirina menunduk, jemarinya saling bertaut. Susah payah dirinya menelan saliva. Berharap tak harus menjawab apapun lagi. “Ini semua pasti hanya rekyasa? Kenapa Juragan berbuat seperti i
Nuria mengangguk, sentuhan tangan suaminya menyapu sekilas pipinya dengan lembut. Lalu juragan Arga bangkit dan kembali menggamit jemarinya. “Mari ikut aku, Istriku. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu. Hal yang sudah kupersiapkan lama, tetapi bingung seperti apa aku akan memberikannya.” Nuria hanya mengikuti langkah panjang-panjang itu dengan sedikit cepat. Hingga Juragan Arga terkekeh. Lalu melepas gamitan jemarinya. “Tunggu saja di sini. Abang lupa, kamu minimalis.” Lalu dia melangkah cepat menaiki tangga meninggalkan Nuria yang mematung di ruang tengah. Menatap foto keluarga di mana ada Saraswati, Celia dan Juragan Arga. Tak ada foto Nilam, rupanya itulah alasannya. Dia menikahi Nilam bukan karena cinta dan tak ada juga foto pernikahannya. Karena cintanya Juragan Arga masih untuk Saraswati … sedangkan untuknya hanya sebatas rasa tanggungjawab untuk menjalankan sebuah amanat.Tak berapa lama sosok tinggi tegap itu tampak menuruni tangga dengan tergesa. Kunci mobil sudah dia g
Juragan Arga menatap was-was pada Nuria. Namun gadis yang sudah terbiasa menjalani kerasnya hidup itu tersenyum pasti. “Abang … selama ini Abang sudah begitu baik denganku, maka izinkan aku untuk memberikan satu kebaikan saja untukmu. Aku akan berusaha menjadi Ibu dan sahabat yang baik untuk Celia … semoga saja aku bisa, Bang.” Lelaki itu mengangguk. Tak menyangkan istri kecilnya bisa berpikiran sedewasa itu. Bahkan dirinya sendiri yang rasanya masih belum siap jika pada kenyataannya, Celia dan Nuria tak bisa dipersatukan. Apalagi watak Celia yang begitu keras dan emosinya yang meledak-ledak. Mereka pun meluncur, menuju Kota Jakarta di mana Naima dan Celia masih berada di kediaman Anggita. Sepanjang perjalanan tak banyak percakapan yang terjadi. Sesekali Juragan Arga mengangkat telepon, entah ada update apa terkait pekerjaan atau hal lain. Nuria hanya menyimak saja. Jalanan kampung sudah terlewati, mereka mulai memasuki jalanan padat merayap yang membawa mereka ke pusat kota. Kema
Gus Rasyid berjalan dengan wajah datar tanpa ekspresi, dia tak menjawab dengan tepat pertanyaan dari Juragan Arga, tetapi langsung menghampiri Abimanyu. Lelaki yang tingginya hampir sama dengannya itu pun berdiri. Sepasang mata mereka bersirobok. “Sebesar apa kamu yakin bisa membahagiakan Celia lebih dari aku?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Gus Rasyid yang menatap intens pada Abimanyu yang memandangnya dengan wajah tenang. “Insya Allah sangat yakin. Aku sudah lama mengenalnya dan sangat tahu wataknya. Dia keras, tetapi lembut. Dia galak, tetapi baik. Dia itu pemarah, tetapi penyayang. Aku tahu banyak tentang dia … lebih dari yang kamu perkirakan!” Ucapan Abimanyu yang tampak tenang dan datar membuat Gus Rasyid tersenyum kecut. Dia pun menoleh pada Juragan Arga dan menatapnya lekat. “Papa … andai benar Celia memiliki perasaan padanya, sepertinya saya tak pantas lagi mempertahankan dia lebih keras. Karena menghapus jejak itu akan jauh lebih sulit dari pada membuat
“Dia Ibu saya, Non!” Sapaan khas itu sontak membuat Celia menoleh dan mencari sumber suara. Seketika kedua matanya membeliak melihat sosok yang tengah tersenyum dan berdiri tak jauh dari mereka. “A—Abimanyu?” lirihnya dalam gumaman. Tiba-tiba ada yang berdesir hangat dalam dada ketika manik mereka saling terpaku beberapa saat. “Masya Allah cantik sekali pakai kerudung seperti ini, Non.” Abimanyu tersenyum lalu menunduk lagi, seperti biasa dia tak berani memandang wajah manis itu lama-lama. Gegas dia melangkah dan memilih duduk pada tempat kosong di samping ibunya. Celia menunduk, dia menggigit bibir bawahnya dan sekuat tenaga menahan air mata yang menyeruak terjatuh. Hatinya yang tadi terasa hangat mendadak sakit. Perih ini bukan tanpa alasan, tetapi kenapa Abimanyu datang begitu terlambat. Kini bahkan hari pernikahannya hanya tinggal menghitung hari, lalu buat apa kedatangan lelaki itu ke sini. “Kakak … ayo duduk!” Nuria menarik lengan Celia agar duduk. “Enggak usah, Ma! Aku su
“Hmmm?” Nuria menatap lekat dan menunggu jawaban.Celia menarik napas panjang, lalu dia pejamkan mata seolah tengah menimbang. Namun tak lama, terdengar ucapan lirih dari bibirnya.“Abi … manyu.” Kedua sudut bibir Nuria tersenyum. Dia lalu bangkit dan berjalan meninggalkan kamar Celia yang sepertinya penasaran atas pertanyaannya yang tiba-tiba. Namun, Celia memilih diam. Sudah sebulan lalu dia kehilangan semangat hidupnya. Hanya menghitung hari, menunggu masa hari pernikahan yang sedikit bergeser itu akan tiba. “Mama harus berbuat sesuatu untuk kamu, Kak! Semoga tak terlambat!” batin Nuria seraya lekas berjalan menuju kamarnya. *** Dua minggu lagi hari pernikahan yang dijanjikan pun terasa sangat lama. Meskipun, Celia tak terlalu peduli ketika tampak ada beberapa perubahan rencana, termasuk surat undangan yang tak jadi disebar. Rasa heran dan penasaran pun tak dia lontarkan, Celia lebih memilih diam. Dirinya yang sudah patah arang hanya pasrah, Celia sudah tak lagi peduli pada apa
Semenjak hari pernikahannya dengan Gus Rasyid diputuskan. Celia menjadi lebih pemurung dari biasanya. Sehari-hari, selama sebulan ini hanya dia habiskan dengan mengurung diri di dalam kamar.Karena hal itu juga, Nuria menjadi lebih sering datang ke kamar putri sambungnya itu. Kadang mengajak Surya dan bermain di sana, kadang hanya duduk dan bercerita. Padahal Nuria berharap ada hal yang bisa dia dapatkan, sekecil informasi apapun akan sangat berguna untuk menjadi pertimbangan. Nuria paham, dijodohkan itu bukan hal indah yang diinginkan. Hanya saja, Celia sama sekali tak bercerita apakah ada lelaki lain yang dia inginkan.“Kak, Mama pinjam ponselnya bentar, ya! Mau telepon Papa! Quota Mama habis soalnya!” Nuria mengetuk pintu kamar Celia, lalu mendorongnya perlahan.“Hmm, ambil!” Celia menjawab dengan malas. Bahkan tak melirik ke arah Nuria yang berjalan mendekat ke arahnya. Dia sibuk dengan tablet baru yang isinya hanya games online dan tak ada akses ke sosial media mana pun. Dia mala
“Loss contact dengan?” Mutia melambatkan langkah lalu menatap wajah serius Abimanyu. “Dengan tujuan masa depanku, Mut yaitu Celia.” Abimanyu mengucap nama itu dengan senyuman yang mengembang. Raut wajah Mutia yang berbinar seketika mendadak murung. Ada sesuatu yang kasat mata terasa begitu sakit menusuk hatinya. Lelaki yang ada di depannya bahkan dengan begitu ringan menyebut nama perempuan lain di hadapannya. “Abi, aku mau ngomong sesuatu.” Mutia menghentikan langkahnya seraya menunduk. Dia mengumpulkan segenap keberanian. “Eh, tumbenan kayak serius banget?” Abimanyu menoleh pada Mutia yang tertinggal beberapa langkah di belakangnya karena menghentikan langkah mendadak. “Iya, Abi. Ini hal paling serius yang ingin aku bicarakan sama kamu. Bisa ke kantin?” Mutia menatap wajah lelaki yang lama-lama bisa menarik perhatiannya. Dulunya dia memilih Abimanyu karena dia melihat sosoknya yang lurus dan gak neko-neko. Selain itu, penampilannya yang teramat sangat ketinggalan zaman membuat
Abimanyu sedikit kaget ketika dia mendapati kabar kepulangan Celia dari Bu Ratna. Namun mendengar kabar katanya Celia sakit, akhirnya Abimanyu mengerti. Anak seperti Celia, mungkin tak bisa fighting sendiri sehingga ketika sakit harus kembali dekat dengan keluarga. Abimanyu berulang menghubungi Celia, tetapi nomornya selalu di luar jangkauan. Dirinya tak sadar, jika jemari yang dibubuhi segenap rasa cemburu itu sudah memblokir kontaknya. Akhirnya Abimanyu menghubungi Juragan Arga dan sedikit lega ketika mendengar kabar jika Celia baik-baik saja. Namun, sidang skripsi yang sudah ada di depan mata membuatnya harus fokus menyelesaikan semua hal yang harus diselesaikan. Masih ada satu kali lagi revisi yang harus dia kejar demi bisa ikut wisuda tahun ini. Abimanyu begitu bersemangat mengingat apa yang diucapkan Celia pagi itu. Kalimat tersirat yang seolah meminta dirinya peka dan memperjuangkannya. “Lili, doakan … semua sidang skripsinya lancar … setelah itu, aku baru akan fokus berjua
“Lili! Kenapa berbuat seperti ini? Apa kamu sengaja membuat Papa kehilangan muka di depan keluarga Kyia Usman, hah? Kamu kenapa melakukan hal seperti ini! Bukannya mamamu tadi ada tanya, jika memang ada lelaki yang sudah berniat baik meminangmu, tolong katakan! Jangan buat seperti ini, Papa malu, Lili!”Suara Juragan Arga bergetar antara marah, kesal, malu dan kecewa berbaur menjadi satu di dalam dadanya. Celia menatap wajah Juragan Arga lalu menjawab dengan santai. “Aku hanya ingin, suamiku dan keluarganya menerima aku apa adanya, Pa! Andai aku harus menjadi orang lain, maka yang mereka sukai, bukanlah aku, tapi orang lain itu. Lalu, apa Papa pikir enak kalau aku kelak nikah dan harus menjadi bayang-bayang orang yang sangat senggak aku banget, Pa? Buat apa? Apa Papa pikir aku bisa bahagia kalau seperti itu?”Juragan Arga bergeming dan tampak mengatur napasnya yang memburu. Kedua tangannya mengepal akibat kemarahan yang tengah berusaha dia kendalikan. “Bukan gini caranya, Lili! Perc
Perasaan Celia merasa lega ketika pada akhirnya dokter memperbolehkan Juragan Arga pulang setelah satu minggu lamanya dirawat di rumah sakit. Meskipun, hati kecilnya merasa heran, bukannya katanya ada virus berbahaya yang bersarang di dalam tubuh Papanya. Namun, kenapa bisa pulih secepat itu. Bahkan sampai kepulangan Juragan Arga, Celia tak mengetahui jenis penyakit apa yang diderita Juragan Arga sebetulnya. Perasaan senang dan lega itu berkecamuk menjadi buruk ketika Nuria mengabarkan, sore nanti akan ada kunjungan dari keluarga Gus Rasyid ke rumahnya untuk membahas hari pernikahan mereka. “Kakak, sore nanti pakai baju ini, ya!” Nuria membawa satu set gamis dengan kerudung lebar dan meletakkannya di lemari Celia. Pakaian yang berantakan sudah dia rapikan juga. Begitulah Nuria yang menjadi lebih dekat dan semakin dekat saja dengan putri sambungnya itu. Banyak hal dari mereka yang bertentangan, jika Nuria lemah lembut, Celia keras dan meluap-luap. Jika Nuria rapi dan teliti, maka Ce
"Hah? Nikah sekarang?!” Celia sontak memutar tubuh dan melotot menatap lelaki yang terbaring lemah itu. Juragan Arga tersenyum samar. “Kalau kamu bersedia, lebih cepat, lebih baik! Papa mohon … Papa takut usia Papa tak lama lagi, Lili. Kamu dengar sendiri dari Mama kamu kalau dari pihak rumah sakit sendiri belum bisa mendeteksi virus asing yang bersarang di tubuh Papa … kalau Papa pergi, kamu sama siapa nanti? Papa tak ingin kamu salah jalan dan salah pergaulan, Lili ….” Lelaki itu menatap dengan air mata yang pertama kalinya dia tunjukkan di depan putrinya itu. Dirinya berharap, dengan seperti itu, Celia akan luluh dan bersedia menikah secepatnya dengan lelaki yang dia yakini adalah yang terbaik untuk Celia. Celia bergeming. Tiba-tiba terbayang lelaki yang ada di depannya itu terbujur kaku. Perasaan bersalah dan sesal itu menyelinap ke dalam dadanya. Dia mendongakkan wajah agar air mata yang memburu menyeruak itu tertahan. Begitulah hatinya Celia yang begitu sensitif, meskipun kera