Memicingkan matanya pada tamu tak diundang yang mendadak duduk bersilang kaki di ruang kerjanya. Ralat, tidak pantas disebut tamu, ini lebih cocok masuk kategori penyusup. Alana berkacak pinggang, menatap tak suka pada lelaki sepantaran dengannya yang tengah memamerkan senyuman tipis nan licik di bibirnya. "Selamat pagi, Bu Alana," sapanya dengan nada menyebalkan. Siapa sih yang membiarkan lelaki ini masuk kedalam ruangannya pagi- pagi begini? Suasana kantor masih amat sangat lenggang, hanya ada beberapa pekerja yang sampai di meja masing- masing. Melirik jendela ruangan yang terbuka lebar seolah memberinya jawaban bahwa pria gila dihadapannya itu benar- benar masuk lewat frame lebar yang mudah dibobol. Rasanya seperti keluar dari kandang harimau lalu terperangkap bersama buaya. Alana yang tadinya tengah menghindar, mau tak mau berangkat cepat- cepat tanpa membangunkan suaminya yang tadi masih tidur memeluknya. Meskipun Alana benar- benar ingin protes se
"Berandal gila!" Dentingan sendok yang dilempar Adara mau tak mau menarik perhatian beberapa pengunjung resto. Alana yang duduk dihadapannya setengah malu akan perangai sahabatnya yang selalu menanggapi cerita dengan emosi mendidih. Memang sejak awal Adara tak pernah menyukai Saddam, entah karena apa. "Kalau tahu dia akan bertindak senekat itu, harusnya sejak awal kuminta ayah menempatkan beberapa bodyguard di perusahaanmu!" tambah Adara lagi dengan memelankan sedikit nada suaranya. Alana melotot tak terima, "tidak tidak! Bukannya Saddam yang takut, namun justru para karyawanku yang merasa terintimidasi oleh orang- orang suruhan itu," Alana bergidik mengingat saat beberapa minggu lalu ada beberapa bodyguard berjaga di perusahaannya dan membuat para karyawan jadi tidak nyaman karena seolah terus diintai. Adara kembali mengambil sendok yang tadi dilemparnya. Menyendok makanan di piring mahal yang baru ia suap beberapa sendok saja. Dia sudah mual dari awal, n
"Baru pulang?" Lampu remang-remang di ruang tamu, Alana pikir suaminya sudah tidur lebih dulu. Tapi dugaannya salah, Arkasa justru tengah duduk bersidekap di sofa sembari memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Alana membalasnya dengan satu deheman kecil. Gadis itu sebenarnya hendak menghindari Arkasa makanya ia pulang larut setelah menghabiskan girls time bersama Adara. Dia pikir itu akan mengenyahkan kegundahan miliknya sejak semalam, tapi ternyata tidak seratus persen efektif. Lelaki itu seakan bangkit dari singgasananya, tubuh tegap dan cukup berotot miliknya seakan menutupi pandangan Alana dari seluruh elemen ruangan yang ada dibelakangnya. Mata tajam yang tengah menghunus menatapnya menguarkan aura jerat yang membuat Alana terjebak dalam fokus. Arkasa dalam beberapa hitungan detik telah berdiri dihadapannya seperti pemangsa buas yang hendak melahapnya hidup- hidup. "Kamu pergi kemana sampai larut malam begini? Saya susul ke kantor katanya k
Netranya berkilat, jelas menyiratkan tatapan macam apa yang tengah Arkasa hadiahkan pada istrinya yang memerah. Rekah di bibir Alana yang sedikit terbuka dan dadanya naik turun karena terus meraup udara. Arkasa sengaja memberi jeda setelah ciuman panas mereka hanya untuk melihat bagaimana reaksi Alana. Kalau dilanjutkan, Arkasa pasti tak akan bisa lagi mengendalikan diri. Alana yang terengah begini saja sudah membuat iman tipisnya teruji. Bagaimana kalau dia bertindak lebih jauh? Sial, Alana malah menjilat sedikit bibirnya dan pemandangan itu tidak luput dari mata Arkasa pastinya. Tangan besar Arkasa terulur untuk merapikan kembali helaian rambut istrinya yang sempat berantakan karena tanpa sadar ia acak sebelumnya. Melihat Alana belum mengeluarkan respon kata apapun, Arkasa menyatukan kembali kening mereka dan menikmati nafas terengah keduanya. "Kamu bisa pegang omongan saya, yang kemarin itu bukan apa-apa," Arkasa menjeda untuk kembali menga
Kalau saja benda mati bisa bicara, mungkin bantal dengan sarung warna abu itu sudah protes keras akibat jadi sasaran empuk ketidakjelasan Alana. Belum lagi selimut tebal dengan warna senada yang sudah teronggok di lantai akibat dia tendang tak karuan. Sekembalinya dari kamar Arkasa kemarin, dia dengan riang mandi bahkan bersiul dan tidur super lelap. Tapi kenapa pagi ini tiba-tiba jadi begini? Mengingat momen semalam dan membuatnya berguling serta memukul- mukul bantal tak bersalah miliknya.Kaki jenjang Alana akhirnya perlahan menyentuh dinginnya lantai kamar kala wanita itu berhasil membawa dirinya untuk bangkit dari ranjang. Berhenti tepat di depan cermin dan menilik wajahnya yang bersemu akibat bayangan kotor yang langsung melintas saat dia baru bangun tadi.Komat kamit di depan cermin seolah berusaha memberi afirmasi positif untuk mengawali hari. Semuanya baik-baik saja! Berusaha mengingatka
Suara lenguhan menjijikan yang terdengar bersahutan membuat wanita berambut pendek yang baru saja berhasil masuk kedalam flat memutar bola matanya malas. Ia masih sempat mengisi gelas dengan sedikit air sebelum sepatu hak tingginya melangkah makin dekat menuju ruangan sumber suara.Adara membuka pintu dan mengacaukan fokus dua insan diatas ranjang yang hampir sama-sama mencapai puncaknya mungkin. Raut kesal tak dapat sang laki- laki sembunyikan saat Adara menghampirinya dengan wajah datar dan kelewat santai. Ditambah lagi wanita itu dengan ringan menyiram keduanya dengan air yang dibawanya tadi."Apa- apaan kamu, Dar?" teriak marah laki- laki yang kini beringsut menjauh dari tubuh wanita berambut pirang.Adara menyilangkan dua tangannya di dada, "kita bisa bicara setelah kamu usir jalang nomor sekianmu ini dari sini," balasnya sembari kini meneliti wanita yang mencuri pandang kearahnya dengan tatapan takut- takut.Laki-laki i
Arkasa menyugar rambutnya kebelakang dengan gerakan perlahan. Mata tajamnya masih meneliti satu per satu halaman kertas yang tertumpuk di meja kerjanya. Jemarinya sesekali mencoret tanpa ampun dan memberikan catatan kecil untuk perbaikan. Ujung jarinya menyentuh frame kaca mata kerja yang tengah ia kenakan setelah beberapa halaman isa periksa. Layar ponselnya menyala, menampakkan satu pesan masuk dari istri kesayangannya yang akhirnya membalas pesannya setelah sekian lama. Arkasa tersenyum kecil saat melihat jawaban jutek yang wanita itu balaskan padanya. Dia tak peduli, yang jelas Alana sudah membalas pesannya. Setelah mengetikkan beberapa kata balasan, Arkasa meletakkan kembali ponselnya agar bisa fokus pada pekerjaan lagi. Sejujurnya, seberapa besarpun dia berusaha fokus pada pekerjaan, bayang- bayang Alana terus mengusiknya. Entah sejak kapan senyum dan semua ekspresi yang gadis itu keluarkan seolah menjadi tontonan paling menarik buat Arkasa.
Panggilan dari mama mertua kadang bak sirine yang membuat Alana panik hingga harus meninggalkan sebagian pekerjaannya hari ini. Bukan masalah besar sebenarnya, terutama karena dirinya adalah tipe yang mengerjakan sesuatu sejak jauh- jauh hari sehingga untungnya tak ada schedule mendesak hari ini. Hanya saja, pemandangan yang didapatinya ketika sampai di kediaman megah utama keluarga Pradipta sedikit membuatnya jengkel.Alana mengaduk jusnya perlahan, mencuri pandang setengah kesal bercampur bingung kearah gadis muda yang nampak ceria bergelendot manja di lengan kekar suaminya. Tak ada satupun yang terlihat hendak menjelaskan situasi ini padanya sejak ia menginjakkan kaki lima belas menit lalu. Bahkan suaminya hanya melempar senyum tipis padanya tanpa mengutarakan sepatah katapun.Meskipun rumah besar ini punya sistem pendingin yang pastinya berfungsi normal, Alana yang sudah terlanjur kegerahan akhirnya lebih memilih menyusul mama mertuanya di dapur. Dengan da
Semua orang yang berada dalam perhelatan sederhana namun meriah malam ini jelas melihat binar kebahagiaan di wajah pasangan luar biasa itu, Arkasa Dean Pradipta dan istrinya Alana Diandra Yasmin. Ketika mereka menikah empat tahun lalu, seluruh kota membicarakan kombinasi luar biasa tersebut. Bagaimana tidak? Arkasa Dean Pradipta memang sudah digadang- gadang menjadi pewaris utama dan punya latar belakang yang bersih luar biasa. Tidak pernah ada media yang mengendus kedekatannya dengan gadis manapun. Padahal ada banyak sekali keluarga kaya dari kalangan pengusaha atau bahkan politisi yang berusaha menjadikannya sebagai menantu mereka. Nyatanya, keluarga Pradipta tak pernah terjebak ataupun berusaha menjodohkan Arkasa dengan siapapun. Sebab lelaki itu tinggal diluar negeri selama bertahun- tahun, orang- orang berpikir dia mungkin memiliki seorang kekasih disana. Sampai akhirnya dia kembali ke Indonesia dan langsung dikabarkan meminang Alana Diandra Yasmin, putri tunggal salah seorang a
"Sudahlah, pengantin baru tidak perlu diajak! Mereka pasti belum bangun," Tuan Pradipta menarik lengan istrinya yang hendak melangkah keluar pendopo. Seolah menjadi tradisi mereka, jikalau sedang berkumpul begini keluarga itu akan makan bersama. Namun menyadari situasi saat ini, besar kemungkinan Adara dan Bayu bahkan belum bangkit dari ranjang. Nyonya Pradipta terkikik saat aru menyadari bahwa telah ada beragam perubahan dalam tubuh keluarga itu. Kini sudah melingkar Tuan dan Nyonya utama Pradipta, Alana, Arkasa,dan tak lupa bayi mungil yang sibuk di meja bayi. Kehadirannya tentu bak sihir yang membuat suasana disini menjadi semakin ceria. Terbukti dari tawa gemas yang sangat jarang muncul dari Tuan Tua Pradipta. "Sandi semalam rewel tidak, nak?" Tanya Mama Tiana.Alana sibuk membersihkan sisa susu di sudut bibir putranya, ia tersenyum kecil pada mertuanya yang baru saja bertanya."Aman kok, ma. Dia sempat bangun sekali namun setelah diberi susu langsung tidur lagi," jawab Alana s
Jika memang sudah garis yang ditentukan tuhan, maka terjadilah. Mungkin itu juga yang terjadi pada kisah Adara. Setelah penghianatan dan kesalah pahaman di masa lalu, ada banyak sekali jalan yang pada akhirnya kembali mempertemukannya dengan Bayu. Sekalipun Adara telah berusaha menolak berulang kali, kegigihan Bayu pada akhirnya berbuah manis. Bayu bahkan berhasil mendapatkan kembali kepercayaan Tuan Pradipta setelah sebelumnya sempat bersitegang. Semua itu tidak terjadi secara instan, ada proses panjang yang melatarbelakangi semuanya. Alana tak banyak ikut campur dengan kisah cinta bersemi kembali antara Adara dengan Bayu. Dia ingat tiga bulan lalu saat Adara ke rumahnya untuk seperti biasa bermain bersama Sandi. Bedanya, hari itu Adara membawa serta Bayu ke hadapannya dan Arkasa. Seolah berusaha mendapatkan restu dari Alana dan Arkasa lebih dahulu sebelum akhirnya kembali mengais restu dari orang tua. Alana dan Arkasa sepakat untuk tidak banyak mengambil andil. Mereka membiarkan
"Astaga Mas Arka!"Alana menggeleng- gelengkan kepalanya tak habis pikir. Dia baru saja selesai menyiapkan setelan pakaian untuk keluarga kecilnya ketika menyadari bahwa dua jagoannya belum juga keluar dari kamar mandi setelah hampir tiga puluh menit. "Mas! Sudah selesai belum?""Sepuluh menit lagi, Al!"Ibu satu anak itu berdecak sembari berkacak pinggang. Sebelumnya juga Arkasa sudah memberikan jawaban yang sama, namun sampai sekarang mereka berdua tidak kunjung keluar kamar mandi. Dari luar saja Alana sudah bisa mendengar riuh tawa dua jagoannya itu berpadu dengan suara air, putranya bahkan sampai cekikikan senang. Alana memang memberikan mandat pada sang suami untuk memandikan Sandi selagi dia menyiapkan pakaian dan beberapa keperluan untuk dibawa. Namun sepertinya dia lupa bahwa setiap kali Arkasa dan putranya itu bersatu pasti akan ada keriuhan dari kekompakan nakalnya mereka."Lho, belum selesai mandinya?"Alana setengah melotot saat membuka pintu kamar mandi. Menemukan bahwa
"Baju yang biru aja deh, Al! Lebih lucu! Eh tapi yang kuning kelihatan lebih mencolok! Duh, yang mana ya?"Adara saat ini turut membantu atau lebih tepatnya merecoki Alana di rumahnya. Dia sedari tadi bingung sendiri menentukan baju mana yang akan digunakan Arsena hari ini. Padahal seluruh baju yang dipilih merupakan hadiah dari Adara. Saking banyaknya, Adara sendiri jadi bingung mau memilih yang mana untuk dipakai ponakannya itu hari ini.Alana hanya bisa menggeleng- gelengkan kepala karena tingkah adik ipar sekaligus sahabatnya itu. Dia sudah selesai mengoleskan telon dan lain- lain di tubuh putranya, namun Adara yang sedari tadi kekeuh ingin memilihkan baju justru masih bingung sampai mengeluarkan semua pakaian di atas tempat tidur."Yang mana aja, Dar! Kita kan lagi gak mau kemana- mana juga. Kenapa kamu jadi rumit begitu??"Alana melangkah melewati kebingungan Adara sembari mengambil satu stel pakaian berwarna biru cerah disebelah sahabatnya. Melihat Alana menentukan pilihan memb
Alana Point of View "Makan dulu yuk, Al!" Mas Arka muncul dari balik pintu sembari tersenyum teduh kearahku. Aku yang baru saja meletakkan Arsena di ranjang bayi hanya membalasnya dengan sebuah senyuman simpul. Dia merangkul bahuku hangat sembari menggiring menuju ruang makan. Ini sudah pukul sebelas malam. Keluarga kami baru saja pamit kembali ke rumah masing- masing setelah hampir seharian bermain bersama disini. Tadinya mama, bunda, dan Adara mau tinggal, namun kompak aku dan Mas Arkasa larang. Kami tahu, kalau mereka semalaman disini pasti akan ikut begadang dan lelah. Mama dan Bunda sudah terus berada di rumah sakit selama aku dirawat disana, sementara Adara benar- benar baru saja sampai setelah sekian belas jam penerbangan. Akan lebih baik jika mereka istirahat dengan nyaman malam ini. Banyak sekali ilmu yang kudapat dari mereka yang tentu sudah lebih berpengalaman. Mama dan bunda terutama banyak memberikan wejangan dan tips tentang dasar- dasar merawat bayi. Sebelumnya a
Beberapa manusia dengan pakaian serba hitam mulai berjalan menjauhi pusara. Aneka karangan bunga turut menghiasi disana. Suasana haru juga terasa karena sedari tadi terdengar isakan tangis di beberapa sudut. Dibawah langit cerah yang tak begitu terik, seorang laki- laki bertubuh atletis meletakkan karangan bunganya. Duduk bersimpuh menatap pusara yang benar- benar baru ini. Dia menundukkan kepalanya, memberikan doa dan sebuah penghormatan terakhir untuk yang berada dibawah batu nisan. "Aku harap, kamu dapat beristirahat dengan tenang." Ia meletakkan buket bunga putih menemani karangan yang lainnya juga. Tubuh jangkungnya sempat tersentak kaget saat merasakan sepasang tangan dengan jemari lentik menekan bahunya. Arkasa menengadah menatap kaget sosok yang kini tersenyum kecil kearahnya. "Aku juga ingin mengucapkan salam perpisahan kepadanya." Meskipun ada banyak yang berkecamuk di kepala, Arkasa membiarkan wanita disebelahnya untuk mulai bersimpuh. Menyentuh nisan dan tersenyum
Masih percaya kekuatan takdir?Katanya, tidak semua yang kita inginkan bisa didapatkan dalam hidup ini. Bahkan ketika manusia mengklaim telah melakukan beragam usaha hingga titik darah penghabisan. Jika memang bukan itu jalan yang digariskan, maka tak akan tercapai jua.Di satu sisi, kalimat tak ada hasil yang menghianati proses juga masih relevan. Banyak orang yang harus melewati beragam kesulitan dan rintangan untuk mencapai tujuannya. Waktu yang diperlukan pun tidak main- main. Namun pada akhirnya dia juga mencapai hasil akhir yang indah. Meskipun mungkin tidak sesuai dengan rencana awalnya.Namun yang menjadi benang merahnya sekarang adalah seberapa realistis tujuan yang ingin manusia capai? Sekalipun telah berusaha dengan keras, apakah cara yang digunakan memang cara yang benar dan sudah seharusnya?Hidup itu mudah dan juga sekaligus sulit. Manusia dituntut untuk tidak mudah menyerah, namun juga diminta untuk tetap realistis. Sejatinya, tak ada usaha yang sia- sia. Kadangkala ki
Derap langkah flatshoes mahal itu menyerbu lorong dengan tergesa. Ditengah keramaian yang cukup padat, wanita parubaya itu membelah lorong buru- buru. Bau khas rumah sakit menemaninya sepanjang perjalanan hingga akhirnya sampai dalam sebuah lorong yang lebih sepi. Diatasnya tertulis ruangan utama khusus VVIP.Nyonya Pradipta masuk kedalam ruangan tanpa bisa membendung kekhawatiran yang nampak jelas di wajahnya. Segera setelah ia menerima kabar mengenai kejadian naas tersebut, dia langsung mengambil penerbangan tercepat untuk kembali ke kota asalnya. Dia berhambur memeluk suaminya yang sudah lebih dulu berdiri cemas di depan pintu bersama dengan besannya. Ayah dan bunda Alana jelas nampak terpukul akibat kejadian yang begitu tiba- tiba ini. Nampak juga Arta yang Rosaline mondar- mandir panik sembari sesekali menerima telepon entah dari siapa."Bagaimana keadaan mereka?" Sebagai satu- satunya yang masih bisa menampakkan sedikit ketenangan, Tuan Pradipta membelai punggung istrinya yang