"Kalau Mas Kaivan tetap tidak berubah, masih suka belanja begini-begini tiap hari, dan kalau sampai besok Mas tetap keukeh beliin perlengkapan bayi lagi-- mau cowok atau cewek, awas saja! Anakmu lahir langsung ku titipkan dia ke panti asuhan!!"Kaivan dengan kikuk menggaruk tengkuk, terkekeh pelan sembari menatap istrinya dengan sorot geli. "Iya, Sweetheart.""Humm." Rachel meraih tangan suaminya, kemudian menyalimnya dan mencium punggung tangan Kaivan, "gih, mandi, Mas," ucap Rachel. Kaivan menganggukkan kepala, mengecup bibir Rachel singkat kemudian beranjak dari sana untuk melaksanakan perkataan istrinya. ***"Sweetheart, bantu aku memakai baju," ucap Kaivan, menyerahkan bajunya pada Rachel. Kemudian dia duduk di pinggir ranjang.Sedangkan Rachel, dia menghela napas dan menurut untuk membantu suaminya tersebut memakai baju. Yah, jangan ditanya! Kaivan memang manja, melebihi putra mereka. Kaivan melingkarkan tangannya di pinggang istrinya, mendongak sembari menatap Rachel dengan
"Mama, Danial ingin mewarnai mobilnya dengan warna gray," celutuk Danial pada Mamanya– keduanya di depan tv yang ada dalam kamar Rachel maupun Kaivan, duduk di atas karpet berbulu sembari menggambar dan mewarnai. Kaivan tak jauh dari mereka, pria itu bekerja di kamar ini– di meja kerjanya yang dibatasi oleh rak tembus pandang. Berisi beberapa dokumen dan hiasan. "Ck." Kaivan berdecak kesal. Ini sudah dua jam setelah dia merajuk. Namun tak ada tanda-tanda jika putranya akan keluar dari kamar ini, serta tak ada juga tanda-tanda Rachel berniat membujuknya. "Tampan, coba kasih warna merah di mobil satunya," ucap Rachel dengan pelan namun masih bisa didengar lelah kaivan. 'Kapan terakhir Ichi memujiku tampan?' batin Kaivan, semakin panas dingin dan dongkol di tempatnya. Kenapa Rachel harus memuji Danial tampan?! Come on! Kaivan cemburu dan ingin dipuji juga. "Mama sangat cantik," celutuk Danial tiba-tiba, bertopang dagu sembari menatap lamat dan penuh kekaguman pada Mamanya. Bahkan an
"Ini, My Queen." Kaivan memberikan sebuah eskrim dengan ukuran sedang ke arah istrinya. Rachel tersenyum manis, menerima eskrim tersebut dengan senang hati. "Terimakasih, Mas Kaivan yang baik hati." "Humm." Kaivan hanya berdehem, duduk di sebelah istrinya–memangku kaki Rachel lalu memijit dengan lembut kaki istrinya. "Danial sudah aman?" tanya Rachel. Seolah pertanyaan Rachel tersebut layaknya sinyal, Kaivan seketika menyunggingkan smirk manis di bibirnya dengan air muka yang langsung berubah cemerlang. "Humm. Dia sudah mendapatkan apa yang dia mau. Dan … dia tidur dengan Kakaknya." "Jika Mas mau, bilang saja," ucap Rachel tiba-tiba, tersenyum geli ke arah Kaivan dengan raut geli. Ekspresi Kaivan yang seperti ini mirip seperti bocah kesenangan. Cik, benar-benar menggemaskan dan lucu. Ingin rasanya Rachel mengarungi suaminya ini, sangking lucu dan menggemaskannya. "Jelas mau." Dengan antusias dan senyum lebar, Kaivan menganggukkan kepala. "Nah." Rachel menyodorkan cup es krim
Karena trauma dengan kejadian lima tahun silam, saat Rachel melahirkan Danial, Kaivan memilih menunggu diluar dan menolak keras menemani istrinya melahirkan. Dia menyerahkan tanggung jawab tersebut pada Mama mertuanya. Namun, meskipun menunggu diluar, perasaan Kaivan tetap saja khawatir dan dipenuhi oleh takut. Dia beberapa kali mondar-mandir di depan ruang istrinya melahirkan; gelisah dan cemas karena sudah satu jam, anak mereka belum jua lahir. Diluar, dia ditemani oleh Hansel, Papa mertuanya, dan juga William. Sedangkan Jake pergi untuk menjemput adiknya ke sekolah TK. "Kaivan, tenang dulu, Nak. Duduk dan coba tenangkan pikiran kamu," tegur Dean saat melihat menantunya tersebut terlihat khawatir berlebihan. "Aku tidak bisa tenang, Ayah," ucap Kaivan dengan nada bergetar. Walau sebenarnya kejadian lima tahun silam adalah kesalah pahaman tetapi tetap saja Kaivan sekarang merasa takut. Bayang-bayang istrinya menahan sakit dan berjuang melahirkan putra mereka saat itu, terus mengi
Terdengar suara tangisan bayi, melengking dan memenuhi ruangan tersebut. Kaivan menghela napas pelan, menoleh ke ranjang khusus bayi kemudian berniat ke sana untuk menimang putrinya yang sedang menangis. Kaivan saat ini bekerja dalam kamar, sebenarnya sudah lewat dari tengah malam. Ah, sudah hampir jam dua. Perjaannya hampir selesai, tetapi dia harus menunda dulu karena putri kecilnya menangis. Dayana Auristela Kendall.' Nama putri kecilnya tersebut yang berusia empat bulan lebih. Yah, ini beberapa bulan setelah kelahiran putrinya, Dayana-- gadis kecilnya tersebut tumbuh dengan sehat dan terlihat semakin cantik serta menggemaskan di mata Kaivan. Baru beberapa langkah, kaki Kaivan sontak berhenti– menatap istrinya yang terbangun dan langsung menghampiri tempat tidur Dayana secara sigap. Rachel langsung menimang putrinya tersebut. Ia sebelumnya sudah men-cek apakah putrinya buang air karena biasanya anaknya ini suka sekali menangis kala dia buang air. Namun, Dayana tidak sedang p
Kaivan awalnya tersenyum kala melihat putrinya yang sudah cantik, mengenakan gaun bayi, sepatu dan juga bando berbahan rajut yang menggemaskan di kepala Dayana. Namun, senyuman Kaivan seketika pudar saat dia beralih menatap istrinya. Sangat … berantakan! Kaivan menurunkan Danial dari gendongannya, menurunkannya dan mendudukkannya di lantai yang beralaskan karpet. Setelah itu dia meraih Dayana dari gendongan istrinya kemudian mendudukkan Dayana di pangkuan Danial. "Danial dan Dayana menonton dulu." Kaivan berucap datar pada Danial– di mana putranya tersebut menganggukkan kepala dengan patuh, mungkin takut dengan raut wajah Kaivan dan juga nada bicara sang Papa. Kaivan kemudian berjalan mendekati istrinya, mengulurkan tangan dan langsung mengancing blus Rachel yang terbuka beberapa bagian– memperlihatkan keindahan istrinya.Shit! Untung tak ada penjaga di sini atau lawan jenis di sini. "Kancing bajumu terbuka dan kau membiarkannya," geram Kaivan dengan pelan, langsung meraih pergel
"Kau mau kemana?" tanya Kaivan sembari menahan pergelangan tangan Rachel yang berniat pergi dari ruang kerjanya ini. Kaivan sekarang berada di ruang kerjanya, sengaja menyuruh Rachel membuatkan kopi untuknya agar perempuan ini menemaninya bekerja. Sekaligus membicarakan pertengkaran mereka tadi. "Aku ingin menemui anak-anak," jawab Rachel, melepaskan tangan Kaivan dari pergelangannya dan berniat pergi dari sana. Namun, lagi-lagi Kaivan mencekal pergelangan tangan Rachel, menyentaknya juga dan membuat Rachel berakhir duduk di atas pangkuannya. Rachel memberontak dan berniat turun dari pangkuan Kaivan. "Mas Kaivan, aku harus menemui anak-anak. Mereka sendirian dan tak ada yang menjaga," alibi Rachel, padahal sebenarnya Rachel sendiri yang tak ingin berlama-lama di sini.Pertengkaran antara dia dan Kaivan … dia masih memikirkannya. Dia sakit hati! "Jake di sana, jangan beralasan untuk meninggalkanku di sini," ucap Kaivan, melingkarkan tangannya di pinggang Rachel. "Bukan hanya Dania
"Mammaaaaaa …." Tangisan kencang terdengar dari Dayana.Seperti biasa, anak itu suka menangis ketika pagi begini. Sudah menjadi rutinitas Dayana. "Dayana lapar yah, Nak?" Rachel yang bahkan belum mengenakan pakaiannya, hanya menggunakan handuk kimono, mengangkat bayinya dari box bayi. Rachel menimangnya sebentar lalu mendudukkan diri di sopa dalam kamar, menyusui putrinya tersebut yang terlihat sudah menangis parah. Ceklek' Pintu walk in closet terbuka, memperlihatkan Kaivan yang memegang dasi. "Ichi--" panggil Kaivan tertahan. Kaivan berniat untuk meminta bantuan Rachel memakaikan dasi padanya. Namun, dia menunda niatan tersebut ketika melihat istrinya tengah menyusui putri mereka. "Cik," decak Kaivan dengan kesal kemudian memilih kembali masuk dalam walk in closet. Dia pikir setelah tadi malam, dia akan mendapat perhatian dari Rachel– seperti yang dia khayalkan sepanjang malam. Namun, nyatanya zonk! "Ada stok ASI untuk Dayana. Tapi kenapa dia memilih menyusuinya? Alasan saja
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny