18+
POV : RONAL
"Bagaimana, Sayang? Apa kira-kira dekorasi rumah ini yang tidak bisa sulit?" tanyaku pada Tiwi setelah kami selesai memeriksa seluruh ruangan.
"Rasanya sudah cukup, Mas! Aku sangat berterima kasih atas usaha kerasmu menyediakan rumah ini, sehingga suasana pengantin baru bisa kita lewati di sini," jawab Tiwi sambil bergelayut manja di bahuku.
"Kalau ada yang kamu inginkan, bilang saja! Nanti, aku akan berusaha untuk memenuhinya," kataku ketika kaki kami telah memasuki ruang tengah.
"Terima kasih, Sayang! Sudah cukup dulu. Nanti kalau ada yang aku perlukan, akan kubilang."
Ciuman Tiwi mendarat di pipiku, bersamaan dengan langkah kami terhenti karena sampai di sofa panjang yang ada di ruangan ini.
Kami duduk secara hampir bersamaan. Baru saja pantatnya menyentuh sofa, tangan Tiwi meraih remot dan TV yang menempel di dinding langsung menyala.
"Kamu mau minum teh manis?" tanyanya setelah menemukan sinetron yang dia suka di layar TV.
"Boleh," jawabku dengan senyum tersungging.
"Sebentar, ya!" sahut Tiwi sambil bangkit.
Sebelum berlalu, ciuman kembali mendarat di pipiku.
Tiwi Apsari adalah istriku yang baru aku nikahi seminggu yang lalu.
Alhamdulillah, sebelum ijab kabul, aku telah bisa mempersiapkan rumah untuknya.
Rumah ini didekorasi oleh teman-teman yang kebetulan juga menjadi anak buahku di pabrik. Jadi ketika menata rumah ini, kita tidak perlu lagi repot-repot merapikan barang.
Setelah Tiwi berlalu, mataku menjelajahi seluruh sudut yang ada di dalam ruangan. Memang dekorasinya sangat indah dan tadi Tiwi sempat memujinya.
Ketika sedang menikmati keindahan ruang tengah ini, tiba-tiba aku mendengar suara senandung dari mulut perempuan yang sangat menusuk ke dalam kupingku.
Aku bisa memastikan senandung itu bukan berasal dari suara TV. Tapi walau demikian, aku segera memperkecil volume TV. Namun, senandung itu semakin jelas terdengar.
‘Apakah itu suara Tiwi?’ batinku bertanya. Tapi, rasanya tidak!
Karena Tiwi bukanlah tipe wanita yang suka bernyanyi, apa lagi lagu dengan langam jawa.
Aku mematikan TV, kemudian mempertajam pendengaranku.
Suara itu berasal dari ruang tamu. Aku bangkit dan meninggalkan ruang tengah.
Setelah tiba di ruang tamu, aku tidak menemukan apa-apa. Tapi, senandung itu semakin jelas. Kini, sepertinya suara itu berasal dari luar.
Aku sedikit heran, siapa yang bersenandung di luar?
Tak mungkin suara itu berasal dari rumah tetangga karena wilayah ini masih termasuk daerah perkampungan.
Jarak satu rumah ke rumah lainnya cukup jauh.
Karena rasa penasaran, aku menyingkap tirai dan mengintip lewat jendela depan.
Dari balik kaca jendela, aku dapat memandang seluruh area halaman.
Penerangan yang cukup membuat mata ini dapat menangkap apa pun yang berada di halaman, bahkan sangat jelas untuk melihat pintu gerbang yang telah tertutup rapat.
Hanya bagian sudut kiri dan kanan yang agak remang-remang. Mungkin karena pengaruh pohon rambutan yang cukup rindang.
Pohon rambutan itu telah ada di sana sejak dulu. Aku sengaja tidak menebangnya karena posisinya yang sangat serasi dan pas di halaman.
Dua pohon yang rindang dengan posisi berimbang di kiri dan kanan membuat halaman rumah ini semakin cantik.
Dengan keindahan yang dia ciptakan, tak mungkin aku tega menebangnya. Apalagi di bawah pohon rambutan itu terdapat bangku yang sangat nyaman untuk duduk bersantai.
Tapi, ketika mataku mengarah ke bangku di bawah pohon rambutan sebelah kiri. Aku terkejut karena melihat sosok yang sedang duduk di sana.
Sosok perempuan berdaster putih dengan rambut panjang.
‘Apakah itu? Mungkinkah ada hantu di sini?’
Bulu kudukku seketika berdiri entah kenapa. Apakah karena takut? Rasanya tidak! Karena aku adalah laki-laki yang tidak penakut. Apalagi dengan namanya hantu. Aku tidak percaya dengan yang namanya hantu. Karena setahuku, Tuhan tidak pernah menciptakan hantu.
Tapi, makhluk apakah itu? Dan kenapa suara senandung itu bertahan datangnya dari arah sana?
“Tokek...tokek...tokek!”
Aku kaget karena tiba-tiba terdengar suara tokek yang cukup keras. Asalnya dari garasi mobil yang letaknya berlawanan dengan sosok makhluk itu. Mataku mengarah ke sana, namun suara tokek itu tidak terdengar lagi.
Bersama dengan itu, suara senandung pun berhenti. Tapi, gerimis mulai bumi. Hanya rintik rinai sekarang yang bernyanyi memecah malam nan sunyi.
Kembali mataku mengarah ke arah pohon rambutan tadi. Bangku itu kosong, tidak ada apa-apa lagi di sana.
Hanya alunan daun yang terlihat bergoyang di tiup angin malam. Aku menempelkan wajah di kaca, demi memperjelas pandanganku.
Benar!
Tidak ada apa-apa di sana. Mungkin yang ku lihat tadi hanya bias cahaya dari lampu.
Huhhh... ternyata aku telah di permainkan ilusi.
Yah, memang seperti itu!
Kita melihat bayangan pohon saja dikira hantu. Itu terjadi karena rasa takut yang ada di hati. Hantu? Mana ada hantu!
Tapi kenapa tadi aku sempat merinding? Ah, mungkin karena cuaca yang agak dingin karena gerimis.
"Mas!"
‘Derajat!’ Sialan ... aku terkejut, tapi kali ini oleh suara Tiwi.
"Iya!" jawabku sambil menutup tirai.
"Mas, di mana?" tanya Tiwi.
"Di ruang tamu! Bentar aku ke sana!"
Aku melintasi ruang tengah.
Di sana, Tiwi terlihat berdiri dengan segelas teh di tangan.
"Ngapain ke ruang tamu?" tanyanya sambil meletakkan gelas di atas meja.
"Melihat pintu gerbang, saya kira tadi belum di tutup," jawabku berbohong.
"Di sini cuacanya sangat dingin, Mas?" tanya Tiwi setelah kami duduk bersebelahan di sofa panjang.
Tiwi bersandar manja di tubuhku.
"Iya, mungkin mau hujan gede. Soalnya di luar sudah gerimis," jawabku sambil meraih gelas dan menyeruput isinya.
Entah karena cuaca yang dingin atau memang lagi haus, teh hangat yang di suguhkan Tiwi cepat sekali kuhabiskan.
"Tidur, yuk!" ajak Tiwi setelah beberapa kali dia ganti chanel TV.
Aku mengangguk.
"Tapi, saya mau memeriksa pintu depan dulu," ucapku kemudian.
"Ya, hati-hati! Aku juga mau taruh gelas kosong ke dapur," jawab Tiwi.
Sebelum kami berdiri, sekali lagi Tiwi mencium pipiku.
Tiwi berjalan ke arah dapur, sementara aku kembali memasuki ruang tamu untuk memeriksa pintu depan.
Kami orang baru di sini, jadi harus rada hati-hati dan teliti.
Setelah memastikan pintu terkunci dengan benar, timbul rasa penasaranku untuk mengintip ke luar. Penasaran dengan apa yang tadi.
Perlahan aku menyingkap tirai, mengintip ke arah bangku yang ada di bawah pohon rambutan sebelah kiri halaman.
‘Derajat!’ Dadaku berdegup keras demi melihat sosok yang berdiri di bawah pohon rambutan.
Sekarang, dia tidak duduk seperti tadi. Namun, berdiri menghadap ke arahku dengan sedikit menunduk. Aku tak bisa melihat wajah makhluk itu, terlebih ada bagian rambut yang tergerai untuk menutupi bagian mukanya.
Aku menempelkan wajah ke kaca, tiba-tiba tercium aroma wangi kembang.
Aroma itu menguar dari ventilasi, masuk bersama hembusan angin. Bulu di langsung merinding.
Inikah yang namanya takut?
Entahlah....
Yang jelas, aku ingin segera berlalu dari sini. Apalagi aku merasa ada mata yang seolah mengawasiku.
Dengan kasar, aku menutup tirai dan berjalan di ruang tengah.
Rasa takut menjadi-jadi karena merasa ada yang mengikuti langkahku.
Tapi ketika aku menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa.
Ketika telah memasuki ruang tengah, aku menoleh ke arah sofa, tempat kami bercengkerama tadi.
TV telah mati. Mungkin Tiwi yang mematikannya setelah dari dapur.
‘Tentu dia sekarang telah berada di kamar tidur,’ pikirku.
Pintu kamar tidur kami menyatu dengan ruang tengah, namun diposisikan dapur dengan ruang belakang, lokasi dan kamar mandi.
Ternyata benar, Tiwi telah duduk manis di atas ranjang dengan senyum manis menyambutku.
Aku membalas senyumnya dan duduk di sisi ranjang.
Tiwi merangkulku dan mendaratkan ciuman. Dia begitu erat memelukku dan menarik agar aku ikut rebahan di ranjang.
Aku tersenyum dalam hati. Ternyata malam ini, Tiwi masih memiliki hasrat yang tinggi.
Padahal rasa letih sedang menyerang. Apalagi tadi siang kami baru menempuh perjalanan yang panjang.
Tiga jam waktu yang dihabiskan di perjalanan dari rumah mertuaku ke rumah baru kami.
Tiwi semakin berhasrat dan gairahku semakin terpancing. Akhirnya kami terbenam dalam samudra asmara. Benar-benar luar biasa!
Malam ini Tiwi begitu agresif, melebihi malam pertama kami. Untunglah, aku mampu mengimbanginya sampai Tiwi terkulai di sisiku.
Setelah diam, aku turun dari hendak membersihkan kamar mandi.
Tidak seperti malam-malam sebelumnya, kali ini Tiwi masih terbaring gelisah dengan napas turun naik. Padahal, biasanya dialah yang terlebih dahulu turun dari ranjang dan mengajakku ke kamar mandi.
"Tidak ke kamar mandi, Sayang?" pertanyaan yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Tiwi. Ada senyum tipis terlihat pada wajahnya.
Tentu, aku membalas senyumnya.
Biasanya setelah menunaikan kewajiban sebagai suami istri, kami selalu bersama ke kamar mandi. Tapi kali ini beda! Ada rasa janggal di hatiku atas sikap Tiwi tersebut.
Permainan Tiwi malam ini juga sangat lain, terasa lebih bergairah dan buas. Mungkin hal itu yang membuat kelelahan, sehingga beranjak dari tempat tidur untuk sekedar membersihkan diri, asumsiku.
Namun, akhirnya aku tetap pergi meninggalkan istriku yang masih terbenam di kasur empuk di atas ranjang kami.
Saat aku baru memasuki ruang belakang, langkahku terhenti melihat sesuatu yang tergeletak di kamar mandi.
‘Derajat!’ Dadaku berdegup keras ketika mata mengarah ke kamar mandi yang terbuka lebar.
Di sana, di lantai kamar mandi terlihat ada orang yang tergeletak, dan ... itu Tiwi!
Aku mengamati tubuh yang terkulai lemah di lantai kamarmandi itu. Setelah memastikan itu memang Tiwi, aku berjongkokdisisi
18 +POV : RONAL"Bertanggung jawab apa? Tak adayang perlu aku pertanggungjawabkan!" tolakku dengan membentak."Apakah kamu telah melupakan apayang kita lakukan di atas ranjang tadi?" tanyanya setelah bangkit danberdiri dengan menatap tajam ke arahku.
Aku pernah mendengar ada genderuwo yang menghamili janda. Mungkinkah aku bisa menghamili Jin? Kalau itu terjadi ... sial! Benar-benar sial! Apalagi kalau aku harus mempertanggungjawabkannya. Sungguh ruwet!
18 +POV : RONALDengan cepat aku bersandar pada pintugarasi, berusaha menopang tubuh agar tidak jatuh. Aku tidak mau menatap ke arah pohonitu lagi.
"Bagaimana perasaanmu,Sayang?" tanyaku lagi sambil merangkul bahu Tiwi dengan tangan kiri,sementara tangan kanan memegang kemudi. Ujung tanganku menepuk-nepuk lembutlengan Tiwi."Aku masih takut, Mas! Aku tidaktahu, makhluk apa yang ada di rumah itu," jawab Tiwi sambil menyandarkankepalanya ke dadaku."Ketika aku keluar dari mobiltadi, apakah kamu tidak melihatku?" tanyaku karena masih penasaran
18+POV : RONAL"Bagaimana dengan kakeknya, Mas?Di mana dia?"tanya Tiwi ketika aku baru membuka pintu mobil."Tidak apa-apa ... kakeknyamasih di belakang. Dia mau ke sawah, katanya," jawabku berbohong, kemudianaku duduk di belakang kemudi dan bersiap mensta
POV : RONALAku ingin berlari dengan sekuat tenaga ke arah langgaruntuk memberi tahu bapak yang ada di langgar. Sete
18+"Ya, tidak lah! Sudah berapa hari ini kita kan selalu bersama, mustahil aku bisaberselingkuh," jawabku.
BAB KE : 12O AKHIR SEBUAH CERITA 16+Kakek itu hanya bisa berharap seperti itu, karena yang maha mengetahui hanya Tuhan, apakah berdosa atau tidak berdosanya seseorang ketika melakukan suatu perbuatan hanya Tuhan yang bisa menentukan. Mungkin dari segi ilmu fiqih ada keterangan berdosa bila melakukannya, tapi Tuhan maha mengetahui niat seseorang. Tuhan lebih mengetahui kenapa orang tersebut sampai terperosok ke dalam dosa tersebut. Tidak boleh menghakimi bila sesuatu perkara itu belum terang oleh kita, itu prinsip yang dipakai oleh Galogentang. "Aamiin!" Ronal dan Ucil hampir serentak mengucapkan kata penutup doa tersebut menyambut ucapan Galogentang. "Tapi, belum tentu juga kamu tidak berdosa." Kalimat Galogentang yang ini membuat Ronal memiringkan mulutnya dengan mata menyipit menatap kakek tersebut sambil mengangkat bahu. "Ya, mungkin dosa kamu akan dipungut dari sisi kebodohan ...""Kebodohan bagaimana maksudnya?" Ronal memotong kalimat Galogentang."Dalam hidup itu, kita
BAB KE : 119 GALOGENTANG DAN UCIL SABARUCIL DATANG KE RUMAH RONAL 16+"Kakek Galogentang!" seru Ronal tertahan sambil bergegas ke arah mobil, karena dari balik mobil itulah kepala Galogentang menyembul. Senyum lepas dari bibir Galogentang, begitu pula dengan Ronal, setelah dekat mereka berpelukan. Jelas kegembiraan terlihat di wajah mereka. Bagi Ronal ini adalah pertemuan yang tidak disangka-sangka. Pertemuan yang membuat bahagia. "Eh, Ucil Sabarucil juga ada!" Senyum Ronal berubah jadi tawa lepas, ketika melihat makhluk kerdil juga ada di sana. Tadi Ronal tidak melihat, mungkin karena Ucil terlalu kecil, sehingga luput dari pandangan mata Ronal. Setelah melepaskan pelukan dengan Galogentang, Ronal bersimpuh di depan Ucil. Walau telah bersimpuh, Ronal tetap lebih tinggi dari Ucil. Kemudian mereka pun berpelukan. "Ayo, masuk! Kita bicara di dalam saja," ajak Ronal sesaat kemudian. "Mau bikin heboh orang yang ada di dalam rumahmu? Mereka kan tidak dapat melihat kami, nanti ka
ADA CINTA ANTARA TIKA DAN RAHMAN BAB KE : 118 "Memangnya Tika belum kenalan sama Rahman, Pak Hansip?"Semua mata mengarah pada Bu RT ketika beliau melepaskan pertanyaan tersebut. Berbagai ekspresi terlihat dari wajah mereka yang ada di ruangan tersebut. Ada yang tertawa, ada yang tersenyum, ada yang senyumnya sengaja dikulum, bahkan ada pula yang cengengesan. Rahman dan Tika juga ikut tersenyum, tapi cuma sebentar, karena tahap berikutnya wajah mereka memerah dan buru-buru menunduk. "Bu RT ngomong apa sih?" Sungut Tika pada Bu RT sebelum menunduk. Wajah Tika memang rada cemberut, tapi hatinya serasa terbang dengan sejuta bunga-bunga yang bermekaran, penuh kebahagiaan. Mungkin memang begitu sifat orang yang sedang jatuh cinta, kata hati dan ekspresi wajahnya suka tidak sama, kadang hati berkata iya, tapi kepala menggeleng diselingi anggukan. "Kenalan secara formal mungkin belum, Bu RT. Cuma rasanya, hati dan jiwa mereka sudah saling menyelami, dan sama-sama merasakan suka yan
BAB KE : 117 ADA APA DENGAN TIKA 16+Ternyata peristiwa di kampung jin benar-benar jadi pelajaran yang berharga bagi Ronal dan istrinya. Selama ini pasangan suami istri tersebut tidak begitu mempercayai akan adanya alam gaib yang mirip dengan perkampungan manusia. Mereka juga tidak percaya dengan adanya aturan tata krama dan adab terhadap makhluk-makhluk tersebut. Bahkan mereka tidak percaya sama sekali kalau makhluk astral bisa mengganggu kehidupan manusia. Namun, pengalaman telah mengajarkan mereka untuk mempercayai adanya kekuatan dari makhluk gaib, bukan sekedar percaya akan adanya Tuhan saja, tapi harus mempercayai adanya makhluk gaib yang diciptakan Tuhan.Kini mereka baru mengerti, bahwa tidak semua kejahatan dapat dilihat dengan nyata, sebab itu perlu berserah diri dan minta perlindungan pada Tuhan, tentu jalannya dengan takwa dan berdoa. Bermacam doa pun mulai mereka hapal, doa masuk ke kamar mandi sampai doa ketika mau berhubungan antara suami dan istri pun mereka haf
BAB KE : 116 RONAL KEMBALI PULANG 16+Dua lelaki yang kelihatan sebaya itu keluar dari gubuk. Sesaat Nursalim menatap ke arah gubuknya yang berjarak tidak begitu jauh dari gubuk Kartim, terlihat istrinya masih sibuk mengusir burung yang silih berganti mampir di sawah mereka. Nursalim berjalan di depan, diikuti Kartim dengan hati yang masih diliputi rasa was-was. Sambil berjalan mereka terus berbincang, membicarakan dan menebak apa gerangan yang ada di sana. Bahkan Nursalim pun telah melupakan niat awalnya ke gubuk Kartim, yang sebenarnya hendak meminjam korek api, entah kenapa hari ini dia lupa membawa benda tersebut. Padahal biasanya benda yang satu itu selalu nyempil dalam kantongnya. "Sepertinya ada mayat!" kata Nursalim sambil menghentikan langkah ketika mereka telah hampir sampai di tempat Ronal. Kartim memanjangkan leher, mengintip dari belakang Nursalim. Mata Kartim cukup lama meneliti sosok lelaki yang tergeletak tanpa bergerak itu, yang jaraknya tidak jauh dari tempa
BAB KE : 115RONAL DIKIRA HANTU 16+Tidak jauh dari tempat Ronal pingsan, dari sebuah gubuk yang ada di sawah tersebut, terlihat seorang bapak-bapak berumur sekitar empat puluh lima tahun. Sebelum matahari menyinari bumi, dia telah berada di sawahnya, dengan maksud untuk menjaga padinya dari incaran burung liar. Ada keanehan yang dia rasakan pagi ini, tak ada satu pun burung yang hinggap di area sawahnya. Sementara temannya yang lain pada sibuk berteriak mengusir burung yang mampir untuk mencicipi bulir padi milik mereka.Keanehan itu memang sempat mengganjal hatinya, tumben burung-burung pada enggan mampir di petak sawahnya, padahal biasanya padi milik dialah sasaran utama dari burung-burung tersebut, karena petak sawah bapak tersebut berada persis di bawah kaki bukit, tempat di mana burung-burung bersarang.Rasa heran di hatinya semakin menjadi, ketika melihat asap tipis yang mengudara di bagian ujung sawahnya. Batin lelaki itu mengira ada api di sekitar sana. Tapi siapa pula y
BAB KE : 114 MAKHLUK BUNIAN DAN SILUMAN BUAYA JADI PEMENANG16+Korban dari kedua belah pihak berjatuhan. Karena yang terjun ke medan tempur sangat banyak dari masing-masing kelompok, sehingga korban yang berjatuhan tentu sangat banyak pula, mungkin jumlahnya ribuan.Peperangan di perbatasan sebenarnya dimenangkan oleh Ratu Kencana Wangi. Kelompok Jin Sumbing bahkan sampai lari terbirit-birit menyelamatkan diri ke wilayahnya. Namun, betapa terkejutnya mereka, karena mereka langsung disambut oleh pasukan makhluk Bunian yang telah siap menanti dengan prajurit-prajurit andalan mereka. Tidak sulit bagi makhluk Bunian untuk mengalahkan kelompok Jin Sumbing yang sudah kelelahan. Akhirnya mereka semua berhasil di tangkap dan dijebloskan ke penjara. Nasib Ratu Kencana Wangi dan pasukannya juga tidak kalah apesnya dibandingkan dengan kelompok Jin Sumbing. Sebenarnya kelompok Ratu Kencana Wangi sengaja tidak mengejar Jin Sumbing, karena mereka merasa sudah yakin menang dan hanya menunggu
BAB KE : 113SILUMAN BUAYA DAN MAKHLUK BUNIAN IKUT PERANG 16+Balon tersebut menggelinding dengan cepat menuju dasar jurang. Terkadang melenting tinggi bila menabrak batu, kadang-kadang malah menghantam pohon yang tumbuh di sisi tebing.Namun, balon itu tidak pernah berhenti, terus meluncur karena pengaruh gravitasi bumi. Entah bagaimana nasib Ronal yang ada di dalam balon tersebut. Setelah melambaikan tangan ke arah balon raksasa yang terus meluncur, tanpa menunggu lambaiannya berbalas, Galogentang langsung menghentakan kaki ke bumi. Sekali hentak, tubuhnya melambung, lalu melayang di angkasa. Galogentang tidak kembali ke arena pertempuran Ratu Kencana Wangi dan Jin Sumbing. Dia malah terbang menuju wilayahnya, wilayah siluman buaya. Setelah sampai di wilayah siluman buaya, Galogentang segera menemui rajanya dan menceritakan apa yang terjadi, sekaligus mengusulkan untuk segera melakukan penyerangan ke wilayah Bukit Lampu. Mendengar apa yang disampaikan Galogentang, raja siluma
BAB KE : 112RONAL DITENDANG KE DALAM JURANG OLEH GALOGENTANG 16+Sikap Ronal ini justru membuat tawa Galogentang semakin keras, wajahnya sampai memerah. Tentu sikap kakek tersebut membuat Ronal semakin masgul bin keki. "Benar-benar makhluk aneh, urusan hidup mati orang, malah ditanggapi dengan tawa," rutuk Ronal dalam hati."Jurang itu hanya bentuknya saja yang curam, tapi selalu ada sisi atau bagian tempat kita berpijak. Lakukan dengan percaya diri, jagan takut akan sesuatu! Bila kita sudah takut sebelum mengetahui keadaan yang sebenarnya. Itu sama saja takut dengan bayang-bayang," ucap Galogentang setelah tawanya reda."Tapi saya memang tidak berani menuruni jurang itu, Kek! Lewat jalan yang datar saja, atau Kakek ikut bersama saya," tawar Ronal. "Apakah kamu ingin bersama saya menuruni jurang itu?" tanya Galogentang. "Iya, kalau bersama Kakek, saya berani," jawab Ronal cepat. "Ayo, kita ke sana!" ajak Galogentang sambil berdiri. "Ayo!" Ronal menyanggupi, dia pun berdiri,