"Tembak saja! Polisi juga akan tahu siapa yang membunuhku," ucap Inno santai. Leonardo dan Michelle Daniel tertawa mengejek mendengar ucapan bernyali dari laki-laki di depannya itu. Inno mendorong tubuh Michelle Daniel ke arah pintu mobil dan memepet badan lelaki tua itu."Kamu berhutang nyawa padaku, Tua Bangka. Isco meninggal karena sakit di Amerika. Bukan karena dibunuh. Dia menderita leukemia dan itu penyakit dari anakmu, Delia. Apa kamu pikir, aku sejahat itu membunuh orang sebaik Isco? Dia orang baik, sayangnya mendapatkan racun darimu!""Shut up!" sentak Michelle Daniel.Inno tersenyum sinis. "Kenapa? Kamu nggak terima dengan kenyataan ini? Isco Daniel Ferdinand, dia meninggal dalam pelukan mamanya. Dia meninggal dalam kedamaian. Bertobatlah, Tua Bangka supaya kamu bisa bertemu Isco di sana," ucap laki-laki jangkung itu lagi."Jangan banyak bicara, Marvinno! Lepaskan Tuan Daniel!" teriak Leo. Inno terkekeh pelan. Sayup-sayup telinganya menangkap sirine mobil kepolisian. Hal t
Amelia mengusap dahi Gabriele yang memerah, lalu meniupnya. Begitu Gabriele sedikit tenang, Amelia segera menyusui bayi itu."Maaf, Mas. Tadi aku shalat. Tadi Gabriele lagi tidur di situ, kan?" ucapnya lirih sambil menunjuk matras bayi di depannya. Jarak matras itu dengan tempat Inno duduk hanya beberapa langkah saja. Amelia memang tidak memberitahu Inno karena dia berpikir Gabriele tidur pulas ketika dia tinggalkan."Oh, berarti salahku," sindir Inno tak acuh.Amelia mendongak menatap laki-laki yang sudah kembali berada di depan komputer."Aku nggak nyalahin Mas. Aku memang nggak bilang ke Mas karena aku pikir dia lagi bobok. Aku tahu karena Mas lagi sibuk makanya ak--""Kenapa kamu jadi banyak bicara, Amelia!" sentak Inno lagi.Air mata yang ditahan sejak tadi, akhirnya runtuh ke pipi putih Amelia. Dia menunduk menatap wajah polos Gabriele yang juga tengah menatapnya. Kedua mata bulat itu menatap dalam pada mamanya. Telapak tangan Gabriele menepuk pelan dada Amelia. Amelia mengatu
Inno menatap sendu pada Amelia yang tidur pulas di pelukannya. Laki-laki itu menarik napas panjang, kemudian mengalihkan pandangan ke langit-langit kamar.Kalah lagi. Dia tidak sanggup menghindari pesona istrinya. Perhatian dan perlakuan lembut Amelia di lantai atas beberapa menit yang lalu, membuat Inno melupakan segala masalahnya. Dan pada akhirnya, keduanya melanjutkan kemesraan di tempat tidur ini."Jangan benci aku, seandainya aku membuatmu terluka." Hati Inno kembali berkata sedih.Inno menunduk, ketika merasakan pergerakan wanita itu. Amelia yang tadi berbaring telentang, kini menghadapnya. Refleks, lengan wanita itu melingkari bahu tak berbusana sang suami.Gerakan refleks yang begitu disukai Inno. Laki-laki itu mengusap pelan rambut lembab Amelia. Diciumnya kening wanita itu dengan sayang. Setiap kali menatap wajah teduh wanita itu, hatinya terasa sakit. *Amelia menoleh pada Gabriele yang berada di belakang punggungnya. Bayi itu sibuk menarik-narik rambut mamanya yang diika
Amelia langsung beringsut mundur. Rasa kecewa akibat mengetahui Inno makan di luar bersama Daniela belum sirna, kini ditambah lagi bentakan dari suaminya itu.Wanita itu memejamkan mata rapat. Dia berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata. Meskipun dadanya terasa sakit, Amelia sekuat tenaga untuk tidak kembali menangis.Inno yang merasa telah kembali melukai istrinya tertegun. Dia menatap sekilas pada Amelia kemudian memalingkan wajah."Jangan bahas apa pun mengenai aku dan Daniela," ucap Inno datar.Amelia tersenyum sinis. "Nggak dibahas? Bagaimana kalau posisinya dibalik, Mas? Seandainya aku yang diam-diam makan malam dengan mantan, sementara di rumah Mas Inno menungguku? Bagaimana?" cecarnya dengan tatapan tajam.Inno langsung bangkit. Dia melirik ke arah box Gabriele. Tidak ingin mengganggu tidur anaknya, laki-laki itu segera keluar kamar dan diikuti oleh Amelia."Bicaramu terlalu ngelantur, Amelia. Aku hanya makan malam. Puas?""Nggak puas!" jawab Amelia lantang. "Aku nggak puas
Inno menangis dalam diam. Setiap kali selesai memadu kasih dengan istrinya, Inno dihantui perasaan bersalah. Tidak terelakkan memang, Inno selalu kalah melawan pesona istrinya itu. Wanita pertama yang membuatnya mengenal indahnya surga dunia. Wanita yang dia cintai semenjak remaja.Dia sadar, semakin lama dirinya akan membuat luka yang lebih dalam di hati Amelia. Inno ingin memberontak, melawan takdir ini. Akan tetapi, sedikit pun dia tak punya kekuatan. "Mas mikirin apa?" tanya Amelia lirih, membuyarkan lamunan laki-laki itu.Inno menunduk, menatap wajah lembab yang merebah di dada bidangnya. Laki-laki itu tersenyum dan mengecup kening sang istri sekilas.Inno meraih jemari tangan Amelia dan menciumnya. "Sayang, apa kamu nggak ada niat gitu, bikinin Gabriele adik?" tanyanya mengalihkan perhatian Amelia. "Kita gas pol terus. Kalau aku lagi nggak ke kantor, kita lembur siang malam, bagaimana?" lanjut Inno jahil.Amelia langsung mendelik. Dengan gemas dia mencubit perut rata suaminya i
Di ruang pribadi Inno, di atas tempat tidur single yang biasa digunakan Inno dan Amelia memadu kasih itu, Inno tak sendiri. Akan tetapi, laki-laki itu tengah memeluk tubuh seorang wanita tanpa busana. Mereka sama-sama tidak mengenakan pakaian dan berpelukan di balik selimut yang sama. Sontak, Inno dan Daniela melepas ciuman mereka. Inno menatap nanar ke arah sang istri sembari duduk."Mas, apa aku tengah bermimpi? Kenapa Mas lakukan ini? Kenapa?" teriak Amelia kemudian membanting pintu.Wanita itu segera berlari ke luar ruangan. Pipinya telah basah oleh air mata. Tidak tergambarkan betapa hancurnya hati Amelia saat ini. Lima tahun dia menjadi istri yang setia. Dua tahun dia rela menunggu Inno yang tengah kuliah di Milan. Usia 19 tahun dia menerima pinangan laki-laki itu dan mengorbankan masa remajanya. Belum berhenti sampai di situ. Bahkan Amelia tidak pernah mengungkit perihal kuliahnya yang selalu tertunda karena mengurus anak dan suami.Akan tetapi apa yang Inno lakukan? Laki-lak
Amelia membalikkan langkah. Namun, laki-laki itu menghalangi langkah Amelia. Dia memegang bahu wanita itu yang langsung ditepis kasar oleh Amelia."Ayo kita pulang. Kita harus bicara, Amelia," ajak Inno pelan.Amelia justru terdiam di tempat. Rasanya ingin sekali dia berteriak sekeras mungkin untuk memaki pria cinta pertamanya itu. Namun sayangnya menorehkan luka yang luar biasa dalam. Inno memperlakukan dirinya seperti ratu, namun tiba-tiba menghempaskan ke dasar jurang. Teramat sangat menyakitkan."Ayo, kita pulang, Sayang. Sini, Gabriele sama aku," pinta Inno sambil mengulurkan tangan. Gabriele menggeliat. Dia membuka mata sebentar, kemudian kembali memejamkan mata di gendongan Inno. Dengan hati-hati, Inno menidurkan Gabriele di baby car seat. Amelia masih bergeming. Dia enggan menatap suaminya itu.Inno berganti membuka pintu mobil untuk Amelia. Seperti biasa, Inno hendak memasangkan seat belt untuk istrinya. Namun, dengan cepat Amelia menepis tangan lelaki itu.Di dalam perjalan
Amelia menatap kosong ke luar jendela kaca mobil. Dahulu, pertama kali datang ke Italia, tumpukan salju yang membentuk bukit-bukit kecil di kanan kiri jalan menjadi pemandangan yang indah. Namun kini, hal tersebut tak menarik perhatiannya lagi.Dia memejamkan mata dan kembali menangis dalam diam. Selesai sudah perjalanan cintanya yang dulu indah bersama Inno, sebelum perempuan yang bernama Daniela itu muncul.Matteo yang mengemudikan mobil sesekali melirik spion tengah. Laki-laki itu menarik napas dan merasa prihatin akan nasib rumah tangga adiknya. Matteo juga ikut merasa bersalah atas luka yang diterima oleh wanita cantik itu."Aku tahu kamu juga marah sama aku, Amelia. Tapi kamu harus tahu satu hal, kami sangat menyayangi kalian berdua. Betapa bangganya Kakek dan Nenek melihat keturunan keluarga Morelli yang kalian berikan pada kami."Bullshit!Amelia tidak menanggapi omong kosong Matteo. Sekarang dia tahu, Inno menikahinya karena ambisi keluarga besarnya. Mereka ingin menyelamatka
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak