Evan mondar-mandir di dalam kamarnya. Laki-laki itu gelisah, sedang memikirkan Bunga. Gadis kecil itu tiba-tiba kembali menghilang dari hadapannya. Sepertinya, Bunga tidak nyaman akan kehadiran orang asing."Ya Allah, kenapa aku bisa melihat makhluk selain manusia? Siapa sebenarnya, Bunga?" tanyanya pada diri sendiri. Evan menghentikan langkah dan menatap keluar jendela kamar. Dia menggigit ujung jari. Sejenak, kedua mata setengah sipitnya terbelalak. Ada sesuatu hal yang baru dia sadari.Evan teringat ucapan Bunga tadi. Gadis kecil berwujud hantu itu, tengah mencari papanya. Hari ini Bunga sedang ulang tahun. Bertepatan dengan hari di mana dirinya kehilangan Rianti sampai saat ini. Mengapa ada kebetulan seperti ini? Evan membatin."Aku harus melakukan sesuatu, sekali lagi!" tekadnya.*Venezia, ItalyMaserati Ghibli Trofeo warna hitam itu, berhenti di halaman rumah megah bergaya Victoria di salah satu distrik elite di kota Venezia, Italia.Laki-laki sepuh berusia sekitar 80 tahun, tu
Sebelum melajukan mobilnya, Inno sempat menoleh ke arah pemakaman. Begitu juga dengan Amelia. Kemudian keduanya saling pandang dengan pikiran masing-masing. Amelia masih berpikir tentang indera keenamnya yang kembali terbuka. Sementara itu, Inno masih belum ikhlas dengan kepergian sang ayah yang konon beritanya, pesawat jet pribadi itu disabotase seseorang. Entahlah, Inno tidak tahu kebenarannya. Dia masih terlalu kecil saat itu. Dan sang kakek tak pernah mau menjelaskan hal tersebut sampai detik ini. Inno juga mendengar papanya sempat berurusan dengan kelompok mafia Italia. Namun, Inno tidak percaya akan hal itu.Inno tersenyum samar, kemudian melajukan mobilnya pelan. Tidak ada pembicaraan di antara Inno dan Amelia. Amelia menatap ke luar jendela di sisi kanannya. Tanpa sadar dia kembali menarik napas panjang sehingga memancing Inno menoleh sekilas ke arahnya."Sayang, kamu kenapa? Aku perhatikan sejak di makam Papa, kamu aneh gitu?" cecarnya curiga.Amelia menoleh dan menggenggam j
Semenjak pulang dari pemakaman, Inno beberapa kali memergoki sang istri melamun sendirian. Tak ingin terjadi hal-hal seperti yang dulu, laki-laki itu memutar otaknya. Dia tidak ingin kesehatan istri dan calon anak mereka terganggu. Setelah konsultasi dengan dokter Claudia, wanita itu menyarankan Inno mengajak istrinya berlibur supaya tidak jenuh. Inno menatap ke luar jendela kamarnya. Dia tersenyum sekilas ketika pandangannya tertuju ke arah sang istri yang duduk di bangku taman. Wanita itu sedang memperhatikan deretan bunga tulips warna warni yang memenuhi taman rumah megah keluarga Marcio Morelli.Inno segera turun dan menuju ke halaman belakang, menghampiri istrinya. Begitu sudah berada di belakang Amelia, Inno melingkarkan lengan, memeluk sang istri dari belakang."Mas Inno bikin kaget saja." Amelia mendongak menatap manik mata suaminya. Inno tersenyum kemudian memutar tubuh dan duduk di samping wanitanya. "Apa aku ganggu acara berjemurmu, Nyonya Marvinno?" tanyanya sambil menciu
Stazione Santa Lucia, Venezia. (Stasiun Kereta, Santa Lucia, Venezia)Beberapa menit lagi, kereta cepat jenis Trenitalia Frecce dari Stasiun Santa Lucia, Venice menuju Stasiun Gare De Lyon, Paris akan berangkat. Para penumpang first class yang mayoritas kaum berkantong tebal itu, akan dimanjakan dengan kenyamanan dan pelayanan terbaik dari crew kereta. Kereta cepat itu akan melintasi perbatasan negara Italia , Swiss, dan Perancis dengan pemandangan menakjubkan. Di antaranya lembah-lembah, pedesaan yang bersih, dan pemandangan pengunungan Alpen yang memukau."Buona Festa del Papa, Signore Morelli." Seorang crew kereta berseragam rapi, tersenyum ramah mengulurkan bouquet bunga carnation putih pada Inno. Inno mengernyit dan menatap istrinya sebentar. Laki-laki itu tampak tersenyum kaku, lalu melepaskan pegangan tangannya dari pegangan koper kemudian menerima bunga tersebut. "Grazie." Inno berterima kasih.Inno baru menyadari, dirinya lebih dikenal orang ketika di Venezia dan Milan darip
Jakarta, Indonesia."Tiket penerbangan Jakarta-Bengkulu. Hm, dia berusaha mengalihkan perhatian semua orang. Nggak penting. Yang penting sekarang, siapa pemilik rambut itu."Terdengar nada keterkejutan dari Inno di seberang sana. "Jadi, benar itu rambut asli, Dim?" tanyanya memastikan."Benar, Mas. Hasil test DNA sudah keluar. Aku akan coba ke Bengkulu. Semoga aku bisa menemukan keluarga Mbak Rianti," kata Dimas penuh harap."Hati-hati, Dim. Jaga keselamatan kamu!""Baik, Mas."Dimas mengamati foto yang berada di handphonenya. Foto seorang gadis cantik berwajah campuran oriental dan Melayu. Rambutnya panjang kecoklatan tengah tersenyum lebar di antara dua gadis lain. Di belakang mereka ada Inno, Evan, dan Heri. Itu foto yang diambil ketika Inno, Evan, dan Heri lulus SMA.*Paris, Perancis. Pagi yang cerah di musim semi. Momen musim semi, salah satu momen yang paling ditunggu oleh penduduk Eropa. Termasuk masyarakat kota Paris, Perancis. Taman kota yang luas itu, ramai dengan pengunjun
"Lalu, artinya air mata kamu ini, apa?" tanya Inno lirih. Tidak bisa dipercaya, wanita yang dinikahi hampir tahun ini masih memikirkan laki-laki lain.Amelia mendongak sebentar kemudian kembali menunduk. "Aku ... aku, membuat orang lain kecewa, Mas. Aku seperti orang jahat," jawabnya lirih.Inno tertegun dengan jawaban itu, lalu dia tersenyum satu sudut. Tatapan matanya tajam tertuju ke manik hitam istrinya. "Jahat? Membuat orang lain kecewa? Kamu pikir, kamu nggak membuatku kecewa?" tanyanya dengan nada dingin.Amelia kembali mendongak cepat. "Mas, aku ... bukan begi--" ucapnya terhenti. Tanpa basa basi, Inno yang sudah geram membungkam mulut istrinya dengan bibirnya. Tak peduli dengan tatapan orang lain yang berada di sekitar mereka. Tak peduli pula dengan tatapan terluka dari sepasang mata yang agak jauh di sana. Tatapan mata milik Elrico Setiawan. "Ayo pulang!" kata Inno ketus setelah mengakhiri ciumannya. Amelia mengangguk samar. Dia tidak berani membalas ucapan maupun tatapan m
Evan termangu dengan ucapan sahabatnya. Dia menatap manik hitam Heri dengan tatapan penuh tanya.Evan mengusap wajah gusar, lalu bertanya lirih pada Heri, "Dari mana kamu ambil sampel rambutnya?" "Pot bunga milik Amelia di Il Giorno Office. Kebetulan dia bawa dari rumahmu," jawab Heri pelan. Evan langsung menajamkan pandanga ke arah sahabatnya itu. "Tunggu! Aku masih bingung. Lantas, apa hubungannya dengan pot bunga dan rambut ini dengan menghilangnya Rianti?" tanyanya semakin bingung. Mendadak isi kepala Evan kosong. Dia terlalu syok dengan pernyataan Heri."Kita akan buka kasus ini, Van. Kita perlu bantuan kamu. Kami akan mencari barang bukti di rumah kamu yang kami perkirakan, menjadi tempat terakhir yang Rianti datangi sebelum dia pergi memesan tiket itu. Aku sendiri bingung, ini seperti mengurai benang kusut, Van. Merangkai puzzle yang hanya bermodalkan mimpi dan rambut." "Tapi, rumah itu kan dipakai Inno dan karyawannya selama setahunan, apa masih ada bukti di sana seperti dug
Amelia menatap sang suami yang berwajah masam. Tetapi, dalam hati dia tertawa. Mengingat betapa konyolnya Inno dulu, ketika pertama melamar dirinya di kebun jambu kristal milik Abah. Tanpa basa-basi, Inno mencabut bunga lili peri yang tumbuh subur di sekitar pohon jambu dan menggunakan bunga itu untuk melamarnya. Padahal, saat itu usia Inno baru 19 tahun.Tetapi, laki-laki itu malah tak terima dikatakan modus dan malah mengungkit perihal Rico. Timbul niatnya mengerjai sang suami yang tengah dibakar cemburu itu."Ya, setidaknya bukan bunga lili peri, Mas!" jawabnya sembari memalingkan wajah menyembunyikan senyum."Oh, ya? Bunga apa yang digunakan buat gombalin kamu?" tanya Inno sinis.Amelia semakin ingin menggoda laki-laki itu. "Oh, dia nggak gombalin aku, Mas. Bunga yang dia bawa tiap datang beda-beda, tahu nggak? Ada mawar, krisan, carnation, terus casablanka. Tahu saja dia kalau aku suka bunga casablanka, bung-–"Inno berdecak. "Apa lagi? Melati, kantil, kamboja!" sahutnya cepat den
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak