"Lalu, artinya air mata kamu ini, apa?" tanya Inno lirih. Tidak bisa dipercaya, wanita yang dinikahi hampir tahun ini masih memikirkan laki-laki lain.Amelia mendongak sebentar kemudian kembali menunduk. "Aku ... aku, membuat orang lain kecewa, Mas. Aku seperti orang jahat," jawabnya lirih.Inno tertegun dengan jawaban itu, lalu dia tersenyum satu sudut. Tatapan matanya tajam tertuju ke manik hitam istrinya. "Jahat? Membuat orang lain kecewa? Kamu pikir, kamu nggak membuatku kecewa?" tanyanya dengan nada dingin.Amelia kembali mendongak cepat. "Mas, aku ... bukan begi--" ucapnya terhenti. Tanpa basa basi, Inno yang sudah geram membungkam mulut istrinya dengan bibirnya. Tak peduli dengan tatapan orang lain yang berada di sekitar mereka. Tak peduli pula dengan tatapan terluka dari sepasang mata yang agak jauh di sana. Tatapan mata milik Elrico Setiawan. "Ayo pulang!" kata Inno ketus setelah mengakhiri ciumannya. Amelia mengangguk samar. Dia tidak berani membalas ucapan maupun tatapan m
Evan termangu dengan ucapan sahabatnya. Dia menatap manik hitam Heri dengan tatapan penuh tanya.Evan mengusap wajah gusar, lalu bertanya lirih pada Heri, "Dari mana kamu ambil sampel rambutnya?" "Pot bunga milik Amelia di Il Giorno Office. Kebetulan dia bawa dari rumahmu," jawab Heri pelan. Evan langsung menajamkan pandanga ke arah sahabatnya itu. "Tunggu! Aku masih bingung. Lantas, apa hubungannya dengan pot bunga dan rambut ini dengan menghilangnya Rianti?" tanyanya semakin bingung. Mendadak isi kepala Evan kosong. Dia terlalu syok dengan pernyataan Heri."Kita akan buka kasus ini, Van. Kita perlu bantuan kamu. Kami akan mencari barang bukti di rumah kamu yang kami perkirakan, menjadi tempat terakhir yang Rianti datangi sebelum dia pergi memesan tiket itu. Aku sendiri bingung, ini seperti mengurai benang kusut, Van. Merangkai puzzle yang hanya bermodalkan mimpi dan rambut." "Tapi, rumah itu kan dipakai Inno dan karyawannya selama setahunan, apa masih ada bukti di sana seperti dug
Amelia menatap sang suami yang berwajah masam. Tetapi, dalam hati dia tertawa. Mengingat betapa konyolnya Inno dulu, ketika pertama melamar dirinya di kebun jambu kristal milik Abah. Tanpa basa-basi, Inno mencabut bunga lili peri yang tumbuh subur di sekitar pohon jambu dan menggunakan bunga itu untuk melamarnya. Padahal, saat itu usia Inno baru 19 tahun.Tetapi, laki-laki itu malah tak terima dikatakan modus dan malah mengungkit perihal Rico. Timbul niatnya mengerjai sang suami yang tengah dibakar cemburu itu."Ya, setidaknya bukan bunga lili peri, Mas!" jawabnya sembari memalingkan wajah menyembunyikan senyum."Oh, ya? Bunga apa yang digunakan buat gombalin kamu?" tanya Inno sinis.Amelia semakin ingin menggoda laki-laki itu. "Oh, dia nggak gombalin aku, Mas. Bunga yang dia bawa tiap datang beda-beda, tahu nggak? Ada mawar, krisan, carnation, terus casablanka. Tahu saja dia kalau aku suka bunga casablanka, bung-–"Inno berdecak. "Apa lagi? Melati, kantil, kamboja!" sahutnya cepat den
"Apa, Papa yang berada di balik menghilangnya Rianti? Apa dia sudah meninggal atau Papa menyuruh dia pergi jauh dariku?" tanya Evan lagi.Pak Rudi terdiam mematung. Laki-laki itu mengusap wajahnya kasar. Dia tidak menyangka, Evan akan memberikan pertanyaan jebakan seperti ini.Flashback 5 tahun lalu... Bintang di langit Jakarta tampak indah bertaburan di malam itu. Tetapi, hal tersebut tidak dirasakan oleh seorang laki-laki berkaca mata dengan tubuh tinggi tersebut. Keringat membasahi dahinya, menetes seolah ikut berpacu dengan waktu.Setelah menyelesaikan pekerjaannya, yakni, mengubur jasad wanita muda yang meninggal beberapa saat lalu. Laki-laki tersebut segera membersihkan genangan darah di lantai dengan kaos yang tadi dia pakai. Kaos itu penuh bercak darah bercampur tanah. Ada yang aneh dengan darah tersebut. Terdapat segumpalan kecil yang telah menghitam. Tak mau membuang waktu, setelah memastikan lantai bersih tak ada bau anyir atau jejak apa pun, dia segera memasukkan baju-baj
Menyadari ada raut keterkejutan dari sang putera, Bu Rudi menepuk pelan bahu laki-laki berusia 27 tahun itu. Evan menoleh dengan mata memerah. Kenyataan kali ini semakin meremas hatinya.Pak Rudi mengerti akan kekecewaan anaknya itu. Lelaki berkaca mata itu pun membuka suara, "Bukan hanya sekali kami mendapatkan laporan seperti itu, Van. Kalau kamu menganggap Papa dan Mama jahat, kenyataan yang baru kamu dengar dari mama kamulah, alasannya. Tapi, kami nggak sejahat yang kamu kira. Kami pernah memberi solusi sama kamu, kan? Seandainya, anak yang dikandungnya anak kamu maka kami bersedia mengadopsi dia, tapi bukan berarti menerima Rianti masuk di keluarga ini. Papa nggak mempermasalahkan pekerjaannya. Yang Papa nggak bisa toleransi adalah perbuatannya di belakangmu." Mendengar penuturan papanya, Evan masih diam. Dia benar-benar syok."Percaya sama Mama, Nak. Dia mungkin mencintaimu, tapi dia juga membagi tubuhnya dengan laki-laki lain. Kamu pantas mendapatkan yang terbaik, Van. Kamu anak
Heri memejamkan mata, pembicaraannya dengan Inno beberapa saat lalu mengenai Rianti, semakin menguatkan dugaan jika gadis itu sudah meninggal. Selain itu, ada hal lebih penting yang harus dia cari, yakni keberadaan laki-laki bertatto kalajengking tersebut.Tetapi, di mana? Heri benar-benar dibuat hampir frustasi karena kasus ini. Laki-laki itu mendesah kasar, kemudian beranjak dari tempat tidur."Sebenarnya, siapa laki-laki itu?" gumamnya. "Laki-laki bertatto kalajengking kan banyak di bumi ini, ya Allah, mudahkan misi kami," lanjut laki-laki itu.*Di sebuah panti jompo di Pulau Sumatera Seorang wanita tua termenung di bawah pohon mangga yang berbuah lebat. Jemari tangan keriputnya meremas ujung baju. Tatapan mata tua itu selalu kosong. Sesekali, senyum penuh arti tersungging dari bibir pucatnya. Seringkali tak merespon, ketika seorang perawat mengajaknya berbicara, "Ibu, Ibu makan dulu ya, biar Ibu cepat sehat." Sang perawat menyodorkan sendok dengan lembut.Wanita tua itu menatap
Heri mengernyitkan dahi, ada suara lain ikut bernyanyi di dalam mobil itu. Dia menarik napas lelah kemudian mematikan audio. Tidak ada suara apa-apa.Heri bersiul-siul. Dia tersenyum geli mengingat kejadian tadi. "Untungnya, nggak jadi nabrak orang. Bisa panjang urusan kalau dia sampai meninggal. Bisa-bisa dihajar massa dan jadi viral dengan judul, 'polisi nabrak orang sampai mati dan dihajar massa'. Astaga! Bisa jadi judul sinetron hidayah," gumamnya, kemudian tertawa dalam hati menyadari pikiran unfaedah itu. Mobil warna dark blue itu terus melaju pelan di komplek perumahan. Untuk mengusir sunyi, Heri kembali menyalakan audio mobilnya. Seperti tadi, dia kembali menirukan lagu yang diputar. Dan kembali pula, suara lirih itu mengikuti nyanyian tersebut. Suara itu berasal dari jok belakang. Heri melirik ke arah center mirror. Kosong, tidak ada penumpang lain di mobil itu. Dia kembali bersikap tak peduli. Heri mengusap tengkuknya yang terasa dingin seperti ada yang meniupnya."Terus m
Dia sangat geram. Lagi dan lagi, nama Marvinno yang masuk ke indera pendengarannya. Nama tersebut membuat darahnya seolah mendidih. "Marvinno..." desisnya dengan rahang mengeras.Dia kembali menatap ke luar kaca jendela mobil dan menghembuskan napas kasar. Laki-laki tersebut, sebenarnya sangat tampan walaupun bersikap dingin. Apalagi, dengan tattoo bergambar kalajengking menghias leher putihnya. Siapa pun yang melihat pasti akan berkata, dia type pria macho. Jambang tipis menghiasi rahangnya yang kokoh. Dan kaca mata minus itu, membingkai sepasang matanya yang setengah sipit."Maafkan aku, Sayang," ucapnya lirih sambil menatap foto seorang gadis cantik di wallpaper handphonenya. Dia tampak frustasi sambil menyugar rambut hitam pendeknya yang tertata rapi. Tak berapa lama, Mercy hitam itu pun, melaju pelan meninggalkan kawasan elite perkantoran dan hunian mewah para eksekutif muda.*Milan, ItalySelama lima hari, Evan dan anggota klub otomotif dari Indonesia menyelesaikan rangkaian
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak