Penghuni baru? Aneh sekali. Semenjak Inno dan Amelia pergi dari rumah itu, Evan tidak pernah menyewakan rumahnya pada siapa pun. Apalagi ada penghuni baru yang dia tidak ketahui. "Maksudnya Ibu bagaimana, ya?" tanya Evan lagi, untuk memastikan jika dirinya tidak salah dengar."Maaf Mas, Ibu cuma mewakili yang lain, mau komplain!" jawab Bu Aliya di telepon."Komplain masalah apa ya, Bu, maaf kalau saya boleh tahu?" Evan masih belum mengerti apa maksud dari Bu Aliya."Itu Mas, sejak Mas Inno dan Mbak Amelia pindah, kok rumahnya Mas Evan jadi ramai ya, kalau malam. Penghuni baru itu, Mas. Perempuan yang suka bawa laki-laki masuk. Kalau malam suka ribut, Mas. Kami terganggu. Pak Rizki sudah komplain ke pihak keamanan. Tapi, perempuan itu tidak berubah. Kasihan Mas, cucu Pak Rizki sering nangis kalau malam..." Jawaban beruntun dari Bu Aliya semakin membuat Evan bingung. Maka dia memutuskan setelah pulang dari rumah Inno, akan menyempatkan mengecek rumahnya tersebut.*Waktu sudah menunjukk
Keadaan di dalam rumah kembali gelap gulita. Hanya bias-bias lampu jalanan dan lampu taman yang redup menerangi depan rumah. Evan meminta petugas keamanan komplek hanya membantunya menyalakan lampu taman, yang kebetulan sakelar lampu berada di dekat bel pintu pagar.Evan melangkah santai menuju ke halaman rumahnya. Karena penasaran dengan lampu di dalam yang tadi menyala. Tanpa sengaja dia mendongak. Evan mengerutkan keningnya, ketika didapati dalam rumah ternyata gelap."Siapa sih yang di dalam?" tanyanya pada diri sendiri sambil terus melangkah.Satu kakinya mulai menginjak lantai teras. Evan terkesiap, ketika ekor matanya menangkap sosok bayangan seseorang. Perempuan berdress merah itu, berdiri kaku di samping pintu garasi yang mulai berdebu. Tepatnya di dekat rimbunan bunga tasbih. Evan memutar tubuh. "Siapa Anda?" tanya Evan waspada. Diam. Perempuan itu tak menjawab.Evan teringat ucapan Bu Aliya, tetangga depan rumahnya di telepon tadi. "Lancang sekali Anda masuk rumah saya d
Inno menghentikan aktivitasnya dan meraih benda di bawah bantal tersebut. Kening laki-laki tampan itu mengernyit. Dia memperhatikan benda berbentuk kotak terbungkus kertas kado yang kini berada di tangannya, dengan seksama."Apaan, sih?" tanyanya sambil memutar-mutar benda itu. Amelia berdecak dengan reaksi sang suami yang tidak peka. "Ck, kelamaan, Mas!" sahutnya gemas, kemudian menggeser tubuh dan membungkusnya dengan selimut.Inno membuka benda tersebut dengan hati-hati. Tampaklah sebuah arloji mewah dari brand ternama Italia, berwarna hitam beserta tulisan yang romantis.Inno tersenyum, kemudian kembali mencium kening istrinya."Terima kasih, Sayang," ucapnya penuh syukur. Dia sangat menghargai usaha wanitanya, yang rela membelikan benda mahal edisi terbatas tersebut.Inno meletakkan benda itu dengan hati-hati ke atas nakas. Amelia mengamati ekspresi sang suami yang menurutnya biasa saja. Mungkin bagi Inno, benda tersebut memang biasa karena laki-laki itu bisa membeli yang jauh le
Evan tertunduk lunglai mendengar ucapan tegas papanya. Dia membayangkan akibat kebodohannya, akan ada anak tanpa dosa lahir ke dunia. Mirisnya lagi, anak tersebut tidak memiliki nazab darinya karena tercipta di luar pernikahan. Laki-laki itu mendongakkan wajahnya, sekali lagi meminta belas kasihan dari sang papa. "Papa tega? Walaupun dia dikatakan anak haram, dia tetap darah dagingku, darah Papa dan Mama mengalir juga pada tubuhnya? Papa tega, karena kesalahanku dia dihina anak haram? Dan bagaimana seandainya setelah dewasa dia tahu, kalau dia ternyata cucu orang terpandang Rudi Darmawan?" tanyanya lirih berusaha meraih simpati papanya. Pak Rudi tertegun mendengar ucapan sang anak.Laki-laki paruh baya itu menunduk, menatap Evan yang masih berlutut di hadapannya. Pak Rudi mengangguk berkali-kali dengan mata memanas. Dia membenarkan ucapan sang anak. Jika setelah dewasa nanti, anak itu tahu memiliki kakek nenek kaya raya, apa dirinya tidak menjadi sasaran hujatan banyak orang?Terdenga
Setelah Amelia selesai shalat malam, Inno tidak bisa memaksa sang istri untuk tidur. Wanita itu malah membahas tentang mimpi yang menurutnya sangat nyata. Inno berkali-kali mendesah. Matanya terasa berat karena hanya tidur tidak lebih dari 30 menit saja. Amelia menatap sang suami yang berbaring di depannya. Sesekali laki-laki itu menguap dan menanggapi ucapannya sekadar saja."Mungkin hanya bunga tidur. Makanya kalau suami bilang wudhu dulu sebelum tidur, itu nurut," ucapnya parau.Amelia menarik gemas hidung mancung suaminya. "Bukan Maaass, ini bukan sekadar mimpi buruk. Laki-laki itu membunuh wanita yang hamil. Wanita itu meregang nyawa tapi dibiarkan saja, kasihan..."Inno membuka mata cepat dan menatap dalam manik hitam istrinya. "Astaghfirullah," gumamnya, kemudian memeluk sang istri.Amelia kembali menangis di dalam pelukan Inno. Dia tidak bisa membayangkan betapa menderitanya perempuan muda dalam mimpinya tadi, ketika menghadapi sakaratul maut bersama janinnya."Dia jatuh dari
Inno terdiam, pikiran laki-laki itu kalut teringat mimpi yang dialami Amelia tadi malam. Heri kembali senyum-senyum. Niat jahil untuk menggoda sahabatnya kembali muncul."Kuat berapa ronde, No, kamu semalam?" tanyanya dengan alis naik turun.Inno langsung mendecakkan lidah kesal. "Nggak ada topik lain apa, Her?" tanyanya dengan wajah memerah.Meskipun dirinya sering berbicara bar-bar, tetapi Inno tidak pernah mau membahas urusan tempat tidur dengan orang lain walaupun pada sahabat sendiri. Sebadung apa pun dulu, bagi Inno, urusan ranjang adalah hal paling privasi bersama istrinya.Melihat Inno masih diam. Heri semakin memanfaatkan situasi. Heri tersenyum simpul. "Kenapa wajahmu malu-malu gitu?" godanya.Inno kembali berdecak. "Berisik tahu, Her!" protes laki-laki berwajah campuran itu sambil memulai pemanasan. Heri mengikuti sahabatnya."Ha ha ha! Come on, No. Kamu tuh sudah mau jadi bapack-bapack. Bukan anak abege yang kepergok ciuman. Lucu saja wajahmu begitu. Kuat berapa ronde, sema
Sepulang dari fitness, Inno belum mendapati istrinya di rumah. Rupanya ke-empat wanita beda usia itu masih berada di pusat perbelanjaan. Dari Aisyah dia mengetahui jika istri dan adiknya itu tengah berada di Spa. Aisyah memang cukup rajin mengunggah kegiatannya di story.["Pergi dari pagi, nggak kangen suaminya, gitu?"] Inno mengirim pesan singkat untuk istrinya.Hampir jam dua siang, Amelia sampai di rumah. Dia meletakkan beberapa paper bag berisi belanjaan di sofa dengan hati-hati. Wanita cantik itu tersenyum melihat sang suami yang tertidur pulas. Bergegas Amelia membersihkan diri dan shalat, kemudian merebah di samping Inno."Ditungguin dari tadi malah perhatian sama ponsel," gerutu Inno sambil meraih handphone dari tangan istrinya dan menyimpannya di bawah bantal."Maaf, aku kira Mas tidur," ucapnya lirih."Kerasa kamu naik ke tempat tidur. Peluk dong," pinta Inno sambil meraih tangan sang istri. Amelia memeluk bahu suaminya sambil tersenyum.Bukannya tidur, Amelia justru bercerit
Inno menengadahkan telapak tangan, tetapi Amelia tetap menggenggam erat benda di belakang tubuhnya.Matanya berkaca-kaca menantang tatapan mata suaminya."Sini, kembalikan. Atau kamu buang saja, Sayang." Inno berkata lirih. Amelia tidak menanggapi, dia terus menatap suaminya dengan wajah memerah. "Buang saja, itu nggak penting, Sayang." Inno menegaskan sekali lagi."Yang ingin aku ketahui tentang gelang ini, Mas. Bukan mau di kemanakan benda ini!" serunya dengan suara bergetar. Inno mengangguk pelan. "Itu gelang pemberian Fatma. Maaf, aku nggak tahu kalau masih ada di sini, aku pikir sudah hilang," ucapnya lagi penuh perasaan bersalah. Semenjak dia memutuskan menikahi Amelia, Inno memang bertekad mengubur semua kisah-kisah masa lalunya menjadi tak ingin tersisa. "Apa Fatma masih hidup?" tanya Amelia lirih.Inno mengerutkan kening mendengar pertanyaan istrinya. "Nggak tahu, Sayang. Kami sudah lama nggak ko--""Ceritakan semuanya Mas, biar aku tahu!" sahut Amelia tidak ingin dibantah.
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak