Inno masih diam memperhatikan menu makan siangnya. Laki-laki itu masih berusaha menetralkan detak jantungnya yang berdetak lebih cepat. Perlahan, dia menarik napas kemudian membuangnya."Mau disuapin? Ditungguin sambil melamun juga paha ayam nggak berubah jadi paha kambing, Mas," celetuk sang istri tanpa menyadari kondisi sang suami.Inno membuang muka. Dia berusaha membatasi pandangan dengan sang istri. Istri cantiknya itu memang kadang-kadang perlu ditunjukkan bagaimana caranya peka akan situasi. "Bisa nggak sih, nggak usah memancing? Nggak ngerti saja!" gerutunya jengkel. Butuh waktu dua detik bagi Amelia untuk menangkap maksud ucapan suaminya. Dia menatap laki-laki yang kini memfokuskan pandangan ke layar komputer di atas meja, dengan heran."Mas kenapa sih uring-uringan terus?" Inno menatap malas Amelia. "Semua ini salahmu, masih pura-pura nggak tahu!" ketusnya.Amelia memutar bola mata malas. "Salahku?" ulangnya belum juga paham. Inno mengangguk dengan tatapan lurus ke arah la
Evan memejamkan matanya yang memanas. Ucapan papanya sangat menyakitkan. Tidak cukupkah penolakan demi penolakan yang diberikan pada Rianti waktu itu?Laki-laki berwajah rupawan itu mengepalkan kedua tangan, rahangnya mengeras.Evan menarik napas panjang. "Astaghfirullah," lirihnya.Walaupun cinta untuk Rianti kini telah mengabur, seiring berjalannya waktu. Dan terisi cinta yang lain, namun, sayangnya cinta itu terlarang. Namun, hati Evan tak terima jika gadis yang dulu menjadi sumber kebahagiaannya, dihina sebagai gadis tak punya harga diri.Ya, dialah yang membuat Rianti menjadi gadis tak punya harga diri di mata keluarganya. Dia gagal menjaga Rianti, dia merusak Rianti. Gadis sederhana yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta itu, pergi dengan membawa luka. Perbedaan usia dan status sosial tak membuat cintanya berkurang pada gadis berparas ayu tersebut. Namun, Evan tak mampu meruntuhkan tembok kokoh yang menghalangi mereka. "Kenapa Papa selalu bilang Rianti gadis n
Inno yang belum menyadari akan kekesalan istrinya, masih asyik melihat acara MotoGP. Begitu pun dengan Aisyah, yang malah menyandarkan kepalanya di bahu sang kakak dengan manja."Ish, mandi sana, uhh! Ngapain nempel-nempel?" Inno mendengus sambil mendorong pelan kepala sang adik dari pundaknya. Aisyah pun menurut, dia segera bangkit dari tempat duduk. Tetapi, sebelum beranjak pergi....Cup. Dia mencium pipi putih kemerahan Inno, sambil mengacak-acak gemas rambut coklat kakaknya.Dan itu tak luput dari tatapan mata Amelia yang berdiri di anak tangga. Ada rasa kesal di dalam hati wanita cantik itu. Wanita hamil muda itu segera masuk ke kamar, melepas hijab kemudian membaringkan tubuh di atas tempat tidur. Diambilnya handphone milik Inno yang sedari tadi berada di kantong celananya. Matanya menatap foto pernikahan mereka yang digunakan Inno sebagai wallpaper. "Sabar Amelia, punya suami ganteng tuh harus tahan godaan di mana-mana. Nggak di luar rumah nggak di dalam rumah," batinnya. Ame
Lisa yang merasa canggung hanya menunduk sambil meremas jemarinya. Dia menyesalkan tindakannya tadi, yang terlebih dahulu berdiri di ambang pintu yang setengah terbuka, sebelum mengetuk pintu tersebut. Sehingga harus melihat adegan sang bos, yang tengah berciuman mesra dengan istrinya. Sesekali, Lisa melirik ke arah Inno yang duduk tepat di seberangnya. Laki-laki itu tampak serius meneliti lembar-lembar berkas, sebelum membubuhkan tandatangannya di situ."Sudah, Lis. Oh ya, nanti bisa tolong belikan kami makan siang?" tanya Inno menyentak lamunan gadis itu. Lisa yang tergagap langsung mendongak.Dia mendapati Inno tersenyum sekilas. Lisa mengangguk kaku. "I-iya, Pak," jawabnya gugup. Inno hanya menggeleng samar sembari mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu dari dalam dompetnya. "Kamu kenapa, Lis?" tanyanya sambil mengangsurkan uang ke hadapan Lisa."Eh ... tidak, Pak." Lisa menjawab dengan gugup, sedangkan Inno malah tersenyum penuh arti."Sayang, kamu mau makan apa?" tanya Inno
Amelia mendesah kasar sambil mengusap kedua matanya. Tatapan curiga dari sang suami, benar-benar membuatnya tak berkutik. Dia hendak bangkit, tetapi Inno segera menahannya dengan memegang lengan wanita itu."Aku belum selesai bicara, Amelia!" katanya tegas sembari mengisyaratkan dengan tatapan supaya istrinya untuk kembali duduk. "Buka dulu, biar kita tahu dari mana paket itu," titahnya dengan nada pelan. Amelia tetap menggeleng. Inno tersenyum penuh arti sambil mengusap perut rata istrinya. "Dek, kasih tahu Mama, kalau marah-marah terus tambah gemesin. Papa rasanya ingin nerkam mama kamu, Dek. Lihat tuh bibirnya gemesin banget." Inno mendongak dan tersenyum jahil pada istrinya. Amelia melengos, tidak tertarik dengan gombalan suaminya."Buka dulu itu, biar kita tahu pengirimnya, Sayang." Inno mengulang perintahnya sambil menyerahkan paper bag itu pada sang istri.Dengan bibir masih maju, Amelia menurut dengan malas. Jari-jari lentiknya meraih box kecil yang bertali pita warna ungu dar
"Terima kasih ya, Win, sudah bantuin aku ambil hadiah buat Mas Inno. Sejak tahu aku hamil, Mas Inno nggak bolehin aku pergi sendirian." Amelia berkata pada Windi setelah mengakhiri panggilan telepon dengan suaminya.Windi tersenyum, dia ikut merasakan kebahagiaan sang sahabat. "Sama-sama. Aku seneng bisa bantuin kamu. Aku paham Mel, kalau Mas Inno lebih posesif. Karena kalian menantikan momen ini sudah lama."Amelia mengangguk dan mengusap perutnya. "Iya, dan Mas Inno--""Mel, Mel!" Windi menghentikan ucapan dan menahan langkah Amelia dengan tangannya. Amelia mengikuti arah pandangan Windi ke depan sana. Windi menoleh ke arah sahabatnya yang berdiri mematung.Di sana, Inno terpaku dan butuh beberapa detik untuk kembali pada kesadarannya. "Vi, Vi tolong lepaskan!" ujar Inno pelan sambil melepaskan pelukan gadis cantik itu. Inno memejamkan mata sesaat, kemudian mengalihkan pandangan. Sedangkan gadis di depannya menatap Inno tanpa berkedip. Memperhatikan laki-laki tampan yang masih berd
Bugh...Sebuah boneka beruang sebesar kucing, melayang tepat mengenai kepala laki-laki bertubuh tegap itu. Heri melotot, di samping tempat tidur, si pemilik kamar menatapnya dengan tatapan nyalang. Tadi, Heri yang percaya diri memasuki kamar mencoba berpikir realistis. Amelia mendesain ulang kamar Inno, yang dulu full warna-warna monokrom, menjadi putih dan pink lembut. Belum sempat Heri berpikir lebih jauh, benda-benda milik Aisyah kembali melayang ke arahnya tanpa ampun. Heri mencoba menghindar dan tak ingin membuat keributan."Ais, Ais, so-sorry, wait ... wait!" ucapnya sambil mengangkat kedua tangan."Keluar! Ngapain di sini, keluar!" teriak Aisyah marah. Heri masih terpaku, menatap Aisyah yang berdiri di tempatnya. Laki-laki itu tertegun dengan pemandangan di sana. Aisyah, gadis yang biasa tertutup pakaian muslimah itu, kini, hanya mengenakan handuk yang menutupi bagian tubuh tengahnya. Rambut sebahunya tergerai setengah basah. Kulit tubuhnya yang putih menjadi pemandangan baru
Penghuni baru? Aneh sekali. Semenjak Inno dan Amelia pergi dari rumah itu, Evan tidak pernah menyewakan rumahnya pada siapa pun. Apalagi ada penghuni baru yang dia tidak ketahui. "Maksudnya Ibu bagaimana, ya?" tanya Evan lagi, untuk memastikan jika dirinya tidak salah dengar."Maaf Mas, Ibu cuma mewakili yang lain, mau komplain!" jawab Bu Aliya di telepon."Komplain masalah apa ya, Bu, maaf kalau saya boleh tahu?" Evan masih belum mengerti apa maksud dari Bu Aliya."Itu Mas, sejak Mas Inno dan Mbak Amelia pindah, kok rumahnya Mas Evan jadi ramai ya, kalau malam. Penghuni baru itu, Mas. Perempuan yang suka bawa laki-laki masuk. Kalau malam suka ribut, Mas. Kami terganggu. Pak Rizki sudah komplain ke pihak keamanan. Tapi, perempuan itu tidak berubah. Kasihan Mas, cucu Pak Rizki sering nangis kalau malam..." Jawaban beruntun dari Bu Aliya semakin membuat Evan bingung. Maka dia memutuskan setelah pulang dari rumah Inno, akan menyempatkan mengecek rumahnya tersebut.*Waktu sudah menunjukk
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak