Inno menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Ada rasa bersalah yang besar telah membentak istrinya. Laki-laki itu mengacak rambutnya dengan kasar.Tok ... Tok ... Tok!"Amelia, aku ingin bicara!" Di dalam, Amelia menoleh sekilas. Sayup terdengar suara pintu diketuk, disusul panggilan dari Inno. Amelia tak menggubris. Dia mengguyur tubuhnya di bawah shower. Air matanya mengalir bersamaan dengan derasnya air tersebut. "Meeel, Amelia. Tolong buka pintunya, Sayang!" Suara Inno lagi.Amelia segera mematikan kran air dan memakai pakaiannya cepat. Amelia melangkah pelan menuju ke pintu dan bertemu pandang dengan suaminya.Inno langsung menarik tubuh Amelia ke dalam pelukannya. "Maafkan aku, Sayang. Maaf, aku nggak bermaksud bicara ketus." Inno merenggangkan pelukan dan menatap intens wajah sembab sang istri. "Jangan dengerin kata-kata Aisyah. Maafkan aku, ya," pintanya lagi.Amelia hanya mengangguk. "Aku mau shalat dulu, Mas. Tolong lepaskan," ucapnya lirih sembari mendorong pelan t
Ada rasa haru di hati Amelia mendengar kejujuran Inno. Laki-laki yang memiliki background anak nakal itu ternyata tidak seburuk yang dia pikirkan. Amelia menatap sayu lelaki yang mengungkungnya dengan posesif itu.Ada rasa takut dan berdebar-debar seperti menghadapi ujian nasional. Apalagi ketika tangan dan ciuman Inno menjelajahi tubuhnya dengan hati-hati."Mas, aku takut," lirih Amelia. Inno menunduk, mencium pelan kening sang istri. "Aku mengajakmu yang kata orang ke surga dunia, Sayang. Apa itu benar? Let's try," jawabnya sambil tertawa lirih."Terus kalau sakit, nggak usah dilanjutkan, ya?" sahut Amelia lalu memalingkan wajah. "Enak saja, dibuat sampai enak, lah. Sudah ah, jangan ngajak becanda terus. Ada yang sudah nggak sabar nih. Sepuluh hari loh, nungguin," lanjut Inno sembari melirik area bawahnya. Amelia sontak mengikuti arah pandangan Inno dan langsung menutup matanya. Inno telah menanggalkan pakaiannya dan kini hanya mengenakan celana boxer pendek. Itu adalah pemandang
"Nggak apa-apa, Dik. Aku tahu dan sadar di mana tempatku. Nanti aku bilang ke Mas Inno, ya," ucap Amelia pelan dan sekuat tenaga untuk tidak menangis di depan gadis remaja tersebut."Kak, ma-maafkan, Ais!" Aisyah kembali memohon.Amelia mengangguk tanpa menatap gadis itu. "Nggak perlu meminta maaf, Dik. Kamu nggak salah. Ya sudah, Kakak mau Dhuha dulu," pungkasnya kemudian berlalu. Setengah berlari, Amelia menaiki anak tangga rumah megah itu menuju ke kamarnya. Dia menyandarkan punggung di daun pintu. Menatap nanar ke penjuru isi kamar mewah tersebut."Apa aku nggak pantas menjadi bagian dari keluarga ini?" tanyanya pada diri sendiri. Segerombol air mata yang ditahan sejak tadi, akhirnya runtuh ke pipinya.Amelia tertegun sejenak. Dia memegang kalung yang diberikan sang suami tadi malam. Amelia melepaskan kalung itu dan mengamatinya. Kemudian mengembalikan ke tempat semula. Dia juga mengambil sebuah kartu berwarna hitam yang diberikan sang suami beberapa hari lalu. Kemudian meletakka
"ART baru?" tanya Aisyah sembari menggaruk pelipis tak mengerti. Brenda mengangguk lemah. Dia menatap kosong pada gelas yang tadi berisi air putih. Membayangkan wajah cantik Amelia, dengan perpaduan wajah Jawa dan Timur Tengah. Senyum ramah Amelia menambah daya tarik wanita itu. Brenda diam-diam mengakui hal tersebut. Lantas, bagaimana dengan Inno? Mereka seumuran. Bisa jadi, Inno akan jatuh cinta pada ART baru mereka. Semakin sulit Brenda mendekati Inno. Selama 2 bulan menjadi guru bahasa asing bagi Aisyah, membuat Brenda diam-diam menyukai Inno. Tidak peduli usianya lebih tua dari Inno."Siapa yang Kak Brenda maksud?" tanya Aisyah penasaran. Brenda mengangkat bahu. "Amelia," jawabnya lemah.Aisyah langsung menutup mulutnya. Apalagi tatapan matanya tertuju pada Inno yang berdiri di anak tangga paling atas. Laki-laki itu mengeraskan rahangnya dengan wajah memerah. Aisyah menunduk dalam. Tak ingin lagi mencari perkara dengan kakaknya itu. Bisa-bisa Inno tidak akan memberinya uang ja
Inno tak menanggapi. Dia tidak tertarik dengan pembahasan tersebut. Laki-laki itu segera menggenggam jemari tangan istrinya."Ada lagi yang mau dibeli, Sayang?" tanyanya pada Amelia.Wanita itu menggeleng pelan. Dia menatap Brenda dan Aisyah tak enak hati dengan sikap dingin Inno pada mereka. Amelia tersenyum kaku dan mengangguk samar pada kedua orang yang berdiri di depannya."Ya sudah, kalau gitu. Kami duluan ya, Dik. Kamu hati-hati. Kak Brenda, titip Aisyah, ya," ucap Amelia sebelum berlalu mengikuti langkah Inno.Brenda menjawab dengan anggukan kecil. Dia melirik pada Aisyah yang masih senyum-senyum menatap kepergian Inno dan Amelia. Brenda merasa menjadi orang yang sangat bodoh."Kak, sudah jangan murung terus, dong." Aisyah menyikut pelan lengan Brenda. Brenda melirik sekilas pada Aisyah, kemudian kembali menatap jauh ke depan sana. Di mana Inno dan Amelia memasuki restaurant Jepang. Tentu saja masih saling bergandengan tangan."Kapan Inno nikah, Ais? Perasaan dia masih kuliah,
"Nggak apa, Mas. Nggak apa-apa."Inno berdecak, kemudian bergegas mengambil kotak P3K. Aisyah dan Brenda hanya bisa saling pandang. Brenda menggigit bibirnya takut, melihat punggung tangan Amelia yang memerah. Dia memperhatikan Inno yang tengah mengobati tangan istrinya dengan hati terasa panas. Inno mendekatkan tangan Amelia dan meniupnya. Sementara tatapannya tak lepas dari wajah cantik Amelia."Lagian kalau suaminya ngomong, rehat dulu, itu nurut. Ngeyel banget jadi orang," gumam Inno gemas sambil mengoleskan salep luka bakar pada tangan Amelia.Amelia mengerutkan bibirnya tak berani membantah. Amelia memegang lengan sang suami. Mengusap-usap lengan kekar laki-laki itu untuk menenangkan. Brenda langsung membalikkan badan, tak ingin terlalu lama melihat interaksi kedua orang tersebut."Gimana, apa perlu ke dokter?" tanya Inno lirih setelah selesai mengobati tangan Amelia."Nggak perlu, Mas. Cuma kesenggol dikit bukan kena air panas juga.""Ngeyel. Memangnya, kamu ngapain sih?" Ame
"Lama banget, sih?" protes Inno dengan tatapan dingin begitu Amelia memasuki kamar.Amelia tersenyum kemudian melepaskan hijabnya. Setelah itu, dia merebahkan tubuh di samping sang suami. Amelia mendongak menatap manik coklat itu. Teringat ucapan Mbak Lulu tentang Brenda. Tiba-tiba rasa khawatir itu menyeruak ke dalam dadanya lagi. "Mas, nanti kalau aku di Jogja, Mas di sini nggak boleh macam-macam ya," pesannya sambil memainkan jemari di kancing polo shirt Inno.Inno menunduk, memegang pipi Amelia dan mengecup bibir ranum itu. "Macam-macam gimana? Waktuku itu habis untuk kuliah sama pekerjaan. Nanti setiap Jumat sore aku ke Jogja." "Iyaa, tapi kan sering ketemu Kak Brenda. Gimana kalau dia diam-diam menyukai Mas Inno?" tanyanya khawatir.Inno terkekeh pelan. "Apa yang kamu khawatirkan? Kalau aku punya kamu, ya sudah cukup. Kamu saja sampai mati. Memangnya, kamu mau aku punya banyak istri? Boleh tuh," goda Inno yang langsung dicubit oleh Amelia.Inno mengaduh sambil memegangi tangan
"Eng-nggak, nggak ada apa-apa, Mas." Amelia menjawab dengan suara lirih.Inno berdecak kemudian memakaikan kembali kalung itu di leher sang istri. Inno memegang wajah Amelia dan menatap dalam manik hitam tersebut."Kamu bukan anak kecil yang menghilangkan perhiasan jika dipakai. Ini nggak besar dan nggak kelihatan. Ini hadiah pernikahan dari aku. Tolong jangan dilepas seperti halnya ini," ucap Inno lirih sambil mengangkat telapak tangan Amelia dan mengusap cincin di jari manis wanita itu. "Kalau kamu ingin menyimpannya bukan ini. Tapi yang lain. Aku beli ini spesial untuk kamu pakai, Sayang. Kamu mengerti?" Amelia mengangguk pelan dan mengerjapkan mata. "I-iya, Mas," jawabnya sangat lirih."Dan untuk kartu itu kamu simpan, jangan ditaruh di sini. Kamu gunakan jika perlu. Soal biaya kuliah dan kebutuhan sehari-hari selama kamu di Jogja, aku transfer tiap bulan.""Mas, apa itu nggak terlalu berlebihan?" tanya Amelia gusar. Dia tidak ingin imej materialis tersemat padanya.Inno menggele
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak