Inno terdiam beberapa saat dan menggaruk pelipisnya dengan jari telunjuk. Inno salah tingkah. Paman Usman yang menyadari hal tersebut hanya tersenyum penuh arti. Dia tahu, pertanyaan itu memang sensitif. Tetapi, demi keselamatan keponakan dan calon cucunya, dia harus berkata jujur.Sekali lagi dia bertanya pada Inno yang belum juga menjawab. "Paman tanya ini untuk memastikan calon anak kalian aman, Inno. Jawab saja. Tapi Paman berharap jawaban kamu sesuai dengan keinginan Paman," ucapnya pelan. Pandangan aneh dari kedua orang tua Inno dan juga Aisyah tertuju pada laki-laki berambut cokelat itu. Inno menggeleng tegas. "Nggak Paman," jawab Inno pada akhirnya. Hal itu tentu, membuat Paman Usman menarik napas lega. "Syukurlah, Nak..." Paman Usman menjeda kalimatnya, lalu kembali berkata lirih, "Paman hanya khawatir saja, wanita itu merasuki raga istrimu saat kalian beribadah. Karena dia seperti terobsesi sama anak kalian Semoga saja, anak kalian laki-laki supaya dia nggak bisa merasuki r
Amelia menggigit-gigit ujung jari telunjuk dengan gelisah. Wanita cantik itu berusaha membatasi pandangan dengan suaminya. Melihat tingkah sang istri yang membuatnya penasaran, Inno merasa gemas sendiri. "Aku hitung sampai tiga, nggak jawab ..." ancamnya dengan alis naik turun persis seperti playboy yang mengincar mangsanya. "One, two...""Three, tapi Mas Inno janji, nggak akan marah. Aalagi ... pokoknya janji dulu!" sahut Amelia cepat. Hal tersebut membuat Inno mendesah dan menatap gemas pada wanitanya itu.Walaupun tidak tahu apa yang akan dikatakan istrinya, Inno terpaksa mengangguk. "Iya, janji," ucapnya lirih."Itu, Mas, tentang...," Amelia menghentikan ucapannya lagi."Tentang itu, apa? Kayak ditawarin nikah saja. Padahal, dulu pas aku ajak nikah langsung mau," sahut Inno mulai kesal.Amelia memutar bola mata malas mendengar gurauan Inno yang terkesan mengada-ada. "Tentang beasiswa aku itu, lho, Mas!" jawabnya gemas."Kenapa dengan beasiswa kamu? Seharusnya, tanpa kamu tanyakan
Heri mendengus dan melirik sinis pada Evan. "Setan nih, orang! Sialan ora sopan," ucapnya sembari mengambil potongan apel yang jatuh di pangkuannya lalu memasukkan ke mulut.Evan memutar bola mata malas mendengar ucapan laki-laki itu, padahal semua berawal darinya. "Sok paling sopan. Terus, apa bedanya sama kamu, Her? Kamu juga sibuk kerja, padahal kamu jones sejati?" sindirnya yang membuat Heri mengangkat bahu tak acuh. "Bedalah. Aku kerja karena tanggung jawab dan panggilan hati, juga negara," jawab Heri berlagak bijak.Inno yang memilih menjadi pendengar, hanya bisa mengangkat sebelah alis menatap kedua temannya itu. Sekali lagi, laki-laki berwajah bule itu menggeleng samar mendengar pembicaraan mereka."Semua pekerjaan itu, harus kita jalani karena rasa tanggung jawab. Jadi, seandainya kita mangkir sehari saja maka kita sudah merasa nggak professional, Her. Bukan masalah jadi miskin atau nggak. Setidaknya, kita harus kasih contoh yang baik untuk bawahan kita. Bener nggak, Nok?" ta
Evan merasa heran. Jarak rumah sakit dengan tempatnya kecelakaan lumayan jauh. Tidak mungkin Bunga datang sendiri ke rumah sakit. Evan menggeser posisi badannya sambil meringis merasakan nyeri di kakinya yang terbalut verban. Dia hendak meraih handphone di atas nakas. Akan tetapi tatapan mata setengah sipitnya tertuju pada setangkai bunga yang sudah layu. Dengan kening berkerut, laki-laki tampan itu meraih bunga tersebut dan mengamatinya. "Bunga tasbih?" gumamnya dengan tatapan penuh keheranan. Jika diperhatikan dengan seksama, warna bunga itu bukan merah gelap atau biru tua. Akan tetapi, berwarna hitam. Selama 26 tahun hidupnya, dia baru melihat ada bunga tasbih berwarna hitam. Evan meletakkan bunga tersebut di bawah bantal saat kedua orang tuanya memasuki ruangan VVIP tempat dirinya dirawat. "Mama pakai perfume apa, sih? Wangi banget, mual aku." Evan mengendus lengan baju mamanya. Bu Rudi mengerutkan dahi dan ikut mengendus pakaiannya. "Ngaco kamu, mana ada perfume? Kamu tahu kan
Security dengan badge name Suryadi itu mengangguk tanpa ragu. Lalu setengah berbisik dia berkata, "Menurut banyak cerita, tempat itu bekas makam janin-janin yang keguguran, Pak. Sebelum dipindahkan ke sebelah lapangan belakang rumah sakit ini." Suryadi mengusap lengan setelah menyelesaikan ucapannya."Makam? Tapi tadi saya lihat seseorang yang saya kenal menuju tempat parkir dekat taman, Pak!" sahut Evan bingung."Itu perasaan Bapak saja," jawab Suryadi lagi setengah berbisik.Evan mengusap lengannya yang meremang. Saat pintu lift terbuka, dilihatnya kedua orang tua Evan yang terlihat panik di depan nurse station."Evan, ke mana saja kamu? Kami cari dari tadi?" Bu Rudi yang terlihat panik melangkah cepat menghampiri anaknya. Evan dan Suryadi saling pandang sesaat. " Evan jalan-jalan sebentar Ma dan diantar ke sini sama Pak Suryadi," jawabnya setengah berbohong."Terima kasih, Pak." "Sama-sama, Bu. Selamat istirahat, Pak. Saya kembali ke pos jaga," jawab Pak Security sopan sebelum per
Benar saja, keesokan harinya, Evan diperbolehkan pulang, mengingat kondisinya yang sudah membaik. Sebelum memutuskan pulang ke rumah, Evan lebih dahulu pergi ke toko khusus keperluan anak-anak. "Pak, tolong tunggu sebentar, aku mau mampir beli sesuatu dulu," katanya pada sopir keluarga yang menjemputnya ke rumah sakit. "Baik Mas." Evan bergegas turun, dengan antusias dia membeli banyak barang untuk Bunga. Laki-laki itu merasa kasihan dengan Bunga, yang memakai pakaian lusuh dan sendal butut yang tak kalah lusuh. Berbagai pernak-pernik berhubungan dengan anak perempuan Evan beli. Mulai dari tas lucu warna pink dengan gambar tokoh animasi Barbie dan Rapunzel, gaun berwarna pink, baju-baju anak yang trendi juga sepatu serta mainan. Setelah membayar dengan black card-nya, arsitek muda itu keluar dari toko dengan membawa dua buah kantong berukuran besar. Dengan perasaan heran Pak Sopir membantunya meletakkan semua belanjaan Evan di jok belakang. "Siapa yang ulang tahun, Mas? Apa mau k
Keduanya masih sama-sama diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Evan tidak mengerti, mengapa semenjak kecelakaan, dirinya menjadi aneh. Apa benar yang dikatakan Pak Faiz? Jika dirinya tengah berhalusinasi akibat kecelakaan hebat itu? Laki-laki berkemeja biru navy itu mendesah, yang mengundang Pak Faiz menoleh sekilas ke arahnya. Pak Faiz yang tengah fokus pada kemudi itu bertanya lirih, "Mas Evan mikirin tadi ya?" Tebakan Pak Faiz ternyata tepat.Evan menoleh sekilas lalu kembali menatap ke depan."Kok bisa ya, Pak, aku seperti itu? ""Iya, katanya orang habis kecelakaan itu bisa membuka indera keenam, entah benar atau nggak, Mas.""Aku nggak percaya itu, Pak. Oh, ya, nanti kalau Papa tanya kenapa kita baru pulang, tolong jangan bilang aku mampir nemuin Bunga ya, Pak. Bilang saja aku mampir ke apartemen," pinta Evan, yang diangguki patuh oleh Pak Faiz.Dia memilih mengalihkan pembicaraan, daripada melanjutkan membahas hal aneh yang membuatnya semakin pusing. Mobil mewah itu pun mema
Di kediaman orang tua Inno...Waktu telah melewati dini hari, tetapi laki-laki berwajah bule itu belum berniat untuk tidur. Sesuai pesan Paman Usman beberapa waktu lalu, dia tidak akan tidur sebelum jam dua dini hari. Walaupun lelah, tetapi dia tidak merasa keberatan melakukan semua itu. Demi keamanan sang istri dan calon anak mereka. Inno tidak ingin lengah dan hal buruk terjadi pada istrinya seperti waktu itu. Beruntung, Inno memiliki keluarga di Italia. Dengan perbedaan waktu sekitar 6 jam bisa dimanfaatkan lelaki jangkung itu. Sehingga dia bisa membunuh rasa bosannya dengan melakukan video call dengan kakek neneknya di Venezia. Kali ini Inno memilih menghubungi Matteo, sepupunya yang tinggal di kota Milan. "E la decisione del nonno? Tutto dipende dall'approvazione del nonno come proprietario dell'azienda e Celia consigliere delegato. Non dirmi che ne parli solo per interrompere il mio tempo Matteo." (Bagaimana dengan keputusan kakek? Itu semua tergantung pada persetujuan kakek se
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak