Napas keduanya memburu, Amelia tanpa sadar melingkarkan lengannya dengan erat di bahu sang suami. Sedangkan tangan Inno menjelajahi tubuhnya dengan hati-hati. Sedetik kemudian, keduanya menghentikan ciuman. Pandangan mereka beradu dalam kabut.Inno menatap sayu wajah memerah istrinya yang langsung menunduk malu. "Sayang, kamu...," ucapnya meminta persetujuan.Amelia mendongak, menatap iris coklat hazel yang berkabut itu, lalu mengangguk pelan. Mereka sudah halal. Siap tak siap, cepat atau lambat, lelaki itu akan meminta haknya karena Inno adalah suaminya. Inno mencium kening istrinya dan hendak membimbing wanita itu menggumamkan do'a. Tetapi...Tok ... Tok ... Tok!Keduanya menoleh ke arah pintu. Amelia segera turun dari pangkuan Inno dan merapikan pakaiannya, lalu menyambar hijabnya. Irfan tampak berdiri canggung di depan pintu dan menatap pasangan suami istri baru itu tak enak hati."Ada apa, Fan?" tanya Amelia. Dia menatap wajah serius adiknya yang biasanya cengengesan. Inno ikut m
Tanpa berucap apa-apa, Amelia bergegas turun dari pangkuan suaminya. Inno segera menyambar tangan sang istri sehingga Amelia kembali duduk di atas paha lelaki itu.Kini, Inno juga memeluk posesif pinggang ramping itu. Inno menatap dalam pada Amelia yang langsung membuang muka. Wanita itu sibuk memilin ujung hijab. Inno menoleh, memperhatikan wajah gelisah Amelia yang hanya berjarak beberapa inci saja. "Kenapa Sayang?" tanyanya lirih. "Kenapa kamu nggak suka?" ulang laki-laki itu lagi.Amelia masih tidak menjawab. Dia tidak tahu perasaan apa yang sekarang berkecamuk di hatinya. Dia takut dan ... ah, entahlah. Tak banyak Amelia ketahui tentang jati diri pria yang menjadi suaminya itu. Mendadak, Amelia menjadi takut. Inno yang notabene berdarah campuran, kaya, dan berwajah rupawan, tentu saja dikelilingi beberapa wanita cantik.Amelia menunduk, menatap jemarinya sendiri. Namun, Inno mengangkat dagu wanita itu pelan untuk menatapnya. "Apa yang kamu pikirkan tentang aku, Sayang?" ulangnya
"Siapa yang kalian bilang matre? Akukah? Astaghfirullah. Makam Abah masih basah, tapi bisa-bisanya kalian membuat fitnah seperti ini." Amelia menatap ketiga lelaki itu bergantian, kemudian tatapan matanya tertuju ke arah Imran. "Mas Imran, ternyata keputusan aku menolak lamaran kamu waktu itu sudah tepat," ucapnya lirih. Imran hendak berucap, namun Amelia lebih dahulu bergegas meninggalkan tempat tersebut. Dia tak ingin lagi melihat laki-laki yang memiliki hobi berghibah itu. Amelia melajukan motornya dengan kencang. Hatinya bergemuruh kesal. Ada rasa sakit, marah, dan juga bersyukur. Setidaknya, dia menjadi tahu laki-laki macam apa yang bernama Imran tersebut."Untung aku nggak nerima lamaran dia. Kalau nggak, masalah ranjang juga diumbar," gerutunya jengkel.Amelia menutup pintu kamar dengan kasar. Hal tersebut membuat Haznia, adik sepupunya menjadi heran. Gadis remaja itu segera mengikuti Amelia memasuki kamar."Ada apa, Mbak?" tanyanya sembari menutup pintu.Amelia menoleh sekil
"Apa dipikir dengan cara membuat gosip begitu, Mas Imran akan mendapatkan simpati dari para santri? Aku jadi nggak respek lagi sama dia.""Betul. Dulu aku berharap punya suami shalih kayak dia, nggak tahunya di--""Ehem, tidak baik berghibah!"Beberapa santriwati langsung menghentikan pembicaraan dengan wajah takut. Tiga gadis seusia Amelia itu menunduk dalam. Namun, ekor mata mereka melirik ke arah Inno dan Pak Rasyid. "Astaghfirullah, jaga pandanganku dari suami orang. Seperti lihat pemain bola," bisik salah satu di antara mereka.Temannya langsung mencubit lirih lengan gadis yang baru saja berbisik. "Ssst, nggak boleh mengagumi suami orang. Bukan mahram, Yu," ucapnya, namun sembari melirik ke arah Inno."Apa yang kalian bicarakan tentang Imran itu benar?""Ah?" Kompak ketiganya mendongak menatap sebentar pada Pak Rasyid, lalu sama-sama kembali menunduk. "I-iya, Kyai, betul," jawab salah satu dari mereka.Pak Rasyid menghela napas kemudian menoleh pada Inno yang menunjukkan ekspres
Bahu Inno langsung meluruh. Dia menatap istrinya dengan tatapan kecewa. Lalu, dengan cepat Inno kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Memejamkan kedua matanya."Katanya mau shalat, malah tidur."Inno langsung menoleh dan menarik tubuh istrinya ke dalam pelukan. Dia mendekap erat tubuh sang istri. Kembali, kedua pasang mata itu beradu pandang."Jahil banget sih, ngerjain suami," gerutu Inno dengan gemas. "Ayolah, Amelia, peka sedikit gitu," ucap lelaki itu sembari mengacak-acak rambut coklatnya.Amelia hendak turun dari atas tubuh sang suami, namun Inno tak memberinya ruang untuk bergerak. Laki-laki itu melingkarkan lengannya di bahu sang istri dengan posesif."Kapan mulai nggak shalat? Perasaan tadi sore masih shalat Ashar bareng.""Tadi, habis Maghrib," jawab Amelia lalu memalingkan wajahnya. "Oh, masih lama," gumam Inno lagi dengan frustasi. Amelia paham dengan apa yang diinginkan oleh laki-laki itu walaupun Inno tak menjelaskan dengan gamblang. Amelia tersenyum dan me
"Yes, my wife is smart." Inno tersenyum penuh arti sembari menatap ke arah dua gadis tadi. Mendengar ide Amelia, keduanya saling pandang dengan gelisah. Amelia tidak hanya menggertak. Dia ingin kedua gadis itu tidak bertindak seenaknya lagi."Aku masih mentolerir kalian mengatakan tentang pernikahanku. Tapi aku nggak bisa mentolerir ketika kalian bertindak bodoh seperti ini. Kalian sudah melakukan hal kasar. Tindakan kalian sudah nggak bisa dibenarkan!'' "Apa yang salah dengan pernikahan kita?""Mas tanyakan sama mereka!" jawab Amelia geram.Kedua gadis itu kompak mendekat ke arah Amelia dan Inno. Mereka menundukkan wajah dalam tak berani membalas tatapan mata tajam Inno."Jadi, bagaimana selanjutnya?" tanya Inno dengan nada dingin. "Saya akan memaafkan perbuatan kalian dengan satu syarat," ucap lelaki itu lagi."Maafkan kami, Mas. Mel, maaf," ucap salah satu dari mereka lirih."Kami maafkan, tapi bersihkan nama Amelia. Tarik ucapan kalian dan hentikan ghibahan tidak berguna yang kal
Inno menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Ada rasa bersalah yang besar telah membentak istrinya. Laki-laki itu mengacak rambutnya dengan kasar.Tok ... Tok ... Tok!"Amelia, aku ingin bicara!" Di dalam, Amelia menoleh sekilas. Sayup terdengar suara pintu diketuk, disusul panggilan dari Inno. Amelia tak menggubris. Dia mengguyur tubuhnya di bawah shower. Air matanya mengalir bersamaan dengan derasnya air tersebut. "Meeel, Amelia. Tolong buka pintunya, Sayang!" Suara Inno lagi.Amelia segera mematikan kran air dan memakai pakaiannya cepat. Amelia melangkah pelan menuju ke pintu dan bertemu pandang dengan suaminya.Inno langsung menarik tubuh Amelia ke dalam pelukannya. "Maafkan aku, Sayang. Maaf, aku nggak bermaksud bicara ketus." Inno merenggangkan pelukan dan menatap intens wajah sembab sang istri. "Jangan dengerin kata-kata Aisyah. Maafkan aku, ya," pintanya lagi.Amelia hanya mengangguk. "Aku mau shalat dulu, Mas. Tolong lepaskan," ucapnya lirih sembari mendorong pelan t
Ada rasa haru di hati Amelia mendengar kejujuran Inno. Laki-laki yang memiliki background anak nakal itu ternyata tidak seburuk yang dia pikirkan. Amelia menatap sayu lelaki yang mengungkungnya dengan posesif itu.Ada rasa takut dan berdebar-debar seperti menghadapi ujian nasional. Apalagi ketika tangan dan ciuman Inno menjelajahi tubuhnya dengan hati-hati."Mas, aku takut," lirih Amelia. Inno menunduk, mencium pelan kening sang istri. "Aku mengajakmu yang kata orang ke surga dunia, Sayang. Apa itu benar? Let's try," jawabnya sambil tertawa lirih."Terus kalau sakit, nggak usah dilanjutkan, ya?" sahut Amelia lalu memalingkan wajah. "Enak saja, dibuat sampai enak, lah. Sudah ah, jangan ngajak becanda terus. Ada yang sudah nggak sabar nih. Sepuluh hari loh, nungguin," lanjut Inno sembari melirik area bawahnya. Amelia sontak mengikuti arah pandangan Inno dan langsung menutup matanya. Inno telah menanggalkan pakaiannya dan kini hanya mengenakan celana boxer pendek. Itu adalah pemandang
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak