Ravi tak ingin membuang waktu. Semakin lama auranya semakin tidak enak. Dia segera memasukan mayat itu satu per satu ke dalam kantong. Beberapa bagian daging yang membusuk lepas dari tubuh yang membengkak itu. Bau amis dan busuk menguar menjadi satu. Dengan kekuatan penuh, dia membawa mayat itu satu per satu keluar dari ruang bawah tanah.
Setelah berada di luar bangunan, dia menarik kantong itu satu per satu semakin jauh ke tengah hutan. Burung hantu yang bertengger di atas pohon beringin memperhatikan gerak-gerik Ravi yang terengah dan berpeluh menarik mayat yang semakin terasa berat.
Setelah dirasa jauh, dia mulai menggali lobang dengan sekop yang dia bawa. Butuh waktu yang cukup lama untuk seseorang yang tidak pernah menggali kubur. Namun, akhirnya dia bisa membuat sebuah lobang yang cukup besar untuk ketiga mayat itu.
“Selamat berkumpul di neraka!” ucapnya seraya melempar mayat itu satu per sa
“Rim, gue harus gimana ini? Kangen banget sama anak dan mantan istri. Tapi … aku yakin Hani nggak bakalan mau nerima gue kembali,” ucap Roby dengan wajah sendu.“Gimana elu bisa tau, kalau elu belum nyoba menghubungi dia? Hani itu bukan perempuan biasa seperti pada umumnya, Rob. Hati dia lembut, rapuh. Nge-treat-nya juga elu harus beda. Elu nggak bisa grasak-grusuk minta balik gitu aja,” jawab Rimba.“Iya, elu bener juga, Rim. Semua ini gue yang salah. Gue yang udah bikin dia sakit hati dan pergi. Cuman, by the way, gimana elu bisa tau kalo istri gue kayak gitu?” Roby mengerutkan keningnya.“Halah, gue ini kan punya mata, Rob. Gue juga sempet tinggal di rumah dia selama beberapa saat. Lu pikir gue nggak bisa menilai?” rutuk Rimba dan membuat Roby tertawa.“Gue kira elu merhatiin bini gue sampai begitu dalem. Cemburu, nih gue,” balas Roby cengengesan. Rimba meninju pundak sahabatnya itu pelan.“ELu kayak yang baru kenal gue aja. Nggak ada yang bisa ngalahin Aline di hati gue.”“Iyee …
Roby bergegas menyiapkan segala keperluan selama di tempat mantan istrinya. Sang Ibu menatap heran dengan sikap anaknya yang tak biasa.“Mau kemana, Rob?” tanyanya dengan wajah keheranan.“Naima kecelakaan, Bu. Dia butuh donor darah. Aku akan menyelamatkan anakku. Doakan aku ya, Bu.”Roby segera mencium punggung tangan yang keriput itu dengan takzim setelah menyampirkan ransel ke pundaknya.“Innalilahi. Kenapa bisa?” tanya ibunya cemas.“Roby juga belum tau kronologisnya. Pokoknya hari ini Roby harus segera melihat keadaan Nima di sana. Roby pamit ya, Bu.”Ibu dan anak itu saling berangkulan berusaha saling menguatkan.“Naima anak yang kuat, dia pasti bisa selamat. Pergilah, Nak. Semoga keluargamu bisa kembali utuh seperti dulu lagi.”Roby mengangguk dan mencium kening keriput san
“Kondisinya sudah bagus, Naima boleh pulang hari ini,” ucap Dokter sambil membetulkan letak stetoskop ke balik jubbah putihnya.Gadis kecil itu melonjak girang dan meminta dipeluk ayahnya. Hani hanya bisa tersenyum miris melihat kedekatan ayah dan anak itu. Hatinya perih, tak kuasa memilih. Untuk kembali rasanya sulit melupakan pengkhianatan itu. Namun, jika tidak, dia akan membuat sang putri kecewa.Mereka pulang setelah seorang suster melepaskan selang infus dari tangan mungil Naima dan Roby membereskan pembayaran ke bagian administrasi.Sepanjang perjalanan Naima berceloteh, menceritakan tentang keseharian dia saat bermain dengan teman-temannya.“Nggak apa-apa kamu main, Sayang. Tapi harus hati-hati. Lihat kanan-kiri, jangan sampai membahayakan diri,” ujar Roby mengingatkan. Naima mengangguk seraya menjentikan kelingkingnya tanda berjanji pada sang ayah.
Roby beristirahat sejenak, meluruskan pinggang hingga terlelap. Perjalanan jauh dan kurang tidur selama di rumah sakit, baru sekarang terasa.Azan Ashar membangunkannya. Wangi masakan menguar membuat perut laparnya meronta minta diisi.Roby beranjak menuju ke belakang di mana toilet berada, berdekatan dengan dapur. Di sana terlihat Hani sedang mengaduk-aduk masakan di wajan. Roby berhenti sejenak dan memperhatikan wanita yang telah memberinya dua orang anak. Wanita sederhana, namun selalu setia jiwa dan raganya.“Han,” panggil Roby. Wanita itu menoleh sekilas lalu kembali fokus pada masakannya.“Mas, lapar,” lanjut Roby. Hani tak menjawab. Dia hanya mematikan kompor, lalu mengambil beberapa buah piring dari rak dan menaruhnya di atas meja makan.“Silahkan kalau mau makan duluan. Aku mau sholat Ashar dulu,” ujar Hani setelah menyimpan lauk
Ravi mengendurkan pelukannya di tubuh polos gadis itu. Malam panjang dengan seseorang yang baru dua bulan ini dikenalnya, sungguh membuatnya terbuai. Cinta yang tak pernah berbalas dulu, kini telah menemukan tambatan yang tepat. Sama-sama saling mengisi kekosongan masing-masing.“Sya, udah siang,” bisiknya di telinga gadis itu. Marsya menggeliat.“Kamu lapar?” tanya Ravi. Gadis itu diam sejenak. Sedetik kemudian membalikan tubuhnya. Mata Ravi terbelalak saat melihat siapa yang ada di sana.“E-mely,” ucapnya gagap. Tubuhnya gemetar dan mundur hingga terjungkal dari tempat tidur.Wanita itu ikut merayap di kasur, mendekat ke arah lelaki yang ketakutan itu. Ravi terus beringsut mundur, sementara wanita itu terlihat sangat menakutkan dengan wajah hancur membusuk penuh belatung. Bibirnya robek hingga ke dekat telinga. Darah dan nanah menetes dari luka-luka yang menganga.Ravi menggeleng kuat dengan tubuh masih berusaha menjauh.“Ti-tidak, Mel. Kamu sudah mati! Pergi kamu! Pergi! Tempatmu b
“Iya, dan gue lah yang nyelametin istri lu kala itu,” jawab Ravi.“Jadi elu tau, apa saja yang terjadi saat itu?” Rimba kembali bertanya.“Iya gue tau. Gue hajar orang-orang suruhan Emely itu sampai mereka babak belur. Hanya satu yang gue biarin, tubuh istri lu sengaja nggak gue tutupin, agar Emely yakin jika orang suruhannya sudah memperkosa Aline, padahal hal itu belum sempat terjadi,” lanjut Ravi.Rimba menatap lelaki di sampingnya penuh haru.“Bro, entah apa yang harus gue bilang sama elu. Yang jelas, gue berhutang budi sama elu. Gue berterima kasih sama elu, karena udah nyelametin cinta sejati gue,” ucap Rimba tulus.“Iya, itu udah jadi tanggung jawab gue, Bro. gue harus menyadarkan EMely sebelum segalanya bertambah kacau. Hanya saja, sekarang hidup gue seperti dikejar dosa. Emely sering datang di mimpi dan bahkan d
Ravi keluar dari penjara dengan perasaan yang jauh lebih tenteram. Sejak rajin melaksanakan salat dan ngaji, Ravi mulai merasakan ketenangan hati.Dia pulang ke rumahnya diam-diam tanpa memberitahu siapapun. Bahkan Rimba, orang yang selama ini selalu peduli padanya. Ravi merasa ingin memulai hidup dari awal tanpa ada yang tahu masa lalunya.Dia mengguyur tubuhnya di bawah shower setelah mencukur kumis dan jenggotnya yang sudah memenuhi dagu dan atas bibirnya.Rumahnya yang lama ditinggal sangat berdebu. Namun, Ravi tak pedulikan. Setelah beres membersihkan diri, dia berniat untuk membersihkannya agar tidak terlalu parah kotornya. Di rumah itupun tidak ada makanan sama sekali. Namun, Ravi berniat membelinya ke luar.Setelah sedikit membersihkan debu dan menyapunya, Ravi kemudian menikmati sebungkus nasi padang yang dibeli tak jauh dari rumahnya.Makanan pertama yang dia nikm
“Itu putrinya ya, Pak?” tanya Ravi memberanikan diri. Udin tersenyum sambil mengangguk.“Iya. Dia baru lulus SMA tahun lalu, karena tidak dapat kerja, jadinya bantu-bantu Bapak jualan bunga,” jawab Udin terkekeh.“Bunga jualan bunga,” gumam Ravi menatap Rina dan terseungging senyuman dari bibirnya. Udin mengeruutkan keningnya dan tersenyum. Dia bisa membaca jika Ravi menyukai anak gadisnya itu.Hari itu Ravi benar-benar disibukan dengan beberapa mobil yang mengangkut ratusan pot tanaman hias dengan jenis yang bermacam-macam. Hari mulai sore dan perutnya mulai keroncongan. Beruntung ada tukang bakso yang lewat ke depan rumahnya. Dia mennghentikannya.“Mang, beli baksonya,” ujar Ravi yang tadinya berniat hanya akan memakan mi instan saja. Rina yang baru selesai melayani pengunjungnya yang ke sekian melirik pada Ravi dan melempar senyuman manis. Jantung lelaki itu
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi