Dua buah tangan tiba-tiba terjulur dari belakang dan melewati leher Rimba hingga menjulur ke dada. Laki-laki itu menoleh ke belakang. Sebuah senyuman tersungging di wajah wanita berambut bob itu.“Halo, Sayang. Sudah lama banget kita nggak ketemu. Aku kangen,” ucap Emely.Rimba sontak bangkit dan menepis tangan yang melingkar di lehernya.“Hentikan, Mel. Ingat, kamu ini istri orang!”Emely tersenyum miring.“Aku sudah mengurus perceraian dengan Ravi. Kami bahkan sudah lama sekali tidak tinggal serumah. Laki-laki bodoh itu saja yang memaksakan diri ingin tetap mempertahankan aku. Jadi, kamu jangan takut. Aku akan menjadi milikmu seutuhnya.”Emely mendekat pada Rimba. Tangannya kembali terulur hendak membelai wajah Rimba. Namu, laki-laki itu segera menghindar.“Mel, apa yang kamu inginkan? Untuk apa
Hani memasuki kamar sang suami di rumah mertuanya. Tadi, saat dia baru saja tiba di rumah itu, ibunya Roby tampak kaget dengan kedatangan menantunya yang tengah hamil besar itu. Apalagi kedatangannya kali ini terbilang mendadak juga tanpa Naima, sang cucu.Aline yang mengantarkan Hani, tak ikut turun. Dia memilih untuk membiarkan Hani berbicara dari hati ke hati dengan suaminya itu. “Mas,” ucap Hani menyapa suaminya yang sedang duduk bersandar di sandaran spring bed. Mata Roby membulat kaget.“Hani?” pekiknya, lalu menyimpan ponselnya di nakas sebelah ranjang. “Kamu kapan ke sini? Sama siapa?” tanyanya kaget sembari berdiri.“Sendiri,” jawab Hani. Tangannya menaruh tas ke atas meja.“Tapi, buat apa kamu ke sini segala? Terus Naima gimana?”“Aku ke sini mau menyusul suamiku. Apakah salah?” tanya Hani.“Bukan begitu, Han. Tapi kasian Naima kalau kamu tinggalkan dia sendirian, “ sergah Roby.“Oh, rupanya kamu masih punya rasa kasihan juga pada Naima. Lalu bagaimana terhadapku, Mas? apa
Hani menyambar tasnya dan hendak beranjak pergi. Namun, Roby pun tak kalah cepat menyambar tangan sang istri.“Han, kamu tidak bisa bersikap seperti itu padaku. Ingat, Naima itu perempuan, dia butuh aku. Setidaknya saat nanti dia menikah, dia akan mencariku untuk menjadi walinya,” geram Roby, berusaha mengingatkan sang istri.Hani kembali tersenyum miring.“Ternyata kamu ingat juga jika anakmu itu perempuan, Mas? Bagaimana rasanya jika Naima ada di posisiku? Bagaimana jika dia yang diperlakukan seperti ini sama suaminya? Bagaimana jika dia juga mendapatkan seorang suami pengkhianat sepertimu? Pikirkan itu baik-baik, Mas. dalam islam itu tidak ada yang namanya karma, tapi baik buruk perbuatan kita, akan kembali pada diri kita sendiri. Dan yang lebih menyakitkan, jika balasan itu menimpa pada orang yang kita sayangi. Apa kamu rela, jika anakmu yang menanggung buah dari perbuatanmu?” ujar Hani dengan
Pukulan-pukulan berkali-kali mendarat di samsak yang menggantung. Napas Roby tersengal saat pukulannya berehanti sesaat. Kemudian dia melesakan kembali tinjunya hingga benda berbentuk guling berwarna merah itu terombang-ambing. Peluh sebesar butiran jagung menetes dari pelipisnya.Rimba masuk ke ruangan itu tanpa Roby sadari, lalu melangkah mendekati samsak yang menggelantung ke sana kemari dan menahannya hingga berhenti.Roby mendongak perlahan hingga tatapannya terhenti pada sahabatnya itu.“Ngapain elu ke sini?” tanya Roby lalu berjalan kea rah meja di mana terdapat minuman juga handuk kecil. Dia meneguk air dari botol sembari menyeka keringat yang mengucur.Rimba menngikuti Roby, lalu duduk di kursi tak jauh dari meja di mana Roby berdiri.“Elu beneran ada affair sama Emely?” tanya Rimba to the point.Robby yang masih menyeka keringat langsung menghentikan gerakannya dan menoleh pada laki-laki yang duduk tak jauh darinya.“Emangnya kenapa? Elu cemburu?” Roby balik bertanya.Rimba
“Baru pulang, Mas? kok lama amat?” tanya Aline saat Rimba baru sampai di rumah orang tua Aline.“Iya, tadi aku ketemu dulu sama Roby,” jawab Rimba.“Terus?” tanya Aline yang sedang bermain dengan Reynand. Bocah itu terlihat menguap. Aline segera menggendong dan mengayun-ayun dalam gendongannya seraya mengikuti langkah suaminya menuju kamar.“Nanti saja ceritanya. Aku mandi dulu, ya, gerah.” Rimba mengelus pipi tembam Reynand lalu mengelus puncak kepala istrinya.Sementara Rimba mandi, Aline menidurkan Reynand dan menaruhnya di tempat tidur.Tring!Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Dia segera mengambil ponsel yang tergeletak di atas kasur. Sebuah nomor baru, mengirimkan beberapa foto Rimba dengan Emely di taman. Foto itu diambil dengan berbagai sudut yang sempurna. Saat kedua orang itu berpegangan tangan, saat Emely
Darwis menekuri setiap dokumen yang dia terima dari setiap department untuk ditandatangani. Setumpuk map ada di mejanya. Detik jam terdengar di ruangan yang sepi itu.‘Wah, sudah jam 8 ternyata,’ batin Darwis. Dia segera membereskan alat tulisnya. Enggan rasanya jika harus membuat sang istri menunggu. Terlebih, saat ini ketiga cucunya sedang ada di rumah.Darwis bangkit dan menyambar jas yang tersampir di kursi. Perutnya sudah terasa lapar, tapi dia yakin jika sang istri sudah menyediakan makanan kesukaannya di rumah.Langkahnya lebar-lebar menuju parkiran. Mobilnya terparkir paling ujung.‘Hai, Om.” Sebuah sapaan mengejutkannya saat Darwis hendak membuka pintu. Dia menoleh ke sumber suara.“Eh, Emely. Kamu sedang apa di sini jam segini?” tanya Darwis urung naik ke mobilnya.“Saya nyari Ravi, tapi ternyata sedan
“Gini aja, deh. Nanti Om telpon dulu Tante, bilang aja ada acara makan malam sama temen atau kllien. Beres kan? Ayo, dong Om, pliiisss, sebentar saja,” bujuk Emely dengan wajah memelas.Darwis merasa tidak enak hati pada Emely juga pada istrinya. Namun, mendengar bujukan Emely yang mengatakan hanya sebentar saja, Darwis mulai tergoda.“Emh … baiklah. Sebentar saja ya,” jawabnya.Emely langsung melonjak kegirangan.“Terima kasih, Om. Saya janji nanti sebentar aja kok. Hanya masukin ke microwave aja, 15 menit jadi,” ucap Emely saat mereka sudah memasuki lift menuju lantai lima belas.Suasana apartemen Emely begitu nyaman. Wanita itu mempersilahkan Darwis untuk duduk di sofa sementara dirinya membuatkan minuman hangat.“Silahkan diminum, Om. Biar tubuhnya lebih hangat,” ujar Emely menyodorkan secangkir teh yang menguarkan asap.
Pagi-pagi, Darwis terbangun. Tubuhnya bergetar hebat karena kaget. Di sampingnya, ada Emely yang tertidur dengan manis, bahkan sepertinya tanpa sehelai benang pun.“Astagfirullah, apa yang sudah aku lakukan?” gumam Darwis panik. Dia beberapa kali mengusap wajah dan menyugar rambutnya.“Selamat pagi, Om. Sudah bangun?” sapa Emely dengan manja. Matanya terpicing karena silau dengan sinar matahari yang masuk.“Apa semalam terjadi sesuatu di antara kita?” tanya Darwis ketakutan.“Tentu saja. Apa Om lupa? Om bahkan sangat bergairah dan membuatku kewalahan,” jawab Emely dengan tatapan menggoda. Dia bahkan membuka selimut yang menutupi bagian atas tubuhnya.“Kalau Om masih mau, ayo … aku juga siap, kok.” Emely mengerling nakal.“Tidak … tidak! Saya harus pulang sekarang. Istri saya pasti khawatir menunggu saya semalaman. Saya bahkan sampai lupa mengabarinya,” ujar Darwis yang langsung memunguti setiap helai bajunya yang terserak kemudian memakainya.“Nggak mandi dulu, Om? Biar seger. Aku man
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi