“Baru pulang, Mas? kok lama amat?” tanya Aline saat Rimba baru sampai di rumah orang tua Aline.
“Iya, tadi aku ketemu dulu sama Roby,” jawab Rimba.
“Terus?” tanya Aline yang sedang bermain dengan Reynand. Bocah itu terlihat menguap. Aline segera menggendong dan mengayun-ayun dalam gendongannya seraya mengikuti langkah suaminya menuju kamar.
“Nanti saja ceritanya. Aku mandi dulu, ya, gerah.” Rimba mengelus pipi tembam Reynand lalu mengelus puncak kepala istrinya.
Sementara Rimba mandi, Aline menidurkan Reynand dan menaruhnya di tempat tidur.
Tring!
Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Dia segera mengambil ponsel yang tergeletak di atas kasur. Sebuah nomor baru, mengirimkan beberapa foto Rimba dengan Emely di taman. Foto itu diambil dengan berbagai sudut yang sempurna. Saat kedua orang itu berpegangan tangan, saat Emely
Darwis menekuri setiap dokumen yang dia terima dari setiap department untuk ditandatangani. Setumpuk map ada di mejanya. Detik jam terdengar di ruangan yang sepi itu.‘Wah, sudah jam 8 ternyata,’ batin Darwis. Dia segera membereskan alat tulisnya. Enggan rasanya jika harus membuat sang istri menunggu. Terlebih, saat ini ketiga cucunya sedang ada di rumah.Darwis bangkit dan menyambar jas yang tersampir di kursi. Perutnya sudah terasa lapar, tapi dia yakin jika sang istri sudah menyediakan makanan kesukaannya di rumah.Langkahnya lebar-lebar menuju parkiran. Mobilnya terparkir paling ujung.‘Hai, Om.” Sebuah sapaan mengejutkannya saat Darwis hendak membuka pintu. Dia menoleh ke sumber suara.“Eh, Emely. Kamu sedang apa di sini jam segini?” tanya Darwis urung naik ke mobilnya.“Saya nyari Ravi, tapi ternyata sedan
“Gini aja, deh. Nanti Om telpon dulu Tante, bilang aja ada acara makan malam sama temen atau kllien. Beres kan? Ayo, dong Om, pliiisss, sebentar saja,” bujuk Emely dengan wajah memelas.Darwis merasa tidak enak hati pada Emely juga pada istrinya. Namun, mendengar bujukan Emely yang mengatakan hanya sebentar saja, Darwis mulai tergoda.“Emh … baiklah. Sebentar saja ya,” jawabnya.Emely langsung melonjak kegirangan.“Terima kasih, Om. Saya janji nanti sebentar aja kok. Hanya masukin ke microwave aja, 15 menit jadi,” ucap Emely saat mereka sudah memasuki lift menuju lantai lima belas.Suasana apartemen Emely begitu nyaman. Wanita itu mempersilahkan Darwis untuk duduk di sofa sementara dirinya membuatkan minuman hangat.“Silahkan diminum, Om. Biar tubuhnya lebih hangat,” ujar Emely menyodorkan secangkir teh yang menguarkan asap.
Pagi-pagi, Darwis terbangun. Tubuhnya bergetar hebat karena kaget. Di sampingnya, ada Emely yang tertidur dengan manis, bahkan sepertinya tanpa sehelai benang pun.“Astagfirullah, apa yang sudah aku lakukan?” gumam Darwis panik. Dia beberapa kali mengusap wajah dan menyugar rambutnya.“Selamat pagi, Om. Sudah bangun?” sapa Emely dengan manja. Matanya terpicing karena silau dengan sinar matahari yang masuk.“Apa semalam terjadi sesuatu di antara kita?” tanya Darwis ketakutan.“Tentu saja. Apa Om lupa? Om bahkan sangat bergairah dan membuatku kewalahan,” jawab Emely dengan tatapan menggoda. Dia bahkan membuka selimut yang menutupi bagian atas tubuhnya.“Kalau Om masih mau, ayo … aku juga siap, kok.” Emely mengerling nakal.“Tidak … tidak! Saya harus pulang sekarang. Istri saya pasti khawatir menunggu saya semalaman. Saya bahkan sampai lupa mengabarinya,” ujar Darwis yang langsung memunguti setiap helai bajunya yang terserak kemudian memakainya.“Nggak mandi dulu, Om? Biar seger. Aku man
Rimba tengah menekuri laporan di laptop. Dia dan Aline yang awalnya akan berlibur beberapa hari saja, akhirnya harus menambah panjang liburannya di Jakarta karena harus mengurus masalah Roby. Rimba dan Aline tak kuasa meninggalkan teman mereka dalam masalah yang berat. Bahkan mungkin diambang perceraian.Tring!Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Rimba pun segera membukanya.Sebuah pesan masuk ke whatsapp-nya. Matanya langsung menyipit saat tahu pengirimnya adalah Emely, dan pesan yang dikirimnya sepertinya sebuah gambar. Rimba pun segera mendownloadnya.Mata yang terpicing, kini berubah membulat. Rimba memperbesar gambar itu. Jantungnya berdebar semakin cepat.“Papa?” gumam Rimba dengan mata tak mengedip sedetik pun.Dia kembali men-zoom foto itu. Penglihatannya sama sekali tak salah, jika yang di foto itu adalah papa mertuanya yang tengah dipeluk dari belak
“Aline? Kamu lagi apa?” tanya Rimba yang baru keluar dari toilet. Aline berbalik seketika dan mengacungkan ponsel milik suaminya.Mata Rimba terbelalak sejenak.“Ngecek HP kamu, Mas. Abisnya penasaran banget, kamu pake main rahasia-rahasiaan segala,” rutuknya.“Terus? Kamu nemu apa?” Rimba mengangkat alisnya.“Gak ada,” jawab Aline dengan wajah cemberut.“Ya, emang nggak ada apa-apa, Sayang. Ngapain juga aku sembunyi-sembunyi dari kamu,” jawab Rimba yang menghampiri istrinya lalu mengacak pelan rambut sang istri.'Untung tadi langsung kuhapus,' batin Rimba.“Abisnya kamu kayak yang lagi ada masalah besar dan nutupin itu dari aku,” ucap Aline dengan nada kesal.“Nggak, Sayang. Mana mungkin aku bohongin kamu.” Rimba memeluk dan mencium kening Aline penuh perasaan.“Huu … huuu ….” Suara tangisan Reynand menyadarkan keduanya.“Aish, sampai lupa ada anak ganteng di sini,” ujar Rimba segera menghampiri bocah itu. Aline pun ikut tertawa.**Sebulan berlalu, Roby menerima surat panggilan dar
“Om, please. I need you now,” desah Emely tak kalah memelas dan langsung menyerang Darwis dengan ciuman panas.Jiwa kelelakiannya bangkit. Dia tak kuasa menolak gejolak birahi yang dibangkitkan Emely. Apalagi saat wanita itu dengan lihai menurunkan celananya hingga lutut.Dalam pakaian yang masih nyaris lengkap,di atas kursi kantor, mereka menuntaskan hasrat terlarang. Bujuk rayu setan dalam diri Emely benar-benar kuat, hingga Darwis tanpa sadar telah kembali menorehkan pengkhianatannya pada sang istri.“Om masih hebat di umur yang sudah tak lagi muda,” bisik Emely dengan peluh membasahi tubuh.Tok, tok!“Pa, maaf ada yang ingin aku bicarakan dengan Pa-pa.” Ucapan Rimba terhenti saat dia membuka pintu ruangan sang ayah mertua.Secepat kilat Rimba melengos dan hendak kembali menutup pintu itu. Pemandangan yang teramat
“Hei, Mel. Kenapa kamu jadi susah dihubungi? Kamu blokir nomor aku ya?” ujar Roby sambil mengikuti langkah Emely di satu mall.“Aku cari kamu kemana-mana,” lanjut Roby.Sang wanita cantik, dengan pakaian mininya berjalan tergesa tak menghiraukan teriakan dari lelaki yang tatapannya terlihat nyalang.“Apaan, sih? lepas, deh!” bentak Emely.Mata Roby langsung terbelalak. Tatapannya heran bercampur sedih dengan sikap Emely yang tiba-tiba saja berubah.“Mel, bukannya kamu menginginkan perceraianku dengan Hani?” tanya Roby dengan nada memelas.Emely hanya tersneyum miring.“Iya, emang. Terus?” jawabnya enteng.“Ya sekarang aku udah proses perceraian. Tinggal nunggu ketuk palu hakim. Kenapa kamu malah berubah seperti ini?” tanya Roby.Lalu, terdengar suara tawa dari mulut wanita berambut bob itu. Matanya yang bukat terlihat menatap Roby dengan tatapan mencibir.“Denger, ya, Roby. Aku memang berharap kamu cerai dari istri kamu itu, cuman bukan berarti aku mau nikah sama kamu.“Kamu tahu send
“Rumah sakit? Siapa yang sakit emangnya?” tanya Roby heran.“Gak ada yang sakit. Gue lagi ngurusin administrasi Hani. Dia sama bayinya mau pulang hari ini,” jawab Rimba jujur. Padahal, Hani sudah mewanti-wanti, agar Roby jangan sampai tahu tentang kelahiran anaknya.“Apa?! Hani lahiran?” tanya Roby kaget.“Iya. Kasian, kan dia. Suaminya gak bertanggung jawab,” sindir Rimba dengan tangan menari di atas berkas-berkas rumah sakit yang harus ditandatanganinya.Terdengar desahan dari mulut Roby.“Gue nyesel, Rim. Gue udah kualat sama kalian semua. Tolong kasih tau gue di rumah sakit mana Hani di rawat? Biar gue yang jemput ke situ,” pinta Roby.“Dah,lah. Gak usah. Nikmati aja petualan cinta lu sama si Emely. Hani biar gue sama Aline yang urus,” jawab Rimba dan meletakan ballpoint di tangannya dan mengucapka
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi