Hanya dalam waktu sebulan, tubuhku sudah mulai kembali langsing. Demi ini semua aku sama sekali tidak mengonsumsi karbohidrat. Olahraga pun hampir tiap hari kulakukan. Tak masalah, yang penting aku bisa kembali langsing dan cantik.Hari ini, jadwal pilates, sekalian aku mau ke salon. Rambut dan kukuku rasanya sudah tidak beraturan.Walau dengan make up tipis, itu sudah bisa menonjolkan kecantikanku. Tentu saja aku percaya diri, karena aku memang sudah cantik dari lahir. Sungguh. Aku tidak sedang bercanda sama kalian.Kecantikanku ini menurun dari Mama. Mataku bulat besar dengan bulu yang lentik. Hidungku mancung, bibir yang mungil ditambah kulitku yang kuning cerah.Baru saja aku mau mengambil tas selempang, terdengar tangisan Rasya dari boks bayinya. Aku hanya bisa mendengkus kesal. Ke mana si Rimba?"Rimbaaa!" teriakku dari kamar. Dia tak juga kunjung datang. Menyebalkan! Mana jadwal pilates sebentar lagi dimulai. Aku menengok jam yang melingkar di tangan. Bikin repot aja, nih, oran
Sambil lewat, aku melihat-lihat koleksi terbaru di toko baju dengan merek ternama. Sudah berapa lama aku tidak ke sini?Aku melangkah masuk, disambut anggukan dan senyuman hangat dari gadis pelayan toko.Aku susuri lorong yang terpisah karena deretan baju yang tergantung memanjang. Begitu fokusnya, hingga tanpa sadar aku menabrak seseorang yang juga sedang melihat-lihat koleksi baju di sini.Mataku membulat dan berbinar saat kulihat siapa dia. Kejadian dulu terulang lagi. Aku menabrak tubuhnya di mal ini."Aline?""Mas Rangga?"Pandangan kami bertemu. Sungguh cinta ini masih begitu besar padanya. Dia makin terlihat gagah juga tampan. Pakaiannya yang selalu rapi dengan rambut klimisnya, membuatku jatuh cinta berkali-kali."Ngapain kamu di sini?" tanyanya padaku."Emmh, lagi lihat-lihat, Mas. Apa kabar, Mas?" sapaku sedikit grogi. Ya Tuhan, untung saja aku baru dari salon. Seandainya saja kami bertemu dalam keadaan aku sedang kucel, mati, aku! Mana dia selalu terlihat sempurna."Baik. G
Aku menerima pesan dari Mas Rangga. Dia mengajakku berlibur ke pantai untuk beberapa hari. Duh rasanya memang sudah lama sekali aku tidak berlibur, sejak kehamilan yang tak pernah aku harapkan itu. Aku benar-benar menutup diri dari dunia luar.Aku menyusun beberapa baju ke dalam tas besar. Kacamata, sunblock, topi dan kain pantai jangan lupa. Hmm, sepertinya akan sangat menyenangkan nanti. Aku bahkan sudah tidak sabar. Aku anggap ini sebagai bulan madu yang tertunda.Aku lihat Rasya tertawa renyah saat Rimba menggodanya. Rimba menggelitik dan mengajak ngobrol anak itu. Aku bisa dengar Rasya menjawab dengan celoteh yang belum jelas."Rasya ganteng, kecayangan Papa. Mau ke mana ini?" ujar Rimba dengan suara yang dibuat manja. Aku mendelik ke arahnya. Rasya tertawa dan tangannya menjulur minta digendong. Ternyata mereka begitu dekat. Aku merapikan dandanan sejenak sebelum pergi. Penampilanku sudah sempurna. Aline sudah kembali menjadi Aline si Cantik Jelita. "Kamu mau ke mana lagi, Lin
Malam harinya kami berjalan-jalan di tepi pantai setelah sebuah makan malam romantis disiapkan oleh Mas Rangga. Aku benar-benar tidak bisa lepas darinya. Aku bergelayut manja sepanjang menyusuri pasir dengan deburan ombak yang tak pernah berhenti menemani. Seperti hatiku yang tak pernah berhenti berdebar cepat saat bersamanya.Sekitar pukul sepuluh kami kembali ke vila. Aku ke kamar dan mengecek ponsel yang sengaja tidak aku bawa. Ada puluhan panggilan tidak terjawab dari Rimba juga Mama. Ada apa sih, mereka ini? Ganggu orang aja!Sebuah pesan di aplikasi hijau masuk atas nama Mama juga Rimba.[Kamu di mana? Cepat pulang, Rasya panas] Pesan dari Rimba.[Lin, cepet pulang. Rasya sakit]Pesan dari Mama.Halah, anak itu sakit. Dia kan ada bapaknya yang bisa diandelin, kenapa malah cari aku? Huh, dasar rese!Aku melempar ponsel itu ke kasur."Kenapa, Sayang?" tanya Mas Rangga yang tiba-tiba saja masuk ke kamar."Mmh, itu katanya Rasya sakit," jawabku grogi."Anak kamu?" tanyanya yang memb
Aku mengotak-atik berkas di hadapan. Begitu banyak utang yang harus kubayar, sementara penghasilan dari perusahaan ini sudah tidak mampu menutupinya.Sialan! Jika tidak secepatnya dapat kucuran dana, bisa bangkrut usahaku. Belum lagi kebutuhan hidupku yang selangit."Bagaimana?" tanya Papi dari kursi rodanya."Sudah di ujung tanduk, Pi. Aku gak tau lagi mau gimana.""Kamu salah, sih, pake ngelepasin perempuan itu. Bodoh kamu Rangga. Sekarang udah diambil sama adikmu, kamu gak bisa berbuat banyak." Papi mencak-mencak di kursi rodanya.Memang bener sih, aku terlalu terburu-buru, tapi ... aku males banget kalau harus punya istri bekas si Rimba. Dari kecil aku selalu nomor satu. Pintar, tampan dan selalu membuat Mami, Papi bangga. Mana pernah aku dapat barang bekas.Bukan hanya masalah Rimba saja, sebetulnya pacarku juga marah saat tahu aku berniat menikahi Aline, padahal sudah kujelaskan kalau aku menikahi wanita itu hanya karena ingin uangnya."Hentikan juga kebiasaan judimu itu! Habisl
"Aku juga tidak menginginkan mas kawin yang mahal. Cukup seperangkat alat sholat, itu sudah cukup," ujarnya lagi.Bagus. Sesuai dengan isi kantongku saat ini. Aku memang sedang tidak bisa mengeluarkan uang yang banyak.Aline memintaku untuk datang kembali pada papanya. Walaupun malas dan takut, aku terpaksa melakukannya. Aline berjanji akan membantuku meyakinkan papanya itu agak merestui kembali hubungan kami.Dengan sedikit rasa takut, akhirnya aku mendatangi rumah itu. Aline sudah menungguku di teras depan. Kami memang sudah janjian. Dia pun sudah mengatakan pada papanya, bahwa aku akan datang.Dengan mulut yang sedikit bergetar, aku mengulangi kata-kata itu. Bahwa aku ingin melamar putri Darwis untuk menjadi istriku kembali.Aku bisa melihat sorot mata tidak suka pada wajahnya. Namun, dia mana bisa menolak keinginan anak semata wayangnya. Aku merasa jumawa.Darwis pun menerima lamaranku, walaupun pada awalnya dia mencecarku dengan kalimat-kalimat menyakitkan karena telah meninggal
Setelah akad yang diadakan di kediamanku, seperti dulu, aku diboyong Mas Rangga untuk tinggal di rumahnya. Awalnya aku tidak mau, karena tidak ingin bertemu lagi dengan Rimba. Namun, Mas Rangga meyakinkanku jika lelaki berandalan itu sudah tidak pernah kembali lagi ke rumah. Akhirnya aku pun menerima ajakannya.Saat menjejakan kaki di rumah ini lagi, jujur, ada sedikit rasa takut yang menghampiri. Aku kembali teringat peristiwa setahun lalu yang mengakibatkan trauma besar dalam hidupku."Ayo, Sayang, kenapa malah melamun?" ajak Mas Rangga saat kami sudah berada di ambang pintu. Aku tersenyum padanya."Iya, Mas."Aku mengikuti langkah kaki suamiku, kembali ke rumah ini. Laki-laki yang akan menjadi tempatku berbagi suka dan duka. Aku bahagia menjadi istri dari orang yang aku cintai.Saat hendak masuk ke dalam kamar itu, aku kembali teringat kejadian mengerikan itu. Aku memejamkan mata, berusaha untuk melupakannya. Aku menggeleng kuat.Tidak! Tidak! Semua itu sudah berlalu. Kini aku aka
Dia langsung menyambar benda pipih itu."Halo. Apa? Segawat itu? Ah iya, ok sebentar lagi aku ke sana. Tunggu saja," ucapnya pada seseorang di telepon."Ada apa, Mas?" tanyaku penasaran."Ah, itu ... bahan baku datang. Di gudang tidak ada orang yang bisa nerima barangnya, karena sebagian belum aku bayar. Kamu tunggu dulu di sini, ya. Aku janji akan segera kembali," ucapnya terburu-buru. Aneh. Masa iya tidak ada yang bisa handle pekerjaan seperti itu. Kenapa juga barangnya datang malam-malam?"Kenapa malem-malem datangnya? Terus pembayarannya tidak bisa besok saja ditransfer?" tanyaku menyelidik."Ah, itu ... emh ... supliernya agak primitif sih, dia hanya terima uang cash," lanjutnya sambil memasukan ponsel ke saku celana."Kamu tidur dulu saja, ya, Sayang. Nanti kalau aku kembali, aku bangunin kamu. Bye, Sayang," ucapnya sambil mengecup keningku sekilas dan berlalu.Aneh. Kenapa kejadian ini terulang lagi? Dia meninggalkanku di saat malam pertama kami.Aku mendengkus kesal. Persiapan
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi