Keesokan harinya Darwis, Retno dan Naimah datang ke Bandung. Rimba sengaja memberitahu mereka setelah kondisi Aline mulai stabil walaupun masih lemah. Beruntung sekali, peluru itu tidak mengenai bagian yang vital, sehingga Aline tidak mengalami kondisi yang kritis.
Retno menangis tersedu saat melihat putrinya terbaring lemah. Begitu juga dengan Naimah. Hanya Darwis yang terlihat tetap tegar.
“Maaf, Pa. Aku telah lalai sama Aline,” ucap Rimba. Darwis menepuk pelan bahu menantunya itu.
“Kamu selalu melakukan yang terbaik buat Aline. Terima kasih, sudah menjaganya,” ujar Darwis.
Di hari keempat, Aline sudah mulai bisa diajak bicara. Ada beberapa polisi yang datang ke rumah sakit untuk meminta keterangan dari Rimba juga Aline perihal penangkapan Rangga dan teman-temannya.
Rimba memberikan keterangan sejelas-jelasnya, juga memberikan rekaman suara saat dia dan
Rimba dan Aline menatap layar hitam putih yang ada di sebelahnya. Gambarnya bergerak sesuai pergerakan stik di perut Aline.“Kedua bayinya sehat. Lingkar kepala, berat badannya, semua normal untuk ukuran anak kembar.”“Apa, kembar?”“Apa, kembar?”Aline dan Rimba berucap bersamaan. Wajahnya tampak kaget, namun penuh rasa haru dan bahagia. Mereka saling bertukar pandang dan meremas jemari satu sama lain.“Lho, memangnya kalian belum tau, ya?” Dokter itu terlihat heran.“Be-belum, Dok. Karena ini adalah pertama kali kami melakukan USG,” jawab Aline. Rimba mengulum senyum dengan wajah yang berbinar bahagia. Tangannya tak sekejap pun dia lepaskan dari tangan sang istri.“Ibu tidak curiga juga dengan kehamilan yang lebih besar dari biasanya ini?” tanya dokter itu lagi.“Sama sekali tidak, Dok,” jawabnya penuh haru. Dia memang tidak mencurigai apapun, mungkin karena pikirannya terkuras dengan kecelakaan pesawat yang menimpa suaminya, lalu kejadian penculikan yang menimpanya hingga harus dir
Aline duduk dalam diam, dia tidak tahu harus bagaimana. Segala yang dilakukannya selama ini selalu saja salah. Jujur, dia merasa kaget dengan kabar, jika Rangga mengidap HIV. Mungkin saja penyakit itu sudah lama bersarang di tubuhnya, namun baru ketahuan sekarang. Aline bersyukur dalam hati, karena belum sempat berhubungan saat menjadi istrinya dulu.Ah, betapa dia berterima kasih pada lelaki yang kini menjadi suaminya. Ternyata semua yang terjadi adalah pertolongan Tuhan yang datang dari orang yang tidak terduga. Orang yang teramat dibencinya.Sebuah pelajaran yang didapat Aline, jangan pernah membenci secara berlebihan. Belum tentu, sesuatu yang dianggap sebagai sebuah musibah, lalu membencinya, padahal itu merupakan sebuah pertolongan Tuhan.Mirda melangkah tanpa kata meninggalkan rumah anaknya. Hatinya yang keras, bagai tertampar saat berbicara dengan ibu mertuanya itu.**&n
Tiga hari dirawat, akhirnya Aline dan kedua anaknya bisa pulang. Ternyata, Retno dan Darwis telah menyiapkan kamar untuk cucu mereka. Saat tahu dari Rimba, jika Aline akan menjalani operasi cesar, mereka langsung membeli peralatan untuk menata kamar bayi dengan aneka pernak-pernik. Terlebih saat mengetahui bahwa cucu mereka itu kembar, Darwis dan Retno semakin antusias menata kamar itu.Sepasang suami istri yang sudah lama sekali merindukan kehadiran anak kecil setelah anak semata wayang mereka tumbuh dewasa, juga setelah kematian cucu pertama mereka, Rasya.“Welcome home, Sayang. Selamat untuk kalian. Maaf, ya. Mama sama Papa sengaja gak jemput kamu ke rumah sakit, karena mau bikin kejutan. Ayo, sini duduk. Mama udah siapin aneka makanan kesukaan kamu, biar ASI kamu banyak,” ujar Retno sambil menuntun pelan-pelan sang putri ke sofa lalu mendudukannya.Retno mengambilkan makanan dan menyuruh Aline memakannya.“Kamu juga makan yang banyak, Rimba. Kalian pasti lelah. Malam ini kalian is
“Sabar, ya, Mas. Puasa dulu 40 hari,” ujar Aline sembari mengulum senyum. Rimba mengembus napas kasar, menatap keluar jendela, berusaha menahan hasrat yang menggelora.“Berapa hari lagi, ya?” gumamnya. Aline tertawa mendengarnya.“Ya, baru juga dua minggu. Minggu lalu kan, kita baru akikahan. Berarti … ya … sekitaran lah.” Aline kembali tertawa.“Ish, kamu malah ngetawain, ya. Kepalaku makin cenat-cenut, nih.” Rimba berbalik dan menatap istrinya dengan tatapan memelas.“Awas, lho kalau kamu sampe kepikiran buat poligami! Apalagi sampe jajan di luar!” ancam Aline.“Hush, kamu ngomong apa, sih. Jauh amat pikiranmu.” Rimba kembali menghadap ke luar jendela.“Mas, ngomong-ngomong, aku kasian sama Mami. Dia pasti kesepian di rumah kontrakan. Mau ke sini malu karena suka bet
Malam sebelumnya.“Mirda … tolooong. Panaass. Gelaaap ….” Terdengar suara yang begitu dikenalnya. Mirda menatap sekeliling. Dia pun melihat hal yang sama. Gelap. Tak ada sedikit pun cahaya.“Kamu di mana, Pi? Aku takut,” ucap Mirda dengan bibir bergetar.“Aku di sini, Mirda. Aku haauuuss … lapaarr. Panaaasss ….” Lagi-lagi suara Rusdy terdengar begitu menyayat hati.“Aku juga, gelap, Pi. Aku gak bisa lihat jalan,” jawab Mirda ketakutan.“Mirdaa … toloongg …! Jangan sampai sepertiku. Panaass … tolooong!!”Tiba-tiba wajah hancur dari sesosok yang mirip Rusdy muncul di depan Mirda. Wajahnya hancur penuh nanah juga menghitam dan berbau gosong. Mirda bisa melihatnya walau dalam keremangan.Mirda menjerit, hingga terbangun dari mimpi yang
Aline berlari menghambur ke arah suaminya. Tanpa ragu, dia menarik tengkuk sang suami hingga bibir mereka saling memagut. Rasa rindu yang sekian lama terhalang jarak dan waktu kini sirna sudah.Sesaat Aline menghentikan pagutannya. Dia menatap takjub ke setiap inci wajah suaminya. Rimba mematung. Dia hanya bisa membalas tatapan sang istri tanpa bersuara.“Wajahmu ….” Aline menyentuh perlahan wajah sang suami. “Kamu membohongiku, hmm?” ucap Aline lirih. Rimba tidak menjawab, dia menarik tubuh Aline hingga tak ada jarak diantara mereka. Ciuman panas kembali memabukan mereka dalam nada rindu yang membara.“Kamu belum menjawabku,” tuntut Aline menghentikan aksi panas mereka sesaat.“Aku jelaskan nanti saja. Rasa rinduku sudah di ubun-ubun,” pungkasnya dan menarik sang istri ke atas ranjang. Tubuh mereka terhempas. Rimba mengungkung Aline dalam dekapannya. Gelora asmara kembali membara. Aline hanya bisa pasrah menikmati setiap sentuhan yang sudah sekian lama dia rindukan.“Kenapa kamu berb
“Assalamualaikum.” Terdengar suara dari ambang pintu depan yang tidak ditutup. Semua mata kini menatap ke arah pintu.“Maaf, mengganggu waktu kalian, tapi … tadi aku dapat telpon dari Ibu, jika Rimba sudah kembali. Aku hanya ingin ketemu anakku,” ucap Mirda ragu.“Mami … kenapa mamih bilang begitu segala. Dari tadi aku malah nunggu kedatangan Mami. Aku mau minta Mas Rimba jemput Mami, tapi kasian takutnya cape. Maaf ya, Mi,” ucap Aline menyambut kedatangan ibu mertuanya. Mirda tampak malu-malu untuk masuk.“Ayo, Mi, jangan malu-malu. Malam ini kita makan bersama.” Aline menarik lengan ibu mertuanya menuju ke ruang makan.“Iya, ayo Bu Mirda, kita kan keluarga, gak usah ada rasa malu segala,” ucap Retno ditanggapi anggukan oleh Darwis juga Naimah. Mirda pun mengucapkan terima kasih. Lalu, dia mendekat pada putranya.
Rimba dan Aline baru saja keluar dari gedung dan langsung menuju parkiran. Sesaat mata Rimba menangkap sesuatu yang membuatnya penasaran.“Kamu kenapa?” tanya Aline yang heran melihat sang suami seperti baru melihat hantu.Rimba menolehkan muka, tapi pandangan mata masih saja seperti mencari sesuatu.“Aku seperti melihat seseorang yang tak asing,” jawab Rimba lirih.“Seseorang?” Aline kembali bertanya dengan Alis bertaut. Rimba hanya mengangguk pelan, dengan kepala masih celingak-celinguk.“Siapa sih?” Aline kini ikutan mencari seseorang itu.“Itu. Wanita itu. Kamu lihat?” tanya Rimba menunjuk wanita cantik dengan pakaian yang seksi yang berjalan di antara riuhnya para tamu. Mata Aline ikut terbelalak.“Wanita yang malam itu mengantarku ke kamar.”“Wanita yang ada di foto, sesaat sebelum kamu kecelakaan pesawat,” ucap Aline hampir bersamaan dengan Rimba.“Aneh sekali dia ada di sini.” Rimba terlihat bingung.“Dia ada di acara nikahan Emely dan Ravi, berarti dia kenal dengan pengantin,
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi