Mataku membola lebar, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Proyek kami berhasil? Proyek yang kami garap bersama di sela waktuku menjadi tukang ojek, ternyata membuahkan hasil? Allahuakbar.
"Ka ... kamu serius, Rudi?" tanyaku kemudian, masih belum bisa percaya dengan pendengaranku sendiri."Untuk apa aku bercanda, Damar? Datanglah ke kantorku secepatnya. Kalau bisa sekarang juga. Ada banyak hal yang harus ditanda tangani," jawab Rudi dengan suara yang jelas terdengar sumringah."I-iya, Rud. Aku akan ke sana setelah mengantar istriku pulang," ucapku kemudian.Badanku gemetar hebat setelah menutup telepon dari Rudi, saking bahagianya. Tak menyangka jika akan mendapatkan hadiah luar biasa saat aku hampir putus asa."Ada apa, Mas? Kok wajah Mas kelihatan bahagia sekali?" Lita menatap ke arahku dengan pandangan heran.Aku tak menjawab, namun langsung memeluknya erat. Ternyata inilah jawaban atas doa-doa yang Lita langitkan. Sungguh, Allah tidak akan mengambil sesuatu, melainkan akan menggantinya dengan yang lebih baik."Mas Damar?" Sepertinya Lita masih bingung dengan apa yang terjadi, karena dia tetap menatapku penuh tanya saat melepasnya dari pelukan."Alhamdulillah, Mas mendapatkan rejeki besar, Dek," jawabku kemudian."Rejeki?" Kedua mata Lita membulat. "Alhamdulillah, Mas. Tapi ... rejeki apa, Mas?""Nanti, Dek. Nanti Mas akan cerita kalau sudah benar-benar deal dengan sahabat Mas. Sekarang kita pulang dulu ya, Dek?" jawabku kemudian sambil meraih lengannya dan membawanya menuju motor. Lita menurut saja.Kami berdua melaju menuju rumah, meskipun mungkin dalam hati Lita masih bertanya-tanya. Aku sudah tidak sabar lagi menemui Rudi. Jika benar proyek kami berhasil, ini adalah awal yang baik untuk bisa membahagiakan Lita.Motor yang kami naiki akhirnya sampai juga di depan pelataran rumah. Kami sedikit tertegun ketika melihat sebuah mobil sudah terparkir di sana. Mobil Dahlia.Aku dan Lita saling berpandangan sejenak, sebelum turun dari motor dan memasuki teras rumah. Terdengar suara Ibu mertua dan Dahlia sedang tertawa-tawa dari dalam."Assalamualaikum, Buk." Lita mengucap salam, sebelum kami memasuki rumah.Suara tawa berhenti, lalu sesaat kemudian terdengar sahutan yang datar, cenderung ketus. "Waalaikumsalam."Aku dan Lita berjalan masuk, dan terlihat Dahlia sedang duduk di samping ibunya di ruang tengah."Astaga, Lita. Kamu berjualan kue lagi?" Dahlia langsung menyambut kami dengan pertanyaan ketus ketika melihatku meletakkan keranjang kue Lita di sudut ruangan."Iya, Mbak. Alhamdulillah," jawab Lita dengan tersenyum."Suamimu tidak bisa mencukupi kebutuhanmu, kan? Apa kami bilang, habis nikah hidup makin susah. Lama-lama nyesel kan kamu?" Dahlia menatap adiknya itu dengan pandangan mengejek."Itu gak benar, Mbak. Mas Damar masih sanggup memenuhi kebutuhan kami, kok. Aku mau jualan lagi karena bosan setiap hari di rumah terus," jawab Lita lagi, masih dengan senyumnya."Halah, alasan kamu!" Dahlia mencibir."Oh iya, Buk." Lita merogoh kantong gamis panjangnya, lalu mengeluarkan sejumlah uang dan mengulurkannya pada ibunya. "Ini hasil untung jualan Lita hari ini. Alhamdulillah, langsung ludes, Buk."Bu Nani terlihat menatap sinis ke arah Lita, lalu beralih ke uang yang urung dia terima. Sesaat kemudian dia tampak tersenyum mengejek."Untung jualan gak seberapa aja kamu pamerkan ke Ibuk, Lita! Lihat ini." Bu Nanti menunjuk ke arah lehernya, dan terlihat sebuah kalung emas yang ukurannya cukup besar menggantung di sana."Kakakmu membelikan Ibuk kalung sebagai hadiah ulang tahun. Padahal masih masih Minggu depan kami akan merayakannya, tapi kakakmu sudah memberikannya," sambungnya.Wajah Lita yang tadinya masih berseri-seri dan penuh senyuman, kini berangsur berubah menjadi muram. Hatiku ikut teriris melihatnya. Aku tahu tadinya Lita pasti berharap Ibunya akan sedikit memberinya pujian atas kerja kerasnya hari ini. Namun untuk ke sekian kalinya hatinya kembali dipatahkan."Dek," panggilku kemudian karena sudah tak tahan lagi melihat pemandangan di depanku. Bukan aku tak ingin membela istriku di depan keluarganya, tapi aku posisiku kurang tepat saat ini."Baju batik yang dulu Mas punya ada di mana, ya? Mas mau pakai," ucapku kemudian, mengalihkan pembicaraan mereka."Ah, akan aku siapkan sebentar, Mas," jawab Lita kemudian, lalu cepat-cepat berjalan menuju ke belakang.Aku berjalan menyusul Lita, bersiap membersihkan diri sebelum pergi menemui Rudi. Tapi masih bisa kudengar Bu Nani dan Dahlia membicarakan kami."Sudah kere, apa-apa minta dilayani pula. Seperti raja saja.""Lita saja yang bodoh, Buk. Mau saja dinikahi pria yang tak mau maju itu. Masih mending dia dulu menerima pinangan juragan Darsa. Ibu juga tidak ikut susah seperti sekarang.""Memang tidak beres otak adikmu itu, Lia! Sudahlah, biarkan saja mereka tetap seperti itu seumur hidup."Aku menarik napas panjang, lalu meneruskan langkah dan tak ingin mendengarkan pembicaraan mereka lagi. Sampai kapanpun penilaian mereka terhadapku dan Lita tak akan pernah berubah."Mas berangkat dulu ya, Dek?" pamitku pada Lita begitu aku selesai bersiap-siap."Hati-hati di jalan, Mas." Lita meraih tanganku lalu menciumnya.Aku akhirnya berangkat saat itu juga, tak mempedulikan pandangan sinis Bu Nani dan Dahlia saat aku melewati mereka. Yang aku pikirkan sekarang hanya cara agar mereka sudah tak bisa lagi melontarkan penghinaan pada istriku. Itu saja.Jarak dari rumah menuju kantor Rudi butuh waktu setengah jam. Dia adalah temanku sejak SMA dulu, dan satu-satunya orang yang bisa kupercaya untuk berbagi semua masalahku.Beberapa tahun yang lalu, saat usahaku sudah mulai pulih, dia datang untuk meminta bantuanku. Dia yang saat itu masih belum memiliki pekerjaan tetap, akhirnya kubantu modal untuk membangun usaha. Sekarang saat aku butuh bantuan, giliran dia yang datang menawarkan bantuan. Bahkan motor yang saat ini kupakai untuk ojek online, adalah pemberian darinya juga.Aku tak bisa melamar pekerjaan lagi, karena semua dataku disita oleh Mama, termasuk kartu bank. Hanya KTP saja yang bisa aku bawa. Bahkan ketika Rudi menawarkan jabatan di kantornya, aku tak bisa terima. Aku tidak mau mendapatkan pekerjaan secara curang dan lewat jalur dalam. Karena itulah aku hanya bisa membantu Rudi menjalankan proyek besar yang digarapnya secara tak kasat mata. Tak kusangka, rupanya usaha yang kami lakukan tidak sia-sia."Damar!"Baru saja aku sampai dan memasuki lobi kantornya yang tidak terlalu besar itu, Rudi sudah menyambutku. Dia langsung merangkul dan menepuk-nepuk pundakku dengan bahagia."Ayo masuk!" Tanpa basa-basi lagi dia menarik tanganku, mengajakku memasuki ruangannya."Duduklah, Damar," ucapnya lagi, lalu membuka laci meja di depannya.Begitu aku duduk, dia langsung mengulurkan selembar cek padaku."Ini hanya uang muka. Sisanya akan aku transfer begitu semua pembayaran beres. Aku sangat berterima kasih padamu, Damar. Berkat bantuanmu, akhirnya perusahaan kecilku ini mendapatkan banyak sekali investor." Rudi tersenyum seraya menatapku.Ragu-ragu aku menerima selembar cek itu. Mataku seketika membulat begitu melihat nominal yang ada di sana. Alhamdulillah, ya Allah!"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Rud," ucapku sambil mengusap wajahku penuh syukur.Dengan uang itu, hal yang pertama ingin aku lakukan adalah mewujudkan impian Lita untuk memiliki toko kue. Aku ingin memberikan itu sebagai hadiah pertama nanti. Apalagi ulang tahun Lita tak lama setelah hari ulang tahun ibunya."Aku yang seharusnya berterima kasih, Damar. Aku juga minta maaf. Mungkin bagimu uang segitu pasti kecil mengingat usahamu yang jauh lebih besar. Apalagi sebentar lagi semuanya kembali padamu saat lulus ujian dari Mamamu," jawab Rudi sambil menepuk pundakku lagi.Aku seketika terdiam mendengar ucapan Rudi. Aku memang sudah menceritakan padanya segalanya. Dia tahu bagaimana dulu aku begitu hancur saat dipermalukan oleh Dahlia dan ibunya, juga bagaimana Mama mengujiku saat ingin menikah dengan Lita."Aku sudah membatalkan perjanjian dengan Mama, Rud," ucapku kemudian.Rudi seketika mengerutkan kening. "Maksud kamu gimana, Mar?"Aku menarik napas panjang. "Aku sudah tidak in
"Kamu gak usah ikut campur, Damar. Ini pembicaraan antara ibu dan anak!" sahut Bu Nani. "Kamu cuma orang lain yang kebetulan menikahi putri saya!""Anak? Ibu selama ini menganggap Lita itu anak Ibu?" Aku tetap tidak mengalah."Tentu saja! Saya yang melahirkan dan membesarkan dia!""Lalu kenapa perlakuan Ibu dan terhadap Dahlia dan Lita begitu jauh berbeda?""Dahlia selalu menurut apa yang saya katakan! Sedangkan Lita dari kecil sudah pembangkang! Sejak dia lahir semua yang kami punya habis tak tersisa. Bahkan saya harus kehilangan suami karena dia!""Astaghfirullah, Buk." Aku seketika mengelus dadaku yang mendadak sesak.Kulirik Jelita yang menundukkan wajahnya dalam. Kehilangan suami karena Jelita? Aku tak tahu apa yang Ibu mertuaku maksudkan. Ah, aku menyesal. Perdebatan dengan Ibu mertua hanya menambah luka di hati Jelita saja."Jadi, Damar, kalau kamu tidak tahu apa-apa, gak usah ikut berkomentar! Akan lebih baik kamu mencari cara agar cepat kaya, agar air mata istrimu tidak terb
"Ayo kita pulang sekarang juga, Dek," ucapku sekali lagi.Hatiku benar-benar perih melihat bagaimana mereka memperlakukan Lita. Ini sungguh-sungguh sudah keterlaluan! Jika tahu Lita diundang hanya untuk menjadi tukang cuci mereka, aku tidak akan mengijinkan dia datang!"Mas ... Mas Damar salah paham," ucap Lita, mungkin sedikit ketakutan ketika melihat wajahku yang mungkin saat ini sudah merah padam."Berhenti membela Ibu dan Kakakmu lagi, Dek! Mereka sudah keterlaluan. Mereka bahkan memperlakukanmu lebih rendah dari pembantu!Kamu tahu, jika ini sama saja merendahkan Mas juga sebagai suamimu?""Mas ...." Wajah Lita seketika memucat, terlihat amat merasa bersalah."Sekarang cepat letakkan itu. Kita pulang!" ucapku lagi.Lita akhirnya meletakkan piring kotor di tangannya, lalu mencuci tangannya. Aku segera meletakkan kado yang kubawa ke atas lantai, dan mengambil kain lap, lalu mengeringkan tangannya yang basah. Lagi-lagi hatiku berdesir perih. Pasti sudah banyak sekali pekerjaan yang d
Aku menatap ke arah pria bernama David itu dengan kening berkerut. Aku memang baru pertama kali ini bertemu dengan suami Dahlia, karena dia tidak pernah datang ke rumah. Dahlia yang selalu membanggakan suaminya itu bilang, jika David super sibuk dengan bisnisnya, dan jarang sekali pulang.Dulu saat masih memegang perusahaan milikku, mitra kerjaku memang banyak, dan sebagian tidak pernah bertemu langsung. Apalagi perusahan milikku juga menjalin kerja sama dengan banyak perusahaan lain."Mas David kenal sama dia?" Dahlia mendelik ke arah suaminya."Bukannya dia ini Damar Mahardika, CEO perusahaan Bintang Permata? Salah satu perusahaan besar yang jadi investor penting perusahaan Mas. Tapi ...." David memperhatikanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kenapa berpenampilan seperti ini?""Ah, Mas David ada-ada saja!" sahut Dahlia. "Dia ini tukang ojek, dan memang kebetulan namanya Damar! Mimpi di siang bolong kalau dia seorang CEO!"David lagi-lagi memperhatikanku. "Tapi wajahnya mirip .
"Lihat! Benar kan apa yang kubilang?" Dahlia seketika mendelik. "Lihat kelakuan suamimu, Lita!"Lita mencengkeram lenganku semakin erat. Dia menatapku sesaat, lalu kembali menatap ke arah Kakaknya."Mas Damar tidak mungkin melakukan itu, Mbak! Aku percaya pada suamiku!" ucapnya kemudian. Baru kali ini nada suaranya begitu tinggi dan lantang."Terus saja kamu bela dia, Lita!" Dahlia menatap ke arahku dan Lita tajam, lalu berjalan menuju arah kamar ibunya.Aku sejak tadi diam, mencoba mengikuti permainan apa yang dilakukan oleh ibu mertua dan iparku itu. Kupegang pundak Lita dengan lembut, karena aku tahu dia amat sangat khawatir."Jangan khawatir, Dek. Semua pasti akan baik-baik saja. Asal Adek percaya sama Mas, itu sudah cukup," ucapku kemudian."Aku percaya pada Mas Damar. Aku percaya Mas Damar tidak akan pernah menggunakan yang haram hanya untuk membuatku bahagia," jawab Lita, menatapku dengan pandangan penuh keyakinan.Aku tersenyum mendengar jawaban Lita, lalu kami berdua bergegas
Aku mengusap wajah, takut semua ini hanya mimpi. Ternyata benar, Mama berdiri di depan kami. Mama yang tadinya berkata seumur hidupnya tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di kampung ini, rela datang karena video kami yang viral.Bu Nani dan Dahlia masih melongo untuk beberapa lama, sampai Mama berjalan mendekat."Mama ...." Lita seketika menyambutnya, meraih tangan Mama dan menciumnya.Tak kusangka Mama sama sekali tidak menolak hal itu, meskipun dia hanya menatap Lita dengan pandangan datar. Dan ketika pandangannya beralih ke arah Bu Nani dan Dahlia, tatapannya berubah tajam."Kenapa kalian berdua bengong saja? Kesambet setan?" tanyanya kemudian."Wah, Bu Zahra." Bu Nani seketika tersadar jika sejak tadi dia terpaku sampai mematung. "Tak kusangka Bu Zahra mau berkunjung ke rumah saya lagi.""Tidak usah basa-basi, Bu Nani. Saya sebenarnya juga sudah tidak sudi menginjakkan kaki ke tempat kotor seperti ini," sahut Mama. "Saya terpaksa datang karena ada hal yang harus saya luruskan
"Memangnya Mas David kenal siapa dia?!" Dahlia mengangkat telunjuknya ke arah Mama."Jangan lancang kamu, Dek!" David dengan cepat menepis tangan istrinya. "Beliau itu orang yang paling penting dalam dalam masa depan perusahaanku!""Mas David ngelindur, ya? Kemarin salah mengenali tukang ojek sebagai CEO, sekarang salah juga mengenali ibunya." Dahlia melotot tak percaya."Itu semua memang kenyataannya, Dek! Aku tidak salah orang." David masih berusaha menjelaskan."Omong kosong apa sih ini, David?" Bu Nani tiba-tiba menimpali. "Kamu tahu tidak, kalau kami berdua lebih mengenal mereka lebih dari siapapun di dunia ini!"David seketika mengerutkan kening."Maksud Ibuk?" tanyanya.Bu Nani menatap ke arahku dan Mama dengan pandangan mengejek."Si Damar dulu pernah berpacaran dengan Dahlia selama hampir empat tahun. Dan tiga tahun yang lalu mereka sempat melamar Dahlia, tapi kami tolak. Dulu mereka memang punya usaha kecil, tapi bangkrut!" ucapnya kemudian panjang lebar."Jadi Ibuk dan Dahl
Lita menghentikan langkah sejenak ketika mendengarnya, dan menatap ke arahku. Kubalas tatapannya seraya menggeleng pelan."Jangan berbalik lagi, Dek. Semua itu sudah bukan urusan kita lagi. Kita sudah tidak boleh ikut campur," ucapku lirih.Lita menggangguk lemah, lalu kami berdua melanjutkan langkah dan menuju ke arah motor yang terparkir di halaman. Lita menatap ke arah rumah Ibunya sekali lagi, sebelum akhirnya menaiki motor dan merangkul pinggangku. Perlahan kami pergi meninggalkan tempat itu."Alhamdulillah, kita sampai, Dek," ucapku sambil mematikan mesin motor.Rumah kontrakan tempat kami tinggal memang tak jauh dari rumah Bu Nani. Lumayan luas juga tempatnya. Kabarnya, sebenarnya rumah itu dijual oleh pemiliknya. Namun karena belum laku, jadi untuk sementara dikontrakkan. Dalam hati aku berniat membeli rumah itu jika nantinya. Mungkin dengan membayar sebagian dulu jika Rudi sudah mengirimkan uang padaku besok."Masyaa Allah, Mas. Gak menyangka kita bisa tinggal di rumah sebagu
"Ya Allah, Mbak Lia. Kenapa jadi seperti ini?"Lita mengelus nisan Kakaknya dengan raut wajah penuh kesedihan. Pihak kepolisian bertanggung jawab penuh atas proses pemakaman, dan jenazah Dahlia diurus oleh pihak rumah sakit, dan makam Dahlia bisa bersandingan dengan makam Bu Nani.Aku menatap tanah merah tempat Dahlia berada di pembaringan abadi itu. Padahal sudah beberapa kali pihak kepolisian membawakan Dahlia seorang psikiater, dan saat ini juga sedang menjalani perawatan non medis. Dahlia depresi, itu yang kami dengar. Namun aku tak menyangka jika dia akan bertindak seperti itu.Dahlia tidak pernah mau menerima tamu sejak terakhir kali aku dan Lita mengunjunginya waktu itu. Kami masih menitipkan beberapa barang untuknya, termasuk Alquran dan mukena untuk salat. Tapi ternyata ....Saat aku masih terdiam dalam lamunan, tiba-tiba terlihat David dan Nadia datang ke pemakaman itu. Mereka berdua langsung berjongkok di depan nisan, berseberangan dengan Lita."Ya Allah, Lia." David juga t
"Apa yang terjadi, Mas?" tanya Lita seraya menatapku."Ibuk ... ibuk sudah tersadar dari koma, Dek," jawabku."Benarkah? Alhamdulillah, ya Allah." Lita mengusap wajahnya penuh syukur. "Kalau begitu kita pulang sekarang, Mas.""B-baiklah, Dek." Aku ragu-ragu untuk mengatakan jika kondisi Bu Nani sudah kritis, takut membuat Lita gelisah.Kami semua akhirnya berpamitan pada Bu Narti untuk pulang, meskipun hari sudah mulai malam. Kami tidak bisa menunggu lagi sampai besok pagi, karena takut terjadi apa-apa nanti di rumah sakit.Perjalanan di malam hari terasa lebih lama. David menggantikanku menyetir ketika tahu aku kelelahan. Dia mengantarkanku dan Lita ke rumah sakit lebih dulu, sebelum mengantarkan Nadia untuk pulang. Vivi sudah tidur sepanjang perjalanan. Kasihan anak itu, seharian tertekan karena ulah Dahlia.Begitu sampai di rumah sakit, aku dan Lita langsung bergegas menuju ruangan tempat Bu Nani dirawat. Seorang Suster menyambut kami di sana."Ibu saya bagaimana, Sus?" tanya Lita
"Astaghfirullah! Mbak Lia melakukan perbuatan senekad itu?" Lita seketika berdiri dengan wajah tak percaya."Padahal wajah Dahlia sudah masuk data laporan kepolisian. Bagaimana mungkin dia bisa begitu mudah mengambil Vivi dari sekolah?" tanyaku pada David."Entahlah, tapi pihak sekolah paud itu tadinya tidak curiga karena yang menjemput memang Mamanya. Saat mereka sadar, Dahlia sudah pergi membawa lari Vivi," jawab David sambil mengacak rambut."Minta rekaman CCTV dari setiap sudut sekolah, Bang. Jadi kita bisa tahu dengan siapa Dahlia datang, atau kendaraan yang dia naiki! Jangan lupa buat laporan ke pihak kepolisian juga," ucapku lagi."Iya, baik, Damar," jawab David lagi. Dia kemudian sibuk membuat panggilan telepon dengan wajah panik.Aku kemudian menatap ke arah Lita."Dek, kamu tidak punya kerabat atau saudara jauh yang kemungkinan bisa menjadi tempat Dahlia bersembunyi?" tanyaku padanya.Lita terdiam mendengar pertanyaanku. Dia tampak berpikir keras."Ibuk punya saudara jauh, M
"Sudah Mama duga, pasti ada yang tidak beres! Orang seperti Dahlia itu selamanya tidak akan pernah bertobat!" ucap Mama."Ya Allah, tega sekali Mbak Lia menipu Ibuk seperti ini." Lita menutup mulut dengan kedua tangan."Aduh, maafkan saya, ya? Saya tidak tahu-menahu tentang masalah keluarga kalian. Saya hanya membeli rumah ini secara sah, tidak mau ikut campur masalah lainnya," ucap Ibu itu, wajahnya juga terlihat cemas."Tapi jika nanti kami membutuhkan Ibu sebagai saksi, kami harap ibu bersedia," ucapku."Saya mengerti, Mas," jawab Ibu itu lagi.Aku menarik napas panjang. Biar bagaimapun kami terpaksa melaporkan kejadian ini pada pihak berwajib. Apalagi Dahlia membawa kabur semua uang penjualan rumah, di mana ada hak ibunya di sana."Ibuk! Ibuk!"Aku kaget ketika mendengar suara Lita berteriak. Saat aku menoleh, tubuh Bu Nani sudah mengejang. Kepalanya mendongak ke atas, dan kedua matanya terbelalak."Mas, ibuk kenapa ini, Mas?" Lita terlihat panik melihat keadaan ibunya, sampai har
"Alhamdulillah, akhirnya kita pulang."Mobil berhenti tepat di depan rumah Mama. Hari ini Lita sudah diperbolehkan pulang dan beristirahat di rumah. Mama memaksa agar kami pulang ke rumah yang ditempati Mama. Aku setuju saja, karena memang nanti ada yang menjaga Lita jika di sana."Aku takut nanti akan merepotkan Mama," ucap Lita, yang awalnya menolak."Repot apanya? Di rumah ada beberapa ART, gak akan repot," jawab Mama."Tapi, rumah kami ....""Rumah itu khusus dipakai untuk produksi saja. Jangan lagi dipakai untuk tinggal. Mama akan meminta orang untuk merenovasinya, menjadi pabrik kecil. Bau minyak dan mentega setiap hari mana bagus untuk kesehatanmu?" ucap Mama lagi, menyela."Mama gak bakal bisa dibantah, Dek ...," ucapku kemudian pada Lita. "Kita menurut saja."Akhirnya Lita bersedia untuk pulang ke rumah yang Mama tempati. Rumah kami. Baru pertama kali ini Lita menginjakkan kaki di sini. Dulu saat aku masih menjadi kekasih Dahlia, kami masih menempati rumah sederhana yang tak
"Katakan, Bu Nani!"Saat Mama membentak Bu Nani sekali lagi, aku tak bisa menahan diriku lagi untuk masuk ke dalam. Kulihat Mama menoleh dan langsung tersentak kaget ketika aku membuka pintu. Wajahnya seketika memucat."Damar?"Aku tak langsung bicara, tapi melayangkan pandanganku pada Bu Nani. Hatiku berdesir miris menatap keadaan wanita yang tadinya selalu berucap dengan nada tinggi itu.Badan Bu Nani yang terbaring itu tampak kaku, dengan sebelah tangan mengerut di dadanya. Bibirnya juga sudah tak lagi lurus, bergerak-gerak seperti akan berbicara sesuatu, namun tak sanggup. Hanya kedua matanya yang melebar menyempit mewakili bahasa tubuhnya."Astaghfirullah, Buk." Aku menelan ludah, seketika rasa sedih menyergap dada.Ya, meskipun ibu mertuaku itu selalu melontarkan kata-kata hinaan padaku, tapi melihatnya dalam kondisi yang demikian rasanya hatiku juga tak tega."Damar ...." Mama mendekat ke arahku. "Kamu ... sejak kapan ada di situ?"Aku masih menatap ke arah Bu Nani sekali lagi,
Aku akhirnya kembali menuju kursi tunggu, dan sudah tidak kudapati Dahlia ada di sana. Aku duduk dengan lemah di salah satu sudut kursi. Pikiranku dipenuhi hal-hal yang membuatku bertanya-tanya. Allah, ada apa lagi ini?Entah berapa lama aku duduk di sana tanpa berbuat apapun. Hingga tiba-tiba Mama sudah muncul dan berjalan ke arahku."Syukurlah, kondisi Lita sudah jauh lebih baik," ucap Mama kemudian. Aku membuang napas lega mendengar itu semua. Tak henti-hentinya mulutku mengucap syukur. Ya, meskipun pada akhirnya kami harus kehilangan calon buah hati, setidaknya nyawa istriku sudah tertolong. Tinggal bagaimana nanti aku bertanggung jawab untuk menyembuhkan hatinya."Di mana wanita iblis itu?" tanya Mama kemudian seraya menatap ke sekeliling. "Jangan-jangan dia kabur?""Mungkin sedang bersama Ibunya, Ma," jawabku kemudian. "Bu Nani juga harus mendapat perhatian lebih.""Memang pantas mereka itu mendapatkan karma! Perbuatan mereka berdua benar-benar sudah tidak bisa dimaafkan!" ucap
Aku merengkuh tubuh Jelita, lalu membawanya lari sekencang mungkin. Tidak peduli lagi pada orang lain, yang kupikirkan hanya nasib istriku dan bayi yang ada dalam kandungannya. Lita masih merintih kesakitan dan pelukanku, sebelum akhirnya pingsan."Dek! Bertahanlah, Dek! Tolong, Dek! Bertahanlah!" Aku berteriak seperti orang gila."Ada apa ini, Mas Damar?" tanya Bu Tatik ketika aku sudah sampai di depan rumah dengan kondisi yang menyedihkan."Bu, tolong minta warga untuk membantu mencarikan mobil untuk Bu Nani. Saya harus membawa Lita ke rumah sakit," ucapku padanya sembari membaringkan Lita ke jok belakang mobil."Baik, Mas Damar." Bu Tatik akhirnya beranjak pergi meninggalkanku.Badanku gemetar hebat ketika menyalakan mesin dan memutar kemudi. Pikiran buruk sudah memenuhi kepala. Dengan kecepatan tinggi mobil melaju ke rumah sakit."Dokter! Tolong, Dokter!" Lagi-lagi aku berteriak seperti orang gila saat sudah tiba di rumah sakit. Apalagi ketika rembesan darah dari sela kaki Lita se
Dahlia menatap tak percaya pada suaminya, badannya terlihat gemetar. Dia pasti tak mengira, jika David bisa semudah itu mengucapkan talak padanya."Maksudmu apa, Mas?" tanyanya kemudian seraya menggoncang lengan David.David bungkam. Dia justru membuang mukanya dari Dahlia."Mas! Kamu tidak bisa melakukan itu! Kamu tidak bisa menceraikanku! Kamu ingat, aku punya Vivi, anakmu!" teriak Dahlia kemudian.David kemudian menatap ke arah Dahlia tajam."Kamu pikir bisa mendapatkan hak asuh setelah apa yang kamu lakukan pada Vivi?" tanyanya kemudian. "Lebih baik sekarang kamu membereskan semua barang-barangmu. Tinggalkan rumah ini secepatnya.""Kamu mengusirku, Mas?" Dahlia masih menatap tak percaya pada David. "Sudah kuduga, kamu pasti mau kembali pada mantan istrimu itu, kan? Pasti dia sengaja membalas dendam, menghancurkan rumah tangga kita!""Cukup, Dahlia. Aku sudah tidak mau mendengar apapun lagi darimu," ucap David lagi seraya beranjak pergi.Namun sebelum sempat dia melangkah, Dahlia l