“Jadi berapa semuanya, Bang?” tanya Alana kepada laki-laki di depannya yang sudah sempurna memasukkan semua barang belanjaannya ke dalam kantong keresek. Persetan dengan apa yang ibu-ibu kompleks katakan Layla cukup sadar diri kalua d kota ini ia dan Alana cuma dua orang penduduk baru.
“Jadi dua puluh tujuh semuanya,” jawab pria tiga puluhan tahun itu. Tersenyum, menggantikan kantong keresek merahnya pada Alana dengan tiga lembar sepuluh ribuan darinya. “Duh, yang tiga ribu abang kasih krupuk aja yang, Neng. Kagak ada kembalian soalnya. Rame banget dagangan hari ini. Uang kecil saya abis.”
“Iya deh, Bang.” Kepalanya berputar-putar mengamati kerupuk-kerupuk yang dibungkus dan diikat jadi satu menggantung di sebuah paku. “Yang mana nih kerupuknya?” tanya Alana balik.
Gerakan tubuhnya masih saja diamati oleh empat ibu-ibu di depannya. Tatapan yang bukan tatapan sep
Mulut Alana terbungkam rapat, gagap tak ada satu kalimat pun terbesit di kepalanya yang mampu menjawab pertanyaan Layla barusan. Kenapa?“Al ?!” Layla yang tak puas sampai menghentikan Langkah kakinya. Meremas lengan Alana agar dia berenti melangkah juga. “Kamu nggak lagi bercanda?”Alana menggeleng ragu setengah ketakutan.“Ya Tuhan, Al…. Shhhh…!!!” Layla berdesis kesal meraup wajahnya sendiri. “Kapan? Trus… trus kok bisa sih?? Al !! Kita kan berdua udah sama-sama tahu kalua rumah Bude Mey nggak beres. Zeline juga mulai nggak beres.”“I-iya maaf, La.” Alana tergagap. Kulit kuning langsatnya memerah menahan tangis. “A-aku nggak tahu kalau bakal jadi seserius ini.”“Ckkk….. “ Layla terduduk lemas di pinggir trotoar jalan. “Nggak harus buru-buru kayak gitu loh, Al. Kan kalau kamu belum bayar kitab isa cabut sewaktu-waktu
“Yailah cuma kecap doang,” ketus Alana santai. “Bukan masalah yang serius kan?”“Eh Mak Lampir! Gimana mau masak orek tempe kalo nggak ada kecap? Nggak enak lah!” Layla masih belum puas, mengaduk-aduk lagi tas belanjaannya sampai mengeluarkan semua belanjaannya ke atas meja dapur yang terbuat dari semen dan beralas keramik“Hahaha…. Jelek banget sih. Masa’ cantik-cantik gini dibilang Mak Lampir,” protes Alana tak peduli Layla sedang panik. “Mbak Lampir masih boleh. Jangan Mak laah.”Layla dengan enteng melempar satu kotak tempe utuh lumayan besar ke arah Alana. Meski sempat sedikit kaget tahu-tahu ada segelontor tempe terbang ke arahnya. Tapi dengan cekatan Alana berhasil menangkap sebungkus tempe yang dilempar sahabatnya itu.“Kamu potong-potong tempe dulu ya. Separuh untuk orek, separuh untuk digoreng biasa. Tahu kan bedanya?” P
“Selamat makan .... !!!!” pekik Zeline tiba-tiba di penghujung hening di tengah Layla dan Alana tengah memanjatkan do’a. Suaranya yang keras, tak ayal membuat dua orang temannya terperanjat kaget. Membuyarkan hening, digantikan dengan Layla dan Alana yang bertatapan bingung.“Se–selamat makan, Zel.” Layla dan Alana menyahuti bersamaan. Meski terbata-bata, meski terasa aneh. Iya wajar saja, di kampung mereka tidak ada yang saling mengucapkan.Makan ya makan saja, tidak ada yang mengucapkan ‘selamat makan’ atau sejenisnya. Jangankan Layla yang notabene orang miskin. Alana yang tergolong orang berada saja tak pernah saling mengucapkan selamat makan. Itu kenapa rasanya jadi agak aneh mendengar kalimat itu keluar dari mulut Zeline.Sarapan sekaligus makan siang yang dirangkap jadi satu hari ini terasa berbeda. Berbeda bagi tiga perempuan ini semua tentunya. Bagi Zeline, ini adalah kali pertama dirinya maka
Akhirnya untuk pertama kalinya Alana bisa memasak. Ya betul, karya perdananya adalah tempe yang satu sisinya gosong, sementara satu sisinya lagi masih setengah matang. Belum pernah ada cheff tersohor mana pun yang bisa menyamai kehebatan Alana dalam hal memasak tempe.“Oh, tempe ini?” balas Zeline. Mengangkat tempe separuh gosong itu dari atas piringnya. Melihat piring kedua temannya yang tak ada tempe seperti miliknya. Hanya ada tiga potong, dua sisanya masih di piring. Diam tak ada yang mau memungutnya, hanya Zeline yang masih sudi mengambil tempe itu.Siapa yang mengira Zeline justru tiba-tiba menggigit tempe itu di depan Layla dan Alana. Mengunyahnya, meringis, setengah terpejam menahan pahit di bagian gosong. Matanya yang sudah sipit makin menyipit lagi menegaskan kantung mata Zeline yang melebar.Setelah beberapa kunyahan, kemudian tenggorokannya bergerak naik turun. Seline benar-benar menelan tempe
Hari sudah beranjak jadi sore saat Zeline hanya bisa duduk terdiam menghentikan motornya di pinggir jalan. Duduk di atas trotoar berdebu membingkai jalan yang terbentang sepanjang tepian Sungai Gandong. Satu-satunya sungai besar yang membelah Kota Gani.Sebatang rokok baru saja menyala ujungnya di apitan tangan Zeline. Tangannya sibuk memasukkan kembali korek ke dalam saku saat angin berhembus pelan menerpa wajahnya. Rambutnya terbang, melambai mengikuti ke mana angin berembus. Turut serta membawa kepulan asap tipis yang keluar dari bibir dan lubang hidungnya oleh-oleh bakaran tembakau dari dalam paru-paruAliran sungai di bawah sana cukup bisa menggambarkan perasaan Zeline sekarang. Tanaman-tanaman selada air berkerumun membentuk pulau-pulau kecil di tepian sungai. Berebut tempat dengan lumut dan batang-batang enceng gondok yang selalu rutin dibersihkan dinas lingkungan hidup minimal sebualan sekali. Riak yang muncul karena angin, aliran air yang tampak tenang, air ke
Isapan terakhir, lebih panjang dari yang terakhir. Hingga bara api yang membakar lintingan tembakau itu terasa menyengat permukaan kulit jari telunjuknya. Zeline melempar puntung sisa rokoknya jauh, terbang hinggap di bahu aliran sungai. Terbawa air, hanyut entah sampai mana. Terbawa sampai laut atau hanya berhenti di dadaunan selada air dan enceng gondok Zeline sudah tidak peduli lagi.Ia harus meneruskan perjalanannya. Walau mulutnya terasa kecut, meski tenggorokannya kering dan Zeline tak punya air mineral. Ia menutup kembali helm kacanya setelah membetulkan kembali masker yang menutupi bagian bawah dagu hingga pangkal hidung. Zeline tak mau ada orang yang ia kenal tak sengaja bertemu atau melihatnya sampai di tempat yang ia tuju.Hari kedua, perjalanan menuju apartemen milik Om Firman. Zeline mau tidak mau harus berkelit lagi soal ini. Pura-pura pada Alana dan Layla kalau saudaranya menikah di dekat rumahnya. Pura-pura harus pulang ke ru
Ciuman-ciuman yang dilayangkan Zeline mendadak terjeda. Zeline tak bisa menyembunyikan raut kagetnya sat Om Firman menerangkan ciri-ciri perempuan baru yang menarik dipandang baginya. Terus bercerita soal betapa wajah perempuan itu terlihat begitu polos. Cantik seperti berlian yang hanya butuh sentuhan tangan pengrajin agar mengkilap.Cerita Om Firman terus berlanjut sampai-sampai tak menghiraukan Zeline di pangkuannya yang tertegun tak percaya. Bukan. Zeline bukan cemburu karena ternyata Om Firman tertarik pada perempuan lain. Bukan juga karena taku kehilangan sumur mata pencahariannya.Zeline termangu karena alasan yang jelas. Siapa juga yang tak kenal dengan perangai Om Friman si hidung belang? Hampir semua dosen di kampus tahu gelagat pria ini di balik layar. Laki-laki yang masih tidak juga puas meski sudah punya dua istri. Tetap jajan perempuan sembarangan di luar.Zeline cuma satu dari entah berapa perempuan lainnya yang pernah diajak tidur Om Firman. Ada
Tubuh gemuknya, rambut yang tumbuh di dada. Wajah menua yang sudah muncul keriput di beberapa bagian itu tampak lebih lelah dari biasanya. Meski harum aroma tubuhnya jauh lebih segar dari sebelum ia mandi.Zeline tak benar-benar tahu apa yang sedang laki-laki itu pikirkan. Haru pelukan dan ucapan terima kasih romantis tadi nyatanya tak bertahan lama. Belum ada satu menit berselang suasana yang terjadi di dalam kamar apartemen Om Firman mendadak berubah lagi.Bukan. Bukan Zeline yang kembali teringat akan betapa peliknya keadaan yang sedang ia hadapi. Melainkan Om Firman yang tertunduk lesu. Wajahnya terlihat sedang memikirkan banyak hal. Atau mungkin, satu hal yang tak bisa ia ubah sekeras apapun ia berusaha.“Sayang kenapa?” Pupil mata Zeline membundar sempurna.Tapi seperti kebanyakan pria saat ditanya kenapa, Om Firman hanya menggelengkan kepala. “Nggak papa kok, Zel.” Ditutup dengan senyum lebar yang terkesan dipaksakan.“Zeline ambilin minum ya.”Perempuan itu berdiri, melepas ta
“Lu jadi tanyain soal siapa Zeline ke orangnya langsung gitu?” Alana menelisik wajah Layla dengan tatap penasaran. “Gila lo, La.”Di tempat duduknya, Layla mengangguk mantap. “Nggak ada cara lain kan, Al? Tapi emang mungkin harus pelan-pelan, Al. Dia nggak bakal mau langsung ngaku. Tapi mungkin firasat lo di chat Whatsapps itu benar. Tadi Zeline rada gelagapan, pas gua bilang kalo gua udah tahu siapa dia.”Alana menghela napas panjang. “Itu artinya kita masih belum bisa tahu siapa dia ya.”“Lebih tepatnya, Zeline belum mengakui. Hhmmm…”Layla berdeham panjang. “Belum mengakui bukan berarti kita nggak tahu ‘kan? Bukannya kita udah bisa menarik kesimpulan kan sebenarnya? Bahwa Zeline sebenarnya adalah seorang pe—““Nggak boleh gitu, La. Nggak baik berasumsi soal orang lain,” potong Alana cepat. “Itu jahat banget. Bisa aja memang Zeline sebelumnya udah
“Zel! Eh, Nggak usah bercanda lo! Ah, lu parah. Kelewatan bercandanya,” sergah Layla. Masih tak percaya, masih menggeliat mencoba meloloskan dirinya dari cengkeraman tangan Zeline yang sudah di depan mendahului lagkah kakinya.Zeline seolah tak peduli lagi dengan apa yang dikatakan bibir Layla. Lebih tepatnya, Zeline tak mau tahu soal itu. Zeline hanya mau tahu bagaimana caranya menyeret Layla yang bertubuh lebih berisi ke meja resepsionis rumah sakit setinggi dada di depan pintu masuk.“Mbak saya mau…. “Belum sempat Zeline menyelesaikan kalimatnya, dua orang perawat dengan seragam serba hijau langsung melemparkan tatapan bingung. Dua orang di depan Zeline saling tatap. Sebelum salah satu dari mereka menyadari ada Layla di belakang Zeline.“Oh, mbak ini kan yang semalam ya?” Pegawai rumah sakit yang akhirnya sadar bahwa yang diseret Zeline adalah Layla berujar. Membenahi kaca matanya yang tadinya menggantung di
“Oh my god!” Zeline melongo tak percaya. Matanya berhenti berkedip untuk waktu yang cukup lama. Melongo tak percaya, tak bisa berhenti menatap kosong wajah Layla di depannya. “Itu bukan angka yang sedikit, La. Ka-kamu nggak lagi bercanda kan?”Layla menggelengkan kepala. Memijat dahinya dengan dua jari telunjuknya. “Gu–gua, gua nggak tahu harus minta tolong pada siapa lagi, Zel. Lo harapan terakhir gua.”Zeline menghela napas panjang. Memejam, memikirkan banyak hal. Ia tak tahu harus berkata apa lagi soal ini. Bukannya tidak mau membantu Layla. Bukan pula karena ia tak ada uang segitu di rekening.“Kumohon, Zel.”Suara Layla yang mengemis menambah kemelutpikiran Zeline. “Kumohon… “ rintihnya.Persoalan ini sungguh rumit jika ingat dari mana Zeline mendapatkan uangnya, dari jasa haram melayani laki-laki hidung belang. Zeline tahu betul betapa susahnya mencari uang yang terkumpul di rekeningnya. Betapa susah melayani Om Firman dan laki-laki lain di 2 tahun belakangan ini dengan semua per
Layla memutar leher berpaling ke arah Zeline. Mati-matian Layla menelan rasa sedihnya hanya untuk terlihat tegar di depan Zeline. Namun tetap saja wajah polosnya yang tampak basah tak bisa berbohiong. Sejak semalam saat sekonong-konyongnya Layla pulang ke kampung, ia masih saja menangisi bapaknya.Namun tentu saja Zeline harus tetap tersenyum. Harus, tidak boleh tidak. Ia tak mau membuat Layla semakin terpuruk dengan ujian yang menimpanya.Lagipula, dua perempuan itu sudah menangis. Zeline tak ingin menyusul. Ia tak ingin meneteskan air matanya di sini. Sekuat hati Zeline harus menahan air matanya. Kedua kakinya melangkah mendekat. Tubuh kuning langsat ramping itu melenggang dengan keranjang buah berpita cantik di tangannya.Sampai Zeline cukup dekat, Layla melepaskan Alana. Ganti memeluk tubuh Zeline yang lebih tinggi dari dirinya. Wajahnya melekat di dada Zeline. Sementara Zeline yang baru datang hanya bisa melingkarkan tangan kirinya. Tangan kanannya masih si
“Zel, ntar mampir dulu yak?”Pintu rumah terbuka, kedua engsel pintu depan yang entah kapan terakhir diminyaki berteriak kencang, memekakkan telinga.“Emmm… kayaknya kita juga harus cari tukang secepatnya deh.” Alana menelisik ke sela di antara papan kayu dan gawang pintu. “Ah tapi nanti deh kapan-kapan kalau urusan Layla udah kelar.”Tubuh Alana muncul dari balik pintu, kepalanya tetap menunduk, ganti mendongak ke dalam tas selempang warna merah miliknya. Berbicara pada Zeline di depannya tanpa melihat. Alana sibuk memeriksa satu persatu barang bawaan yang ia perlukan. Bahkan saking hebohnya ia sampai ikut membawa kamera kecil. Kamera teman setia membuat vlog mini pribadi untuk followers tercintanya.“Hah, mampir?” pekik Zeline. “ Mampir ke mana dah? Eh gila, udah hampir jam tujuh loh. Udah kesingan ini kita. Lu malah pake segala acara ngajak mampir,” cecar Zeline tak puas. Mengangk
“Bentar.” Alana menarik lengan Zeline. Menghalangi langkah Zeline sebelum bergerak lebih jauh meninggalkannya. “Lo yakin?” Matanya tak bisa lepas dari gadis yang bahkan tubuhnya belum berputar sempurna itu. “Ini jam sebelas malam loh, Zel. Dan dari kota ke desaku mungkin 3 sampai 4 jam.”Zeline menghela napas, menghembuskannya pelan. Melunakkan hatinya sendiri, melunakkan semua kepanikannya. “Gu-Gue mulai berpikir kalau memang aku lah penyebab semua kerumitan ini, Al.” Zeline menutup kalimatnya dengan sebuah senyum kecut.“No!” Alana memekik. Mengangkat tubuhnya, berdiri memeluk Zeline yang diam tak bergeming. Memeluk gadis itu, merapatkan tubuhnya. “Kita punya masalah masing-masing, Zel. Bukan karena kemudian masalah Layla nambah trus lo jadi nyalahin diri lo sendiri. Itu nggak fair, Zel.” Dahi Alana mengerut.“Tapi benar kan, Al? Sejak kalian tinggal bersamaku semua masalah seakan ja
“La! La! Lo kenapa, La?” pekik Zeline.Sejak pesan whatsapps itu tiba mendarat di ponselnya ia mendadak jadi gusar. Bagaimana tidak, Layla tidak menyebutkan pertolongan macam apa yang ia perlukan. Mau tidak mau Zeline langsung angkat kaki dari kursi bar. Berlari secepat yang ia bisa menerobos lantai dansa dan semua orang yang berkerumun di depannya.“Lo di mana sekarang, La? Bilang ke gua!”Sementara gadis yang Zeline panggil dari tadi masih sesenggukan. Bibirnya seolah tercekat, tangisan itu menghentikan semua kalimatnya. Habis, terbendung di tenggorokan, tak berhasil diucapkan. Hanya tersengar suara isak tangis dan tarikan napas berat.“Oke-oke Lu tenang dulu sekarang. Ambil napas dalam-dalam, La. Teriak yang kencang kalo perlu,” ucap Zeline lagi. “Kalau udah tenang lu cerita pelan-pelan.”Zeline masih berdiri di depan tembok diskotik. Dari luar sini, orang-orang yang lalu lalang tampak memperhatika
Gemerlap lantai bar malam ini terasa berbeda. Bukan seperti malam-malam sebelumnya saat Zeline datang. Mencari keramaian menghabiskan waktu mencari uang-uang kecil dari laki-laki hidung belang yang mau minum berdua dengannya. Malam ini bukan malam perayaan. Malam ini adalah malam di mana Zeline ingin menukar semua masalah di dalam kepalanya dengan gelas-gelas berisi alkohol.Alunan musik remix memekakkan telinga. Harum berbagai parfum yang bercampur keringat menusuk-nusuk hidung. Zeline baru juga sampai, baru sekitar lima menit yang lalu.Lantai dansa tak lagi jadi tempat favorit baginya. Zeline lebih tertarik memilih kurai bar setinggi pinggangnya. Duduk berlama-lama di sana, menikmati tiap shoot alkohol yang dipesannya pada bartender dengan tangan penuh tatto yang ada di depannya.“Kenapa lagi lu? Putus sama cowo?” sapa laki-laki yang mengenakan kemeja putih polos terlipat hingga siku berbalut celemek hitam yang diikat di pinggang dan lehernya.
Namun yang tidak Zeline tahu adalah dengan siapa ia berhadapan, dengan siapa ia berbicara menuturkan semua kisah hidup yang ia jalani. Sama tidak tahunya Zeline dengan seberapa kejam Arya Baskara yang sebenarnya. Hingga dua belah pihak itu kemudian saling menciptakan kemelut. Seperti gotong royong menciptakan badai yang lebih besar di muara hati Zeline.Persis di usianya ke dua puluh tahun. Persis tiga tahun setelah ia angkat kaki dari rumah kemudian bertemu hidup dan keluarga yang lebih menyayanginya. Bencana besar kembali datang.Malam itu, makan malam yang hangat di ruang makan yang disirami lampu jingga lengkap dengan lilin yang tersusun di atas meja. Mereka bertiga yang duduk memutar. Tangan ditangkupkan, jari-jari saling isi di sela jari tangan satunya. Memejamkan mata, memanjatkan doa sebelum makan.Dan persis saat doa selesai, mata terbuka, cahaya putih menembak dari luar. Cahaya yang menyilaukan mata, memenuhi seisi ruangan, masuk lewat jendela. Zeline