“Itu terdengar menyeramkan sayang. Jangan yah, plissss ,....!!!” pinta Zeline. Sorot matanya mengiba memohon pada Om Firman dengan raut wajah memelas.“Oh ayolah sayang. Tidak, itu tidak menyeramkan kok. Kita hanya belum pernah melakukannya, itu kenapa terkesan menyeramkan,” jawab Om Firman. Tangannya bergerak melingkar ke pinggang ramping Zeline.Merayu gadis itu agar mau memenuhi fantasinya. Hanya pada Zeline ia bisa memohon. Dua istri yang ia nikahi mana mungkin memenuhi permintaan fantasinya. Tiga kali menikah, tiga kali pula Om Firman menemukan perempuan yang tidak tahu diri. Perempuan-perempuan yang maunya dinafkahi besar-besaran tanpa peduli apa yang Om Firman mau dan coba.Alasan kenapa petualangan ranjang laki-laki satu ini belum jua berakhir salah satunya adalah itu. Hanya dengan perempuan-perempuan seperti Zeline semua fantasi dan maunya terpenuhi.Zeline hanya bisa diam tak bergeming. Masih menatap Om Firman de
Zeline mulai mencari cara untuk membalikkan keadaannya. Tidak lucu kalau harus kalah sama orang yang jauh lebih tua di ronde pertama. Zeline harus segera menemukan cara sebelum energi dan tenaganya banyak terkuras seiring permainan Om Firman yang semakin beringas.Dimulai dengan mengalihkan tangannya. Tangan yang tadi menekan kepala Om Firman itu melonggar. Jemarinya menyisir rambut laki-laki yang sudah mulai beruban tipis itu. Menjambaknya lembut, seperti memijat, hingga kemudian menarik dari dadanya.Agar tidak protes, Zeline buru-buru menyergap bibir yang tadi bermain di dadanya itu dengan ciuman lagi. Bibir mereka bertaut lagi. Meski tangan Om Firman masih dengan gemas bermain di dua bukit kembarnya, tapi paling tidak Zeline tidak tersiksa oleh lidah Om Firman lagi.Di tengah ciuman panjang itu tangan Zeline turun. Gerakan pinggulnya berhenti. Digantikan tangannya saat ia tiba di sana. Mengocok pelan, naik turun mengikuti ciuman dan lenguhan di bibir mereka.
Keesokan harinya sepulang dari apartemen Om Firman, Zeline terpaksa harus memaksakan dirinya yang lelah ke kampus karena hari ini adalah hari terakhir pendaftaran ulang.“Loh kok cepet?” tukas Layla begitu meemukan motor Zeline sudah terparkir di rumah lagi setelah baru beberapa menit pamitan padanya pergi ke kampus.“Iya nih,” balas Zeline sambil melepas helm yang ia kenakan. Tampak rambut halus mengembang terawat miliknya jatuh terurai berantakan karena helm. Tergerai menutupi sebagian garis wajahnya. “Udah selesai cuman ngisi form aja, nggak sampai yang rumit diterangin segala macem kok.”Padahal Layla sudah pasti tidak akan tahu apa yang terjadi sebenarnya. Zeline sendiri juga sudah pasti tak akan bercerita tentang apa yang terjadi tadi di kampus. Zeline tak mungkin bilang pada Layla kalau semua berkasnya sudah dibereskan Om Firman termasuk biaya kuliah.Saat ke kampus t
Alana dan Zeline berkejaran, memutari ruang tengah. Alana yang kini jadi geli karena Zeline mengaku bahwa dirinya lesbian. Dan Zeline yang tak puas-puas menggoda Alana. Terus mengejar perempuan itu, bahkan hingga keluar ruang tengah masuk dapur, tembus teras. Belum puas Alana, berlari lagi lebih jauh hingga ke jalan raya.Hingga suara teriakan geli perempuan itu terdengar semakin mengecil, semakin jauh. Meninggalkan Layla yang masih duduk tenang di kursinya, sampai akhirnya bosan sendiri.Ia berdiri, mengambil piring kotor milik Zeline dan Alana yang tergeletak di atas meja. Berjalan menuju sudut dapur dekat kamar mandi di mana ada wastafel yang sekaligus tempat cucian piring kotor. Hanya karena terbiasa di rumah, Layla langsung mencuci setumpuk piring itu. Tak mau pekerjaannya makin berat karena banyaknya piring kotor nanti.“Dasar dua orang itu. Main-main mulu kalau lagi berdua kayak gitu,” gumam Layla geleng-geleng kepala. Ia masih dihantui perasa
“Lu pergi hari ini?” Alana beringsut. Setelah cukup lama tidur tak mengerjakan apa pun di atas kasur. Hanya mengobrol dengan Layla, scrolling media sosial yang tidak ada ujungnya.Sore jatuh, menggantikan pagi dan siang hari ini yang dihabiskan Zeline di rumah bercanda dengan Alana dan Layla. Siapa yang menyangka persabatan di antara mereka bertiga terjalin secepat itu. Mereka punya humor dan selera bercanda yang sama. Zeline tak perlu merasa sungkan atas semua tingkah usilnya karen Alana dan Layla sudah pasti langsung mengerti.“Iya nih, gue juga jadi heran. Kamu, eh maksudnya lu.” Layla meringis. Lidahnya masih kaku dengan dua kata ‘Lo Gue’. “Lo ke mana aja sih, tiap jam segini selalu ngilang nggak tau ke mana. Pulang-pulang pagi,” tandas Layla yang duduk menjajari Alana. Bersandar di pintu lemari, beralas kasur lantai tipis yang sekaligus alas tidur bagi mereka.“Ada deh,” jawab Zeline singkat. Tubuh
Dingin udara apartemen mewah ini kembali menyentuh kulit Zeline. Lampu gantung dengan rangkaian kaca bermotif berlian memendarkan sinar jingga yang lembut. Turun, bercampur dengan lampu putih yang tak kalah cerah. Hinggap di lapisan kulit Zeline.Gadis itu, masih jadi satu-satunya orang yang mengisi kamar apartemen kosong ini. Tadi setibanya di apartemen Zeline baru sadar kalau Om Firman mengiriminya pesan sedang keluar sebentar mengurusi beberapa usaha yang baru dirintisnya.Zeline duduk di sofa, menyimak televisi yang menyajikan berita di depannya. Masih dengan kemeja kotak-kotak kebesaran yang ia kenakan sejak dari rumah. Bedanya, celana levi’s itu sudah tanggal.Menyisakan celana pendek yang hanya mampu menutupi pangkal pahanya. Lebih panjang ujung kemejanya daripada celana putih pendek itu. Wajahnya yang cantik dibalut bedak tipis. Tak lupa lipstik merah menyala, dan parfum khas kesukaannya.Bosan dengan televisi di hadapannya, Zeline mengangka
“Sa‐sayang, are you–““Serious?” potong Om Firman cepat sembari menyeriangai penuh kemenangan. Bayangan yang tercetak di wajahnya dari sorot lampu apartemen menambah kesan seram pria sugar daddy Zeline tersebut. “Yes I’am. Aku tak pernah lebih serius dari ini, sayang.”Mata Zeline terbelalak, alisnya terangkat. Kerongkongannya mendadak mengering, lidahnya kelu. Hiam bola matanya bergetar nanar menelisik mata laki-laki di sebelahnya. “Tapi sayang ...,” rengek Zeline.Suara rengekan tertahannya sudah seperti seekor rusa yang lehernya telah dicengkeram kuat taring singa. Zeline ingin berteriak melayangkan protes tak terima. Tapi di saat yang sama, realita bahwa ia di tempat ini hanya bekerja jadi teman tidur Om Firman mencekik lehernya.Om Firman hanya tersenyum, menatap sendu wajah gadis itu. Menelusuri garis wajah Zeline dengan jari-jari besarnya. “Zeline-Zeline, kau sepertinya lupa dengan a
Meski tampak ragu tapi lagi-lagi Zeline tak bisa mengelak. Raut wajahnya tak bisa menyembunyikan jantungnya yang berdetak jauh lebih cepat dari sebelumnya. Indra di tubuhnya sekakan ikut merespon jadi terasa semakin sensitif. Setiap sentuhan yang dilakukan Om Firman terasa dua kali leibih menggelikan. Tak hanya sentuhan, Zeline sampai menelan ludah, menatap wajah Om Firman yang jadi beringas.Pria yang bersimpuh persis di depannya. Kepalanya berada persis di depan pangkal paha Zeline. Mendongakkan wajahnya menatap ke atas. Posisinya berada persis di bawah liang kewanitaan Zeline. Sudah jelas laki-laki itu bisa menyaksikan semuanya dari sana. Lekuk tubuh Zeline, bahkan hingga ke dalam lubang vaginanya yang ditumbuhi bulu halus miliknya.Zeline menelan ludah lagi. Membayangkan isi botol ini jatuh ke atas permukaan kulitnya. Sementara hanya memegang botolnya saja Zeline bisa merasakan betapa dingin botol itu di telapak tangannya.Zeline memejam, ia tak ingin membua
“Lu jadi tanyain soal siapa Zeline ke orangnya langsung gitu?” Alana menelisik wajah Layla dengan tatap penasaran. “Gila lo, La.”Di tempat duduknya, Layla mengangguk mantap. “Nggak ada cara lain kan, Al? Tapi emang mungkin harus pelan-pelan, Al. Dia nggak bakal mau langsung ngaku. Tapi mungkin firasat lo di chat Whatsapps itu benar. Tadi Zeline rada gelagapan, pas gua bilang kalo gua udah tahu siapa dia.”Alana menghela napas panjang. “Itu artinya kita masih belum bisa tahu siapa dia ya.”“Lebih tepatnya, Zeline belum mengakui. Hhmmm…”Layla berdeham panjang. “Belum mengakui bukan berarti kita nggak tahu ‘kan? Bukannya kita udah bisa menarik kesimpulan kan sebenarnya? Bahwa Zeline sebenarnya adalah seorang pe—““Nggak boleh gitu, La. Nggak baik berasumsi soal orang lain,” potong Alana cepat. “Itu jahat banget. Bisa aja memang Zeline sebelumnya udah
“Zel! Eh, Nggak usah bercanda lo! Ah, lu parah. Kelewatan bercandanya,” sergah Layla. Masih tak percaya, masih menggeliat mencoba meloloskan dirinya dari cengkeraman tangan Zeline yang sudah di depan mendahului lagkah kakinya.Zeline seolah tak peduli lagi dengan apa yang dikatakan bibir Layla. Lebih tepatnya, Zeline tak mau tahu soal itu. Zeline hanya mau tahu bagaimana caranya menyeret Layla yang bertubuh lebih berisi ke meja resepsionis rumah sakit setinggi dada di depan pintu masuk.“Mbak saya mau…. “Belum sempat Zeline menyelesaikan kalimatnya, dua orang perawat dengan seragam serba hijau langsung melemparkan tatapan bingung. Dua orang di depan Zeline saling tatap. Sebelum salah satu dari mereka menyadari ada Layla di belakang Zeline.“Oh, mbak ini kan yang semalam ya?” Pegawai rumah sakit yang akhirnya sadar bahwa yang diseret Zeline adalah Layla berujar. Membenahi kaca matanya yang tadinya menggantung di
“Oh my god!” Zeline melongo tak percaya. Matanya berhenti berkedip untuk waktu yang cukup lama. Melongo tak percaya, tak bisa berhenti menatap kosong wajah Layla di depannya. “Itu bukan angka yang sedikit, La. Ka-kamu nggak lagi bercanda kan?”Layla menggelengkan kepala. Memijat dahinya dengan dua jari telunjuknya. “Gu–gua, gua nggak tahu harus minta tolong pada siapa lagi, Zel. Lo harapan terakhir gua.”Zeline menghela napas panjang. Memejam, memikirkan banyak hal. Ia tak tahu harus berkata apa lagi soal ini. Bukannya tidak mau membantu Layla. Bukan pula karena ia tak ada uang segitu di rekening.“Kumohon, Zel.”Suara Layla yang mengemis menambah kemelutpikiran Zeline. “Kumohon… “ rintihnya.Persoalan ini sungguh rumit jika ingat dari mana Zeline mendapatkan uangnya, dari jasa haram melayani laki-laki hidung belang. Zeline tahu betul betapa susahnya mencari uang yang terkumpul di rekeningnya. Betapa susah melayani Om Firman dan laki-laki lain di 2 tahun belakangan ini dengan semua per
Layla memutar leher berpaling ke arah Zeline. Mati-matian Layla menelan rasa sedihnya hanya untuk terlihat tegar di depan Zeline. Namun tetap saja wajah polosnya yang tampak basah tak bisa berbohiong. Sejak semalam saat sekonong-konyongnya Layla pulang ke kampung, ia masih saja menangisi bapaknya.Namun tentu saja Zeline harus tetap tersenyum. Harus, tidak boleh tidak. Ia tak mau membuat Layla semakin terpuruk dengan ujian yang menimpanya.Lagipula, dua perempuan itu sudah menangis. Zeline tak ingin menyusul. Ia tak ingin meneteskan air matanya di sini. Sekuat hati Zeline harus menahan air matanya. Kedua kakinya melangkah mendekat. Tubuh kuning langsat ramping itu melenggang dengan keranjang buah berpita cantik di tangannya.Sampai Zeline cukup dekat, Layla melepaskan Alana. Ganti memeluk tubuh Zeline yang lebih tinggi dari dirinya. Wajahnya melekat di dada Zeline. Sementara Zeline yang baru datang hanya bisa melingkarkan tangan kirinya. Tangan kanannya masih si
“Zel, ntar mampir dulu yak?”Pintu rumah terbuka, kedua engsel pintu depan yang entah kapan terakhir diminyaki berteriak kencang, memekakkan telinga.“Emmm… kayaknya kita juga harus cari tukang secepatnya deh.” Alana menelisik ke sela di antara papan kayu dan gawang pintu. “Ah tapi nanti deh kapan-kapan kalau urusan Layla udah kelar.”Tubuh Alana muncul dari balik pintu, kepalanya tetap menunduk, ganti mendongak ke dalam tas selempang warna merah miliknya. Berbicara pada Zeline di depannya tanpa melihat. Alana sibuk memeriksa satu persatu barang bawaan yang ia perlukan. Bahkan saking hebohnya ia sampai ikut membawa kamera kecil. Kamera teman setia membuat vlog mini pribadi untuk followers tercintanya.“Hah, mampir?” pekik Zeline. “ Mampir ke mana dah? Eh gila, udah hampir jam tujuh loh. Udah kesingan ini kita. Lu malah pake segala acara ngajak mampir,” cecar Zeline tak puas. Mengangk
“Bentar.” Alana menarik lengan Zeline. Menghalangi langkah Zeline sebelum bergerak lebih jauh meninggalkannya. “Lo yakin?” Matanya tak bisa lepas dari gadis yang bahkan tubuhnya belum berputar sempurna itu. “Ini jam sebelas malam loh, Zel. Dan dari kota ke desaku mungkin 3 sampai 4 jam.”Zeline menghela napas, menghembuskannya pelan. Melunakkan hatinya sendiri, melunakkan semua kepanikannya. “Gu-Gue mulai berpikir kalau memang aku lah penyebab semua kerumitan ini, Al.” Zeline menutup kalimatnya dengan sebuah senyum kecut.“No!” Alana memekik. Mengangkat tubuhnya, berdiri memeluk Zeline yang diam tak bergeming. Memeluk gadis itu, merapatkan tubuhnya. “Kita punya masalah masing-masing, Zel. Bukan karena kemudian masalah Layla nambah trus lo jadi nyalahin diri lo sendiri. Itu nggak fair, Zel.” Dahi Alana mengerut.“Tapi benar kan, Al? Sejak kalian tinggal bersamaku semua masalah seakan ja
“La! La! Lo kenapa, La?” pekik Zeline.Sejak pesan whatsapps itu tiba mendarat di ponselnya ia mendadak jadi gusar. Bagaimana tidak, Layla tidak menyebutkan pertolongan macam apa yang ia perlukan. Mau tidak mau Zeline langsung angkat kaki dari kursi bar. Berlari secepat yang ia bisa menerobos lantai dansa dan semua orang yang berkerumun di depannya.“Lo di mana sekarang, La? Bilang ke gua!”Sementara gadis yang Zeline panggil dari tadi masih sesenggukan. Bibirnya seolah tercekat, tangisan itu menghentikan semua kalimatnya. Habis, terbendung di tenggorokan, tak berhasil diucapkan. Hanya tersengar suara isak tangis dan tarikan napas berat.“Oke-oke Lu tenang dulu sekarang. Ambil napas dalam-dalam, La. Teriak yang kencang kalo perlu,” ucap Zeline lagi. “Kalau udah tenang lu cerita pelan-pelan.”Zeline masih berdiri di depan tembok diskotik. Dari luar sini, orang-orang yang lalu lalang tampak memperhatika
Gemerlap lantai bar malam ini terasa berbeda. Bukan seperti malam-malam sebelumnya saat Zeline datang. Mencari keramaian menghabiskan waktu mencari uang-uang kecil dari laki-laki hidung belang yang mau minum berdua dengannya. Malam ini bukan malam perayaan. Malam ini adalah malam di mana Zeline ingin menukar semua masalah di dalam kepalanya dengan gelas-gelas berisi alkohol.Alunan musik remix memekakkan telinga. Harum berbagai parfum yang bercampur keringat menusuk-nusuk hidung. Zeline baru juga sampai, baru sekitar lima menit yang lalu.Lantai dansa tak lagi jadi tempat favorit baginya. Zeline lebih tertarik memilih kurai bar setinggi pinggangnya. Duduk berlama-lama di sana, menikmati tiap shoot alkohol yang dipesannya pada bartender dengan tangan penuh tatto yang ada di depannya.“Kenapa lagi lu? Putus sama cowo?” sapa laki-laki yang mengenakan kemeja putih polos terlipat hingga siku berbalut celemek hitam yang diikat di pinggang dan lehernya.
Namun yang tidak Zeline tahu adalah dengan siapa ia berhadapan, dengan siapa ia berbicara menuturkan semua kisah hidup yang ia jalani. Sama tidak tahunya Zeline dengan seberapa kejam Arya Baskara yang sebenarnya. Hingga dua belah pihak itu kemudian saling menciptakan kemelut. Seperti gotong royong menciptakan badai yang lebih besar di muara hati Zeline.Persis di usianya ke dua puluh tahun. Persis tiga tahun setelah ia angkat kaki dari rumah kemudian bertemu hidup dan keluarga yang lebih menyayanginya. Bencana besar kembali datang.Malam itu, makan malam yang hangat di ruang makan yang disirami lampu jingga lengkap dengan lilin yang tersusun di atas meja. Mereka bertiga yang duduk memutar. Tangan ditangkupkan, jari-jari saling isi di sela jari tangan satunya. Memejamkan mata, memanjatkan doa sebelum makan.Dan persis saat doa selesai, mata terbuka, cahaya putih menembak dari luar. Cahaya yang menyilaukan mata, memenuhi seisi ruangan, masuk lewat jendela. Zeline